Please Wait
19914
Penyempurnaan di alam barzakh bisa diterima dengan berpijak kepada al-Quran dan hadis-hadis sahih. Hal ini juga dikaji dalam koridor Filsafat serta banyak lagi hal yang dibahas terkait dengan masalah alam barzakh (isthmus) dalam Filsafat.
Poin pertama yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah tidak ada kemungkinan penyempurnaan amal dengan makna bahwa di alam barzakh manusia menyempurna dan menggapai derajat yang lebih tinggi dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan Ilahi, karena alam barzakh bukanlah alam ‘kewajiban’ (atau alam syariat) sebagaimana alam materi.
Oleh karena itu adalah jelas bahwa ketika ada pembahasan terkait dengan penyempurnaan di alam barzakh maka yang dimaksud adalah penyempurnaan ilmu sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadis sahih.
Untuk menguraikan persoalan penyempurnaan ini dari perspektif filsafat, maka harus dikatakan: dari pandangan yang bersifat global, ruh nonmateri dan jiwa-berakal manusia berasal dari ruh Ilahi yang telah melewati jenjang dan derajat yang beragam secara menurun sedemikian sehingga sampai di alam materi dan badan jasmani, dan dalam perjalanan menaik juga melewati tingkatan-tingkatan yang berbeda. Perjalan menaik ini juga bisa dikatakan sebagai ‘penyempurnaan’.
Fenomena kematian dan perpindahan ke alam barzakh merupakan suatu tahapan gerak dan perjalanan menuju Tuhan yang bukan merupakan kesempurnaan akhir manusia, namun masih tertinggal banyak tahapan perjalanan jiwa manusia untuk sampai ke alam nonmateri dan malakut yang sempurna. Akan tetapi dengan memperhatikan definisi gerak dalam filsafat yakni keluarnya sesuatu dari alam potensial ke alam aktual, maka sanggahan yang terlontar adalah bahwa materilah yang mengandung potensi dan cikal-bakal itu.
Oleh karena itu, gerak bersyarat kepada materi dan kondisi yang bersifat potensial, dengan demikian, di alam barzakh yang tidak terdapat materi (karena bukan alam materi) niscaya tidak ada gerak dan berkonsekuensi juga kepada tiadanya penyempurnaan.
Untuk menjawab sanggahan ini, dapat dikatakan bahwa walaupun jiwa manusia akan berpisah dengan materi dan badan jasmaninya setelah mengalami kematian dan mengaktual dari aspek gerak materi, akan tetapi jika dipandang dari hakikat jiwa (nonmateri sempurna) maka masih berada dalam hijab-hijab yang beragam. Oleh karena itu, dari satu sisi dapat dikatakan: jiwa dalam kondisi demikian (di alam barzakh) jika disandarkan dengan kondisi-kondisi setelahnya akan memiliki hijab-hijab yang semakin berkurang secara potensial dan mesti mengalami penyempurnaan sedemikian sehingga mencapai derajat nonmateri sempurna dan aktual murni (tidak lagi memiliki potensi).
Dengan dasar inilah mayoritas ulama tidak menamakan penyempurnaan ini sebagai gerak, tetapi menggunakan istilah-istilah lain seperti ‘penyirnaan hijab-hijab’, ‘pemusnahan jarak’, ‘pensucian kotoran-kotoran’, ‘penguatan cinta’, dan yang semacamnya yang tidak bertentangan dengan kenonmaterian alam barzakh.
Penyempurnaan di alam barzakh merupakan suatu perkara yang pasti sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadis dan sebagian teks ayat-ayat suci al-Quran juga berimplikasi demikian. Di samping itu, ungkapan-ungkapan yang dikutip dari Irfan yang bersumber dari mukâsyafah dan musyâhadah yang berkaitan dengan realitas penyempurnaan di alam barzakh.
Hal ini juga dikaji di dalam Filsafat. Secara global dalam Filsafat terdapat kesepakatan tentang adanya kenyataan penyempurnaan di alam barzakh dan berdasarkan prinsip-prinsip bisa dikatakan bahwa tidak satupun Filsafat yang dapat mengingkari adanya kemungkinan penyempurnaan di alam barzakh.
Poin pertama yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah tidak ada kemungkinan penyempurnaan amal dalam artian bahwa di alam barzakh manusia menyempurna dan menggapai derajat yang lebih tinggi dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan Ilahi, karena alam barzakh bukanlah alam ‘kewajiban’ (atau alam syariat) yang kondisi-kondisi dan hukum-hukum serta kaidah-kaidah tidak sebagaimana alam materi. Oleh karena itu, jika ada pembahasan tentang penyempurnaan di alam barzakh maka yang dimaksud adalah penyempurnaan ilmu yang secara tegas disebutkan dalam hadis-hadis. Tentang perilaku orang-orang shaleh dan lain sebagainya demikian juga kembalinya jiwa yang telah meninggal bukanlah pelbagai aktivitas dan amalan di alam barzakh, melainkan bersumber dari pengaruh-pengaruh suatu amal yang telah dikerjakan di dunia dan buah dari perbuatan itu baru nampak kemudian di alam barzakh.
Adapun sehubungan dengan masalah bentuk penyempurnaan di alam barzakh bahwa apakah sejenis gerak yang menurut definisi Filsafat tentangnya ataukah sejenis penyempurnaan lain dan mengalami perubahan? Tampaknya persoalan ini mengundang kritikan yang akan dicarikan solusinya secara filosofis.
Sumber kritikan berkenaan dengan probabilitas penyempurnaan di alam barzakh dan bagaimana penjelasan filosofisnya terkait dengan pembahasan potensialitas dan aktualitas serta definisi materi dan gerak dalam filsafat.
Uraian kritikan tersebut adalah sebagai berikut: gerak dalam perspektif Filsafat adalah keluarnya sesuatu secara bertahap dari kondisi yang bersifat potensial ke keadaan yang aktual, sementara materilah yang mengandung potensi dan bakat ini. Oleh karena itu, gerak bergantung kepada keberadaan materi dan kondisi yang bersifat potensial, gerak tidak bermakna tanpa kedua hal ini. Dengan kata lain, jika di suatu alam tidak terdapat materi maka akan berkonsekuensi pada tiadanya gerak dan penyempurnaan.
Kritikan ini secara mendasar bersumber dari keterbatasan penggambaran tentang konsep penyempurnaan yang semata-mata hanya dipandang berada dan terkait di seputar materi. Jika kita memandang persoalan penyempurnaan dengan perspektif yang lebih universal dan melihat bahwa gerak menurun dan menaik di dalam tingkatan eksistensi sebagai gerak eksistensial serta meninjau bahwa jiwa-berakal manusia berasal dari mana dan akan kembali berproses ke sumbernya yang tertinggi, maka akan disaksikan bahwa keraguan dan kritikan ini tidak dapat dijadikan hukum universal untuk menolak adanya penyempurnaan di alam barzakh setelah berpindahnya jiwa dari alam materi ke alam barzakh.
Pernyataan tentang gerak berpijak kepada materi adalah benar sesuai dengan ruang-lingkupnya, karena jika tidak ada potensi dan bakat untuk menjadi sesuatu, maka tidak akan ada pula aktualitas baru dan gerak juga tidak akan bermakna. Poin ini perlu digaris bawahi bahwa jiwa manusia setelah melewati gerbang kematian, walaupun ia telah meninggalkan materi dan badan jasmaninya dan tidak lagi memiliki suatu gerak dalam makna filosofisnya, akan tetapi, pada saat yang sama setelah meninggal dan berpisah dengan badan materinya, jiwa manusia tidak langsung mencapai derajat kenonmateriannya yang sempurna. Karena itu, jiwa manusia mesti mengalami semacam penyempurnaan dan perubahan di alam barzakh, karena begitu banyak hijab-hijab yang meliputi jiwa masih belum sirna atau tersingkap.
Dengan kata lain, memang benar bahwa jiwa setelah melewati gerbang kematian, telah mengaktual dari aspek gerak materi, akan tetapi, jika dilihat hakikatnya yang terdalam maka ia masih diselimuti oleh hijab-hijab yang beragam. Oleh itu, jiwa yang masih memiliki potensi untuk lebih menyempurna jika dibandingkan dengan keadaan-keadaan berikutnya yang masih diliputi oleh hijab-hijab yang relatif lebih sedikit, mesti mengalami suatu bentuk penyempurnaan sedemikian sehingga ia kembali dalam keadaannya yang utama dalam bentuk nonmateri murni.
Dengan demikian, penyempurnaan di alam barzakh tidak bertolak belakang dengan kondisinya yang material (tidak berada di alam materi), karena walaupun materi tidak ada di alam barzakh, namun jiwa itu sendiri ketika dia meninggalkan badan materinya masih memiliki potensi-potensi yang disebabkan oleh adanya hijab-hijab yang meliputinya sewaktu hidup di alam materi, dan pada akhirnya jiwa akan mengaktual secara sempurna setelah penyempurnaan kekurangan-kekurangan dan penyirnaan hijab-hijabnya di alam barzakh.
Secara bertahap, jiwa akan berproses untuk mencapai kesempurnaan di alam barzakh dan alam-alam berikutnya atau tahapan-tahapan lebih tinggi, dan jalan ini akan berujung pada hari kiamat yang dipandang merupakan batas akhir dari perjalanan menyempurna.
Dari aspek inilah sehingga dikatakan: barzakh dan kebutuhan kepada penyempurnaan di alam barzakh adalah tidak sama bagi semua jiwa, karena sangat mungkin terdapat orang-orang sempurna yang selama hidup di alam materi telah mampu menyirnakan hijab kegelapan dan hijab cahaya yang meliputinya, karena itu, ia hanya sebentar saja berada dan berhenti di alam barzakh, orang-orang itu seperti para nabi, rasul, dan orang-orang suci lainnya yang telah ditegaskan oleh Allah Swt dalam al-Quran dan hadis nabi, dikarenakan derajat kedekatannya yang sangat tinggi kepada Tuhan dan kegemilangan cahayanya, setelah melewati kematian, mereka akan kembali ke tempat asalnya yang semula.
Begitu pula para arif mendapatkan kesempurnaan di alam barzakh dan akan masuk ke alam-alam malakuti yang lebih tinggi, namun begitu banyak jiwa-jiwa manusia akan mengalami proses penyirnaan hijab-hijab, perolehan aktualitasnya yang sempurna, penghilangan sifat-sifat buruk duniawi, dan pencapaian kenonmaterian murni di alam barzakh hingga hari kiamat.
Dengan penjelasan tersebut, kaidah-kaidah Filsafat yang telah terjabarkan untuk gerak dalam pembahasan potensi dan aktual tentunya tidak bertentangan dengan penyempurnaan yang ada di alam barzakh, dan satu-satunya penyelesaian dalam hal ini adalah tidak memandang gerak materi yang terjadi di alam materi bisa teraplikasi di alam barzakh, karena gerak materi ini telah sampai pada tujuannya, dan jiwa yang telah meninggalkan badan jasmaninya akan terus mengalami sejenis penyempurnaan di alam nonmateri dan barzakh supaya jiwa terbebas secara sempurna dari segala bentuk kotoran-kotoran, hijab-hijab, dan sifat-sifat buruk yang meliputinya.
Dari aspek inilah penyempurnaan di alam barzakh menjadi mungkin dan bahkan menjadi hal yang urgen mengingat jiwa mesti berjalan dan berproses untuk mencapai kesempurnaannya dalam bentuk nonmateri yang murni.
Oleh karena itu, sanggahan dan kritikan yang terlontar pada dasarnya berpijak kepada penyempurnaan yang semata-mata bergantung kepada materi dan badan jasmani, penggambaran ini juga bersumber dari anggapan sebagian orang yang menyatakan bahwa satu-satunya faktor yang mengantarkan jiwa dan ruh manusia ke derajat nonmateri sempurna adalah kebergantungannya kepada badan materi ini dan ketika jiwa berpisah dengan badan jasmaninya akan secara langsung berubah menjadi nonmateri sempurna dan tidak lagi membutuhkan suatu bentuk penyempurnaan di alam manapun. Anggapan ini keliru dan salah, jiwa tidak akan langsung mencapai aktualitas terakhir, nonmateri sempurna, dan tidak lagi menyempurna seketika melewati gerbang kematian, walaupun kematian sejenis keterpisahan dari badan lahiriah yang menyebabkan jiwa tidak lagi terhalangi untuk mencapai kesempurnaannya, namun kematian bukanlah akhir dari suatu pergerakan, perubahan, dan penyempurnaan, bahkan –menurut Mulla Sadra- dipandang sebagai langkah awal gerak dan kembali jiwa manusia ke haribaan Ilahi.[1]
Dengan demikian, begitu banyak para filosof dan arif pada saat yang sama menerima prinsip-prinsip gerak, alam potensial dan aktual serta memustahilkan gerak dalam makna filosofisnya, namun sangat menekankan adanya penyempurnaan di alam barzakh dan mereka menggunakan istilah ‘penyirnaan hijab-hijab’, ‘penguatan cinta’, dan istilah-istilah semacamnya untuk menjelaskan penyempurnaan ini yang bukan sejenis gerak dalam istilah filsafat.
Hal seperti itu juga disinggung oleh Imam Khomeni Qs dalam catatan kakinya atas Syarh Fushushush al-Hikam[2] berkenaan dengan penyempurnaan di alam barzakh. Beliau menyebut penyempurnaan itu sebagai ‘penyirnaan hijab-hijab dan sifat-sifat kegelapan’ dan menegaskan bahwa penyempurnaan itu bukan sejenis gerak materi yang memiliki potensi dan bakat. Begitu pula Allamah Thabathabai Qs menamakan penyempurnaan di alam barzakh itu sebagai ‘penggapaian derajat cinta’ yang bijinya telah disemaikan di kebun alam materi.[3]
Poin lain yang dapat disimpulkan dari filsafat Mulla Sadra adalah jiwa di alam barzakh memiliki badan mitsal yang “materinya” sangat lembut.[4] Badan mitsal atau badan barzakh memiliki tingkat kelembutan yang sangat tinggi dibandingkan dengan badan duniawi, badan barzakh inilah yang mengandung potensi bagi jiwa di alam barzakh yang akan mengalami proses penyempurnaan dan pensucian dari segala bentuk kegelapan dan sifat-sifat buruk ke arah pencerahan sempurna. Karena itu, badan barzakh akan menyempurna di alam barzakh dikarenakan proses-proses penerimaan rahmat Ilahi dan pensucian yang dibutuhkan di alam barzakh, penjelasan yang lebih teliti ini mungkin akan memberikan pemahaman yang lebih jelas kepada kita.
Di akhir uraian ini, demi memudahkan kita mengerti makna penyempurnaan di alam barzakh, akan diutarakan konsep-konsep yang lebih membumi (down to earth). Misalnya jiwa di alam mimpi yang pada saat yang bersamaan lepas dari kontrol dan pengaturan badan jasmani, dapat menggapai pengetahuan-pengetahuan yang lebih tinggi yang hal ini juga sejenis penyempurnaan dan perjalanan barzakh. Begitu pula mukâsyafah-nya para arif yang terjadi ketika berpisah dari badan jasmaninya (bukan kematian alami, namun kematian ihktiari) juga tergolong ke dalam sejenis penyempurnaan barzakh yang tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk gerak materi, dan penyempurnaan ini menyebabkan kesempurnaan jiwa.
Alam mimpi dan mukâsyafah juga sejenis kematian, namun memiliki derajat yang lebih rendah dari kematian alami. Kematian ini bermakna keterpisahan sementara dari materi dan badan jasmani dengan cara “meringankan” jiwa dan ruh. Jenis kematian ini dapat dilakukan dengan maksud memperoleh pengetahuan dan makrifat baru yang tidak lain adalah sejenis penyempurnaan di alam barzakh, kedua istilah ini tidak bertentangan satu sama lain. Sebagaimana pernyataan Mulla Sadra yang dipandang sebagai akhir sebuah gerak dan tercapainya tujuan dari satu sisi yang dikategorikan sebagai kematian, namun di sisi lain dipandang sebagai awal kelahiran dan permulaan suatu “gerak” kedua di alam yang lebih tinggi.[5] [iQuest]
[1]. Sadruddin Muhammad Syirazi (Mulla Sadra), Syawâhid al-Rubûbiyah fi al-Manâhij al-Sulûkiyah, hal. 355, Cetakan Pertama, Intisyarat Bunyad-e Hikmat-e Islâmi Sadra, Teheran, 1382 S.
[2]. Khomeni, Ruhullah, Ta’liqât ‘ala Syarh Fushûsh al-Hikam, hal. 170-171, Intisyarat Markaz-e Tanzhim wa Nasyr-e Atsar-e Imam Khomeni, Ma’âd Az Didgâh-e Imâm Khomeni, Daftar-e Sewwum, hal. 371, Markaz-e Tanzhim wa Nasyr-e Atsar-e Imam Khomeni, Cetakan Pertama, 1378 S.
[3]. Rakh Syad, Muhammad Husain, Dar Mahzhar-e Allâmah Thabâthabâi, Purseysyhâ wa Jawâbha, hal. 160, Cetakan Pertama, Alu Ali Alaihissalam, Qum, 1381 S.
[4]. Syawâhid ar-Rubûbiyah fi al-Manâhij al-Sulûkiyah, hal. 112.
[5]. Ibid, hal. 113.