Please Wait
12569
Dan dinukil dari Baihaqi bahwa pada masa pemerintahan khalifah kedua, musim kemarau berlangsung selama dua tahun. Bilal beserta beberapa orang sahabat datang ke pusara Rasulullah Saw dan berkata demikian: “Wahai Rasulullah! Pintalah hujan untuk umatmu karena (tiadanya air) mereka kini dalam kondisi sekarat..”
Karena itu, khalifah kedua Umar bin Khattab meyakini bahwa tawassul kepada Rasulullah Saw dapat dilakukan pada masa hidupnya atau setelah wafatnya. Umar bin Khattab sendiri mengamalkan tawassul ini, lantas mengapa hari ini para pengikut Muhammad bin Abdulwahab menyatakan bahwa kaum Muslimin yang bertawassul di samping pusara suci Rasulullah sebagai perbuatan syirik? jika memang demikian, maka sesuai dengan keyakinan mereka, Umar bin Khattab juga adalah musyrik?
Salah satu tantangan asasi pemikiran dan pandangan firkah Wahabi adalah penantangan mereka terhadap Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw dan keyakinan umum masyarakat Muslim. Salah satu contohnya adalah masalah tawassul; karena tawassul merupakan salah satu perkara yang senantiasa mendapat perhatian kaum Muslimin semenjak awal kemunculan Islam; di antaranya para pembesar Ahlusunnah. Imam Buhkari penyusun salah satu kitab standar riwayat Ahlusunnah, menukil sirah praktis khalifah kedua, Umar bin Khattab terkait bolehnya melakukan tawassul. Demikian juga Imam Malik (mufti Madinah) memerintahkan Manshur Dawaniqi untuk ber-tawassul kepada Rasulullah Saw. Khatib Baghdadi menukil dari Ali Khilal yang merupakan syaikh mazhab Hanbali berkata, “Setiap kali saya dirundung masalah, saya pergi ke pusara Musa bin Ja’far As dan ber-tawassul kepadanya, maka urusan saya menjadi ringan dan segala kesulitanku terselesaikan. Imam Syafi’i menggubah sebuah syair terkenal terkait bolehnya ber-tawassul kepada keluarga Rasul Saw. Dan banyak lagi contoh-contoh lainnya dari pandangan ulama dan pembesar Ahlusunnah yang menunjukkan bolehnya ber-tawassul. Akan tetapi Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya memandang hal ini sebagai bid’ah dan haram. Mereka memandang musyrik orang-orang yang ber-tawassul kepada Nabi Saw dan Ahlulbaitnya.
Salah satu tantangan asasi pemikiran dan pandangan firkah Wahabi adalah penantangan mereka terhadap Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw dan keyakinan umum masyarakat Muslim. Salah satu contohnya adalah masalah tawassul. Untuk lebih jelasnya, kami akan membedah masalah tawassul ini dalam pandangan Al-Qur’an, Sunnah dan keyakinan umum kaum Muslimin.
Tawassul dan syafâ’at telah dijelaskan dan diterima dengan baik dalam literatur-literatur utama Islam, Al-Qur'an dan Hadis-hadis. Tidak hanya dalam sumber-sumber riwayat Syiah, bahkan dalam sumber-sumber riwayat utama Ahlusunnah pun kita menyaksikan banyak riwayat yang menunjukkan bolehnya tawassul dan syafâ’at. Karena itu, kami akan menjawab pertanyaan yang dilontarkan dalam masalah ini dalam dua bagian.
A. Tawassul dan syafâ’at dalam Al-Qur’an
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dengan baik dapat disimpulkan bahwa menjadikan orang saleh sebagai perantara di hadapan Tuhan dan memohon sesuatu dari Tuhan dengan perantara orang saleh tersebut, sama sekali tidak berseberangan dengan masalah tauhid dan tidak terlarang. Sebagai contoh, Allah Swt berfirman, “Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Nisa [4]:64)[1]
B. Tawassul dan syafâ’at dalam riwayat
Dalam banyak riwayat yang dinukil dari Syiah dan Ahlusunnah juga dengan baik dapat disimpulkan bahwa tawassul dan syafâ’at sama sekali tidak ada masalah, bahkan tergolong sebagai perbuatan baik.[2]
Riwayat-riwayat ini sangat melimpah dan banyak dinukil dalam kitab-kitab masyhur Ahlusunnah yang akan disinggung beberapa dari riwayat tersebut di sini:
1. Di dalam Sahih Bukhari (265 M) dengan lugas menjelaskan: Tatkala musim kemarau melanda kota Madinah, Umar bin Khattab, dengan ber-tawassul kepada kedudukan Abbas bin Abdul Mutthalib paman Nabi Saw, berdoa demikian dan meminta hujan: “Tuhan kami! Kami ber-tawassul kepada nabi-Mu dan Engkau memberikan hujan kepada kami. Sekarang kami ber-tawassul kepada pamannya untuk memohon hujan (dari-Mu).”[3]
2. Di dalam Musnad Ahmad bin Hanbal (241 M) disebutkan, “Ada seseorang yang memilik hajat. Utsman berkata kepadanya: “Berwudhulah, tunaikan dua rakaat, ber-tawassul-lah kepada Rasulullah Saw dan bacalah doa ini, “Allahummah inni as’aluka wa atawajjuh ilaika binabiyyina Muhammad Saw nabi al-rahmah. Ya Muhammad! Inni atawajjuh bika ila Rabbi litaqdhi hajati.” supaya terpenuhi hajatmu.”[4]
3. Imam Malik (mufti Madinah) memerintahkan Mansur Dawaniqi untuk ber-tawassul kepada Rasulullah Saw dan berkata, “Rasulullah adalah perantaramu dan perantara Adam.” Ucapan Imam Malik ini menyinggung perintah Tuhan kepada Adam untuk ber-tawassul kepada cahaya-cahaya suci lima orang.
4. Puisi terkenal yang digubah Imam Syafi’i (855 M) terkait bolehnya ber-tawassul kepada keluarga Rasul (Ahlulbait As): Ali al-Nabi dzariati wa hum ilaihi wasilati.” (Keluarga Nabi adalah pemberi syafâ’at-ku dan mereka adalah wasilah dan perantaraku di sisi Tuhan.”[5]
5. Ibnu Ali Khilal yang merupakan ulama mazhab Hanbali berkata, Setiap kali saya dirundung masalah saya pergi ke pusara Musa bin Ja’far As dan ber-tawassul kepadanya, maka urusan saya menjadi ringan dan segala kesulitanku terselesaikan.[6]
6. Baihaqi (458 M) salah seorang ulama Ahlusunnah menukil, “Pada masa pemerintahan khalifah kedua, terjadi musim kemarau. Bilal disertai beberapa sahabat pergi ke pusara Rasulullah Saw dan berkata, “Ya Rasulullah! Pintalah hujan kepada Tuhanmu… karena mungkin mereka akan binasa.”[7]
7. Salah seorang ulama besar Ahlusunnah bernama Ibnu Khuzaimah, Dzahabi berkata tentangnya, “Ibnu Khuzaimah Syaikh al-Islam, imam dan hafizh (penghafal). Ia memiliki kemahiran tinggi dalam masalah fikih dan hadis.[8]
Abu Bakar Muhammad bin al-Muil (Ahlusunnah) berkata, “Kami pergi ke Thus bersama imam ahli hadis Ibnu Bakar ibnu Khuzaimah dan Abi Ali Tsaqafi serta sebagian syaikh Ahlusunnah. Tatkala kami tiba di dekat pusara Ali bin Musa al-Ridha As, kami terheran-heran melihat Ibnu Khuzaimah ber-tawassul kepada Imam Ridha, menangis dan banyak menjerit.[9]
Pertanyaannya sekarang adalah bahwa apakah Ibnu Taimiyah dan orang-orang Wahabi memandang Ibnu Khuzaimah ini sebagai musyrik karena pelbagai tawassul dan permintaan syafâ’at ini, sementara para ahli ilmu Rijal Ahlusunnah, sebagaimana pada contoh yang dijelaskan di atas, menerima dan banyak memuji Ibnu Khuzaimah ini.
8. Di dalam kitab “Wafa al-Wafa” karangan ulama terkemuka Ahlusunnah, Ali bin Ahmad Samhudi (911 M) disebutkan, “Meminta pertolongan dan syafâ’at kepada Nabi Saw dan dari maqam kepribadiannya di hadapan Tuhan, di samping dibolehkan sebelum penciptaan, setelah kelahirannya dan juga pasca wafatnya beliau. Di alam barzakh juga di alam Kiamat.” Kemudian ia menukil sebuah riwayat terkenal dari Umar bin Khattab berupa tawassul nabi Adam kepada Rasulullah Saw: Adam berdasarkan pengetahuan terkait penciptaan Nabi Islam di masa datang bertutur demikian di hadapan Tuhan: Tuhanku! Demi Muhammad Saw aku bermohon kepadamu kiranya Engkau sudi mengampuniku.”[10]
Kemudian hadis yang lain dari sekelompok perawi hadis seperti Nasai (303 M), Tirmidzi (279 M) yang merupakan ulama masyhur Ahlusunnah dan tokoh utama dalam periwayatan hadis, dinukil sebagai saksi atas bolehnya bertawassul kepada Rasulululah Saw pada masa hidupnya. Ringkasan dari nukilan tersebut sebagai berikut, “Seorang buta datang kepada Rasulullah Saw dan berkata: Pintalah kepada Tuhan, kiranya Dia memberikan kesembuhan kepadaku. Rasulullah Saw bersabda: Apabila engkau ingin aku berdoa, dan apabila engkau berkenan, aku menundanya dan hal ini lebih baik. Orang buta itu berkata, “Berdoalah (untukku). Rasulullah Saw memerintahkan kepadanya untuk berwudhu dan dalam wudhunya dia harus teliti dan menunaikan dua rakaat shalat dan berdoa sedemikian, Tuhanku! Aku bermohon kepadamu dan dengan perantara Muhammad, Nabi yang penuh kasih, aku menghadap kepada-Mu. Wahai Muhammad! Dengan perantaramu aku menghadap kepada Tuhan kiranya engkau memenuhi hajatku! Tuhanku! Jadikanlah dia sebagai penyembuhku.”[11]
Kemudian terkait dengan bolehnya tawassul kepada Rasulullah Saw pasca wafatnya, Samhudi menukil demikian bahwa seorang yang memiliki hajat datang ke pusara Rasulullah Saw pada masa Utsman. Ia menunaikan shalat dan berdoa demikian, “Tuhanku! Aku bermohon kepadamu dan aku menghadap kepada-Mu dengan perantara nabi kami Muhammad Saw, nabi penuh kasih. Wahai Muhammad! Aku menghadap Tuhanmu dengan perantaramu supaya (engkau) tunaikan hajatku.” Setelah itu, ia menambahkan bahwa tiada yang tersisa sehingga persoalannya terselesaikan. [12]
9. Alusi, pengarang tafsir terkenal Ruh al-Ma’âni, salah seorang ulama terkemuka Ahlusunnah abad kesembilan belas, setelah mengurai dan menganalisa secara teliti terkait kesahihan hadis-hadis tawassul dan syafâ’at berkata: “Setelah pelbagai perbincangan ini, saya tidak melihat adanya halangan ber-tawassul kepada Rasulullah Saw, baik pada masa hidupnya atau pasca wafatnya. Kemudian ia menambahkan, “Ber-tawassul kepada selain Nabi Saw di hadapan Tuhan juga tidak ada halangan, dengan syarat ia memiliki kedudukan di hadapan Tuhan.”[13]
Banyak lagi contoh lainnya terkait tawassul dan syafâ’at yang termaktub di dalam kitab-kitab hadis yang dengan jelas bahwa keyakinan dan amalan tawassul dan syafâ’at ini diterima di kalangan Ahlusunnah dan ulamanya.
Ucapan dan keyakinan Wahabi ihwal tawassul dan syafâ’at
1. Ibnu Taimiyah, pendiri ajaran Wahabi (abad kedelapan) dalam kitab “Al-Radd ‘ala al-Akhnai” terkait dengan tawassul kepada RasulullahSaw dan ziarah kuburan Nabi Saw berkata demikian: “Kapan saja seseorang pergi berziarah dan bertawassul kepada Rasulullah Saw, dan sebab utama kepergiaannya adalah pergi ke masjidnya, bertawassul, berziarah dan menuntut hajat darinya, maka ia telah musyrik dan telah keluar dari syariat Islam.”[14]
2. Ia dalam kitab yang sama berkata, “al-Tawassul bilmaut walau al-anbiya kufrun wa syirkun. Wa innahu lam yasyra’hu Subhanahu wa Ta’ala li’ibadihi.” Artinya barang siapa yang memohon kepada selain Allah dan pergi kepada selain Allah, ber-tawassul kepada orang-orang mati dan memohon syafâ’at (dari mereka) meski mereka itu adalah para nabi, maka sesungguhnya ia telah musyrik dan kafir.”[15]
3. “Soal al-mayyit wa al-ghaib wa tawassul bihi nabiyyan kana aw ghairihi minal muharramat al-munkirat wa syirkun bittifaqi aimmati al-muslimin. Lam ya’muruLlahu bihi wa la rasuluhu wala fa’alahu ahadun min al-shahabah wa la al-tabi’in lahum biihsan. La istabaha ahadun min aimmati al-muslimin.” Artinya memohon hajat kepada mayit dan orang ghaib serta bertawassul kepadanya, baik ia seorang nabi atau selain nabi, merupakan sebuah pekerjaan haram dan syirik sesuai dengan ijma kaum Muslimin. Allah Swt tidak memerintahkan kepada mereka untuk melakukan hal ini dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat dan tabi’in yang melakukan hal ini. Dan tidak seorang yang menganjurkan perbuatan ini. Karena itu perbuatan ini tidak dibenarkan.”[16]
4. Muhammad bin Abdulwahab dalam kitab Kasyf al-Syubuhat berkata, “In qila: al-Nabi – shallaLlahu ‘alaihi wa sallam – a’tha al-syafâ’ata wa ana athlubuhu mimma a’thahuLlah. Faljawab innaLlah a’thahu al-syafâ’ata wa nahaka ‘an hadza faqal: “Fala tad’u ma’aLlahi ahadan,”[17] Faidza kunta tad’uLlah an yasyfa’a nabiyyahu fika faatha’ahu fii qaulihi, “Fala tad’u ma’aLlahi ahadan.” Wa aidhan fainna al-syafâ’ata u’thiya ghaira al-nabi - shallaLlahu ‘alaihi wa sallam – fasshaha anna al-malaikata yasyf’auna wa al-awliya’a yasyfa’una wa al-afrath yasyfau’na. Ataqul: InnaLLah a’thahum al-syafâ’ata fathlubuha minhum? Fain qulta hadza ruji’at ila ibadati al-shalihin allati dzakaraLlahu fii kitabihi wa hadza syirkun. Wain qulta: la, bathala qauluka: A’thauLlah al-syafa’ata wa ana athlubuhu mimma a’thahuLlah.” [18]
Artinya: Apabila seseorang berkata: "Sesungguhnya Allah Swt telah memberikan syafâ’at kepada Nabi Saw. Karena itu aku minta kepadanya apa yang telah diberikan Allah". Jawaban kami adalah : "Sesungguhnya Allah telah memberikan syafa'at kepada beliau dan melarangmu (untuk meminta) darinya, sebagaimna Dia berfirman: "Janganlah kamu berdoa kepada Allah dengan menyertai seorangpun". Apabila kamu berdoa kepada Allah agar Dia mengizinkan Nabi-Nya untuk memberikan syafaat kepadamu,maka taatilah firman-Nya: "Janganlah kamu berdoa kepada Allah dengan menyertai seorangpun". Di samping itu, syafaat juga diberikan kepada selain Nabi Saw. Karena itu para Malaikat dan wali memberikan syafaat. Apakah kamu berkata: "Sesungguhnya Allah telah memberikan syafaat kepada mereka, karena itu aku minta dari mereka?". Jika kamu mengatakan demikian, maka kamu berarti menyembah hamba-hamba-Nya yang saleh yang telah Allah sebutkan di dalam kitab-Nya. Dan perbuatan ini adalah syirik. Jika kamu tidak mengatakan demikian, maka ucapanmu "Allah telah memberikan syafaat kepada Nabi-Nya dan aku minta apa yang diberikan Allah kepadanya" adalah ucapan yang batil.
5.Muhammad bin Abdulwahab berkata, “Fa’lam anna syirka al-awwalin fi al-jahiliyyah akhaf min syirki ahli zamanina wa syirkuhum asyadd.” Ketahuilah bahwa sesungguhnya syiriknya orang-orang terdahulu pada masa jahiliyah itu lebih ringan dibandingkan dengan syiriknya orang-orang yang hidup pada masa kita sekarang ini (Yakni meyakini bolehnya bertawassul kepada orang-orang mati dan memohon syafâ’at serta berziarah kepada mereka, itu lebih buruk dari syiriknya para penyembah berhala pada masa jahiliyyah).” [19]
Patut untuk diketahui bahwa jenis ucapan-ucapan seperti ini banyak termaktub di dalam kitab-kitab Wahabi. Dan sebagai contoh, kitab “al-Jami’ al-Farid” karya Muhammad bin Ibrahim Nu’man yang mengumpulkan artikel dan makalah Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdulwahab. Dari ucapan Muhammad bin Abdulwahab disebutkan, “Ber-tawassul dan bertabarruk pada kuburan dan bahkan meraba kuburan dan mengecupnya serta memohon syafâ’at dari mereka merupakan perbuatan orang-orang musyrik.”[20]
Dengan memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an dan bilangan riwayat dalam kitab-kitab standar hadis Ahlusunah, maka tidak diragukan lagi bahwa seluruh kaum Muslimin, di antaranya para khalifah dan imam mazhab Ahlusunah, menerima konsep tawassul dan syafâ’at yang memandang boleh perbuatan ini.
Akan tetapi menurut pandangan Wahabi, tawassul dan memohon syafâ’at dari selain Tuhan, adalah syirik. Dengan demikian, mereka juga harus memandang para pembesar Ahlusunnah, di antaranya khalifah kedua dan ketiga, sebagai musyrik.
Karena itu, kaum Muslimin yang sadar harus memilih salah satu dari dua pandangan ini. Apakah mereka memandang bahwa seluruh kaum Muslimin adalah musyrik di antaranya para pembesar seperti Umar dan Utsman, Imam Syafi’i dan Ibnu Khuzaimah dan sebagainya. Ataukah mereka menolak keyakinan menyimpang dan bid’ah Wahabi serta menyatakan antipati terhadap keyakinan mereka. [IQuest]
[1]. “Wa ma arsalna min rasulin illa liyutha’ biidzniLlah walau annahum idz zhalamu anfusahum jaauka fastaghfaruLlah wastaghfara lahum al-rasul lawajuduLlah tawwaban rahima.”
[2]. Dalam hal ini Anda dapat merujuk pada pertanyaan 2145 (Site: 2261) Indeks: eyakinan Ahlusunnah terhadap Tawassul sebelum Ibnu Taimiyyah.
[3]. Shahih Bukhâri, Muhammad bin Ismail Bukhari, Bab Manaqib ‘Abbas ibn Abdulmutthalib, hadits 3710, cetakan ketiga, Beirut; Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah.
[4]. Musnad Ahmad, Ahmad bin Hanbal Syaibani, jil. 3, hal. 138, cetakan kedua, Dar Ihya Turats al-‘Arabiyah, 1415 H.
[5]. Al-Shawaiq al-Muhriqah, Ibnu Hajar, hal. 274, cetakan pertama, Beirut, Muassasah al-Risalah, 1417 H.
[6]. Tarikh Baghdadi, Ahmad ibn ‘Ali al-Khatib Baghdadi, jil. 13, hal. 29, cetakan kedua, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah, 1425 H.
[7]. Al-Tawashul ila Hakikat al-Tawassul, hal. 253.
[8]. Sirah I’lam al-Nubula, Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman al-Dzahabi, jil. 11, hal. 358, cetakan pertama, Dar al-Fikr Beirut, 1407 H.
[9]. Tarikh Baghdadi, Ahmad ibn ‘Ali al-Khatib Baghdadi, jil. 4, hal. 423, cetakan kedua, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah, 1425 H
[10]. Wafa al-Wafa, Samhudi, jil. 3, hal. 1371, cetakan keempat, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah; Kitab al-Tawashul ila Haqiqat al-Tawassul, hal. 215, hadis tersebut dinukil dari Dalail al-Nubuwwah, karya Baiqahi dimana matan hadisnya adalah, “Ya Rabb! As’aluka bihaqqi Muhammadin lima ghafartali..”
[11]. Wafa al-Wafa, Samhudi, jil. 3, hal. 1372, matan hadis, “Allahumma! Inni as’aluka wa atawajjahu ilaika binabiyyika Muhammad nabiyyir rahma. Ya Muhammad! Inni tawajjahtu bika ila Rabbi fii hajati hadzihi, fataqdhi lii. Allahummasyfi’hi fii.
[12]. Wafâ al-Wafâ, Samhudi, jil. 3, hal. 1373, matan hadis, “Allahumma! Inni as’aluka wa atawajjahu ilaika binabiyyika Muhammad nabiyyir rahma. Ya Muhammad! Inni tawajjahtu bika ila Rabbi an taqdhi hajati.
[13]. Ruh al-Ma’âni, Alusi, jil. 6, hal. 115-116, Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1415 H.
[14]. Al-Radd ‘ala al-Akhnâi, hal. 18, cetakan Riyadh, Intisyarat Al-Mur’asah al-‘Ammah al-Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah, 1404 H.
[15]. Al-Radd ‘ala al-Akhnâi, hal. 52.
[16]. Ibid, hal. 31.
[17]. Qs. Jin (72):18.
[18]. Kasyf al-Syubuhât fi al-Tauhid, Muhammad bin Abdulwahab, hal. 21, Beirut, Dar al-Qalam, cetakan pertama, 1406 H.
[19]. Kasyf al-Syubuhât fi al-Tauhid, Muhammad bin Abdulwahab, hal. 47.
[20]. Al-Jâmi’ al-Farid, Muhammad ibn Ibrahim Nu’man, hal. 306 sesuai nukilan dari risalah al-Kalimat al-Nafi’a fi al-Mukfirat al-Waqi’ah, Muhammad ibn Abdulwahab, Saudi Arabia, Jeddah, cetakan ketiga, 1393 H.