Please Wait
11202
Konsep tawassul (berperantara) merupakan salah satu perkara yang senantiasa mendapat perhatian kaum Muslimin semenjak awal kedatangan Islam. Demikian juga para pembesar Ahlusunnah menaruh perhatian terhadap konsep tawassul ini. Imam Bukhari penyusun salah satu kitab standar riwayat Ahlusunnah, menukil amalan praktis khalifah kedua, Umar bin Khattab terkait bolehnya melakukan tawassul. Demikian juga Imam Malik (Mufti Madinah) memerintahkan Mansur Dawaniqi untuk ber-tawassul kepada Rasulullah Saw. Khatib Baghdadi menukil dari Ali Khilal yang merupakan syaikh mazhab Hanbali berkata, “Setiap kali saya dirundung masalah, saya pergi ke pusara Musa bin Ja’far As dan ber-tawassul kepadanya, maka urusan saya menjadi ringan dan segala kesulitanku terselesaikan. Imam Syafi’i menggubah sebuah syair terkenal terkait bolehnya ber-tawassul kepada keluarga Rasul Saw. Dan banyak lagi contoh-contoh lainnya dari pandangan ulama dan pembesar Ahlusunnah yang menunjukkan bolehnya ber-tawassul. Akan tetapi Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya memandang hal ini sebagai bid’ah dan haram. Mereka memandang musyrik orang-orang yang ber-tawassul kepada Nabi Saw dan Ahlulbaitnya. Meski demikian, pasca Ibnu Taimiyyah, juga terdapat sebagian pembesar Ahlusunnah yang memandang boleh melakukan tawassul seperti Samhudi Syafi’i.
Legalitas tawassul kepada orang-orang yang dekat di sisi Allah Swt dapat disimpulkan dari ayat-ayat al-Qur’an di antaranya adalah ayat mulia ini, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Maidah [5]:35)
Atas dasar itu, tawassul kepada orang-orang yang dekat (muqarrabun) kepada Allah Swt senantiasa menjadi amalan ulama dan kaum Muslimin semenjak dulu hingga sekarang.[1]
Dengan merujuk pada literatur-literatur ulama Ahlusunnah maka poin ini dengan baik menjadi jelas bahwa para pembesar dan ulama Ahlusunnah bahkan Khalifah Kedua melakukan tawassul untuk memecahkan pelbagai persoalan yang dihadapi. Hal ini merupakan dalil atas kebolehan melakukan tawassul dalam pandangan mereka dan hingga abad ke enam tiada seorang ulama Ahlusunnah pun yang menyatakan penentangan terhadap tawassul!
Berikut ini kami akan menyebutkan sebagian pandangan ulama Ahlusunnah dalam masalah ini:
1. Ibnu Jauzi salah seorang ulama Ahlusunnah yang wafat tahun 597 Hijriah sebelum Ibnu Taimiyyah, membuka sebuah pasal terkait dengan masalah kebolehan tawassul kepada Rasulullah Saw dalam kitab magnum opus-nya, “Al-Wafâ fi Fadhâil al-Musthâfa” dan menyebutkan hadis-hadis dan banyak tuturan dalam sebuah bab yang berjudul “al-Tawassul binnabi” yang menunjukkan kebolehan melakukan tawassul dalam pandangannya.[2]
2. Khatib Baghdadi (wafat tahun 463 H) dalam kitab monumentalnya Tarikh Baghdadi menukil dari Ali al-Khilal yang merupakan salah seorang pembesar mazhab Hanbali terkait dengan kebolehan tawassul, “Setiap kali saya dirundung masalah saya pergi ke pusara Musa bin Ja’far As dan ber-tawassul kepadanya, maka urusan saya menjadi ringan dan segala kesulitanku terselesaikan.[3]
3. Ibnu Hajar dalam kitab al-Shawâiq al-Muhriqah sehubungan dengan kebolehan tawassul menulis, “Imam Syafii (wafat 204 H) menerima konsep tawassul dan memandangnya boleh dikerjakan. Dan pada amalan praktisnya ia juga melakukan hal ini dan menukil sebuah puisi dari Imam Syafii sekaitan dengan kebolehan tawassul:
Ali al-Nabi dzariati wa hum ilaihi wasilati
Arju bihim u’tiyah ghadan biyadi al-yamin shahifati
Keluarga Nabi adalah pemberi syafâ’at-ku mereka adalah wasilah dan perantaraku di sisi Tuhan
Dan aku berharap dengan perantara mereka catatan amalanku diserahkan pada tangan kananku. [4]
4. Contoh lainnya dalam praktik keseharian para pembesar Ahlsunnah, terkait dengan tawassul, merupakan perkara historis yang dinukil dalam Shahih Bukhari dengan kandungan sebagai berikut, “Tatkala musim kemarau melanda kota Madinah, Umar bin Khattab, dengan ber-tawassul kepada kedudukan Abbas bin Abdul Mutthalib paman Nabi Saw, berdoa demikian dan meminta hujan: “Tuhan kami! Kami ber-tawassul kepada nabi-Mu dan Engkau memberikan hujan kepada kami. Sekarang kami ber-tawassul kepada pamannya untuk memohon hujan (dari-Mu).” [5]
5. Ibnu Hubban salah seorang ulama besar Ahlusunnah yang lahir pada tahun 207 H. Ia adalah termasuk orang yang memandang boleh melakukan tawassul, bahkan ia sendiri melakukan amalan ini. Ia berkata, “Sewaktu saya berada di Thus, setiap kali saya menghadapi kesulitan maka saya pergi berziarah ke pusara Ali bin Musa al-Ridha As dan dengan ber-tawassul kepadanya, saya berdoa dan kesulitanku terpecahkan.[6]
6. Baihaqi (wafat 458 M) salah seorang ulama Ahlusunnah, sehubungan dengan kebolehan tawassul, menukil banyak riwayat terkait dengan tawassul kepada Rasulullah Saw pada masa hidup dan pasca wafatnya. Salah satu riwayat tersebut misalnya, “Pada masa pemerintahan khalifah kedua, terjadi musim kemarau. Bilal disertai beberapa sahabat pergi ke pusara Rasulullah Saw untuk ber-tawassul dan memohon hujan.”[7]
7. Sewaktu Mansur Dawaniqi bertanya kepada Mufti Madinah Imam Malik tentang tata-cara berziarah kepada Rasulullah Saw, Imam Malik menjawab bahwa Rasulullah Saw akan menjadi media syafaat Anda dan Anda dapat ber-tawassul kepadanya.”[8]
Karena itu, menjadi jelas bahwa Imam Malik As memandang boleh melakukan tawassul kepada Rasulullah Saw.
8. Samhudi kendati merupakan salah seorang ulama yang hidup pasca Ibnu Taimiyyah namun dalam kitab monumentalnya Wafâ al-Wafâ menandaskan bahwa tawassul kepada Rasulullah Saw dibolehkan kapan saja dan merupakan amalan para pendahulu.[9]
9. Ibnu Daud Maliki Syadzali dalam kitab “al-Bayân wa al-Ikhtishâr” memandang boleh melakukan tawassul, dan menukil tawassul ulama dan orang-orang saleh kepada Rasulullah Saw.[10]
10. Tawassul kepada ulama dan para pembesar merupakan sebuah amalan yang dipraktikkan secara umum di kalangan Ahlusunnah. Di antaranya adalah Ibnu Jauzi dalam kitab Manâqib Ahmad bin Hanbal sesuai dengan nukilan dari Abdullah bin Musa, menulis, “Aku dan ayahku pergi berziarah ke pusara Ahmad dan kami ber-tawassul kepadanya supaya hajat-hajat kami terpenuhi.”[11]
Terlepas dari beberapa nukilan dari perilaku praktis ulama dan para pembesar Ahlusunnah sebelum Ibnu Taimiyyah, terdapat banyak riwayat ihwal kebolehan tawassul. Diriwayatkan pada himpunan riwayat Ahlusunnah yang dengan sendirinya dapat menjadi saksi bahwa mereka membolehkan tawassul. Dan bahkan pasca Ibnu Taimiyyah juga banyak pembesar Ahlusunnah yang memandang boleh tawassul seperti Samhudi Syafii[12] yang menandaskan kemandirian ulama besar Ahlusunnah dan tiadanya pengaruh pendapat Ibnu Taimiyyah pada diri mereka. [IQuest]
[1]. Âiine Wahâbiyat, Ja’far Subhani, hal. 145, Cetakan Pertama, Daftar-e Intisyarat-e Islami (Jame’e Mudarrisin), Qum.
[2]. Sesuai nukilan dari Âiine Wahâbiyat, hal. 173.
[3]. Târikh Baghdâdi, Ahmad ibn ‘Ali al-Khatib Baghdadi, jil. 1, hal. 120, Cetakan Kedua, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah, 1425 H.
[4]. Al-Shawâiq al-Muhriqah, Ibnu Hajar, hal. 178, Cetakan Pertama, Beirut, Muassasah al-Risalah, 1417 H.
[5]. Shahih Bukhâri, Muhammad bin Ismail Bukhari, jil. 2, hal. 34, Cetakan Kedua, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Usd al-Ghabah fi Ma’rifat al-Shahâbah, jil. 3, hal. 11, Cetakan Mesir.
[6]. Al-Tsiqât, Muhammad bin Habban bin Ahmad, Ibnu Abi Hatim, jil. 8, hal. 456, Cetakan Pertama, Mathbu’at Dairat al-Ma’arif al-Utsmaniyah, 1402 H.
[7]. Kanz al-‘Ummâl, Muttaqi al-Hindi, Ali bin Hisyamuddin, jil. 2, hal. 385, Cetakan Pertama, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1419 H.
[8]. Wafâ al-Wafâ, Ali bin Ahmad al-Samhudi, jil. 2, hal. 1376, Cetakan Keempat, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1404 H.
[9]. Ibid, hal. 1371.
[10]. Âiine Wahâbiyat, Ja’far Subhani, hal. 174.
[11]. Cihil Syubha bar Dhedh Syi’ah wa Pâsukh-ha-ye al-Ghadir, Ruhullah Qanbari, hal. 97, Intisyarat-e Hunaristan, Cetakan Pertama, Qum.
[12]. Wafâ al-Wafâ, Ali bin Ahmad al-Samhudi, jil. 2, hal. 1376, Cetakan Keempat, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1404 H.