Advanced Search
Hits
9321
Tanggal Dimuat: 2011/02/15
Ringkasan Pertanyaan
Apakah pernikahan temporal dari sudut pandangan bilangan itu dapat dibatasi atau tidak?
Pertanyaan
Allah Swt mengharamkan menikah melebihi dari empat wanita pada saat yang sama: “Faankihu ma thaba lakum min al-nisa matsna wa tsulatsa wa ruba’a fain khiftum alla ta’dilu fawahidatun wa ma malakat aimanahum dzalika adna alla ta’ulu.” (maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau (gunakanlah) budak-budak wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu dapat mencegahmu dengan lebih baik untuk tidak berbuat aniaya. Qs. Al-Nisa [4]:3) Namun dalam mut’ah, sebagian orang karena tidak mengetahui memandangnya sebagai sebuah hukum Ilahi yang tidak terdapat syarat sedemikian dan laki-laki sebanyak apa pun yang ia inginkan dapat menikah dan dalam hal ini mereka banyak merekayasa riwayat dari para Imam Maksum As. Misalnya, Zurarah meriwayatkan bahwa ia bertanya tentang mut’ah dari Imam Shadiq As apakah para wanita yang telah dimut’ah termasuk empat wanita yang telah disebutkan dalam al-Qur’an? Beliau bersabda, “Tidak mereka adalah para wanita kontrakan yang apabila engkau ingin engkau dapat menyewanya hingga seribu banyaknya.” (Furu’ al-Kâfi, 2/43).
Jawaban Global

Dalil-dalil ayat-ayat dan riwayat-riwayat dalam bab kehalalalan dan keabsahan pernikahan temporal sedemikian banyak sehingga tidak seorang pun yang dapat mengingkar dan memandangnya sebagai hadis buatan, namun dari sekumpulan riwayat dapat disimpulkan sedemikian bahwa pernikahan temporal sehubungan dengan orang-orang yang tidak dapat melangsungkan pernikahan permanen atau tidak dapat menjangkau istrinya dan boleh jadi terjerembab dalam kubangan dosa hukumnya mustahab dan dianjurkan untuk melangsungkan pernikahan sementara, akan tetapi terkait dengan mereka yang telah menikah secara permanen dan istrinya juga bersamanya dan tidak membutuhkan pernikahan temporal kemustahaban dan anjuran untuk melakukannya tidak dapat ditetapkan. Untuk memperoleh jawaban detil dan demikian juga pandangan Hadhrat Ayatullah Mahdawi Hadawi Tehrani (Semoga Allah Swt memanjangkan keberkahannya) kami persilahkan Anda untuk merujuk pada jawaban detil.

Jawaban Detil

Untuk menjelaskan masalah ini kita harus membahas dua persoalan:

1.      Boleh dan mubahnya pernikahan temporal menurut ayat-ayat al-Qur’an dan riwayat.

Untuk menerangkan persoalan ini pertama-tama kita harus membahas ayat-ayat al-Qur’an kemudian riwayat yang terkait:

A.    Al-Qur’an dan pernikahan temporal

Untuk menetapkan keabsahan dan kebolehan pernikahan temporal kita dapat berdalil dengan ayat ini, “Maka istri-istri yang telah kamu nikahi secara mut‘ah di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah dosa bagimu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Nisa [4]:24) Allamah Thabathabai dalam menafsirkan ayat ini menuturkan, “Tanpa ragu bahwa yang dimaksud istimta’ pada ayat ini adalah pernikahan mut’ah dan mengingat bahwa ayat ini diturunkan di Madinah dan juga termaktub pada surah al-Nisa, yang diturunkan pada pertengahan pertama pasca hijrah yang kebanyakan ayatnya memberikan kesaksian terhadap pernikahan ini, dan pernikahan itu adalah pernikahan mut’ah atau pernikahan temporal. Pada penggalan waktu tersebut merupakan suatu hal yang lumrah bagi kaum Muslimin melakukan praktik pernikahan ini, dan pada masa itu juga tidak terdapat keraguan. Karena itu inti keberadaan pernikahan semacam ini terdapat pada masa Rasulullah Saw, dan tiada keraguan di hadapan beliau, dan juga tiada keraguan pada masa itu terkait dengan nama model pernikahan ini dengan nama (mut’ah) dan mereka tidak menyebut pernikahan seperti ini kecuali dengan sebutan mut’ah. Karena itu, tidak ada alternatif lain bahwa redaksi kalimat, “famastamta’tum bihi minhunna” kita maknai atas model pernikahan ini dan dari kalimat ini kita memahami pernikahan mut’ah ini. Hal ini dapat kita saksikan dalam tradisi dan sunnah yang dikenal pada masa pewahyuan al-Qur’an dimana ayat-ayat al-Qur’an dimaknai dengan maknanya yang dimaksud. Misalnya apabila sebuah ayat diturunkan berkenaan dengan satu hukum yang berkaitan dengan salah satu nama tersebut maka nama tersebut akan disetujui atau ditolak dan disalahkan. Atau diperintahkan tentangnya atau dilarang. Tiada jalan lain bahwa nama-nama atau gelar-gelar tersebut dimaknai atas makna-makna popularnya. Sekali-kali tiada sejarahnya bahwa dengan adanya ruang bagi nama dimaknai atas makna leksikalnya – yang pada waktu itu  telah diabaikan – seperti kalimat “haji” dan kalimat “bai’”, dan “riba”, dan “ribh” dan “ghanimat”, dan kalimat-kalimat lainnya semisal dengan hal ini yang memiliki satu makna leksikal dan satu makna popular di kalangan para ahli zamannya. Misalnya kalimat “haj” yang secara leksikal bermakna bermaksud, namun makna popularnya di kalangan masyarakat Arab bermakna ziarah Ka’bah (rumah Tuhan), dan tidak mungkin ada orang yang mengklaim bahwa dalam al-Qur’an kalimat “haji” itu berarti bermaksud. Demikian juga titel-titel al-Qur’an lainnya dan juga ungkapan-ungkapan dan titel-titel dalam lisan Rasulullah Saw yang disebutkan untuk beberapa persoalan; seperti kalimat “shalat”, dan “zakat” dan “haji tamattu’” dan semisalnya yang secara leksikal memiliki makna tertentu namun dalam lisan syariat, penggunaannya untuk makna lainnya dan memiliki obyek dan contoh tertentu bagi maknanya yang telah digunakan di tengah masyarakat. Seperti kalimat shalat yang aslinya secara leksikal bermakna doa dan Syari’ Muqaddas menggunakannya pada obyek tertentu dari doa yaitu dalam shalat. Penggunaan ini sedemikian berkembang sehingga kapanpun kalimat shalat didengarkan maka yang melintas dalam benak setiap orang adalah makna sembahyang bukan makna doa. Dan dengan terealisirnya dan digunakannya penamaan ini maka tidak lagi tersisa ruang bagi kita untuk memaknai lafaz-lafaz ini dan selainnya yang disebutkan dalam al-Qur’an dengan makna leksikalnya.”[1]

 

B.    Kumpulan Riwayat dan Mut’ah

Kumpulan riwayat Syiah dan di antaranya adalah Kutub al-Arba’ah Syiah yang merupakan bagian utama sumber-sumber riwayat Syiah. Masing-masing dari kitab ini mencakup sebuah bab dengan judul mut’ah dan kebolehannya. Seperti:

1.     Kitâb al-Kâfi.[2]

2.     Kitâb Man La Yahdhuruhu al-Faqih[3]

3.     Kitab al-Ishtibshâr[4]

4.     Wasâil al-Syiah[5]

Dan kitab-kitab lainnya yang membahas masalah ini yang tidak dapat diingkari.

 

Contoh dari hadis-hadis

Di samping al-Qur’an, terdapat hadis-hadis dalam bab mut’ah dan anjurannya sedemikian banya sehingga tidak tersisa lagi keraguan tentangnya yang akan disinggung sebagian darinya berikut ini:

1.     Imam Baqir As menukil dari Imam Ali As bahwa beliau bersabda: “Apabila Umar tidak datang sebelumnya (dan tidak mengharamkan mut’ah) maka tidak akan berzina seseorang kecuali orang yang celaka dan keras hati.”[6]

2.     Salah seorang sahabat Imam Musa Kazhim As berkata, “Saya berkata kepada Imam Musa bahwa saya senantiasa melakukan pernikahan temporal dan kemudian memandangnya sebagai perbuatan keji dan orang-orang karena perbuatan itu menyalahkanku. Atas dasar itu, saya telah mengikat janji dengan Tuhanku di antara rukun dan makam (Ibrahim di Ka’bah) bahwa saya tidak akan lagi melakukan pernikahan temporal lagi! Namun setelah itu saya merasakan sangat berat dan menyesali ikatan janji yang telah saya nyatakan. Akan tetapi saya juga tidak memiliki kemampuan untuk melangsungkan pernikahan permanen (daim). Imam Musa As bersabda, “Apakah engkau mengikat janji dengan Tuhan supaya engkau mentaati-Nya?” Demi Allah! Apabila engkau tidak menaati-Nya maka pastilah engkau akan memaksiati-Nya.”[7] Dengan memperhatikan apa yang telah dijelaskan dengan definitif dapat diambil kesimpulan bahwa inti keberadaan mut’ah dan hukum mustahabnya merupakan masalah yang tidak terdapat keraguan di dalamnya. Meski ada kemungkinan bahwa terkait dengan mut’ah terdapat beberapa riwayat-riwayat gadungan yang dibuat oleh sebagian orang.

Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Indeks: Bolehnya Pernikahan Temporal, Pertanyaan 844 (Site: 915)

 

2.   Batasan Pernikahan Temporal

Sehubungan dengan batasan pernikahan temporal dan bilangan wanita yang dapat dinikahi secara temporal (mut’ah) pada satu masa maka harus dikatakan bahwa meski terdapat hadis-hadis standar tidak ada batasan bilangan dalam pernikahan temporal[8] namun dengan memperhatikan sumber pengeluaran riwayat semacam ini (mansyâ al-shudur)[9] dan juga menyimak sekumpulan riwayat dalam masalah ini dapat dikatakan bahwa pernikahan temporal memiliki syarat dan batasan. Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut bahwa dalam kitab-kitab hadis terdapat sebuah bab dengan judul “Makruhnya Mut’ah Bila Tidak Diperlukan.” Artinya seseorang yang tidak memerlukan mut’ah dan memiliki istri yang telah dinikahi secara permanen (daim) maka hukumnya makruh untuk melakukan mut’ah dan pernikahan temporal. Di antaranya disebutkan dalam kitab al-Kâfi karya Muhammad bin Ya’qub Kulaini yang merupakan litetarur utama Syiah juga menyebutkan beberapa bab dalam masalah ini. Telah memadai bagi kita dengan menyebut satu riwayat dari kitab tersebut yang akan disebutkan sebagai contoh di sini.

Diriwayatkan dari seseorang yang bernama Fath bin Yazid bahwa ia bertanya kepada Imam Musa Kazhim ihwal mut’ah. Imam Musa As bersabda, “(Hukumnya adalah) Mubah dan halal bagi seseorang yang belum menikah secara daim (permanen). Oleh itu, atas alasan ini untuk menjaga kemuliaan dan kehormatan maka ia boleh melakukan mut’ah. Namun apabila ia telah menikah secara daim (permanan) maka mut’ah baginya hanya dibolehkan apabila istrinya tidak berada di sisinya. (Misalnya ia bepergian dan istrinya tidak ikut serta bersamanya dan di tempat itu ia takut jangan-jangan terjerembab dalam kubangan dosa).[10]

Dari riwayat ini menjadi jelas bahwa pernikahan temporal menemui maknanya sebagai pengganti pernikahan daim. Artinya apabila seseorang tidak dapat melangsungkan pernikahan permanen atau berada di suatu tempat yang membuatnya tidak dapat menjumpai istrinya ketika ia inginkan maka untuk menghindar dari perbuatan dosa ia boleh melakukan pernikahan mut’ah. Adapun bahwa hukumnya mustahab dan dianjurkan dan dorongan untuk melakukan mut’ah bagi orang yang telah menikah secara permanen tidak dapat ditetapkan. Mengingat istrinya juga berada di sisinya karena itu ia tidak memerlukan mut’ah. Dengan kata lain, tidak mustahab baginya melangsungkan pernikahan mut’ah apabila istrinya berada di sisinya.

 

Jawaban Ayatullah Hadawi Mahdawi Tehrani (Semoga Allah Swt Memanjangkan Keberkahannya):

Dalam pernikahan temporal tidak ada batasan dari sisi bilangan namun hal ini tidak bermakna tiadanya syarat dalam model pernikahan seperti ini. Dan salah satu syaratnya adalah tidak timbulnya kerusakan (mafsadah) akibat perbuatan tersebut. [IQuest]


[1]. Al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, jil. 4, hal. 271 & 272, Daftar Intisyarat-e Islami Jame’e Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qum, Qum, Cetakan Kelima, 1417 H.  

[2]. Al-Kâfi, Tsiqat al-Islam Kulaini, jil. 5, hal. 448 – 465, Edisi 8 jilid, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 H.  

[3]. Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, edisi 4 jilid, Syaikh Shaduq, jil. 3, hal. 458-467, Intisyarat-e Jame’e Mudarrisin, Qum, 1413 H.  

[4]. Al-Istibshâr, edisi 4 jilid, Syaikh Thusi, jil. 3, hal. 141 – 155, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1390 H.  

[5]. Wasâil al-Syiah, edisi 29 jilid, Syaikh Hurr Amili, jil. 21, hal. 5 – 81, Muassasah Ali al-Bait As, Qum, 1409 H.  

[6]. Mustadrak al-Wasâil, edisi 18 jilid, Muhaddits Nuri, jil. 14, Abwab al-Mut’ah, hal. 447,   Muassasah Ali al-Bait As, Qum, 1408 H.  

[7]. Mustadrak al-Wasâil, edisi 18 jilid, Muhaddits Nuri, jil. 14, hal. 453.  

[8]. Al-Kâfi, Tsiqat al-Islam Kulaini, jil. 5, hal. 451, Edisi 8 jilid, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 H.   

[9]. Untuk telaah lebih jauh kami persilahkan Anda melihat Jawaban 3320 (Site: 4098), Indeks: Mengkaji Hadis tentang Mut’ah.  

[10]. Al-Kâfi, Tsiqat al-Islam Kulaini, jil. 5, hal. 453, Edisi 8 jilid, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 H.  

- 1-  عَلِیُّ بْنُ إِبْرَاهِیمَ عَنْ أَبِیهِ عَنِ ابْنِ أَبِی عُمَیْرٍ عَنْ عَلِیِّ بْنِ یَقْطِینٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا الْحَسَنِ مُوسَى ع عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ وَ مَا أَنْتَ وَ ذَاکَ فَقَدْ أَغْنَاکَ اللَّهُ عَنْهَا قُلْتُ إِنَّمَا أَرَدْتُ أَنْ أَعْلَمَهَا فَقَالَ هِیَ فِی کِتَابِ عَلِیٍّ ع فَقُلْتُ نَزِیدُهَا وَ تَزْدَادُ فَقَالَ وَ هَلْ یَطِیبُهُ إِلَّا ذَاکَ.

2- عَلِیُّ بْنُ إِبْرَاهِیمَ عَنِ الْمُخْتَارِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُخْتَارِ وَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَسَنِ الْعَلَوِیِّ جَمِیعاً عَنِ الْفَتْحِ بْنِ یَزِیدَ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا الْحَسَنِ ع عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ هِیَ حَلَالٌ مُبَاحٌ مُطْلَقٌ لِمَنْ لَمْ یُغْنِهِ اللَّهُ بِالتَّزْوِیجِ فَلْیَسْتَعْفِفْ بِالْمُتْعَةِ فَإِنِ اسْتَغْنَى عَنْهَا بِالتَّزْوِیجِ فَهِیَ مُبَاحٌ لَهُ إِذَا غَابَ عَنْهَا.

 

Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Klasifikasi Topik

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    261167 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    246285 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    230071 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214943 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    176264 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    171577 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    168066 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    158102 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140903 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    134012 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...