Please Wait
Hits
36333
36333
Tanggal Dimuat:
2013/11/27
Ringkasan Pertanyaan
Tolong jelaskan tentang penafsiran ayat “Dialah yang Pertama dan Akhir, Lahir dan Batin” itu?
Pertanyaan
Jelaskan tentang penafsiran ayat “Dialah yang Pertama dan Akhir, Lahir dan Batin?” Apakah redaksi seperti ini dijelaskan pada surah lainnya selain surah al-Hadid?
Jawaban Global
Dalam al-Quran, Allah Swt diperkenalkan sebagai berikut:
«هُوَ الْأَوَّلُ وَ الاَخِرُ وَ الظَّاهِرُ وَ الْبَاطِنُ وَ هُوَ بِکلُِّ شىَْءٍ عَلِیمٌ».
“Dia-lah Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir, Yang Maha Lahir dan Yang Maha Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs al-Hadid [57]:3)
Sehubungan dengan makna al-awwal, Imam Shadiq As berkata, “Allah Swt adalah Entitas awal tanpa permulaan dan permulaan tanpa awal. Al-Akhiru artinya segala sesuatu selain Allah Swt di alam semesta akan binasa dan bergejolak, dan hanya Dia yang satu-satunya yang memiliki satu kondisi.
Dalam mengurai makna lahir dan batin disebutkan bahwa al-zhahir artinya argumen-argumen terang dan dalil-dalil benderang serta tanda-tanda beragam yang menunjukkan rububiyyah dan kebenaran keesaan-Nya. Adapun al-batin bermakna sosok laten yang tersembunyi dari pandangan; artinya zat-Nya terpendam dari pelbagai ilusi dan fantasi manusia. Manusia tidak dapat memahaminya dengan panca indra atau sampai pada zat-Nya.
«هُوَ الْأَوَّلُ وَ الاَخِرُ وَ الظَّاهِرُ وَ الْبَاطِنُ وَ هُوَ بِکلُِّ شىَْءٍ عَلِیمٌ».
“Dia-lah Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir, Yang Maha Lahir dan Yang Maha Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs al-Hadid [57]:3)
Sehubungan dengan makna al-awwal, Imam Shadiq As berkata, “Allah Swt adalah Entitas awal tanpa permulaan dan permulaan tanpa awal. Al-Akhiru artinya segala sesuatu selain Allah Swt di alam semesta akan binasa dan bergejolak, dan hanya Dia yang satu-satunya yang memiliki satu kondisi.
Dalam mengurai makna lahir dan batin disebutkan bahwa al-zhahir artinya argumen-argumen terang dan dalil-dalil benderang serta tanda-tanda beragam yang menunjukkan rububiyyah dan kebenaran keesaan-Nya. Adapun al-batin bermakna sosok laten yang tersembunyi dari pandangan; artinya zat-Nya terpendam dari pelbagai ilusi dan fantasi manusia. Manusia tidak dapat memahaminya dengan panca indra atau sampai pada zat-Nya.
Jawaban Detil
Dalam al-Quran, Allah Swt diperkenalkan sebagai berikut:
«هُوَ الْأَوَّلُ وَ الاَخِرُ وَ الظَّاهِرُ وَ الْبَاطِنُ وَ هُوَ بِکلُِّ شىَْءٍ عَلِیمٌ».
“Dia-lah Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir, Yang Maha Lahir dan Yang Maha Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs al-Hadid [57]:3)
Penyifatan dan penyebutan seperti ini pada satu ayat atau dengan redaksi kalimat seperti ini hanya disebutkan pada satu ayat al-Quran. Dalam beberapa riwayat terdapat pembahasan sifat-sifat Allah Swt yang disebutkan pada ayat ini.
Periwayat berkata, “Saya mendengar dari Imam Shadiq As sehubungan dengan makna al-awwâl. Imam Shadiq As berkata, “Allah Swt adalah Entitas awal tanpa permulaan dan permulaan tanpa awal. Al-Akhiru artinya segala sesuatu selain Allah Swt di alam semesta akan binasa dan bergejolak, dan hanya Dia yang satu-satunya yang memiliki satu kondisi. Dalam mengurai makna al-Zhâhir (lahir) dan al-Bâthin (batin) disebutkan bahwa al-Zhâhir artinya argumen-argumen terang dan dalil-dalil benderang serta tanda-tanda beragam yang menunjukkan rububiyyah dan kebenaran keesaan-Nya. Adapun al-Bâthin bermakna sosok laten yang tersembunyi dari pandangan; artinya zat-Nya terpendam dari pelbagai ilusi dan fantasi manusia. Manusia tidak dapat memahami-Nya dengan panca indra atau dapat sampai pada zat-Nya.
Perawi berkata, “Saya mendengar sabda Imam Shadiq dalam menjawab pertanyaan seseorang terkait dengan penafsiran ayat “huwa al-awwal wa al-akhir.” Beliau menjelaskan bahwa Allah Swt adalah Entitas Pertama yang tiada mendahuluinya dan tiada permulaan yang mengawalinya. Akhir tiada yang memungkasi. Sosok-Nya tidak sebagaimana sifat-sifat makhluk yang memiliki akhir (sebagaimana yang disebutkan: si Ali adalah anak terakhir si Ahmad dimana tiada lagi anak setelahnya) namun Allah Swt itu adalah qadim awwal (pertama yang tiada satu pun sebelumnya dan tiada satu pun yang mengawalinya) dan akhir yang abadi serta tidak akan pernah sirna. Dia dulunya ada dan akan selalu ada, tanpa permulaan dan penghujung, Dia tidak dicipta, tidak berubah dan Pencipta segala sesuatu.”[1]
Dalam riwayat lainnya, Imam Shadiq As mengurai penasiran tentang kata “al-bâthin.” Ibnu Abi Ya’fur berkata, “Saya bertanya kepada Imam Shadiq As ihwal firman Allah Swt ‘huwa al-awwal wa al-akhir’ Saya dapat memahami al-awwâl itu apa, namun tolong Anda jelaskan gerangan apa maksud dari kata al-akhir itu. Imam Shadiq As berkata, ‘Segala sesuatu akan binasa dan berubah kecuali Allah Swt. Binasa dan berubah ini, entah sesuatu yang dari luar menembusnya atau warna, bentuk dan sifatnya yang berubah, dari banyak menjadi sedikit dan dari sedikit menjadi banyak. Hanya Dia yang senantiasa dalam satu kondisi dan demikian selanjutnya. Dia adalah Yang Pertama sebelum segala sesuatu dan Dia akhir untuk selamanya. Sifat-sifat dan nama-nama beragam tidak memasukinya sebagaimana selainnya seperti manusia yang terkadang disifati dengan tanah, terkadang dengan daging dan darah, dan terkadang tulang yang terbungkus dan lembut...”[2]
Demikian juga ulama dalam mengurai makna lahir dan batin ini menyebutkan, “Al-zhâhir artinya argumen-argumen terang dan dalil-dalil benderang serta tanda-tanda beragam yang menunjukkan rububiyyah dan kebenaran keesaan-Nya. Juga menandaskan bahwa tiada satu pun entitas kecuali memberikan kesaksian akan keberadaan-Nya dan tiada satu pun makhluk kecuali menyingkap keesaan-Nya.
Adapun al-bâthin bermakna sosok laten yang tersembunyi dari pandangan. Karena itu, Dia nampak dan tersembunyi. Dia itu lahir melalui dalil-dalil dan tanda-tanda, namun dzat-Nya terpendam dari pelbagai ilusi dan fantasi manusia. Artinya zat-Nya terhijab dan tertutupi namun pada saat yang sama terang melalui tanda-tanda.”[3]
Ahli tafsir lainnya juga menyebutkan penafsiran yang dekat dengan penafsiran ini.[4] Meski terdapat makna lainnya yang disebutkan terkait dengan sifat-sifat yang disebutkan pada ayat ini.[5]
Apa yang telah disebutkan adalah ringkasan penafsiran dari ayat yang menjadi obyek bahasan. Namun sifat-sifat Tuhan tentu saja dibahas secara detil dan khusus dalam ilmu-ilmu rasional khususnya Teologi dan Filsafat bahkan sebagian ahli tafsir juga membahas persoalan ini;[6] Boleh jadi atas dasar ini, Imam Sajjad As, terkait dengan jenis ayat-ayat ini, bersabda, “Allah Swt mengetahui bahwa pada akhir zaman akan datang sekelompok orang yang teliti dan cermat yang memahami surah Qul huwallahu ahad dan ayat-ayat pertama surah al-Hadid yang akhirnya wa huwa ‘alim bidzati al-shudur.[7] Karena itu barang siapa yang ingin belajar makrifatullah selain ini maka ia akan binasa.”[8] [iQuest]
«هُوَ الْأَوَّلُ وَ الاَخِرُ وَ الظَّاهِرُ وَ الْبَاطِنُ وَ هُوَ بِکلُِّ شىَْءٍ عَلِیمٌ».
“Dia-lah Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir, Yang Maha Lahir dan Yang Maha Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs al-Hadid [57]:3)
Penyifatan dan penyebutan seperti ini pada satu ayat atau dengan redaksi kalimat seperti ini hanya disebutkan pada satu ayat al-Quran. Dalam beberapa riwayat terdapat pembahasan sifat-sifat Allah Swt yang disebutkan pada ayat ini.
Periwayat berkata, “Saya mendengar dari Imam Shadiq As sehubungan dengan makna al-awwâl. Imam Shadiq As berkata, “Allah Swt adalah Entitas awal tanpa permulaan dan permulaan tanpa awal. Al-Akhiru artinya segala sesuatu selain Allah Swt di alam semesta akan binasa dan bergejolak, dan hanya Dia yang satu-satunya yang memiliki satu kondisi. Dalam mengurai makna al-Zhâhir (lahir) dan al-Bâthin (batin) disebutkan bahwa al-Zhâhir artinya argumen-argumen terang dan dalil-dalil benderang serta tanda-tanda beragam yang menunjukkan rububiyyah dan kebenaran keesaan-Nya. Adapun al-Bâthin bermakna sosok laten yang tersembunyi dari pandangan; artinya zat-Nya terpendam dari pelbagai ilusi dan fantasi manusia. Manusia tidak dapat memahami-Nya dengan panca indra atau dapat sampai pada zat-Nya.
Perawi berkata, “Saya mendengar sabda Imam Shadiq dalam menjawab pertanyaan seseorang terkait dengan penafsiran ayat “huwa al-awwal wa al-akhir.” Beliau menjelaskan bahwa Allah Swt adalah Entitas Pertama yang tiada mendahuluinya dan tiada permulaan yang mengawalinya. Akhir tiada yang memungkasi. Sosok-Nya tidak sebagaimana sifat-sifat makhluk yang memiliki akhir (sebagaimana yang disebutkan: si Ali adalah anak terakhir si Ahmad dimana tiada lagi anak setelahnya) namun Allah Swt itu adalah qadim awwal (pertama yang tiada satu pun sebelumnya dan tiada satu pun yang mengawalinya) dan akhir yang abadi serta tidak akan pernah sirna. Dia dulunya ada dan akan selalu ada, tanpa permulaan dan penghujung, Dia tidak dicipta, tidak berubah dan Pencipta segala sesuatu.”[1]
Dalam riwayat lainnya, Imam Shadiq As mengurai penasiran tentang kata “al-bâthin.” Ibnu Abi Ya’fur berkata, “Saya bertanya kepada Imam Shadiq As ihwal firman Allah Swt ‘huwa al-awwal wa al-akhir’ Saya dapat memahami al-awwâl itu apa, namun tolong Anda jelaskan gerangan apa maksud dari kata al-akhir itu. Imam Shadiq As berkata, ‘Segala sesuatu akan binasa dan berubah kecuali Allah Swt. Binasa dan berubah ini, entah sesuatu yang dari luar menembusnya atau warna, bentuk dan sifatnya yang berubah, dari banyak menjadi sedikit dan dari sedikit menjadi banyak. Hanya Dia yang senantiasa dalam satu kondisi dan demikian selanjutnya. Dia adalah Yang Pertama sebelum segala sesuatu dan Dia akhir untuk selamanya. Sifat-sifat dan nama-nama beragam tidak memasukinya sebagaimana selainnya seperti manusia yang terkadang disifati dengan tanah, terkadang dengan daging dan darah, dan terkadang tulang yang terbungkus dan lembut...”[2]
Demikian juga ulama dalam mengurai makna lahir dan batin ini menyebutkan, “Al-zhâhir artinya argumen-argumen terang dan dalil-dalil benderang serta tanda-tanda beragam yang menunjukkan rububiyyah dan kebenaran keesaan-Nya. Juga menandaskan bahwa tiada satu pun entitas kecuali memberikan kesaksian akan keberadaan-Nya dan tiada satu pun makhluk kecuali menyingkap keesaan-Nya.
Adapun al-bâthin bermakna sosok laten yang tersembunyi dari pandangan. Karena itu, Dia nampak dan tersembunyi. Dia itu lahir melalui dalil-dalil dan tanda-tanda, namun dzat-Nya terpendam dari pelbagai ilusi dan fantasi manusia. Artinya zat-Nya terhijab dan tertutupi namun pada saat yang sama terang melalui tanda-tanda.”[3]
Ahli tafsir lainnya juga menyebutkan penafsiran yang dekat dengan penafsiran ini.[4] Meski terdapat makna lainnya yang disebutkan terkait dengan sifat-sifat yang disebutkan pada ayat ini.[5]
Apa yang telah disebutkan adalah ringkasan penafsiran dari ayat yang menjadi obyek bahasan. Namun sifat-sifat Tuhan tentu saja dibahas secara detil dan khusus dalam ilmu-ilmu rasional khususnya Teologi dan Filsafat bahkan sebagian ahli tafsir juga membahas persoalan ini;[6] Boleh jadi atas dasar ini, Imam Sajjad As, terkait dengan jenis ayat-ayat ini, bersabda, “Allah Swt mengetahui bahwa pada akhir zaman akan datang sekelompok orang yang teliti dan cermat yang memahami surah Qul huwallahu ahad dan ayat-ayat pertama surah al-Hadid yang akhirnya wa huwa ‘alim bidzati al-shudur.[7] Karena itu barang siapa yang ingin belajar makrifatullah selain ini maka ia akan binasa.”[8] [iQuest]
[1]. Syaikh Shaduq, Ma’âni al-Akhbâr, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari, hal. 12, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Pertama, 1403 H; Syaikh Shaduq, Ma’âni al-Akhbâr, Terjemahan Persia Abdulali Muhammadi Syahrudi, jil. 1, hal. 26-27, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Kedua, 1377
[2]. Muhammad Yakub Kulaini, al-Kâfi, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi, jil. 1, hal. 115, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Keempat, 1407 H; Kâfi, Terjemahan Persia oleh Sayid Jawad Mustafawi, jil. 1, hal. 156, Kitabpurusyi Ilmiyah Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1369 S.
[3]. Ahmad Ibnu Fahad al-Hilli, Uddat al-Dâ’i Najah al-Sâ’i, Riset dan edit oelh Ahmad Muwahhidi Qummi, hal.321, Dar al-Kutub al-Islami,Cetakan Pertama, 1407 H; Ahmad Ibnu Fahad al-Hilli, Terjemahan Persia Uddat al-Dâ’i Najah al-Sâ’i oleh Husain Ghaffari Sarawi, hal. 561, Bunyad Ma’arif Islami, Qum, Cetakan Pertama, 1375 S.
[4]. Muhammad Jawad Mughniyah, Tafsir al-Kâsyif, jil. 7, hal. 239, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1424 H; Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jil.23, hal. 298, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S.
[5]. Abu Muhammad Sahl bin Abdullah Tustari, Tafsir al-Tustari, Riset oleh Muhammad Basil ‘Uyun al-Sud, hal. 161, Mansyurat Muhammad Ali Baidhun, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1423 H.
[6]. Abu Abdillah Muhammad bin Umar, Fakhruddin Razi, Mafâtih al-Ghaib, jil. 29, hal. 444-448, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Ketiga, 1420 H; Muhammad bin Ibrahim Shadr al-Muta’allihin, Tafsir al-Qur’ân al-Karim, Riset oleh Muhammad Khajawi, jil. 6, hal. 153-157, Intisyarat Bidar, Qum, Cetakan Kedua, 1366 S.
[7]. (Qs. Al-Hadid [57]: 6)
[8]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 230.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar