Please Wait
15795
Afganistan merupakan negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Qisas adalah salah satu hukuman yang mendapat perhatian dalam agama Islam. Qisas dijalankan di negeri itu berdasarkan kriteria dan paradigma fikih yang terdapat dalam mazhab Hanafi. Berdasarkan peraturan yang berlaku di negeri itu, seluruh hukum definitif pengadilan harus dijalankan; kecuali hukum-hukum yang berkaitan dengan pembunuhan (qisas, gantung dan lain sebagainya) dimana hukum pengadilan tidak bersifat definitif dan juga memerlukan kesepakatan presiden.
Semenjak munculnya manusia-manusia penjahat dan anti norma maka konsekuensinya sanksi dan hukuman juga muncul. Reaksi masyarakat di hadapan perilaku anti-sosial adalah tuntutan hukum dan hukum yang menimbulkan efek jera bagi para penjahat. Salah satu hukuman ini adalah qisas atas pembunuh dan tindakan melenyapkan nyawa seseorang.
Qisas adalah istilah dalam hukum Islam yang berarti pembalasan (memberi hukuman yang setimpal),[i] mirip dengan istilah "hutang nyawa dibayar nyawa". Dalam kasus pembunuhan, hukum qisas memberikan hak kepada keluarga korban untuk meminta hukuman mati kepada pembunuh.
Qisas hukuman pembunuhan, memotong anggota badan, memukul dan melakukan tindak pidana secara sengaja yaitu apabila seseorang mati maka yang melakukannya mendapatkan hukuman setimpal. Apabila memotong anggota badan maka anggota badannya juga harus dipotong dan seterusnya.
Di kalangan Arab sebelum kedatangan Islam, qisas dilakukan tanpa adanya pakem dan kriteria tertentu. Di hadapan satu orang yang terbunuh, mereka membunuh dua atau lebih orang yang melakukan tindak jenayah dan kejahatan. Terkadang qisas model ini menjadi sumber munculnya peperangan berdarah di antara kabilah dan suku-suku Arab.
Namun dengan datangnya syariat Islam, qisas dilaksanakan dan ditetapkan dengan pakem dan kriteria tertentu. Islam memberikan batasan dan syarat-syarat tertentu untuk mencegah terjadinya pelanggaran, tindakan anarkis dan pembunuhan yang tidak berdasar dengan menegakkan keadilan bagi masyarakat.[ii]
Pelaksanaan qisas dalam Islam telah berhasil mengantisipasi pertumpahan darah dan adanya kenekatan untuk membunuh orang lain yang dilakukan oleh orang-orang berbahaya. Dan juga dengan pelaksanaan qisas, Islam memberikan ketenangan dan rasa aman kepada masyarakat yang terluka dan berduka akibat terjadinya pembunuhan. Akan tetapi, Islam lebih menaruh perhatian pada sisi khusus jenayah (kejahatan) ini dan menetapkan qisas sebagai hukum atas dasar ingin menunaikan hak manusia (haq al-nâs) dan memberikan hak kepada para wali orang yang terbunuh (maqtul) atau seseorang yang telah berlaku tindakan jenayah atasnya (dalam masalah pelukaan secara umum) sehingga memberikan ketenangan mental bagi mereka yang ditimpa musibah.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa qisas adalah hak manusia (haq al-nâs). Dalam penerapan qisas, para pemilik hak dapat menerapkan hukuman-hukuman ini. Namun harap diperhatikan bahwa qisas bukan merupakan hukum yang harus dan wajib dilaksanakan. Para wali tidak wajib secara pasti mengqisas orang yang melakukan tindak kejahatan dan tidak memiliki pilihan lain. Sesuai dengan tabiat hukum ini, qisas merupakan hak manusia (haq al-nas), pelaku kejahatan dapat dimaafkan atau diadakan perdamaian (mushâlaha) dengan pihak keluarga korban. Artinya dengan persetujuan pembunuh (qâtil) diyat dapat diambil darinya atau melakukan mushâlaha dengan menerima seukuran diyat, kurang atau lebih dari pembunuh tersebut. Islam dalam hal ini mendorong kepada para wali darah (auliya dam) untuk memaafkan atau berdamai dengan orang yang melakukan tindak kejahatan atas salah satu anggota keluarganya.[iii]
Afganistan merupakan negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Qisas adalah salah hukuman Islam yang mendapat perhatian di negeri itu. Qisas dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat dan pakem-pakem yang terdapat dalam fikih (mazhab Hanafi).
Tata Cara Pelaksanaan Qisas di Afganistan
Nampaknya maksud penanya tentang qisas khususnya adalah qisas nafs yaitu pembunuhan. Dalam hukum pidana Afganistan pada pasal pertama dinyatakan, “Hukum ini yang mengatur kejahatan dan pidana ta’zir (dera). Orang-orang yang melanggar hukum akan dikenakan hudud, qisas dan diyat yang sesuai dengan hukum fikih Hanafi.” Karena itu, seluruh peraturan dan syarat-syarat yang berkenaan dengan penetapan pembunuhan dengan sengaja akan menerima hukum qisas dan tata cara pelaksanaannya dijalankan sesuai dengan hukum fikih mazhab Hanafi. Sebagaimana yang Anda perhatikan, dewasa ini apabila terjadi tindak pidana kejahatan pembunuhan dengan sengaja maka para wali korban (maqtul) akan menindaklanjuti perkara ini melalui pengadilan dan dalam tingkatan-tingkatan peradilan pidana apabila pelapor dapat menetapkan pembunuhan dengan sengaja dengan dalil-dalil dan bukti-bukti kuat maka terdakwa akan menerima hokum qisas (bunuh). Dan apabila jaksa mahkamah mengeluarkan hukum qisas kepada pembunuh dalam ssitem peradilan Afganistan, hukum jaksa tidak akan menjadi hukum final untuk diterapkannya qisas. Melainkan sesuai dengan pasal 129 undang-undang dasar Afganistan, hukum qisas yang dikeluarkan jaksa penuntut harus mendapatkan persetujuan presiden. Mahkamah memiliki tugas menyebutkan sebab-sebab dikeluarkannya hukum pada keputusan pengadilan.”
Seluruh keputusan pasti hakim harus dilaksanakan kecuali eksekusi mati seseorang yang bersyarat pada pendapat presiden. Karena itu, seluruh hukum-hukum pasti pengadilan harus dilaksanakan kecuali hukum-hukum eksekusi pembunuhan (qisas, gantung dan lain sebagainya) yang bukan merupakan hukum pengadilan pasti dan memerlukan persetujuan presiden.
Apabila qisas telah ditetapkan dan telah ada persetujuan presiden serta permintaan para wali dam korban, dalam hukum pidana Afganistan dan prinsip peradilan pidana, tidak menentukan tata cara tertentu dalam melaksanakan qisas dan harus merujuk kepada displin ilmu fikih; secara umum dalam fikih Islam, penegakan hudud dan pelaksanaan hukum pidana merupakan tugas penguasa Islam, kecuali dalam masalah qisas nyawa dimana para wali korban dapat melakukan qisas atas pembunuh (qâtil).
Terkait dengan qisas nyawa terdapat kesepakatan bahwa para wali korban (maqtul) setelah hukum jaksa mengeluarkan hukum pidana dan menentukan waktu pelaksanaannya, setiap orang tidak memiliki hak untuk mengurungkan qisas dan tentu saja pengurungan pelaksanan qisas ini harus dilakukan dengan izin dan pengawasan hakim syar’i (marja taklid).[iv]
Bagaimanapun inti pelaksanaan qisas (entah dengan pedang atau senapan dan lain sebagainya) dilakukan oleh wali darah korban sendiri.
Ketika qisas dilaksanakan wali darah dan hakim syar’i harus berada di tempat yang telah ditentukan dan pembunuh harus menjalankan adab-adab seperti mandi dan menyiapkan kain kafan dan lain sebagainya sebelum dilaksanakannya hukum qisas. Dan sesuai dengan pandangan mazhab Hanafi, “Qisas harus dilaksanakan dengan pedang atau memancung leher pembunuh dengan pedang tajam.”[v]
Kita tidak mengetahui secara pasti terkait dengan pelaksanaan qisas dewasa ini apakah dapat dilakukan dengan cara seperti ini yaitu memancung leher dengan pedang atau dengan cara lain. Terdapat juga kemungkinan pelaksanaan qisas adalah dapat dilakukan dengan digantung atau ditembak dengan senapan. [IQuest]
[i]. Muhammad Hasan Najafi, Jawâhir al-Kalâm, jil. 42, hal. 7.
[ii]. Ibid, hal. 11. Abdullah bin Qudama (salah seorang ulama Sunni), Al-Mughni, jil. 9, hal. 356, Dar al-Kitab al-‘Arab, Beirut.
[iii]. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu kisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya[[iii]], hendaknya (yang memaafkan) mengikuti cara yang baik,[[iii]] dan (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan-mu dan suatu rahmat. Barang siapa melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (Qs. Al-Baqarah [2]:178)
[iv]. Abdurrahman Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzâhib al-Arba’ah, jil. 5, hal. 366, Dar al-Tsaqalain, Beirut, Cetakan Pertama.
[v]. Ibid, hal. 499. Imam Khomeini, dalam kitab Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 487 menyatakan, “Qisas tidak dapat dilakukan kecuali dengan pedang dan semisalnya. Dan mungkin saja (la yab’ud) qisas dapat dilakukan dengan media yang lebih ringan dari pedang. Misalnya dengan menembak menggunakan senapan yang dibidikkan kepada otak atau menyambungnya ke listrik; (namun) tidak dibenarkan menggunakan media yang lambat untuk mengeksekusi qisas nyawa atau qisas anggota badan. Demikian juga tidak dibenarkan qisas dengan media yang melebihi pedang untuk menyiksa dan mengazab seperti memotong dengan gergaji dan apabila ada seseorang yang melakukan hal ini maka ia termasuk sebagai orang yang berdosa dan harus mendapatkan hukuman ta’zir (dera atau denda uang tunai).