Please Wait
14037
Berdasarkan pelbagai kebutuhan dan kemaslahatan personal dan sosial, Islam membolehkan poligami. Dalam hal ini, Islam memberikan beberapa syarat bagi mereka yang ingin melakukan poligami:
- Pria harus bersikap adil kepada para istrinya.
- Jumlah istri permanen (dâim) tidak boleh lebih dari empat.
- Izin istri diperlukan apabila ia ingin menikah dengan anak dari saudaranya atau saudarinya (kemenakan istri).
Adapun hubungan, suka, cinta antara istri dan suaminya meski dibutuhkan dan akan menyebabkan kokohnya fondasi rumah tangga dan ikatan pernikahan dalam menghadapi pelbagai amukan problematika, namun hal ini tidak menjadi syarat sah atau tidaknya sebuah pernikahan.
Kendati demikian, tidak mungkin dua manusia berakal siap dan rela menikah tanpa adanya unsur suka dan cinta sama sekali antara satu dengan yang lain. Namun apabila dengan asumsi mustahil, pria dan wanita mengikat tali pernikahan meski tanpa adanya unsur cinta dan suka sama sekali serta menikah dengan maksud semata-mata ingin menyalurkan syahwat atau motivasi politik dan duniawi, maka pernikahan keduanya dalam pandangan syariat tetap sah.
Poligami sebelum Islam merupakan hal yang lumrah dan tidak terikat dengan pakem dan batasan tertentu. Setelah kedatangan Islam, Islam membolehkan poligami berdasarkan pelbagai kebutuhan dan kemaslahatan personal dan sosial. Islam menetapkan syarat-syarat dan batasan-batasan terkait dengan poligami; karena dalam komunitas masyarakat realitas-realitas berikut ini adalah hal-hal yang tidak dapat dinafikan:
- Para pria dalam pelbagai kejadian dalam hidup, melebihi wanita, senantiasa berada dalam bahaya dan ancaman maut. Kaum prialah yang biasanya menjadi korban asli peperangan dan peristiwa-peristiwa lainnya.
- Kekuatan dan tetapnya gejolak seksual lebih panjang pada kaum pria ketimbang kaum wanita.
- Kaum wanita tatkala datang bulan (menstruasi) dan ketika mengandung (pada bulan tertentu) secara praktis tidak dapat digauli sementara kaum pria tidak ada larangan seperti ini.
- Kaum wanita disebabkan karena beragam alasan dan sebab kehilangan suami-suami mereka dan apabila tidak ada poligami maka mereka akan senantiasa menjanda selamanya.
- Kaum wanita (anak-anak putri) enam tahun lebih lebih cepat menginjak usia dewasa dan baligh ketimbang kaum pria (anak-anak putra). Mereka memiliki kesiapan seksual untuk menikah dan biasanya kaum wanita juga lebih cepat menikah ketimbang kaum pria.
Beberapa faktor ini telah menyebabkan terciptanya kondisi yang tidak kondusif di antara kaum pria dan kaum waita sehingga untuk menjaga keselamatan masyarakat dan anggotanya maka mau tak mau kita harus memilih di antara salah satu tiga alternatif berikut ini:
Pertama: Kaum pria harus merasa puas dengan satu istri dalam setiap kondisi dan kaum wanita yang menjanda harus tetap menjabat status janda selamanya dan seluruh kebutuhan-kebutuhan fitrawi dan keinginan-keinginan batin dan afeksinya harus diberangus dan diredam begitu saja.
Kedua: Kaum pria hanya memiliki satu istri legal namun menjalin hubungan asmara secara gelap, bebas dan illegal dengan wanita-wanita yang tidak memiliki suami.
Ketiga: Orang-orang yang memiliki kemampuan untuk mengatur lebih dari satu istri dan tidak ada masalah secara fisikal dan finansial, dan juga memiliki kemampuan untuk bersikap adil kepada para istri dan anak-anak, diberikan izin untuk memilih lebih dari satu istri.
Nah apabila kita ingin memilih alternatif pertama, terlepas dari pelbagai problematika sosial yang dimunculkannya, maka kita harus memerangi fitrah, gejolak insting dan pelbagai kebutuhan mental dan fisikal manusia. Demikian juga kita harus mengabaikan pelbagai afeksi dan emosi wanita-wanita seperti ini. Namun perlawanan ini tidak memberikan kemenangan sama sekali bagi manusia. Anggaplah alternatif pertama ini dijalankan maka kita tidak dapat menutupi sisi-sisi non-manusiawinya. Masalah poligami dalam hal-hal yang urgen tidak hanya dapat ditinjau dari sudut pandang istri pertaa, melainkan harus ditinjau dari sudut pandang istri kedua dan pelbagai kemaslahatan dan tuntutan sosial masyarakat. Mereka yang mempersoalkan poligami karena alasan istri pertama adalah orang-orang yang melihat tiga dimensi persoalan hanya dalam satu pandangan; karena poligami di samping harus ditinjau dari sudut pandang pria, juga dari sudut pandang istri pertama, demikian juga dari sudut pandang istri kedua. Kemudian kita dapat memutuskan secara berimbang setelah menimbang tiga sudut pandang ini dengan menimbang pelbagai kemaslahatan secara keseluruhan dari persoalan ini.
Apabila alternatif kedua yang kita pilih maka kita harus menerima dan mengakui kemungkaran. Terlebih, para wanita yang menjadi WIL dan kekasih gelap pria akan dieksploitasi secara seksual yang tidak memberikan masa depan dan jaminan ketenangan bagi mereka; karena kepribadian mereka telah diinjak-injak. Tentu saja hal ini tidak akan pernah dibolehkan oleh orang-orang yang berakal dan berpengetahuan.[1]
Satu-satunya alternatif yang tersisa, di samping sesuai dengan tuntutan fitrah dan mampu memenuhi pelbagai kebutuhan-kebutuhan seksual wanita juga kita dapat mencegah tersebarnya kemungkaran dan kekacauan dari wanita-wanita seperti ini serta mengeluarkan masyarakat dari badai dosa yang dapat ditimbulkan.[2]
Berdasarkan hal ini, Islam memilih alternatif ketiga dan memberikan izin kepada kaum pria untuk memilih dan menikahi istri lebih dari satu. Dalam masalah ini, Islam menetapkan syarat yang harus dijalankan bagi pria yang ingin melakukan poligami:
- Pria harus bersikap adil kepada para istrinya.
- Jumlah istri-istri (permanen) tidak boleh lebih dari empat.
- Izin dari istri apabila pria ingin menikah dengan putri dari saudara atau saudari istri (kemenakan).
Adapun hubungan, suka, cinta antara istri dan suaminya meski dibutuhkan dan akan menyebabkan kokohnya fondasi rumah tangga dan ikatan pernikahan dalam menghadapi pelbagai amukan problematika, namun hal ini tidak menjadi syarat sah atau tidaknya sebuah pernikahan.
Kendati demikian, tidak mungkin dua manusia berakal siap dan rela menikah tanpa adanya unsur suka dan cinta sama sekali antara satu dengan yang lain. Namun apabila dengan asumsi mustahil, pria dan wanita mengikat tali pernikahan meski tanpa adanya unsur cinta dan suka sama sekali serta menikah dengan maksud semata-mata ingin menyalurkan syahwat atau motivasi politik dan duniawi, maka pernikahan keduanya dalam pandangan syariat tetap sah. [iQuest]
[1]. Silahkan lihat, Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 3, hal. 256-260; Murtadha Muthahhari, Majmu’e Atsar, jil. 19, hal. 357-361; Tafsir al-Mizan, jil. 4, hal. 319.
[2]. Diadaptasi dari Pertanyaan 633 (Site: 692), Indeks Islam dan Poligami.