Please Wait
25613
Berikut ini adalah ilustrasi sekilas proses bagaimana tiga khalifah pertama menduduki singgasana khilafah:
1. Khilafah Abu Bakar:
Pasca wafatnya Rasulullah Saw, sementara Baginda Ali As belum lagi menuntaskan pemandian dan pengafanan jasad suci Rasulullah Saw, sebagian Muslimin berkumpul di Saqifah dan sibuk memilih khalifah pasca Rasulullah Saw. Setelah terjadi percekcokan sengit di antara Muhajir dan Anshar, pada akhirnya urusan khilafah berakhir dan diserahkan di pundak Abu Bakar.
2. Khilafah Umar bin Khattab:
Setelah memerintah selama dua tahun beberapa bulan, Abu Bakar menderita sakit dan untuk membalas jasa Umar yang telah berusaha menetapkan khilafahnya, Abu Bakar mempersiapkan khilafah untuk Umar dan juga meyakinkan para penentang. Oleh itu, ia meminta sekelompok sahabat berkumpul dan di hadapan mereka Abu Bakar melantik Umar sebagai penggantinya. Pada hari wafatnya Abu Bakar, Umar menduduki tahkta khilafah yang bertepatan dengan tahun 13 Hijriah dan setelah Abu Bakar dimakamkan, Umar pergi ke masjid dan mengabarkan kepada masyarakat ihwal khilafah dan mengambil baiat dari mereka.
3. Khilafah Usman bin Affan:
Setelah Umar terluka dan pada detik-detik akhir kehidupannya, ia memanggil enam orang untuk memilih khalifah selepasnya dan membatasi masalah khilafah dalam bentuk musyawarah (syura) di antara enam orang tersebut. Keenam orang itu adalah Ali bin Abi Thalib, Thalha, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan dan Saad bin Abi Waqqas.
Pada saat yang sama, Abu Thalha Anshari memerintahkan lima puluh orang Anshar untuk berdiri di belakang rumah tempat anggota syura berkumpul dan bersiaga menanti segala tindakan yang diambil oleh mereka yang berkumpul di dalam rumah untuk memilih khalifah. Abu Thalha menginstruksikan bahwa apabila setelah berakhir tiga hari masa pemilihan, lima orang sepakat memilih salah satu dari enam orang dan satu orang yang menentang maka orang yang menentang itu harus dipenggal lehernya. Apabila empat orang dari mereka memilih salah satu dari mereka dan dua orang yang menentang maka kepala kedua orang penentang itu harus dipisahkan. Dan apabila dalam memilih salah satu dari keenam orang, masing-masing dua pihak (pro dan kontra) sama-sama nilai suaranya maka pendapat tiga orang yang Abdurrahman bin Auf salah satu darinya yang benar dan tiga orang lainya apabila mereka menentang maka kepala mereka harus dipenggal. Apabila setelah berakhir tiga hari, suara mereka tidak bulat dan kesemuanya menentang satu sama lain maka keenam orang itu harus dipenggal kepalanya kemudian kaum Muslimin akan memilih khalifah untuk mereka sendiri.
Umar mengemukakan alasan memilih enam orang anggota syura bahwa karena Rasulullah Saw telah ridha kepada keenam orang ini tatkala wafatnya. Dan saya sendiri menempatkan keenam orang ini dalam bentuk syura dimana salah satu dari mereka harus dipilih untuk urusah khilafah.
Setelah tiga hari percobaan pembunuhan Umar, masing-masing keenam orang berkumpul di rumah Aisyah dan membahas masalah calon pengganti Umar. Dalam masalah ini, Thalha menyerahkan urusan khilafah kepada Usman. Adapun Zubair, ia memberikan suaranya kepada Ali bin Abi Thalib As. Sa’ad bin Abi Waqqas memilih Abdurrahman bin Auf.
Abdurrahman bin Auf mengumpulkan orang-orang di masjid Nabi untuk mengumumkan suaranya di hadapan kaum Muhajirin dan Anshar. Pertama-tama ia memilih Ali bin Abi Thalib dan menetapkan syarat baginya untuk memerintah sesuai dengan perintah Allah Swt, sunnah Rasulullah dan metode pemerintahan syaikhain (Abu Bakar dan Umar). Namun Baginda Ali bin ABi Thalib As menampik syarat tersebut dan bersabda, “Aku akan memerintah sesuai dengan perintah Allah Swt dan sunnah Rasulullah Saw dan metodeku sendiri yang merupakan keridhaan Allah Swt dan Rasul-Nya bukan dengan metode yang lain.” Setelah Ali bin Abi Thalib melontarkan pendapatnya, Abdurrahman bin Auf berkata kepada Usman dan Usman pun menerima syarat yang ditetapkan Abdurrahman bin Auf dan berseru, “Aku bersumpah untuk tidak berjalan kecuali di atas rel syaikhain dan tidak akan menyimpang dari metode keduanya.”
Abdurrahman bin Auf memberikan tangannya kepada Usman sebagai tanda baiat dan menyampaikan ucapan selamat atas khilafah kemudian Bani Umayah juga mengulurkan tangan mereka untuk memberikan baiat kepada Usman.
Usman setelah memegang kendali khilafah menyalurkan harta benda baitul mal di antara keluarganya dan memilih para gubernur dan komandannya dari kalangan keluarganya sendiri tanpa menimbang kelayakan dan kepatutan mereka dalam memikul jabatan tersebut.
Orang-orang di seluruh negeri muak dengan tindak-tanduk para penguasa pilihan Usman dan berulang kali keluhan mereka disampaikan kepada para sahabat Rasulullah Saw dan bahkan kepada Usman sendiri namun pelbagai keluhan tersebut tidak berpengaruh sama sekali. Pada akhirnya masyarakat dan para sahabat Rasulullah Saw habis kesabarannya dan memutuskan bahwa pertama-tama supaya ia dinasihati dan apabila tidak berpengaruh maka ia harus dimakzulkan dari jabatan khilafah.
Karena nasihat-nasihat mereka tidak berpengaruh maka pemberontakan dan revolusi melawan pemerintah muncul dan berujung pada pembunuhan Usman pada tahun 35 Hijriah dan kemudian masyarakat membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pasca Usman bin Affan.[1]
Tidak ada ayat dan hadis yang menunjukkan dan menyinggung atas kebenaran khilafah tiga khalifah yang memerintah sebelum Ali bin Abi Thalib As. Hanya saja masalah khilafah dalam pandangan Ahlusunnah bermakna khalifah Rasulullah Saw dalam urusan pemegang kekuasaan politik dan duniawi,[2] maka atas dasar ini mereka tidak berargumentasi dengan ayat dan hadis untuk menetapkan khilafah tiga orang ini. [IQuest]
[1]. Dengan merujuk pada beberapa literature, Târikh Ya’qubi, jil. 2, hal. 150, 151 dan 165, Najaf, al-Maktabat al-Haidariyyah, 1384 H. Sire-ye Pisywâyân, Mahdi Pisywai, 73-81, Muassasah Imam Shadiq As, Qum, Cetakan Keenam, 1376 S. Syahr Nahj al-Balâghah, Ibnu Abi al-Hadid, jil. 1, Khutbah Syaqsyiqiyah.
[2]. Ibnu Khaldun berkata, khilafah adalah perwakilan dari pemilik syariat dalam menjaga agama dan politik dunia. Dengan ungkapan yang sama disebut khilafah dan imamah dan pemangku jabatan tersebut disebut khalifah dan imam. Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal. 365 dan 366, Syerkat-e Intisyarat-e Ilmi wa Farhanggi, Teheran.