Please Wait
8800
Sebab tiadanya tindakan pencegahan dari Imam Ali As dalam hal ini dapat dijawab dari beberapa sisi:
1. Mizan dan kriteria dalam menuaikan tugas adalah pengetahuan normal.
Imam dalam menjalankan ketaatan firman Tuhan tidak beramal berdasarkan ilmu batin (ilmu gaib) yang dimilikinya dan beramal sebagaimana orang pada umumnya. Sekiranya Imam Ali As ingin beramal berdasarkan ilmu gaibnya maka ia tidak akan dapat menjadi teladan dan contoh bagi masyarakat. Lantaran masyarakat secara umum tidak memiliki amalan sedemikian (yang berdasarkan ilmu gaib).
2. Sistem yang berlaku di alam semesta adalah sistem ujian dan cobaan. Sementara menggunakan ilmu gaib dan beramal berdasarkan ilmu tersebut akan menghilangkan dan menafikan sistem ujian tersebut. Karena hal itu akan menjadi penghalang normal dan wajarnyanya seluruh perbuatan.
Dengan kata lain, benar bahwa Imam Ali As sebagaimana yang lain memiliki tugas untuk membela diri dan jiwanya. Namun pertama, tugas ini berada dalam batasan ilmu normal dan tidak termasuk ilmu gaib. Kedua, dari sisi lain tindakan Ibnu Muljam ini (yang berujung pada kesyahidan Imam Ali) adalah sebuah ujian dan ilmu imam tidak boleh menjadi penghalang kebebasan dan ikhtiarnya. Apabila Imam Ali ingin menggunakan ilmu gaib yang dimilikinya maka hal itu akan menafikan ikhtiar Ibnu Muljam dan dengan demikian tidak ada lagi ruang untuk menjalani ujian dan cobaan baginya.
Imam dalam menjalankan ketaatan firman Tuhan tidak beramal berdasarkan ilmu batin (ilmu imâmah dan ilmu gaib) yang dimilikinya, melainkan beramal sebagaimana orang pada umumnya dan berbuat sebagaimana yang lain pada seluruh hukum syariat. Hal itu dikarenakan Allah Swt menghendaki seluruh titah dan perintah yang ditujukan kepada seluruh hamba-Nya adalah seragam pada setiap orang. Berdasarkan hal itu Rasulullah dalam mengadili dan membuat keputusan di tengan masyarakat tidak beramal berdasarkan ilmu batin (gaibnya). Pengadilan dan peradilan yang dilakukan di tengah masyarakat berdasarkan ilmu normal. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya aku mengadili dan memutuskan perkara antara kalian dengan bukti-bukti dan sumpah-sumpah. Sebagian kalian lebih pandai mengemukakan alasan dari yang lain. Siapapun yang aku putuskan memperoleh harta sengketa yang ternyata milik orang lain (saudaranya), sesungguhnya aku putuskan baginya potongan api neraka.”[1]
Hal ini dimaksudkan bahwa setiap orang memiliki bukti dan saksi atas klaimnya atau menyatakan sumpah. Aku mengadili yang menguntungkan dirinya terlepas apakah ia benar perkataannya atau dusta. Apabila ia berdusta mengatakan sesuatu sebagai milikinya (yang ternyata bukan miliknya) maka hal itu adalah laksana bagian dari api neraka.
Karena itu, kendati Baginda Ali As mengetahui masa dan bagaimana ia syahid namun dalam hal ini ia bertugas mengikuti aturan lahir dan tidak memiliki hak untuk beramal berdasarkan ilmu gaib yang dimilikinya. Hal itu dikarenakan bahwa Baginda Ali As adalah teladan masyarakat Islam dan harus menunaikan tugasnya berdasarkan cara-cara normal dan biasa yang dapat dilakukan oleh semua orang. Di samping itu, beliau juga harus menimbang pelbagai kondisi dan hal-hal yang umum digunakan oleh masyarakat dan beramal berdasarkan hal tersebut. Apabila Imam Ali As ingin beramal berdasarkan ilmu gaibnya maka ia tidak lagi dapat menjadi teladan dan contoh bagi masyarakat. Karena masyarakat tidak memiliki ilmu seperti ini. Dari sisi lain, perbuatan para Imam Maksum As berdasarkan ilmu gaib akan menyebabkan chaos dan kacaunya tatanan sosial dalam masyarakat. Karena itu, mereka pada umumnya dan pada kebanyakan urusan beramal berdasarkan ilmu lahir (ilmu normal) dan kecuali pada saat-saat sebagian yang amat-sangat dibutuhkan mereka tidak menggunakan ilmu gaibnya.
Di samping itu, sistem yang berlaku di alam semesta adalah sistem ujian dan cobaan. Al-Qur’an menyatakan, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Qs. Al-Ankabut [29]:2) Atau pada ayat lainnya disebutkan, “Yang menciptakan mati dan hidup supaya Dia mengujimu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Qs. Al-Mulk [67]:2)
Keniscayaan adanya ujian dan cobaan adalah kepemilikan kehendak dan ikhtiar dalam memilih kebaikan dan keburukan. Proses urusan berjalan berdasarkan siklus kewajaran (normal) dan perolehan hasilnya di kampung akhirat. Sementara menggunakan ilmu gaib dan beramal berdasarkan ilmu tersebut akan menghilangkan sistem dan mekanisme ujian tersebut. Mengingat hal itu akan menjadi penghalang normalnya seluruh perbuatan.
Dengan kata lain, benar bahwa Imam Ali As sebagaimana yang lain memiliki tugas untuk membela diri dan jiwanya. Namun pertama, tugas ini berada dalam batasan ilmu normal dan tidak termasuk ilmu gaib. Kedua, dari sisi lain tindakan Ibnu Muljam ini (yang berujung pada kesyahidan Imam Ali) adalah sebuah ujian dan ilmu imam tidak boleh menjadi penghalang kebebasan dan ikhtiarnya. Apabila Imam Ali ingin menggunakan ilmu gaib yang dimilikinya maka hal itu akan menafikan ikhtiar Ibnu Muljam dan dengan demikian tidak tersisa lagi ruang baginya untuk menjalani ujian dan cobaan. Tentu hal ini berseberangan dengan sunnahtuLlah. Sementara seluruh sunnah Ilahi di antaranya ujian para hamba adalah sunnah yang tak tergantikan dan tak berubah. Al-Qur’an terkait dengan sunnah-sunnah Ilahi menyatakan, “Maka sekali-kali kamu tidak akan menemukan penggantian bagi sunah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemukan perubahan bagi sunah Allah itu.” (Qs. Fathir [35]:43) Karena itu, lantaran ilmu gaib akan menyebabkan berganti dan berubahnya sunnah-sunnah Ilahi (berupa ujian dan cobaan) sehingga dengan demikian Imam Ali As tidak boleh menggunakan ilmu gaib yang dimilikinya. [IQuest]
[1]. Al-Kâfi, Kulaini, jil. 7, hal. 414.
بَابُ أَنَّ الْقَضَاءَ بِالْبَیِّنَاتِ وَ الْأَیْمَانِ ،حدیث 1،. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ص إِنَّمَا أَقْضِی بَیْنَکُمْ بِالْبَیِّنَاتِ وَ الْأَیْمَانِ وَ بَعْضُکُمْ أَلْحَنُ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَیُّمَا رَجُلٍ قَطَعْتُ لَهُ مِنْ مَالِ أَخِیهِ شَیْئاً فَإِنَّمَا قَطَعْتُ لَهُ بِهِ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ