Please Wait
12870
Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi jelas tatkala cakupan dan ruang lingkup gerakan dan kehadiran agama dalam kehidupan manusia dan tujuan penciptaannya diketahui dengan baik. Mengingat bahwa agama Islam adaaj sebuah agama yang ditujukan untuk seluruh dimensi kehidupan manusia memiliki program dan aturan. Manusia dalam agama Islam adalah khalifah Tuhan di muka bumi. Allah Swt menjadikan segala apa yang ada di langit dan bumi berada di bawah kekuasaan manusia dan yang paling puncak adalah karunia akal yang dianugerahkan kepada manusia.
Dengan demikian, manusia – baik dalam skala personal atau sosial – harus mengetahui tugas dan tanggung jawab tersebut serta segala media yang dapat mengantarkannya kepada tujuan tersebut. Oleh itu, mengenal media dan wahana yang menghubungkan manusia dan Tuhan serta menjadi embrio bagi kesempurnaannya sifatnya adalah mesti dan harus. Media dan wahana tersebut adalah pengetahuan agama. Sebagaimana manusia juga harus mengenal hal-hal yang berkenaan dengan alam natural dan menggunakannya dengan baik.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As terkait dengan masalah ini bersabda, “ Pengetahuan terdiri dari empat bagian:
1. Mempelajari (tafaqquh) pengetahuan agama untuk mengenal Allah Swt, hukum-hukum agama dan sebagainya.
2. Ilmu kedokteran untuk keselamatan badan.
3. Ilmu sastra untuk menjaga lisan dari kesalahan dan kekeliruan.
4. Ilmu astronomi unuk mengenal satuan dan ukuran waktu.
Rasulullah Saw keempat ilmu dan pengetahuan di atas diringkas menjadi dua ilmu dan bersabda, “Ilmu terdiri dari dua bagian. Ilmu agama dan ilmu Kedokteran.”
Berdasarkan hal tersebut para juris berkata: Mempelajari ilmu dan pengetahuan hukumnya wajib a’ini atau wajib kifayah, atau mustahab atau haram bagi manusia.
1. Ilmu dan pengetahuan yang wajib dipelajari bagi seluruh manusia. Ilmu tersebut adalah ilmu tentang Tuhan, penetapan kenabian Rasulullah Saw, kepemimpinan (imamah) dan hari Kiamat (ma’ad).
2. Ilmu yang wajib secara kifayah harus dipelajari oleh manusia. Ilmu tersebut adalah ilmu yang dibutuhkan oleh umat manusia dalam kehidupannya seperti ilmu Ushul Fikih (bagaimana cara berdalil dan menyodorkan argumen), Fisika, Kimia, Kedokteran (untuk mengobati manusia), Matematika (karena kebutuhan terhadap transaksi, pembagian warisan dan lain sebagainya) dan seterusnya.
3. Ilmu yang mustahab dipelajari. Setiap pengetahuan dan ilmu yang dipelajari manusia untuk memenuhi kebutuhan manusia, yaitu pada tataran tertentu terdapat beberapa orang spesialis dalam bidang keilmuan tersebut.
4. Ilmu haram, setiap ilmu yang mempelajarinya lantaran keburukannya dan telah dilarang dalam syariat, seperti sihir, ilmu ramalan, physiognomi dan lain sebagainya.
Jawaban atas pertanyaan ini berpijak pada pengetahuan terhadap dua masalah penting:
Pertama, cakupan dan ruang lingkup kehadiran agama dalam kehidupan manusia.
Kedua, tujuan penciptaan manusia dan apa yang diharapkan agama terhadap manusia.
Sekaitan dengan masalah pertama yaitu cakupan dan ruang lingkup kehadiran Islam dalam kehidupan manusia. Dalam masalah ini harus dikatakan bahwa tanpa ragu ruang lingkup kehadiran agama Islam dalam kehidupan manusia sangat luas dan menjuntai. Hal itu bermakna bahwa agama Islam hadir pada seluruh dimensi dan strata kehidupan manusia, kehidupan personal, sosial, politik dan lain sebagainya. Pada seluruh dimensi kehidupan ini, Islam memiliki program dan aturan main tersendiri. Agama Islam tidak seperti agama-agama lainnya. Islam bukan agama rahbaniyah dan uzlah (hidup menyendiri), sebagaimana agama yang melulu mengedepankan ajaran sufisme.
Imam Shadiq As dalam hal ini bersabda, “Allah Swt menganugerahkan kepada Nabi Islam, Muhammad Saw syariat-syariat Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, agama tauhid, ikhlas, menafikan sekutu (serikat) bagi Tuhan, agama fitrah yang lurus, mudah dan gampang. Tidak terdapat rahbaniyah (kependetaan) dan uzlah (hidup menyendiri) dalam agama ini. Dalam syariat Islam, segala sesuatu yang suci adalah halal. Dan segala sesuatu yang buruk (nista) adalah haram.”[1]
Oleh itu, Islam menghendaki seluruh problematika yang dihadapi oleh umat manusia terpecahkan dan seluruh kepelikan dalam hidup terselesaikan oleh tangan mereka sendiri: “Tiada satu pun persoalan kecuali Allah Swt memiliki hukum pada masalah dan persoalan tersebut.”[2]
2. Kehendak Allah Swt ingin menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi, “Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau akan menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Kemudian pada ayat yang lain, Allah Swt berfirman, “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Qs. Shad [38]:26) Sebagaimana Allah Swt menghendaki supaya manusia berupaya keras untuk memakmurkan dan menghidupkan bumi. Hal ini dapat dipahami dari kandungan ayat taskhir, “Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Qs. Al-Hajj [22]:65) Atau pada ayat lainnya, Allah Swt berfirman, “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka, Saleh. Saleh berkata, “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya. Karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (Qs. Hud [11]:61)
Karena itu, dengan memperhatikan beberapa ayat ini dan puluhan bahkan ratusan ayat lainnya terkait dengan masalah ini, pertanyaan ini mengemuka bahwa apakah mungkin seorang manusia yang merupakan khalifah dan wakil Tuhan di muka bumi yang memiliki tugas untuk memakmurkan dan membangun bumi serta memberdayakan seluruh fasilitas yang terdapat di dalamnya karena Allah Swt telah menaklukkannnya untuk manusia, dapat mengenal dirinya tanpa semua itu? Dan mengetahui apa yang diinginkan Tuhan dari manusia? Apa yang menjadi tujuan penciptaan? Untuk dapat menunaikan tugas-tugas ini maka manusia perlu memiliki media dan wahana ilmu pengetahuan!
Kami tegaskan baha Allah Swt menghendaki supaya manusia mengenal segala urusan ini, dan pengenalan serta pengetahuan menuntut manusia untuk memilih jalan yang benar dan tepat untuk menunaikan salah satu yang menjadi tugasnya. Sebagaimana bahwa hubungan manusia dengan Tuhannya harus merupakan hubungan ibadah dan penghambaan, maka oleh itu apa saja yang sekaitan dengan persoalan ini dan syariat suci menanggung semua itu maka ia harus mengetahui seperti hukum-hukum agama, akidah dan akhlak.
Dengan merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah akan membimbing kita kepada hal penting ini. Tatkala al-Qur’an menyatakan, “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari golongan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab (Al-Qur’an) dan hikmah, meskipun mereka sebelum itu benar-benar terjerumus dalam jurang kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Jumu’ah [62]:2) Hal itu bermakna bahwa utusan Ilahi (rasul), dengan menunjukkan risalah Tuhannya berupa jalan hidup dan keselamatan dari penyimpangan, menyampaikan kepada masyarakat. Mensucikan mereka dari noda syirik dan kenistaan. Memandu akal mereka dari kejahilan dan kebodohan, segala perbuatan mereka dari perbuatan keji dan dosa-dosa dan lain sebagainya. Rasul membimbing masyarakat dari kezaliman dan kebodohan kepada cahaya ilmu dan petunjuk. Mengeyahkan pelbagai khurafat dari benak dan perbuatan mereka. Dan menyandarkan pada akal dan fitrah dan segala yang membimbing manusia kepada kebaikan dalam akidah dan perbuatan. Kesemua ini disebut sebagai hikmah.”[3]
Mengingat bahwa persoalan ini terkaiat dengan seluruh manusia dan tiada seorang pun yang menjadi wakil atas yang lain dalam hal ini. Dengan kata lain, pelbagai pengetahuan tentang keyakinan tidak dapat diwakilkan. Setiap orang wajib mempelajari urusan penting dan wajib aini ini. Karena itu, setiap orang wajib, berdasarkan keluasan dan kemampuannya untuk mempelajari masalah-masalah ini dengan usaha dan upayanya sendiri. Atau dengan taklid, yaitu merujuk kepada para ahli dalam bidang keilmuan ini.
Manusia memiliki tugas dan taklif untuk menghidupkan dan memakmurkan bumi serta memelihara seluruh karunia Ilahi seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya, karena itu manusia harus mempelajari seluruh ilmu dan pengetahuan yang dapat memandu dan membimbingnya kepada urusan penting ini.
Adapun bagaimana menghadapi pelbagai persoalan penting ini, hal itu diserahkan sepenuhnya kepada akal, potensi dan lain sebagainya yang dimiliki manusia. Dengan dasar bahwa Allah Swt telah menganugerahkan kemampuan kepada manusia untuk menyingkap dan memberdayakan pelbagai fasilitas, media bumi dan langit untuk kehidupan dan kesejahteraan manusia. Allah Swt berfirman, “Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memeliharamu dalam peperanganmu; maka apakah kamu bersyukur (kepada Allah terhadap seluruh nikmat ini)?” (Qs. Al-Anbiya [21]:80)
Jelas bahwa ayat berada pada tataran menjelaskan pemberian karunia kepada manusia; lantaran Allah Swt mengajarkan Nabi Daud bagaimana membuat baju besi untuk memelihara diri mereka di hadapan musuh-musuh. Tatkala kita mengetahui tujuan dan sasaran industri pembuatan baju besi yaitu memelihara diri di hadapan musuh dan para penentang, maka tanpa ragu, setiap pengetahuan yang memikul tanggung jawab untuk tercapainya tujuan ini bagi manusia adalah ideal dan terpuji serta merupakan obyek firman Allah Swt, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahui mereka; sedang Allah mengetahui mereka. Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah (dan untuk memperkuat sistem pertahanan Islam), niscaya akan dibalas dengan sempurna kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (Qs. Al-Anfal [8]:60)
Karena itu, ilmu Fisika, Kimia, Matematika dan lain sebagainya merupakan obyek-obyek penyediaan energi dan kekuatan. Namun mempelajari ilmu-ilmu seperti ini hukumnya adalah wajib kifâyah. Artinya tidak diwajibkan bagi seluruh anggota masyarakat untuk mempelajarinya supaya menjadi fisikawan, kimiawan, matematikawan dan lain sebagainya, melainkan apabila terdapat sebagian orang yang telah mempelajari ilmu-ilmu ini maka kewajiban orang lain akan gugur.
Dunia modern hari ini telah mengenal signifikansi ilmu-ilmu ini. Dunia Barat yang telah sedemikian pesat dari sudut pandang industri dan teknologi meninggalkan kita dan ilmu-ilmu ini dibatasi secara eksklusif untuk mereka dan menjadikannya sebagai media untuk mencaapai tujuan-tujuannya. Meski tujuan-tujuan mereka adalah tujuan-tujuan setani. Dunia hari ini, telah berhasil menyingkap atom dan telah menemukan banyak kemampuan dan kekuatan yang tidak mampu dicapai oleh tentara-tentara. Masalah ini pada dunia dewasa ini termasuk sebagai temuan-temuan besar yang dimiliki dunia Barat dan digunakan untuk menjungkalkan dan mendominasi negara-negara lain.
Riwayat-riwayat yang kita miliki juga menyinggung masalah ini. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As terkait dengan masalah ini bersabda, “ Pengetahuan terdiri dari empat bagian:
1. Mempelajari (tafaqquh) pengetahuan agama untuk mengenal Allah Swt, hukum-hukum agama dan sebagainya.
2. Ilmu kedokteran untuk keselamatan badan.
3. Ilmu sastra untuk menjaga lisan dari kesalahan dan kekeliruan.
4. Ilmu astronomi unuk mengenal satuan dan ukuran waktu.[4]
Jelas bahwa riwayat ini pada tataran menjelaskan contoh dan model dan bukan membatasi ilmu dalam empat bagian saja. Kandungan riwayat di atas menegaskan segala ilmu dan pengetahuan yang berguna. Atas dasar itu Rasulullah Saw bersabda bahwa ilmu dan pengetahuan terdiri dari dua bagian. Ilmu agama untuk mengenal Tuhan, hukum-hukum dan sebagainya.. dan ilmu Kedokteran untuk keselamatan jasmani.”[5]
Kami akhir pembahasan ini dengan mengutip tuturan Allamah Hilli Ra dalam menjelaskan klasifikasi ilmu dan pengetahuan. Allamah Hilli Ra menyatakan bahwa mempelajari ilmu hukumnya wajib a’ini atau wajib kifâyah, atau mustahab atau haram bagi manusia.
1. Ilmu yang wajib dipelajari bagi seluruh manusia. Ilmu tersebut adalah ilmu tentang Tuhan, penetapan kenabian Rasulullah Saw, kepemimpinan (imâmah) dan hari Kiamat (ma’âd). Jenis ilmu ini tidak dapat diraih dengan taklid melainkan harus disertai dengan dalil dan burhan. Artinya penetapan Tuhan sebagai Wajib al-Wujud (Wujud Mesti), kenabian Rasulullah Saw dan kemaksumannya, imamah para Imam Maksum As, keyakinan terhadap hari Kiamat harus berpijak di atas burhan dan argumentasi, bukan dengan dasar taklid.
2. Ilmu yang wajib secara kifâyah harus dipelajari oleh manusia. Ilmu tersebut adalah ilmu yang dibutuhkan oleh umat manusia dalam kehidupannya seperti ilmu Ushul Fikih (bagaimana cara berdalil dan menyodorkan argumen), Fisika, Kimia, Kedokteran (untuk mengobati manusia), Matematika (karena kebutuhan terhadap transaksi, pembagian warisan dan lain sebagainya) dan seterusnya.
3. Ilmu yang mustahab dipelajari. Setiap pengetahuan dan ilmu yang dipelajari manusia untuk memenuhi kebutuhan manusia, yaitu pada tataran tertentu terdapat beberapa orang spesialis dalam bidang keilmuan tersebut.
4. Ilmu haram, setiap ilmu yang mempelajarinya lantaran keburukannya dan telah dilarang dalam syariat, seperti sihir, ilmu ramalan, physiognomi dan lain sebagainya.[6] [IQuest]
[1]. Al-Kâfi, Kulaini, jil. 2, hal. 17, Teheran, Dar al-Kitab al-Islamiyah, 1365 S.
[2]. Wasâil al-Syiah, al-Hurr al-‘Amili, jil. 27, hal. 53.
[3]. Tafsir al-Kâsyif, Muhammad Jawad Mughniyah, jil. 7, hal. 323, Teheran, Dar al-Kitab al-Islamiyah, 1424 H.
[4]. Bihâr al-Anwâr, jil. 1, hal. 218, Qum, Muassasah Ali al-Bait, 1409 H.
[5]. Kanz al-Fawâid, Al-‘Amidi, jil. 2, hal. 108.
[6]. Tadzkirah al-Fuqahâ, Allamah Hilli, jil. 9, hal. 36-37, Cetakan Baru.