Please Wait
9873
- Share
Investasi dan penanaman model memiliki ragam sistem dan model. Setiap sistem dan model memiliki syarat-syaratnya masing-masing. Jenis investasi dan penanaman modal dilakukan seperti ini bahwa dengan menyerahkan uang atau barang, Anda menyaratkan bahwa sebagian keuntungan yang diperoleh diserahkan kepada Anda; salah satu contoh jenis investasi ini adalah sistem bagi hasil (mudhârabah).
Namun terkadang Anda membeli sebagian saham dari sebuah perusahaan dan dengan demikian Anda memiliki sebagian saham pada perusahaan tersebut. Dalam kondisi seperti ini, Anda bermitra dengan para pemilik saham lainnya dalam perusahaan. Setiap sistem investasi memiliki syarat dan hukumnya masing-masing yang Anda dapat peroleh dengan merujuk pada risalah-risalah Taudhih al-Masâil para Marja Taklid.
Untuk menjelaskan pendapat para juris terkait dengan urusan hubungan perekonomian dengan negara-negara asing kita katakan bahwa:
Harus dicermati bahwa apakah perusahan yang dijadikan sebagai tempat penanaman modal dan investasi dimiliki oleh kaum Muslimin atau orang kafir (non-Muslim)? Apabila dimiliki oleh negara-negara kafir, apakah kaum Muslimin berdamai dengan mereka atau memutuskan hubungan-hubungan diplomatik dan tidak ada perjanjian damai dengan mereka? Karena itu berangkat dari pertanyaan-pertanyaan di atas kami mengajak Anda untuk memperhatikan beberapa poin berikut ini:
- Apabila perusahaan berasal dari negara-negara Muslim maka kontraknya tidak boleh bersifat rabawi artinya Anda tidak boleh menanam modal kepada sebuah perusahaan dan sebagai imbalannya Anda menyaratkan supaya perusahaan tersebut menyerahkan uang kepada Anda atau melakukan pekerjaan yang menguntungkan Anda.[1]
- Apabila perusahaan-perusahaan dimiliki oleh negara-negara non-Muslim yang memiliki hubungan damai dengan kaum Muslimin maka Anda harus cermati bahwa:
- Para juris memandang makruh hubungan-hubungan ekonomi seperti mudhârabah (bagi hasil) dan musyârakah (kemitraan) dan hukum makruh ini khususnya ditekankan karena kaum Muslimin tidak hadir dalam transaksi-transaksi keuangan yang dilakukan dan uangnya diserahkan kepada orang kafir untuk dikelolah.[2] Dalam sebuah riwayat Ibnu Ra’aib berkata bahwa saya mendengar Imam Shadiq As bersabda, “Tidaklah pantas kaum Muslimin bermitra dengan ahli dzimmah (kafir), menyerahkan modal kepada mereka dan berteman baik dengan mereka.[3] Dalam sebuah riwayat lainnya, dari Imam Ali As diriwayatkan bahwa beliau tidak suka bermitra dengan Yahudi, Nasrani dan Majusi kecuali Muslim (itu) sendiri hadir dalam perniagaan.[4] Sebagian dalil hukum ini, sebagaimana yang disebutkan oleh para fakih, karena mereka tidak komitmen dengan hukum-hukum Islam sehingga boleh jadi mereka melakukan transaksi-transaksi haram di antaranya menjual minuman keras atau transaksi-transaksi rabawi karena itulah transaksi-transaksi ini hukumnya makruh.
- Dengan hubungan perekonomian, kemandirian, kemuliaan Islam dan kaum Muslimin tidak boleh dilanggar. Syarat ini disimpulkan oleh para fakih dari ayat yang menyatakan, “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-Nisa [4]:141) Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Swt tidak membuat hukum syariat dan penciptaan sehingga kaum kafir dapat menguasai kaum Muslimin. [5] Jenis hubungan ini seperti mitra perusahaan Anda sedang menjajah kaum Muslimin di suatu belahan dunina dan modal Anda digunakan untuk kegiatan perusahaan yang membuat kaum Muslimin tergantung secara keilmuan, perekonomian dan industri.
- Hubungan perekonomian dengan orang-orang kafir tidak boleh menjadikan ketergantungan dan kecintaan kepada kaum kafir tertanam dalam hati kaum Muslimin sedemikian sehingga kaum Muslimin secara spiritual dan moral tertarik kepada mereka; dalam sebuah ayat al-Qur’an disebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (teman dan tempat kalian bersandar); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Maidah [5]:51) dan pada ayat lainnya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman yang setia.” (Qs. Al-Mumtahanah [60]:1) Kedua ayat ini menunjukkan bahwa meski hubungan perekonomian dengan orang-orang kafir dipandang boleh namun hubungan kaum Muslimin sedemikian akrab dengan orang kafir sebagaimana hubungan kekerabatan di antara sesama Muslim.
Akan tetapi hal ini tidak bermana bahwa kaum Muslimin harus menyingkirkan pola interaksi yang baik dengan mereka. Karena berakhlak baik dan akrab dengan orang lain merupakan dua hal yang berbeda. Dalam sebuah ayat, Allah Swt berfirman, “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antara kamu dan orang-orang yang kamu musuhi di antara musyrikin (melalui jalan Islam). Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. Al-Mumtahanah [60]:7-8)
-
Setiap hubungan yang dilarang oleh pemerintahan Islam juga harus ditinggalkan.
Meski setiap Muslim harus menjaga batasan-batasan dalam berhubungan dengan orang-orang kafir namun kebanyakan fakih meyakini bahwa kaum Muslimin dapat mengambil riba dari orang-orang kafir. Akan tetapi sekelompok fakih ini hanya membolehkan mengambil riba dari orang kafir dan tidak membolehkan orang Muslim memberikan riba kepada orang kafir.[6]
- Perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh negara-negara non-Muslim yang tidak dalam kondisi damai dengan kaum Muslimin dan pemerintahan Islam tidak memiliki hubungan diplomatik dengan mereka.[7] Kelompok kafir ini disebut sebagai kafir harbi (perang) dan para fakih memandang haram segala jenis hubungan ekonomi dengan mereka.[8] Misalnya sekarang ini contoh nyata dari negara kafir ini adalah Israel.
Demikianlah pembahasan global tentang penanaman modal dan investasi di perusahaan-perusahaan baik perusahaan-perusahaan itu dimiliki oleh negara-negara Muslim atau non-Muslim. Untuk menjelaskan pandangan akurat tentang kehalalan atau keharaman investasi maka harus dijelaskan dengan baik bagaimana proses aktivitas perekonomian dan kontrak yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Hal ini dilakukan karena adanya perbedaan kecil pada syarat-syarat kontrak dan kontrak-kontrak lainnya. Sebagai contoh dalam mudhâraba (sistem bagi hasil) keuntungan pasti tidak dapat diberikan bagi pemilik modal melainkan keuntungan yang diperoleh harus dibagi secara relatif antara pelaku dan pemilik modal (berdasarkan volume untung-rugi transaksi). Berbeda dengan hukum sewa, karena biaya sewa ditentukan secara pasti dan tidak ada urusannya apakah manfaat-manfaat harta (obyek sewaan) telah digunakan oleh pihak penyewa secara sempurna atau tidak.
Di samping jenis penanaman modal berpengaruh pada boleh tidaknya investasi tersebut, yang menjadi kriteria juga adalah pandangan marja taklid setiap orang. Karena terdapat perbedaan pendapat di antara para marja taklid seputar syarat-syarat dalam melakukan investasi yang harus diperhatikan secara seksama. Karena itu, kiranya Anda perlu menyebutkan nama marja taklid Anda dan jenis investasi yang Anda lakukan untuk memperoleh jawaban pasti. [iQuest]
[1]. Silahkah lihat, Taudhih al-Masâil, pembahasan utang.
[2]. Sayid Muhammad Kazhim Thabathabai Yazdi, al-‘Urwat al-Wutsqâ, 268, Muassasah al-Nasyr al-Islamiyah 1420; Syahid Tsani, al-Raudha al-Bahiyyah fi Syarh al-Lum’ah al-Damisyqiyyah, jil. 4, hal. 203, Maktabat al-Dawari, 1410 H.
[3]. Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 3, hal. 229.
[4]. Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini, al-Kâfi, jil. 5, hal. 286, Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1407 H.
[5]. Imam Khomeini menyimpulkan dari ayat ini tentang penafian segala jenis dominasi orang-orang kafir atau kaum Muslimin. Imam Khomeini, Kitâb al-Ba’i, hal. 543, Muassasah Ismailiyyan, 1410 H.
[6]. Penjelasan lebih jauh pada Pertanyaan-pertanyaan 1048 (Site: 1118); 1275 (Site: 1259) dan 608 (Site: 665).
[7]. Mahmud Abdurrahman, Mu’jam al-Musthalahât wa al-Alfâz al-Fiqhhiyyah, jil. 1, hal. 328, Tanpa Tempat, Tanpa Tahun.
[8]. Diadopsi dari makalah, Mahdi Mehrizi, Rawâbith Iqtishâdi Musalmânân bâ Kâfirân, Majallah Fiqh No. 7-8.