Please Wait
12854
Setiap kejadian sejarah harus dikaji dan dijelajahi dengan memperhatikan pelbagai kondisi dan situasi politik yang berkembang pada zamannya.
Tindakan pertama Imam Hasan As setelah naiknya ke tampuk pemerintahan adalah menyiapkan pasukan untuk menghadapi eskalasi pasukan Muawiyah. Namun sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi masyarakat Imam memilih berdamai dan menghindar melanjutkan perang setelah menimbang seluruh sisi persoalan yang terdapat pada dunia Islam. Di samping itu dengan memperhatikan kemampuan dan kekuataan militer pemerintahannya apabila angkat senjata berhadapan dengan Muawiyah maka diputuskan untuk berdamai dan tidak melanjutkan perang lantaran ini tidak memberikan maslahat bagi Islam dan kaum Muslimin.
Sejarah menunjukkan bahwa pertama, Imam Hasan As, lantaran tidak memiliki penolong dan panglima-pangliman yang tulus, beliau tidak memiliki peluang untuk meraih kemenangan militer melawan Muawiyah dan para antek-anteknya. Kedua, dalam kondisi seperti ini hasil perang dengan Muawiyah tidak akan memberikan keuntungan bagi dunia Islam. Ketiga, peperangan Imam Hasan melawan Muawiyah kemungkinan hasilnya adalah terbunuhnya Imam Hasan di tangan Muawiyah dan hal itu bermakna kekalahan sentral kekhalifaan kaum Muslimin.
Adapun situasi dan kondisi yang berkembang pada masa Imam Husain As sama sekali berbeda dengan situasi dan kondisi yang dihadapi Imam Hasan As. Lantaran orang-orang pada masa ini sudah muak dengan kezaliman dan kejahatan Bani Umayyah. Mereka ingin berbaiat kepada Imam Husain As dan meminta beliau untuk datang ke Kufah untuk membentuk pemerintahan. Demikian juga, orang yang berhadapan dengan Imam Husain As adalah Yazid yang sama sekali tidak mengindahkan hukum-hukum dan aturan-aturan Islam dan baiat Imam Husain As kepada Yazid bermakna menerima secara resmi kezaliman, kejahatan, kemungkaran dan kehancuran Islam.
Karena itu, perdamaian (sulh) Imam Hasan dan kebangkitan (qiyâm) Imam Husain As adalah dua peristiwa dan kejadian yang terjadi dalam sejarah. Keduanya harus dikaji dan dijelajahi dengan memperhatikan situasi dan kondisi sosial-politik yang berkembang pada masa keduanya. Apabila tidak demikian dalam pandangan kami keduanya adalah imam dan keduanya terjaga dari segala jenis kesalahan dan kekeliruan. Apabila sekiranya Imam Husain yang menjadi pengganti dan khalifah Imam Ali As menduduki jabatan imamah maka beliau akan melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh saudaranya Imam Hasan As.
Pada hakikatnya Islam adalah agama rahmat, perdamaian dan kedamaian. Sejarah Islam dan peri kehidupan Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As adalah penjelas hal ini. Tentu terkait dengan hal-hal yang mendesak dan memaksa Rasulullah Saw atau para Imam Maksum untuk berperang dan perang itu pun lebih bercorak defensif (membela diri) ketimbang ofensif (memulai peperangan) harus dikecualikan dalam hal ini.
Demikian juga Imam Hasan As tatkala naik tampuk kekhalifahan, beliau berhadapan dengan penentangan dan eskalasi pasukan Muawiyah (yang ingin memulai peperangan). Karena itu, Imam Hasan menyiapkan pasukan untuk membela dan melawan pasukan Muawiyah. Namun selanjutnya, dengan memperhatikan kondisi yang berkembang, Imam Hasan terpaksa memilih berdamai dan membela Islam dengan cara yang lain.[1]
Adapun terkait dengan sebab perdamaian (sulh) Imam Hasan As dan kebangkitan (qiyâm) Imam Husain As harus dikatakan bahwa keduanya adalah peristiwa sejarah yang merupakan akibat dari pelbagai situasi dan kondisi sosial-politik yang berkembang pada masanya. Dua peristiwa ini harus dikaji dan ditelusuri dengan memperhatikan tuntutan pelbagai situasi dan kondisi yang terdapat pada masa Imam Hasan As dan Imam Husain As.
Dalam pandangan kami (Syiah) Imam Hasan As dan Imam Husain As keduanya adalah imam dan terjaga (maksum) dari kesalahan dan kekeliruan. Rahasia mengapa Imam Hasan memilih berdamai (sulh) dan mengapa Imam Husain As memilih angkat senjata (qiyam) terletak pada perbedaan situasi sosial dan politik yang berkembang masing-masing pada zamannya yang akan disinggung sebagian sebagaimana berikut ini:
1. Apa yang pasti dalam sejarahadalah bahwa Muawiyah merupakan seorang licin dan licik. Ia secara lahir mengamalkan hukum-hukum Islam hingga batasan tertentu. Berbeda dengan Yazid yang tidak hanya memiliki permusuhan dengan Islam pada pemerintahannya namun juga menampakkan permusuhan ini secara telanjang. Tidak satu pun dari amalan-amalan dan nilai-nilai suci Islam yang diamalkan dan dijunjung tinggi.[2] Atas dasar inilah, Imam Husain As, pada masa pemerintahan Muawiyah, menerima surat-surat dari penduduk Irak untuk angkat senjata dan bangkit melawan Muawiyah. Namun Imam Husain tidak angkat senjata dan bangkit mengusung perlawanan. Imam Husain As bersabda, “Hari ini bukanlah hari untuk mengusung perlawanan. Semoga Allah Swt merahmati kalian. Sepanjang Muawiyah hidup janganlah kalian bertindak dan tetaplah di rumah-rumah kalian.”[3]
2. Bermunculannya kekuatan-kekuatan Khawarij dan tiadanya penolong tulus serta panglima-panglima yang rela berkorban bagi Imam Hasan As.[4] Dan juga, karena kelemahan internal yang telah membuat kemampuan dan kekuatan militer Imam Hasan menjadi lemah. Di samping itu, orang-orang enggan dan tidak suka untuk terlibat dalam peperangan melawan Muawiyah.[5] Imam Hasan As, terkait dengan sebab-sebab perdamaian dengan Muawiyah, bersabda, “Melihat banyak orang memilih untuk berdamai dan enggan untuk berperang (karena itu) aku tidak ingin mendesakkan sesuatu yang kalian tidak sukai.” Oleh itu, untuk menjaga jiwa – sebagian kecil – Syiahku, aku memilih berdamai.”[6]
3. Imam Hasan As adalah khalifah kaum Muslimin. Peperangan Imam Hasan As dengan Muawiyah dan (kemungkinan) terbunuhnya beliau di tangan lasykar Muawiyah adalah kekalahan sentral kekhalifahan kaum Muslimin. Meminjam tuturan Muthahhari “Bahkan Imam Hasan As menghindar untuk tidak terbunuh dengan cara seperti ini guna menghindari citra bahwa seseorang yang duduk menggantikan Rasulullah Saw dan menjabat sebagai khalifah terbunuh.” [7] Dengan alasan yang sama, Imam Husain tidak rela terbunuh di Mekkah; karena dengan terbunuhnya beliau di Mekkah maka kehormatan Mekkah akan hilang. Karena itu, kondisi yang dihadapi Imam Hasan As menuntut untuk tidak berperang dan perdamaian merupakan sebuah taktik dan strategi yang penting untuk mengurus kepentingan kaum Muslimin dan penguatan fondasi-fondasi pemerintahan Islam.
Karena itu, kami meyakini bahwa apabila Imam Husain berada pada posisi Imam Hasan As maka pastilah beliau akan melakukan hal yang sama.
Bukti atas pandangan ini adalah bahwa pasca perdamaian Imam Hasan As sebagian orang datang menghadap Imam Husain As dan berkata bahwa kami tidak menerima perdamaian. Apakah kami harus berbaiat kepada Anda? Imam Husain As menjawab, “Tidak! Aku mengikuti apa pun yang dilakukan oleh saudaraku Hasan As.”[8]
Adapun dalil-dalil berikut ini adalah kondisi yang dihadapi oleh Imam Husain As persis berkebalikan dengan kondisi yang dihadapi oleh Imam Hasan As:
1. Perbedaan asasi antara kondisi yang dihadapi oleh Imam Husain As pada masa Imam Hasan As yang berujung pada kebangkitan Imam Husain As adalah bahwa Yazid meminta baiat dari beliau dan baiat Imam Husain As kepada Yazid – yang sama sekali tidak mengamalkan hukum-hukum lahir Islam dan tidak menjunjung tinggi nilai-nilai Islam– bermakna menerima secara resemi kezaliman, kejahatan, kerusakan dan kemungkaran dan seterusnya. Hal ini sama saja dengan kehancuran Islam. Berbeda dengan Muawiyah yang tidak menuntut baiat dari Imam Husain dan salah satu materi surat perjanjian damai adalah tiadanya tuntutan baiat dari Muawiyah kepada Imam Hasan As.
2. Orang-orang yang tadinya tidak ingin berperang pada masa Imam Hasan As melawan Muawiyah,[9] menyatakan muak dengan pelbagai kejahatan dan kezaliman yang dilakukan Muawiyah selama dua puluh tahun pemerintahannya. Dan Kufah yang kurang-lebihnya adalah sebuah kota menyatakan telah siap untuk membentuk pemerintahan bagi Imam Husain As dan hal ini merupakan hujjah bagi Imam Husain untuk bereaksi dan bertindak.[10]
3. Faktor terpenting kebangkitan Imam Husain As adalah faktor amar makruf dan nahi mungkar.
Muawiyah selama dua puluh tahun pemerintahannya, beramal bertentangan dengan Islam, bertindak zalim dan berbuat kejahatan. Ia merubah hukum-hukum Islam, menghambur-hamburkan baitul mal, menumpahkan darah orang-orang yang tidak berdosa, tidak mematuhi surat perjanjian damai, tidak mengamalkan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Demikian juga setelah Muawiyah adalah putranya Yazid, peminum khamar dan gemar bermain dengan anjing. Ia memperkenalkan dan mengangkat Yazid sebagai penggantinya. Hal ini telah menyebabkan Imam Husain untuk bangkit sebagai kewajibannya menunaikan amar makruf dan nahi mungkar. Sementara kondisi Muawiyah ini belum lagi terbongkar bagi masyarakat pada masa Imam Hasan As. Dan boleh jadi atas dasar ini orang-orang berkata, “Perdamaian Imam Hasan As adalah persiapan bagi kebangkitan Imam Husain As.” Artinya isi perjanjian damai yang dilampirkan oleh Imam Hasan As menjadikan jalan untuk mengecoh dan menipu bagi Muawiyah tertutup. Meski Muawiyah sebelumnya mematuhi isi perjanjian damai tersebut, namun hal ini tidak lain merupakan pendahuluan bagi terbongkarnya kedok Muawiyah bagi masyarakat Islam dan kebangkitan Imam Husain As melawan Yazid putra Muawiyah.
Sebagian isi surat perjanjian damai Imam Hasan adalah:
1. Muawiyah beramal sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.
2. Urusan kekhalifaan setelah Muawiyah harus diserahkan kepada Imam Hasan As dan apabila terjadi sesuatu dan lain hal maka didelegasikan kepada Imam Husain As.
3. Cacian dan pencitraan buruk Ali As harus dilarang pada mimbar-mimbar dan shalat-shalat.
4. Muawiyah harus menutup mata dari baitul mal Kufah yang memiliki perbendaharaan sebanyak lima juta Dirham.
5. Kaum Muslimin dan orang-orang Syiah harus aman dari gangguan dan kejahatan.
Dari isi surat perjanjian damai ini dapat disimpulkan dengan baik bahwa Imam Hasan As sekali-kali tidak berada pada tataran ingin menguatkan kekhalifaan Muawiyah, melainkan hanya untuk menjaga kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin. Itu pun dilakukan karena sesuai dengan tuntutan kondisi sosial masyarakat Islam.
Karena itu, dengan memperhatikan pelbagai situasi dan kondisi yang berkembang di tengah masyarakat Islam pada masa Imam Hasan As dan sebagai khalifah Imam Hasan berdamai dengan Muawiyah. Karena adanya tuntutan situasi dan kondisi yang beragam dan berbeda, oleh itu, situasi dan kondisi sosial-kemasyarakatan pada masa Imam Hasan As menuntut adanya perdamaian (sulh) dan pada Imam Husain adalah kebangkitan (qiyâm). [IQuest]
UNtuk telaah lebih jauh silahkan lihat Sairi dar Sirah Aimmah Athar, karya Murtadha Muthahhari, hal. 51-97.
[1]. Pâsukh-e be Syubuhât-e Wâqe’e Âsyurâ, Ali Asghar Ridwani, hal. 316.
[2]. Ibid, hal. 319.
[3]. I’lâm al-Hidâyah, Imâm Husain As, Al-Majma’ al-‘Alami li Ahlilbait As, hal. 147.
[4]. Mereka berkata, “Imam As memilih empat panglima pasukan dan Muawiyah menarik keempat panglima tersebut dengan menyogok mereka.” Pâsukh-e be Syubuhât-e Wâqe’e Âsyurâ, Ali Asghar Ridwani, hal. 316.
[5]. Meletusnya tiga peperangan, Jamal, Shiffin, Nahrawan, pada masa Imam Ali As, telah menciptakan kelelehan dan frustasi untuk kembali berperang (dengan Muawiyah) di kalangan penolong Imam Hasan As.
[6]. I’lâm al-Hidâyah, Imâm Husain As, Al-Majma’ al-‘Alami li Ahlilbait As, hal. 147.
[7]. Sairi dar Sirah Aimmah Athar As, Murthadha Muthahhari, hal. 77.
[8]. Sairi dar Sirah Aimmah Athar As, Murthadha Muthahhari, hal. 96.
[9]. Imam Hasan As pada akhir khutbah yang beliau sampaikan meminta pendapat dari masyarakat terkait dengan kelanjutan perang. Mereka berteriak dari pelbagai sisi bahwa kami ingin tetap hidup. Kalau begitu tanda tanganilah surat perjanjian damai itu. Pâsukh-e be Syubuhât-e Wâqe’e Âsyurâ, Ali Asghar Ridwani, hal. 316.
[10]. Sairi dar Sirah Aimmah Athar As, Murthadha Muthahhari, hal. 81.