Please Wait
9812
Dalam pertanyaan ini terdapat pernyataan-pernyataan klaimitis yang tidak dapat diterima yang akan disebutkan sebagaimana berikut ini:
1. Harap diketahui bahwa dengan asumsi riwayat-riwayat yang menghukum kekufuran dan kemunafikan sahabat di dalamnya kita terima namun hukum kekufuran dan kemunafikan ini tidak bermakna penyembahan berhala dan syirik kepada Tuhan.
2. Allah Swt tidak memberikan pertolongan pada penaklukkan beberapa negara dan tampaknya kekuatan lahir dan pemberian kekuasaan kepada seseorang sama sekali tidak menunjukkan akan kebenaran orang tersebut. Karena sepanjang perjalanan sejarah seluruh penguasa tiran dan zalim memiliki emperium-emperium yang luas di pelbagai belahan dunia; apabila kekuasaan dan kekuataan ini menunjukkan pertolongan Allah Swt lantas mengapa hal ini tidak dianugerahkan kepada Rasulullah Saw pada masa-masa setelah bi’tsat (pengutusan). Sebagaimana kekalahan di hadapan orang-orang kafir tidak bermakna bahwa mereka tidak menikmati pelbagai karunia di dunia seperti kekayan dan kekuasaan. Melainkan kebanyakan orang-orang kafir menikmati pelbagai anugerah berupa kekayaan dan kekuasaan, namun suatu hal yang pasti adalah bahwa mereka tidak memperoleh pelbagai kenikmatan di akhirat kelak.
3. Di samping itu, kebanyakan penaklukan yang diperoleh pada masa khalifah adalah buah dari hikmah dan kebijaksanaan yang diusulkan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As.
4. Suatu hal yang wajar pada setiap pemerintahan terhadap sekelompok orang yang menentang (oposisi) dan dengan membuat fitnah mereka ingin menciptakan masalah dalam urusan pemerintahan yang menyebabkan perseteruan dan percekcokan dalam organ pemerintahan. Seluruh penentang tidak seperti Baginda Ali As yang menentang selama bertahun-tahun. Pada masa-masa itu, sekali pun Imam Ali tidak pernah membuat keonaran yang mengusik jalannya pemerintahan. Hal itu dilakukan demi menjaga Islam dan keutuhan umat Islam. Bukan hanya tidak protes bahkan beliau banyak membantu untuk memajukan pelbagai kepentingan Islam dan kaum Muslimin.
5. Hal yang terpenting dalam pemerintahan Imam Ali (Alawi) dapat dicapai hingga pada tataran tertentu yaitu tegaknya keadilan dimana dunia hingga kini belum pernah menyaksikan pemerintahan seperti pemerintahan Imam Ali As dalam masalah keadilan. Di samping itu, perluasan ketakwaan, peperangan melawan kezaliman, kejahatan dan fitnah.
Dalam pertanyaan ini terdapat pernyataan-pernyaan klaimitis yang tidak dapat diterima yang akan disebutkan sebagiamana berikut ini:
1. Pada sebagian literatur Ahlusunnah terdapat beberapa riwayat yang menjadi sandaran terkait dengan kemurtadan sejumlah sahabat. Sementara orang-orang Syiah tidak memaknai kemurtadan (irtidâd) itu sebagai kekafiran dalam artian paganisme atau kembalinya mereka ke masa jahiliyah. Demikian juga, mereka tidak memaknai kemunafikan sebagai penyembahan berhala dan kemusyrikan kepada Allah Swt. Analisa kami adalah bahwa sebagian sahabat, meski paska wafatnya Rasuullah saw mereka tetap memeluk Islam dan mengamalkan banyak aturan syariat, namun dengan adanya benih-benih dari masa jahiliyah yang tertanam dalam diri mereka sehingga tidak mampu menjadi pengikut Rasulullah Saw secara sempurna dan mengamalkan seluruh perintah Rasulullah Saw seratus persen. Atas dasar itu, mereka berselisih dalam masalah penting khilafah yang masih terus berlanjut hingga kini.[1]
2. Allah Swt tidak memberikan pertolongan pada penaklukkan beberapa negara dan tampaknya kekuatan dan kekuasaan lahir. Pemberian kekuasaan kepada seseorang sama sekali tidak menunjukkan kebenaran orang tersebut, karena sepanjang perjalanan sejarah seluruh penguasa tiran dan zalim memiliki emperium-emperium luas di pelbagai belahan dunia; toh apabila kekuasaan dan kekuataan ini menunjukkan pertolongan Allah Swt lantas mengapa hal ini tidak dianugerahkan kepada Rasulullah Saw pada masa-masa setelah bi’tsat (pengutusan). Benar bahwa pemerintahan luas imam yang benar disertai dengan perluasan hak dan elaborasi hukum-hukum Ilahi merupakan sebuah rahmat dan kemurahan khusus yang dianugerahkan Tuhan kepada wali-Nya. Adapun pemerintahan yang tidak berasaskan pada kebenaran meski pemerintahan luas maka pemerintahan tersebut tidak lain adalah sunnah gradual yang dinyatakan Allah Swt dalam al-Qur’an, “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menjerumuskan mereka dengan berangsur-angsur (ke dalam jurang siksa) dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka (sehingga siksa mereka bertambah pedih). Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh nan kuat.” (Qs. Al-A’raf [7]:182-183); “Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al-Qur’an). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan dan azab) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (Qs. Al-Qalam [68]:44); “Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (Qs. Ali Imran [3]:178)
Oleh itu, kesemua ayat ini menujukkan bahwa berkuasa atau tidak berkuasa bukan merupakan dalil atas kebenaran. Apabila kekuasaan disertai dengan kebenaran maka hal itu merupakan kemurahan dan rahmat yang bersumber dari Allah Swt. Apabila tidak disertai dengan kebenaran maka hal itu hanyalah ancaman dari sisi Allah Swt. Dengan kata lain, dari ayat-ayat yang disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian pelbagai karunia kepada orang-orang yang tidak berjalan di atas rel kebenaran bukanlah buah dari pertolongan Tuhan melainkan sebuah sunnah yang berlaku secara gradual dan supaya orang-orang tersebut tenggelam dalam dosa dan hal ini merupakan makar Ilahi.[2] Tentu hal ini sekali-kali tidak dapat disebut sebagai pertolongan (nusrah) Allah Swt. Karena itu, apabila Anda ingin menyebutnya sebagai pertolongan Allah maka terlebih dahulu Anda harus tetapkan kebenaran para khalifah melalui cara lain. Kalau tidak demikian maka kesuksesan secara lahir ini tidak mengalamatkan adanya pertolongan Tuhan.
3. Di samping itu, kebanyakan penaklukan dicapai buah dari hikmah dan kebijaksanaan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As. Sebagai contoh, ketika Umar bin Khattab memahami bahwa lasykar Iran tengah melakukan persiapan besar-besaran untuk menyerang. Untuk itu, ia datang ke masjid dan mengajak semua yang hadir di tempat itu untuk berkumpul kemudian meminta pendapat dari mereka. Thalha mengusulkan, “Engkau sendiri harus ke medan perang sehingga kaum Muslimin dengan melihatmu akan menjadi lebih kuat dan berperang dengan gagah berani.” Usman berpendapat, “Gerakkan seluruh warga Syam, seluruh warga Yaman, warga Madinah dan warga Mekkah dan pergi ke medan perang sehingga kaum Muslimin dan seluruh lasykar ini dengan melihatmu akan berperang dengan gagah berani.” Usman lalu duduk dan tidak ada orang lagi yang berdiri. Umar bin Khattab kembali angkat suara, “Wahai kaum Muslimin, berilah pendapat!” Imam Ali As berujar, “Tidak benar warga Syam Anda gerakkan untuk ke medan perang karena kalau demikian orang-orang Roma akan menyerang dan membunuh anak-anak mereka. Jangan (juga) gerakkan warga Yaman karena lasykar Habsya (Afrika) akan menyerang dan membunuh serta merampas harta orang-orang Yaman. Apabila engkau membawa keluar orang-orang Madinah dan Mekkah maka orang-orang Arab di sekelilingnya akan menyerang dan akan merebut dua kota ini. Engkau pun jangan pergi tetapi tulislah surat ke Basrah agar mengirim sejumlah pasukan dari sana untuk membantu kaum Muslimin.” Pendapat Imam Ali ini diterima oleh Umar bin Khattab seraya berkata, “Pendapat inilah yang benar dan saya harus bertindak berdasarkan pendapat ini.”[3]
Imam Ali as dengan pendapatnya juga menyinggung poin penting ini: Bahwa pada masa Rasulullah Saw kaum muslimin tidak berperang dengan mengandalkan besarnya jumlah pasukan melainkan berperang dengan bantuan Allah Swt. Karenanya, engkau tak perlu gentar dengan minimnya jumlah pasukan kaum Muslimin.
Dengan pengaturan seperti ini, Imam Ali telah menyelamatkan baik warga Muslimin Syam, Yaman, Mekkah maupun Madinah dari mara bahaya, disamping menyelamatkan warga Iran dari pembunuhan di medan perang. Karena, bila Roma menyerang maka wanita dan anak-anak kaum Muslimin akan terbunuh. Apabila Habasya (Afrika) melakukan agresi maka mereka akan membunuh wanita dan anak-anak Yaman. Dan jika orang-orang Arab sekitar Madinah dan Mekkah menginvasi dua kota ini maka orang-orang yang tinggal di dua kota ini semuanya akan terbunuh.
Dari sisi lain, apabila seluruh lasykar perang ini menyerang Iran maka, hanya Allah yang tahu, petaka dan musibah apa yang akan menimpa masyarakat Iran karena pada masa itu (masa Yazdgerd III, raja terakhir dinasti Sasaniyah) pemerintahan Iran sangat lemah dan berada di ambang keruntuhan.[4] Dengan jumlah lasykar kaum Muslimin yang sedikit saja mereka akan mampu mengalahkan pasukan Iran. Apalagi bila pasukan yang menyerang sepuluh kali lipat jumlahnya dari pasukan yang bersiaga di medan Iran, maka tentu akan lebih banyak jatuh korban harta dan jiwa dari kedua belah pihak.
Karena itu, Imam Ali As sebagai Imam Maksum dan wali atas kaum muslimin, sangat peduli dan menginginkan kebaikan untuk seluruh dunia (bahkan untuk non-Muslim dan orang-orang kafir) dengan mengungkapkan pandangannya yang mengarahkan berbagai perang ini supaya tidak terlalu mengambil resiko dan tidak terlalu menelan banyak korban dan biaya. Dan demikianlah kenyataan yang terjadi.
Dalam banyak hal Imam Ali mengutus anak-anaknya untuk ke medan perang di bawah komando para khalifah; karena beliau tidak menghendaki sesuatu untuk dirinya. Segala apa yang diinginkannya adalah untuk Islam. Dan mengingat bahwa Abu Bakar dan Umar, bagaimanapun, berada pada pucuk pimpinan masyarakat Islam dan menentang mereka itu pun pada masa krusial dimana Islam sedang berkembang, pelbagai penaklukan serta banyaknya musuh akan menyebabkan para musuh memanfaatkan situasi ini khususnya musuh-musuh Islam dua emperium besar, Persia (Iran) dan Roma, Imam Ali dengan kejelian yang luar biasa seperti ini, dengan mengambil sikap yang benar telah membuat para musuh putus harapan.[5]
4. Para sejarawan melaporkan pelbagai penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintahan ekspansif para khalifah yang apabila pemerintahan ini secara total berada di tangan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As maka ia akan terjaga dari pelbagai penyimpangan.
Di sini kami akan menyinggung pelbagai penyimpangan tersebut dengan menyebutkan beberapa contoh sebagaimana berikut:
Pertama, sekelompok orang dalam masyarakat Islam secara perlahan muncul. Mereka adalah orang-orang yang cinta kepada Islam, beriman kepada Islam, meyakini namun hanya mengenal Islam dari kulitnya saja tanpa mengenal ruhnya; sebuah kelompok yang hanya mengenal Islam sebatas ritual, misalnya shalat, bukan berdasar pengetahuan dan pengenalannya terhadap tujuan-tujuan Islam.
Kedua, mengambil jarak dari keadilan Islam dan menyebarnya diskriminasi; misalnya warga kota – non Arab – di Irak dikenal sebagai warga kelas dua dan atas dalil ini semenjak pertama, pekerjaan-pekerjaan berat seperti mendirikan pasar dan membuat jalan diserahkan kepada mereka.
Pada masa khalifah kedua, orang-orang Ajam tidak diberi kesempatan masuk ke kota Madinah agar mereka tidak bercampur dengan orang-orang Arab. Demikian juga dengan orang-orang Iran, agar mereka tidak memberikan pengaruhnya di sentral-sentral Islam. Khalifah ketika itu melihat bahwa masyarakat bebas memiliki budak Ajam dan tidak pantas melihat ada orang Arab yang menjadi budak.
Ibnu Jarih menulis, “…Tatkala Khalifah Kedua menyaksikan pada waktu thawaf dua orang yang bercakap-cakap Persia, ia berkata kepada mereka, ‘Bercakaplah dengan bahasa Arab, karena apabila seseorang bercakap-cakap dengan bahasa Persia dan mempelajarinya maka kehormatannya akan hilang.” Sesuai aturan yang dibuat Khalifah Kedua, orang-orang Arab boleh menikahi para wanita Ajam namun tidak membolehkan orang-orang Ajam menikahi para wanita Arab. Mengikuti tradisi ini, pada masa Muawiyah, anak-anak dari istri-istri Ajam tidak memiliki kelayakan untuk menjadi khalifah. Hajjaj, khalifah masa itu di Irak berkata, “Tidak seorang Ajam pun yang boleh menjadi imam jamaah di Kufah.” Ia bahkan dengan paksa membawa mawali ke medan perang. Atau mawali turut serta dalam peperangan namun ketika pembagian harta rampasan perang maka jatah orang-orang Ajam lebih minim dibandingkan jatah orang-orang Arab. Hal yang lebih menyedihkan lagi, yakni memberikan harta baitul mal kepada masyarakat, namun tidak memberikan saham kepada mawali (orang-orang yang ditaklukan).[6]
Namun hal ini telah menyebabkan kaum Muslimin terjauhkan dari Islam hakiki dan menyangka bahwa Islam adalah apa yang mereka saksikan dan dengarkan. Hal inilah yang telah menyebabkan paska berbagai penaklukan, terjadi banyak pemberontakan di daerah-daerah yang ditaklukan. Itulah yang membuat Imam Ali terpaksa mengirim satu pasukan ke Qazwin dan dua lasykar ke Khurasan, karena kota-kota Khurasan seperti Naisyabur memang harus ditaklukan kembali.[7]
Akhir kata, bahwa tujuan Imam Ali As dalam pemerintahannya yang singkat adalah mengoreksi berbagai penyimpangan yang terjadi pada umat Rasulullah Saw paska kepergian Rasulullah Saw.
5. Tidak terdapat keraguan terkait dengan sunnah Ilahi berupa kekalahan kaum kafir dan orang-orang munafik.[8] Namun apa yang pasti bahwa tiadanya pertolongan Allah Swt dan kekalahan mereka tidak bermakna bahwa mereka tidak mendapatkan manfaat dari pelbagai karunia seperti kekayaan dan kekuasaan. Sebaliknya kebanyakan dari orang-orang kafir ini mendapatkan anugerah duniawi berupa kekayaaan dan kekuasaan.[9] Akan tetapi yang pasti bahwa mereka tidak akan memperoleh pelbagai anugerah ini di akhirat kelak.[10] Kelak di akhirat seluruh janji (ancaman) Ilahi akan mereka dapatkan.[11] Kekalahan mereka bermakna bahwa seluruh amalan dan perbuatan mereka tidak memberikan buah yang sebenarnya bagi mereka karena buah yang sebenarnya adalah yang terdapat di akhirat. Perbuatan-perbuatan mereka di akhirat tidak lain kecuali mencicipi azab neraka. Karena itu dalam al-Qur’an disebutkan ayat-ayat azab secara pasti dan tidak menunjukkan bahwa orang-orang kafir tidak diberikan sebuah karunia melainkan menunjukkan hal yang sebaliknya.[12] dan hanya pada satu kejadian tertentu (amat jarang) sesuai dengan doa para nabi azab Ilahi menimpa kaum-kaum kafir[13] yang sangat minim kita jumpai pada umat Rasulullah Saw lantaran bersamaan dengan kemunculan Nabi Pamungkas maka azab-azab bagi umatnya telah diangkat.
6. Suatu hal yang wajar pada setiap pemerintahan terhadap sekelompok orang yang menentang (oposisi) dan dengan membuat fitnah ingin menciptakan pertikaian dalam urusan pemerintahan yang menyebabkan perseteruan dan percekcokan dalam organ pemerintahan. Seluruh penentang tidak seperti Baginda Ali As yang ketika ia menentang selama bertahun-tahun adalah demi menjaga Islam. Dan demi keutuhan umat Islam beliau menutup mulut. Bukan hanya tidak protes bahkan beliau banyak membantu untuk memajukan pelbagai kepentingan Islam dan kaum Muslimin.
Beliau memberikan konsultasi kepada mereka atau menolong mereka dalam urusan pemerintahan ketika kebanyakan para penentang berusaha menciptakan keonaran dan chaos dalam pemerintahan. Mereka melakukan hal ini supaya muncul kesan bahwa pemerintah tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik atau bahkan mereka berada pada tararan ingin melenyapkan pemerintahan. Apabila pada masa pemerintahan tiga khalifah tidak tercipta chaos dan keonaran hal itu dikarenakan oleh kesabaran dan kemuliaan orang-orang seperti Ali bin Abi Thalib As. Namun tatkala urusan khilafah terlepas dari para penentang pemerintahan sebelumnya dan Baginda Ali As naik tampuk khilafah, dan dalam masa pemerintahaannya beliau berusaha menegakkan keadilan Alawi, banyak kepentingan para pembesar masa sebelumnya berada di ujung tanduk. Sebagai akibatnya, mereka tidak lagi tergolong sebagai para penentang yang termasuk orang-orang sabar sebagaimana Baginda Ali As yang telah berusaha supaya urusan masyarakat dapat berjalan dengan baik dan keutuhan masyarakat tetap terjaga. Karena itu, mereka berusaha menjatuhkan pemerintahan dan sedapat mungkin merebut segala yang diinginkan dari pemerintah atau ingin menggulingkan pemerintah dan mendudukkan orang lain sebagai penggantinya. Namun Amirul Mukminin Ali As bukanlah orang lemah, gemar toleran, mau menyerahkan upeti kepada seseorang. Karena itu, Imam Ali berkonfrontasi dan berperang dengan mereka. Hal ini berlanjut hingga kesyahidan beliau di mihrab ibadah di tangan pelaku fitnah (Khawarij). Sekiranya beliau orang yang suka toleransi dan dengan menginjak-injak aturan-aturan Islam serta beralih dari kebenaran misalnya memberikan suap maka pelbagai peperangan dan chaos yang terdapat pada pemerintahannya tidak akan terjadi. Karena itu, harap diperhatikan bahwa setiap kedamaian dan ketenangan seberapa pun harganya bukan merupakan suatu yang ideal. Yang ideal adalah ketenangan dan kedamaian harus diperoleh di bawah naungan keadilan dan keberagamaan. Untuk memperoleh ketenangan dan kedamaian seperti ini banyak mengandung kesulitan, perang dan pertikaian dimana Amirul Mukminin Ali As berhadapan dengan pelbagai kesulitan ini dan keluar dengan kepala tegak. Namun sayang beliau dihabisi dengan licik dan mencapai kesyahidan sehingga agenda-agenda pemerintahanya tidak terpenuhi secara keseluruhan.
7. Terkait dengan rahmat apa yang dimiliki pemerintahan maksum harus dikatakan bahwa orang-orang yang memandang pemerintahan sebagai hak para maksum tidak menuai dan membuahkan rahmat karena mereka berharap kesejahteraan dan kesenangan apa pun dan bagaimana pun caranya dari pemerintah. Orang-orang ini tidak memandang bahwa legalitas pemerintahan berada di tangan Tuhan. Tauhid mereka lemah karena semata-mata memandang diri mereka secara lahir dan memandang enteng urusan-urusan moral yang sangat dianjurkan dalam Islam. Dari sudut pandang ini, apabila sebuah pemerintahan tanpa izin pemilik pemerintahan, yaitu Allah Swt, berkuasa dan menyediakan kesejahteraan bagi mereka maka pemerintahannya disebut sebagai pemerintahan yang berhasil. Namun apabila sebuah pemerintahan yang tegak berdasarkan izin Ilahi dan legal berkuasa serta berupaya menegakkan nilai-nilai seperti keadilan, ketakwaan, dan sebagainya dan mempertaruhkan seluruhnya berupa jiwa, harta, kehormatan di jalan ini maka mereka menganggap pemerintahan ini sebagai pemerintahan yang tidak sukses. Karena pemerintahan adil ini tidak menyediakan kesejahteraan dan kesenangan bagi mereka.
Akan tetapi harus kita ketahui bahwa logika seperti ini tidak sesuai dan tidak sejalan dengan logika Islam karena Islam sekali-kali tidak pernah menjual urusan akhirat para hamba kepada dunia. Apabila keduanya tidak dapat disatukan dan dihimpun maka Islam akan mengorbankan dunia untuk menyelamatkan akhirat. Namun jelas bahwa pelaksanaan model pemikiran seperti ini menuntut adanya ketabahan dan kesabaran di hadapan pelbagai kesulitan. Tetapi sebagai imbalannya adalah kehidupan dunia yang penuh dengan ketenangan. Keadilan yang berkelanjutan akan menyertai kehidupannya. Namun apabila ia tidak berhasil maka ia akan memperoleh ketenangan abadi di haribaan Tuhan. Tentu tiada seorang yang berpikiran sehat akan menjual keabadian dengan segala urusan yang sifatnya sementara.
Hal terpenting dalam pemerintahan Imam Ali yang dapat tercapai pada tataran tertentu adalah nampaknya keadilan yang belum pernah disaksikan dunia hingga kini. Demikian juga tersebarnya ketakwaan dan perlawaan terhadap kezaliman, kejahatan, fitnah dan sebagainya. Apabila kesemua hal ini bukan rahmat lantas apa? Apakah perluasan dan keluasan wilayah kekuasaan Islam adalah rahmat? Dengan kriteria Islam yang mana perluasan dan keluasan wilayah kekuasaan Islam namun tidak terdapat keadilan di dalamnya? Karena itu menjadi jelas bahwa dalam logika Islam dan pemerintahan Islam kedudukan tertinggi adalah ketakwaan kepada Allah Swt. Dan setiap pemerintahan Islam pada peringkat pertama harus dimiliki oleh pucuk pimpinan dan pemimpinnya yang menjadi teladan sepanjang masa dalam masalah takwa dan wara. Pada peringkat kedua bertugas mengimplementasi hukum-hukum Islam di antara rakyat dan masyarakat. Dan siapakah yang lebih laik dan pantas daripada Imam Ali As dalam urusan ini? Apabila Anda sedikit telaah Nahj al-Balâghah yang hadir di sekeliling Anda,dengan baik maka Anda akan memahami betapa pemerintahan Imam Ali bergelut dengan pelbagai kesulitan dan kesukaran dan pada akhirnya keluar sebagai pemenang dalam pertarungan ini. [IQuest]
[1]. Diadaptasi dari Pertanyaan 2791 (Site: 3500). Terdapat banyak jawaban atas masalah ini yang dapat membantu Anda mencari jawaban yang Anda inginkan.
[2]. Sebagaimana Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As dalam Nahj al-Balaghah bersabda, “Wahai Anak Adam! Sekiranya Anda melihat Tuhan Anda mengaruniai Anda dengan nikmatnya dan Anda bermaksiat kepadanya maka berhati-hatilah.”
[3]. Silahkan lihat, al-Irsyâd, Syaikh Mufid, hal. 207. Nahj al-Balâghah, Khutbah 144. Târikh Thabari, jil. 4, hal. 237-238. Târikh Kamil, jil. 3, hal. 3. Târikh Ibnu Katsir, jil. 7, hal. 107. Bihâr al-Anwâr, jil. 9, hal. 501.
[4]. Târikh Irâniyân wa Arabhâ dar Zamân Sasâniyân (Geschichte der Perser und Araber zur Zeit der Sasaniden), Theodor Nöldeke, hal. 418, terjemahan Dr. Abbas Zaryab. Dr. Abdulhusain Zarrin Kub dalam hal ini menulis, “Jatuhnya dinasti Sasaniyah di tangan Arab namun bukan karena kekuatan Arab melainkan lantaran kelemahan dan kerusakan yang mendominasi pemerintahan Sasaniyah. Sejatinya, bersamaan dengan invasi Arab, pemerintahan Iran sudah di ambang keruntuhan. Dinasti Sasaniyah pada masa itu laksana kondisi wafatnya Nabi Sulaiman As yang bersandar pada tongkatnya dan serangga menggerogoti tongkat tersebut kemudian setelah itu Nabi Sulaiman As tersungkur. Kelemahan dan kerusakan di seluruh fondasi negara yang telah menjerumuskan Dinasti Sasaniyah pada lembah kehinaan dan kesengsaraan. Târikh Irân ba’d az Islâm, hal. 57, Cetakan Kedua. Pemikir dan filosof besar Syahid Muthahhari dalam buku Khadamat-e Mutaqâbil Islâm wa Irân menganalisa dengan seksama kekalahan orang-orang Iran. Ia berkata, “Iran pada masa itu, dengan segala chaos dan kerusuhan yang terjadi dari sudut pandang militer, merupakan kekuasaan dan imperium yang sangat kuat. Pada masa itu, dua imperium besar yang memerintah dunia, Iran dan Roma. Masyarakat Iran pada masa itu yang ditaksir berpopulasi seratus empat puluh juta orang lebih didominasi oleh serdadu dan lasykar Muslimin pada perang melawan orang-orang Iran tidak sampai enam ratus ribu orang jumlahnya. Apabila orang-orang Iran mundur, komunitas ini akan hilang di tengah masyarakat Iran, namun dengan semua ini, Dinasti Sasaniyah musnah dan punah di tangan beberapa orang pasukan Muslimin. Syahid Muthahhari mengatakan, “Hakikatnya faktor utama kekalahan dinasti Sasaniyah harus ditelusuri pada ketidakpuasan orang-orang Iran terhadap kondisi pemerintahan, ajaran dan tradisi pemerasan yang menggejala pada masa itu. Hal ini merupakan suatu hal yang pasti yang diterima oleh sejarawan Timur dan Barat bahwa rezim dan kondisi sosial dan agama pada masa itu telah rusak yang telah membuat hampir seluruh masyarakat tidak puas terhadap pemerintah. Agama Zoroaster di Iran telah rusak di tangan para imamnya dan masyarakat Iran yang cerdas tidak dapat menerima keyakinan yang tidak sesuai dengan kata hatinya. Dan apabila Islam pada waktu itu tidak datang ke Iran, maka orang-orang Kristen akan menguasai Iran dan melenyapkan ajaran Zoroaster.” Karena itu, kondisi sosial dan agama yang tidak normal di Iran telah mengundang ketidakpuasan masyarakat dan telah memotivasi orang-orang Iran untuk menyelamatkan diri mereka. Khadamat-e Mutaqâbil Islâm wa Irân, Murtadha Muthahhari, hal. 77 dan seterusnya.
[5]. Diadaptasi dari Pertanyaan 1348 (Site: 2982)
[6]. Târikh Tasyayyu’ dar Iran, Rasul Ja’fariyan, jil. 1, hal. 111 dan seterusnya.
[7]. Diadaptasi dari Pertanyaan 512 (Site: 557)
[8]. “Dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir.” (Qs. Ali Imran [3]:141); “Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari al-Furqân (hari pemisah antara yang hak dan yang batil), yaitu di hari bertemunya dua pasukan (pada perang Badar). Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Qs. Al-Anfal [8]:41); “Dengan ketetapan ini, maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di muka bumi (dengan bebas) selama empat bulan dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir. (Qs. Al-Taubah [9]:2); “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan di sisi Tuhan mereka dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.” (Qs. Fathir [35]:39).
[9]. “Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia berkata, “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.” (Qs. Al-Qashash [28]:79)
[10]. “(yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak lagi berguna.” (Qs. Al-Syu’ara [26]:88)
[11]. “Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman) yang mengalir sungai-sungai di bawahnya; buah dan naungannya tak henti-henti. Itulah kesudahan orang-orang yang bertakwa; sedang kesudahan orang-orang kafir ialah neraka.” (Qs. Al-Ra’ad [13]:35); “Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Dan hari itu adalah satu hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir. (Qs. Al-Furqan [25]:26); “Sesungguhnya Allah melaknat orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka).” (Qs. Al-Ahzab [33]:64); “Orang-orang kafir digiring ke neraka Jahanam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu, dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya, “Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhan-mu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?” Mereka menjawab, “Benar (telah datang).” Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir itu.” (Qs. Al-Zumar [39]:71)
[12]. “Karena itu berilah tangguh kepada orang-orang kafir itu sebentar saja (supaya mereka melihat balasan pekerjaan mereka).” (Qs. Al-Thariq [86]:17); “Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa)” (Qs. Al-Mukminun [23]:55)
[13]. “Nuh berkata, “Ya Tuhan-ku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.’ (Qs. Nuh [71]:26)