Please Wait
10321
Allah Swt menyerahkan maqam wilâyah kepada seseorang karena ia berada pada maqam maksum Rasulullah Saw dan ilmu sempurna lantaran memiliki akses dan bersambungan dengan wahyu. Mengingat bahwa pemikiran Syiah dalam masalah kemaksuman para Imam Syiah As (tiadanya kesalahan, kekeliruan dan mempunyai ilmu Ilahi) adalah penyerahan wilâyah kepada mereka lantaran adanya ilmu dan kemaksuman. Hal ini mungkin dapat diterima. Lantas bagaimana syarat-syarat penyerahan wilâyah dari sisi Allah Swt kepada seorang wali fakih yang tidak memiliki kemaksuman dan tidak terlepas dari kesalahan juga tidak memiliki ilmu sempurna? Kemudian bagaimana seluruh wewenang Allah Swt, wewenang Rasulullah Saw dan para Imam Maksum diserahkan kepada seseorang yang tidak memiliki syarat-syarat tersebut, tidak berhubungan dengan wahyu juga tidak maksum. Lantaran ia bukan pilihan para maksum maka ia juga tidak terlepas dari kesalahan?
Ketika dikatakan bahwa wilâyah fakih adil dan berkuasa itu merupakan wilâyah para nabi maksudnya adalah wilâyah politik (yang bermakna pemerintahan dan pengaturan urusan-urusan manusia) yang merupakan cabang dari wilâyah tasyri’i. Adapun wilâyah takwini (wilâyah mayor) adalah terkhusus untuk para maksum yang memiliki ilmu Ilahi dan anugerah kemaksuman.
Syarat utama dan asasi wilâyah politik fakih adalah kefakihan dan sifat adil (‘adâlah) yang dimilikinya. Apabila seorang wali fakih tidak memiliki salah satu dari kedua syarat ini maka wilâyahnya akan mentah dengan sendirinya. Karena itu, pendelegasian wilâyah politik para imam kepada seorang juris adil, bukan saja merupakan kesalahan, namun merupakan sebaik-baik pilihan yang dilakukan para Imam Maksum As.
Wilâyah terdiri dari dua jenis. Pertama, wilâyah takwini. Dan kedua, wilâyah tasyri’i. Berdasarkan dalil-dalil tauhid, dua jenis wilâyah tersebut bersumber secara primordial dari Allah Swt .
Pertama, wilâyah takwini: Sesuai dengan ajaran-ajaran al-Qur’an bahwa segala penguasaan pada setiap entitas dan makhluk adalah mungkin saja terjadi sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki. Wilâyah ini adalah penciptaan (khelqat) dan petunjuk (hidayat) takwini seluruh makhluk yang berlaku bagi insan kamil (hujjah Tuhan) sesuai dengan izin Tuhan. Terlepas bahwa apakah hujjah Tuhan ini hidup dengan badan somatik (ragawi) atau tidak. Hal ini persisnya bermakna bahwa sekarang ini Imam Zaman Ajf yang bertanggung jawab atas wilâyah takwini seluruh makhluk dan ghaibnya Imam Zaman (Imam Mahdi Ajf) sama sekali tidak berpengaruh terhadap wilâyah takwini yang dimilikinya. Karena itu, wilâyah takwini ini tidak akan sampai kepada seorang wali fakih.
Kedua, wilâyah tasyri’i: wilâyah tasyri’i bersumber dari ayat-ayat yang menjelaskan bahwa wilâyah tasyri’i seperti syariat, hidayat, irsyad, taufik dan semisalnya bersifat tetap bagi Allah Swt. Wilâyah ini bermakna pemerintahan dan pengaturan secara lahir urusan-urusan duniawi dan ukhrawi manusia. Artinya wali Allah yang mendapat tugas dari sisi Allah Swt untuk mengelolah urusan agama dan dunia masyarakat (terlepas dari apakah tugas ini mengarahkan masyarakat kepada wilâyah wali Allah dan menjadi penyebab terealisirnya pemerintahan atau tidak). Pada masa ghaibat (okultasi) Imam Maksum As tugas ini diserahkan kepada seorang juris (fakih) yang adil dan pada hakikatnya wilâyah fakih merupakan perpanjangan tangan wilâyah para Imam Maksum As. Apabila tidak demikian maka penerapan wilâyah dan pemerintahan (hukumat) yang dilakukan oleh seorang fakih yang memenuhi segala persyaratan tidak akan legal. Lantaran tiada satu pun pemerintahan yang memiliki legalitas tanpa adanya pengangkatan (nashb) dari para Imam Maksum As baik secara langsung atau pun tidak langsung. Hal ini merupakan suatu hal yang sangat penting yang tidak boleh diabaikan begitu saja.[1]
Oleh itu, wilâyah tasyri’i Ilahi pada masa ghaibat maksum diserahkan kepada seorang fakih adil – yaitu orang yang paling sesuai dan paling dekat kepada Imam Maksum. Wali fakih harus berada pada derajat tertinggi keadilan (‘adâlah) dan hal ini meski bukan merupakan kemaksuman (ishmah), namun berada pada tingkatan yang lebih rendah. Tingkatan lebih rendah dari kemaksuman yaitu ‘adâlah ini dimiliki oleh deputi dan penggantinnya (fakih adil).
Demikian juga, penguasa (hakim) Islam harus merupakan seorang juris (yaitu pakar dalam masalah keislaman dan seorang mujtahid) yang kendati sekali-kali tidak akan sampai pada ilmu Ilahi para Imam Maksum As, namun berada setingkat di bawah mereka, sebagai pengganti syarat ilmu Ilahi. Karena itu, Imam Khomeini berkata, “Cabang dari wilâyah tasyri’i imam (wilâyah politik) dikarenakan absen dan ghaibnya, diserahkan kepada deputi umumnya dan wilâyah politik fakih merupakan perpanjangan tangan wilâyah para nabi dan wali serta sederajat dengan wilâyah politik mereka.[2]
Dari apa yang telah dijelaskan di atas menjadi maklum bahwa wilâyah fakih pada hakikatnya adalah wilâyah “faqâha” (kefakihan) dan “’adâlah” (keadilan). Artinya seorang fakih (sebagai pribadi) tidak memiliki wilâyah melainkan kefakihan, sifat adil yang terdapat pada dirinya yang memiliki wilâyah. Dan wilâyah ini diserahkan oleh Imam Maksum dalam kerangka deputi umum.[3] Apabila salah satu syarat asasi ini tidak dimiliki maka wilâyah akan mentah dengan sendirinya.[4]
Karena itu, sebagaimana yang Anda sebutkan bahwa janji Tuhan (‘ahd Ilahi) tidak akan sampai kepada orang-orang zalim, atas dasar ini, syarat asasi penguasa Islam pada masa ghaibat – lantaran syarat kemaksuman tidak tersedia – adalah keadilannya (‘adâlah).
Adapun bahwa pada pemerintahan Islam (Iran), seorang aparat atau pejabat yang melakukan kesalahan atau melakukan kejahatan, maka hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan wali fakih, terkhusus bahwa wali fakih adalah seorang adil maka begitu informasi tentang tidak layaknya penjara Kahrizak, ia memerintahkan penutupan penjara tersebut. Sebagaimana pada masa pemerintahan Rasulullah Saw dan demikian juga pada masa pemerintahan Imam Ali As juga sebagian petugas dan beberapa aparat yang melakukan kesalahan dan kejahatan!
Namun patut disebutkan di sini bahwa penyandaran berita-berita yang tidak dapat diandalkan atau berita yang banyak berisikan dusta atau tudingan akan adanya sodomi dan semisalnya yang disandarkan kepada negara Islam (Iran) yang didasari oleh kepentingan politik, tidak bersandar pada fakta yang ada. Dan ada baiknya Anda tidak menyampaikan hal-hal seperti ini yang sama sekali tidak memiliki bukti atas tudingan tersebut, lantaran tidak berguna bagi dunia dan akhirat Anda serta sesuai dengan prinsip kehati-hatian (ihtiyath) dimana Imam Ali As bersabda, “Akhuka dinuka fahtath lidinik.” (Agama Anda adalah saudara Anda maka berhati-hatilah terhadapnya).[5]
[1]. Diadaptasi dari Pertanyaan 2868 (Site: 5199).
[2]. Silahkan lihat, Imam Khomeini, Shahifah Imâm, jil. 19, hal. 403, Muassasah Tanzhim Atsar-e Imam Khomeini, Cetakan Keempat, Teheran, 1386.
[3]. Deputi umum bermakan bahwa dalam riwayat disebutkan pelbagai syarat dan tipologi seorang deputi namun tidak ditentukan seseorang tertentu. Silahkan lihat, Wilâyat-e Faqih, hal. 178-184, Markaz Nasyr-e Isra, Cetakan Pertama, Qum, 1378. Ahmad Waizhi, Hukumat-e Islâmi, hal. 148-164. Markaz Mudiriyat-e Hauzah ‘Ilmiyah Qum, Cetakan Kedua, Qum 1381. Muhammad Hadi Ma’rifat, Wilâyat-e Faqih, hal. 122-129, Intisyarat al-Tamhid, Cetakan Kedua, Qum, 1377.
[4]. Imam Khomeini, Shahifah Imâm, jil. 11, hal. 306; jil. 10, hal. 352.
[5]. Syaikh Hurr ‘Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 27, hal. 167, Muassasah Ali Al-Bait, Qum, 1409 H.