Please Wait
14326
Memperhatikan berbagai penafsiran yang berbeda-beda, paling tidak terdapat
Terjemahan selengkapnya ayat tersebut adalah: “Dalam masalah agama dan keyakinan sama sekali tidak ada paksaan. Dan petunjuk pun sangat jelas dibandingkan kesesatan. Karena itu, barangsiapa yang mengingkari thagut-thagut dan beriman kepada Allah Swt, pasti ia telah berpegang kepada tali Allah yang teguh yang tidak akan terpisah darinya. Dan Allah Mahamendengar dan Mengetahui." (Qs. Al-Baqarah [2]:256)
Sebelum kami menjelaskan dan menafsirkan ayat di atas lebih dalam lagi, sebagai mukaddimah, perlu kiranya diperhatikan beberapa poin berikut ini:
1. Makna leksikal ayat:
“Ikrah” bermakna: seseorang yang dipaksa untuk melakukan suatu pekerjaan. “Rusyd” bermakna: hidayah (petunjuk), keselamatan, kebaikan dan kesempurnaan.[1] Lawannya adalah “Ghay” yang bermakna: pergi menuju kepada kehancuran.[2] Allamah Thaba-thaba’i berkata: “’Rusyd’ bermakna: mencapai hakikat masalah dan realita perkara dan jalan tengah. Lawannya adalah ‘ghay’ yang bermakna kebalikannya. Karena itu, ‘rusyd’ dan ‘ghay’ bermakna lebih umum dan lebih luas daripada hidayah dan kesesatan”.[3]
2. Pandangan para mufassir:
Secara umum, setidaknya terdapat
- Maksudnya adalah: tentang seseorang, setelah usai perang tidak menyatakan dirinya memeluk Islam. Tetapi secara terpaksa ia menerima Islam.[4]
- Ayat tersebut sekaitan dengan Ahli Kitab (orang-orang yang memeluk agama samawi; Kristen, Yahudi dan Zoroaster). Setelah mereka bersedia membayar jizyah (upeti) kepada daulah Islam, tidak boleh dipaksa untuk memeluk Islam.[5]
- Maksud ayat tersebut adalah seluruh kaum kafir yang kemudian di-nasakh (dianulir) oleh ayat-ayat qitâl [6](peperangan), dan jihâd[7] (perjuangan).[8]
- Maksud ayat di atas ialah: Sekelompok tertentu dari kaum Anshar.[9] Sebagaimana pula bahwa sya’ni nuzul (sebab turun) ayat tersebut berkaitan dengan mereka. Dan dalam hal ini disebutkan terdapat beberapa kisah, antara lain: terdapat seorang muslim dari kaum Anshar yang memiliki kulit berwarna hitam, ia mendapat tekanan untuk menerima agama Islam. Kemudan turunlah ayat tentangnya.
- Sekelompok mufassir menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut tidak ditujukan untuk siapa pun, baik individu maupun kelompok tertentu. Melainkan mencakup untuk seluruh umat manusia di muka bumi ini. Mereka berkata: “Agama merupakan masalah keyakinan dan urusan hati, karenanya mustahil dan tidak boleh ada paksaan sama sekali. Setiap insan diberikan kebebasan dan kehendak untuk memilih agama dan keyakinannya masing-masing. Dan pandangan ini mereka jelaskan dengan berbagai ungkapan dan redaksi, terutama penjelasan para mufassir kontemporer”.[10]
Setelah memperhatikan beberapa pandangan dari berbagai penafsiran tentang ayat di atas, maka kami berpandangan bahwa penafsiran yang benar dan kokoh adalah penafsiran dan pandangan yang terakhir. Dengan itu dapat disimpulkan bahwa logika al-Qur’an adalah: masalah agama tidak boleh ada tekanan dan paksaan. Karena kebenaran dan hakikat telah jelas, jalan-jalan hidayah dan petunjuk telah gambelang, begitu pula dengan jalan-jalan kesesatan. Setiap orang bebas dalam memilih keimanan atau kekufuran, bebas memilih jalan yang ini atau jalan yang itu.
Berdasarkan siyâq (susunan) ayat dan ayat-ayat yang terletak sebelum dan sesudahnya, barangkali dapat pula diambil sebuah kesimpulan bahwa walaupun ayat tersebut berkaitan erat dengan dasar-dasar ilmu kalami (akidah dan keyakinan), tetapi bisa juga dijadikan sebagai dasar dan akar cabang-cabang ilmu lainnya, seperti ilmu politik, ekonomi dan lain-lain. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh lisan suci para Imam maksum As: “La jabra wala tafwidha, bal amrun baynal amrain”.[11] Karena pada ayat sebelumnya telah memberikan gambaran tentang tauhid dengan jelas, yaitu bahwa setiap insan -dengan fitrahnya yang sehat- hanya dengan sedikit merenung dan berpikir, dengan mudah akan menemukan hakikat dan kebenaran. Akan tetapi orang-orang yang berpikiran picik senantiasa memberikan gambaran yang menyimpang tentang tauhid. Karenanya, ayat ini dan ayat setelahnya -sebenarnya- telah menutup jalan dan peluang bagi mereka dengan memberikan kaidah universal. Dengan ungkapan lain bahwa ayat tersebut merupakan dalil yang terang untuk menolak pandangan Jabbariyun (determinisme) yang mengatakan bahwa: “Manusia itu dipaksa untuk menerima agama Islam atau kekafiran atau berbuat ibadat atau pun maksiat dan perbuatan-perbuatan lainnya”. Padahal sebenarnya tidaklah demikian[12] (sehingga tidak ada peluang lagi bagi mereka untuk menolak pandangan dan jalan tengah yang rasional). Sesungguhnya Allah Swt tidak pernah memaksa seorang hamba-Nya pun. Dari sisi lain, dengan memperhatikan ucapan kaum mufawwidhah: “Setelah penciptaan manusia, seluruh urusan diserahkan kepada kehendak dan ikhtiar manusia. Sementara Dia pergi menyingkir dan menunggu sampai hari Kiamat tiba”. Hal itu sebagaimana ungkapan Abu Muslim dan Qaffal yang berpandangan muktazilah dalam memaknai ayat bahwa “Allah Swt telah menyerahkan urusan iman sepenuhnya di tangan manusia dan bukan dengan paksaan dan tekanan. Karena Allah Swt telah menjelaskan masalah tauhid secukupnya sehingga hal itu merupakan dalil dan hujjah yang paten bagi orang-orang yang membangkang. Dengan demikian tidak ada alasan lagi bagi orang kafir dan pengingkar untuk tetap mempertahankan kekufurannya. Apabila ia masih tetap mempertahankan kekafirannya, maka tidak ada jalan lain kecuali dia harus ditekan dan dipaksa. Akan tetapi ayat tersebut (La ikraha fiddin…) menegaskan bahwa sama sekali tidak boleh ada tekanan dan paksaan dalam masalah agama dan keyakinan. Karena dunia ini adalah tempat ujian, sementara tekanan dan paksaan akan menafikan makna ujian tersebut”.[13]
Ayat di atas juga merupakan dalil yang jelas untuk menolak pandangan mereka. Karena ayat tersebut, setelah mematahkan pandangan jabbariyah, selanjutnya -secara langsung- mengatakan: “Dan barangsiapa yang mengingkari thagut dan beriman kepada Allah, pasti ia telah berpegang teguh kepada tambang yang kokoh yang tidak akan terpisah darinya. Dan Allah Mahamendengar dan Mahatahu”. Dengan memperhatikan ayat yang terletak setelahnya yang menjelaskan masalah wilayah dan sunnah Ilahi, dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada sesuatu pun yang keluar dari pemilikan dan kekuasaan Allah Swt. Dengan kata lain bukan berarti apabila tidak ada paksaan dan tekanan dalam agama dan keyakinan, maka seseorang bisa saja keluar dari pemilikan dan penguasaan Ilahi. Tidak, tidak demikian. Akan tetapi berdasarkan sunnah Ilahi; barangsiapa yang mengingkari thagut dan kekufuran, kemudian ia beriman kepada Allah Swt, maka berdasarkan hukum kausalitas (illat dan maklul), ia telah memegang erat-erat tambang Allah yang kokoh. Dan hal ini merupakan lahan dan persiapan bagi anugerah dan hidayah selanjutnya serta akan meraih keselamatan dari kegelapan menuju jalan terang benderang. Dan sebaliknya, barangsiapa yang mengingkari keimanan kepada Allah, padahal jalan-jalannya sudah sangat jelas, maka berdasarkan hukum kausalitas itu pula, berarti ia telah menuju dan memilih jalan-jalan kegelapan. Dengan demikian bahwa walaupun manusia itu memiliki kehendak, ikhtiar dan kemampuan memilih secara bebas, tetapi ia tidak memiliki kemampuan untuk menentukan hasil pilihannya tersebut. Melainkan ia harus mengikuti sunnatullah.
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian panjang di atas ialah: “la jabra” (tidak ada tekanan dan paksaan), sebagaimana yang ditunjukkan oleh penggalan ayat bagian awal “la ikraha fiddin”. Dan “la tafwidha” (tidak ada kebebasan mutlak), sebagaimana yang ditunjukkan ayat berikutnya yang bernunyi “faman yakfur biththaguti…..”. Dan hal itu merupakan solusi yang sangat jelas dan gamblang bagi setiap insan yang berakal.[]
[1] . Qâmusu al-Qur’ân, Sayyid Ali Akbar Qurasyi, juz 3 hal.100.
[2] . Ibid, juz 5, hal. 131.
[3] . Tafsir al-Mizân, juz 2, hal. 342.
[4]. Tafsir Majma’ul Bayân, Allamah Thabarsi, juz 2, hal. 126, Tafsir ar-Razi, Syaikh Abul Fatah ar-Razi, juz 2 hal. 330.
[5] . Tafsir Amili, Ibrahim Amili, juz 1, hal. 515 dan 516, Majma'ul Bayân, ibid, al-Kasysyaf, Jamakhsyari, juz 1, hal. 487.
[6] . QS. At-Taubah: 5.
[7] . Ibid, 73.
[8] . Majma'ul Bayân, ibid, al-Kasysyaf, ibid, Tafsir Amili, ibid.
[9] . Majma'ul Bayân, ibid, Al-Kasysyaf, ibid, tafsir Amili, ibid, Tafsir Nemuneh, juz 2, hal. 279 dan 280.
[10]. Majma'ul Bayân, ibid, al-Mizân, ibid, Tafsir Nemuneh, ibid.
[11] . Al-Kafi, jilid1, hal. 160, bab jabr dan qadr.
[12] . Athyabul Bayan dar Tafsiril Qur’an, Sayyid Abdul husein Thayyib, juz 3 hal. 18.
[13] . Tafsir Kabir, fakhru ar-Razi, jilid 3, hal. 15.