Please Wait
Hits
6231
6231
Tanggal Dimuat:
2013/11/27
Ringkasan Pertanyaan
Apa hubungan yang terdapat dalam keimamahan Ali As dengan tanah Fadak?
Pertanyaan
Apa hubungan yang terdapat dalam keimamahan Ali AS dengan tanah Fadak?
Jawaban Global
Mengingat tanah Fadak diperoleh tanpa peperangan dan dengan penyerahan para pemiliknya, maka ia tidak tergolong menjadi ghanaim (harta rampasan perang) dan anfal,[1] melainkan hanya menjadi harta pribadi Nabi Saw.[2] Ketika turun ayat “wa âti dzal qurba haqqah”, Nabi Saw memanggil Fatimah Sa dan sesuai perintah ilahi, Nabi Saw memberikan tanah Fadak tersebut kepada beliau.[3]
Akan tetapi setelah berpulangnya Nabi Saw, khalifah pertama mengambil tanah Fadak dari tangan Fatimah Sa, dan beliau dengan segala usahanya tidak berhasil memperoleh kembali yang menjadi haknya.[4]
Tuntutan Fadak dari pihak Fatimah al-Zahra Sa bukan sekedar tuntutan sebidang tanah (ansich), sebagaimana beberapa bukti, indikasi dan riwayat yang menunjukkan aksi tersebut adalah sebuah langkah politik. Salah satu dari bukti-bukti tersebut adalah sebuah riwayat dari Imam Kazhim As yang dinukil dari kitab Akhbâr al-Khulafa yaitu ketika Harun Ar-Rasyid –seorang khalifah dari Bani Abbas– menghendaki Imam Kazhim As untuk menentukan batas tanah Fadak sehingga ia mampu mengembalikannya kepada Ahlulbait, Imam Kazhim As waktu menolak memulai urusan tersebut dan bersabda: “Kamu tidak dapat mengembalikannya.” Dan ketika Harun mendesak, Imam As menjelaskan batas tanah fadak dengan seperti ini: “Batasnya yang pertama adalah wilayah Aden (Yaman), dan batasnya yang kedua Samarkand (Uzbekistan), kemudian batasnya yang ketiga Afrika dan dan selanjutnya batasnya yang keempat Laut Kaspia dan Armenia.[5] Pemaparan Imam As ini menyingkap rahasia tuntutan tanah Fadak, yang dapat dijelaskan pada dua poin:
Pertama, deklarasi hak Ilahiah terkait dengan Imam Ali As dalam keimamahan dan kekhalifaan pasca Nabi Saw.
Kedua, Tidak adanya kelayakan Abu Bakar dalam hal kekhalifahan dan tindak penyerobotan makam keimamahan yang dilakukannya .[6] Salah satu bukti lain adalah setelah menduduki kekhalifaan, Imam Ali As menahan diri dari mengambil alih apa (tanah Fadak) yang menjadi haknya dan menganggap dirinya tidak memerlukan perkara tersebut.[7] [iQuest]
Akan tetapi setelah berpulangnya Nabi Saw, khalifah pertama mengambil tanah Fadak dari tangan Fatimah Sa, dan beliau dengan segala usahanya tidak berhasil memperoleh kembali yang menjadi haknya.[4]
Tuntutan Fadak dari pihak Fatimah al-Zahra Sa bukan sekedar tuntutan sebidang tanah (ansich), sebagaimana beberapa bukti, indikasi dan riwayat yang menunjukkan aksi tersebut adalah sebuah langkah politik. Salah satu dari bukti-bukti tersebut adalah sebuah riwayat dari Imam Kazhim As yang dinukil dari kitab Akhbâr al-Khulafa yaitu ketika Harun Ar-Rasyid –seorang khalifah dari Bani Abbas– menghendaki Imam Kazhim As untuk menentukan batas tanah Fadak sehingga ia mampu mengembalikannya kepada Ahlulbait, Imam Kazhim As waktu menolak memulai urusan tersebut dan bersabda: “Kamu tidak dapat mengembalikannya.” Dan ketika Harun mendesak, Imam As menjelaskan batas tanah fadak dengan seperti ini: “Batasnya yang pertama adalah wilayah Aden (Yaman), dan batasnya yang kedua Samarkand (Uzbekistan), kemudian batasnya yang ketiga Afrika dan dan selanjutnya batasnya yang keempat Laut Kaspia dan Armenia.[5] Pemaparan Imam As ini menyingkap rahasia tuntutan tanah Fadak, yang dapat dijelaskan pada dua poin:
Pertama, deklarasi hak Ilahiah terkait dengan Imam Ali As dalam keimamahan dan kekhalifaan pasca Nabi Saw.
Kedua, Tidak adanya kelayakan Abu Bakar dalam hal kekhalifahan dan tindak penyerobotan makam keimamahan yang dilakukannya .[6] Salah satu bukti lain adalah setelah menduduki kekhalifaan, Imam Ali As menahan diri dari mengambil alih apa (tanah Fadak) yang menjadi haknya dan menganggap dirinya tidak memerlukan perkara tersebut.[7] [iQuest]
[1]. Sesuatu yang menjadi hak Imam AS oleh karena makam imamah sebagaimana Nabi Saw memiliki hak tersebut oleh karena kepemimpinan Ilahiah.
[2]. Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, Riset dan edit oleh Muhammad Abul Fadhl Ibrahim, jil. 16 hal. 210, Maktabah Ayatullah Mar’asyi Najafi, Qum, Cetakan Pertama, 1404 H.
[3]. Nuruddin Ali Bin Abi Bakar Haytsami, Al-Maqshad al-Ulâ fi Zawâid Abi Ya’la Mushili, Riset oleh Sayyid Hasan Kusrawi, jil. 3, hal. 19, Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, Beirut; Ismail Bin Amr Ibnu Katsir Dimasyqi, Tafsir Qur’ân al-Adzim, jil. 5 hal. 63, Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, Beirut, 1419 H.
[4]. Ibnu Sa’ad Katib Waqidi, Muhammad bin sa’ad, Aththabaqatu- Kubra, peneliti: Ihsan Abbas, jil. 8 hal. 28, Darul Shadir, Beirut, cetakan pertama, tahun 1968 M.
[5]. Muhammad Ibn Ali Ibnu Syahr Asyub Mazandarani, Manâqib Âli Abi Thalib As, jil. 4, hal. 320-321, Allamah, Qum, Cetakan Pertama, 1379 H.
[6]. Sayyid Ali Milani, Fadak dar Faraz wa Nasyib, hal. 139, al-Haqaiq, Qum, 1386 H.
[7]. Muhammad bin Hussain Syarifurridha, Nahj al-Balâghah (Subhi Shaleh), hal. 417, Hijrat, Qum, Cetakan Pertama, 1414 H.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar