Please Wait
12977
Konsep tentang Tuhan merupakan konsep yang paling umum dan sederhana. Demikian sederhananya sehingga dapat dipahami oleh seluruh manusia, bahkan oleh mereka yang menafikan wujud Tuhan sekalipun. Kendati pengenalan esensi dan hakikat Zat Tuhan mustahil bagi manusia namun masih banyak jalan untuk memperoleh keyakinan terhadap wujud Tuhan. Jalan-jalan untuk mengenal Tuhan dalam sebuah klasifikasi umum dapat dibagi menjadi beberapa bagian:
1. Jalan rasional (Burhan Imkan dan Wujub)
2. Jalan empirik (Argumen Keteraturan)[i]
3. Jalan hati (Argumen Fitrah)[ii]
Adapun bagaimana bersandar kepada Zat-Nya harus dikatakan bahwa sosok yang kita jadikan sebagai tumpuan tawakkal harus memiliki dua keutamaan:
1. Ilmu yang cukup terhadap sebuah persoalan yang diserahkan kepadanya dan permintaan yang diajukan kepadanya.
2. Kemampuan dan kekuatan untuk melaksanakan pekerjaan.
Allah Swt karena mengetahui terhadap segala sesuatu yang tampak dan tersembunyi serta tiada sesuatu pun yang tertutup bagi-Nya demikian juga berkuasa atas segala sesuatu. Dia merupakan sebaik-baik teman dalam segala kondisi dan sebaik-baik sahabat yang dapat dijadikan sebagai sandaran dan andalan.
Sehubungan dengan jalan-jalan untuk mencintai Tuhan juga, kita harus mencermati beberapa hal penting:
1. Sumber cinta adalah memahami kesempurnaan sosok yang dicintai dan Sang Kekasih.[iii]
2. Manusia adalah entitas yang senantiasa mencari kesempurnaan dan sosok yang menghendaki kesempurnaan.
3. Zat Suci Tuhan adalah kesempurnaan (kamal) dan keindahan (jamal) absolut sumber segala kebaikan dan keindahan.
Karena itu , manusia pada kedalaman dirinya adalah seorang pecinta Tuhan kendati boleh jadi karena pelbagai penyimpangan pemikiran dan perbuatan menjadikan sesuatu yang lain sebagai tuhannya. Atas dasar itu, tujuan pengutusan para nabi Ilahi di antaranya adalah untuk menyingkirkan segala penyimpangan dan menghilangkan segala noda kelalaian dan kebodohan serta menyucikan lembaran hati manusia dari pelbagai noda.
Tidak diragukan bahwa cinta sejati memiliki tanda-tanda. Dan supaya manusia benar-benar mencintai Tuhan, pencipta cinta, maka ia harus menyucikan jiwanya dan menjalankan program sair wa suluk pada jalan-jalan terang syariat yang ditentukan oleh para arif sejati yaitu para Imam Maksum As. Di samping itu, manusia harus berupaya untuk semakin mendekatkan diri kepada tanda-tanda ini sehingga ia dapat menggapai hakikat dan mencicipi rasa cinta sejati.
[i]. Metode ini disebut sebagai metode empirik tidak bermakna tiadanya inferensi dan penalaran rasional sama sekali, melainkan menitikberatkan pada fakta bahwa salah satu pendahuluan-pendahuluan asasinya adalah observasi empirik pelbagai fenomena natural.
[ii]. Ma’ârif Islâm, jil. 1, hal. 41. . Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat Indeks: Mengenal Tuhan diadaptasi dari Pertanyaan 479 (Site: 520)
[iii]. Syarh Isyârat, jil. 3, hal. 360.
Konsep tentang Tuhan merupakan sebuah konsep yang paling umum dan paling sederhana yang dapat dipahami dengan mudah oleh setiap manusia bahkan oleh mereka yang mengingkari wujud Tuhan. Konsep ini terdapat dalam benak mereka sendiri. Lantaran semuanya tahu bahwa Tuhan adalah Pencipta seluruh entitas dan eksisten, Maha Kuasa untuk melakukan seluruh perbuatan, Maha Mengetahui atas segala sesuatu, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Hidup dan seterusnya, kendati mereka tidak menerima wujud Tuhan seperti ini. Namun harus diketahui bahwa mengenal hakikat dan esensi Zat Tuhan mustahil bagi manusia. Karena Zat Tuhan adalah nir-batas dan tanpa ujung. Di samping itu, juga karena zat dan tipologi manusia terbatas sehingga tidak mungkin baginya memahami hakikat Tuhan yang tidak terbatas. “Laa yuhithuna bihi ‘Ilman.” (sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya, Qs. Thaha [20]:110) Atas dasar itu, manusia tidak boleh memikirkan tentang Zat Tuhan.
Meski hakikat Zat Tuhan tidak dapat dikenal secara sempurna akan tetapi pengenalan sifat-sifat Tuhan memungkinkan bagi manusia dan masing-masing berdasarkan potensi dan usahanya dapat mengenal sifat-sifat Tuhan. Jalan-jalan mengenal Tuhan Yang Mahakuasa dapat dibagi menjadi beberapa jalan:
1. Jalan rasional seperti burhân imkan dan wujub
2. Jalan empirik dan indrawi seperti argumen keteraturan (burhân nazhm)[1]
3. Jalan hati atau argumen fitrah.[2]
Adapun bagaimana bersandar kepada Zat-Nya harus dikatakan bahwa sosok yang kita jadikan sebagai tumpuan tawakkal harus memiliki dua keutamaan:
1. Ilmu yang cukup terhadap sebuah persoalan yang diserahkan kepadanya dan permintaan yang diajukan kepadanya.
2. Kemampuan dan kekuatan untuk melaksanakan pekerjaan.
Allah Swt karena mengetahui terhadap segala sesuatu yang tampak dan tersembunyi serta tiada sesuatu pun yang tertutup bagi-Nya demikian juga berkuasa atas segala sesuatu. Dia merupakan sebaik-baik teman dalam segala kondisi dan sebaik-baik sahabat yang dapat dijadikan sebagai sandaran dan andalan.[3] Imam Ali As bersabda, “Tawakkal merupakan hasil keyakinan kuat kepada Allah Swt.”[4] Demikian juga barang siapa yang bersandar kepada Allah Swt yaitu bertawakkal kepada-Nya maka Allah Swt akan mencukupi baginya. Imam Ali As bersabda, “al-tawakkal khairu ‘imâdin.” Tawakkal (kepada Allah Swt) adalah sebaik-baik sandaran.[5]
Akan tetapi konsep tawakkal seperti konsep-konsep agama lainnya tertutupi dengan kabut kebodohan dan supertisi sedemikian sehingga sekelompok orang menganggap tawakkal bermakna bahwa satu-satunya pengambil keputusan adalah Allah Swt. Usaha dan upaya manusia sama sekali tidak memiliki peran dalam menentukan nasib dan mengatur kehidupannya. Sementara dari sudut pandang literatur agama, tempat bertawakkal adalah ketika manusia ingin melakukan sebuah pekerjaan. Oleh itu, tawakkal hanya bermakna ketika disertai dengan perbuatan. Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an, “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya” (Qs. Ali Imran [3]:159)
Rasulullah Saw kepada salah seorang Arab yang melepaskan untanya dan berkata aku bertawakkal kepada Allah bersabda, “Ikatlah untamu kemudian bertawakkallah.”[6]
Jalan untuk Sampai pada Maqam Cinta (isyq) kepada Allah Swt
Redaksi kalimat ‘i-sy-q derivasinya dari kata ‘a-sya-qah yang bermakna kencendrungan ekstrem. ‘A-sya-qah adalah sebuah tanaman yang tatkala melilit pohon, ia meminum airnya; sebagai hasilnya pohon menguning dan kemudian secara perlahan mengering.[7]
Adapun secara teknikal dan terminologis ‘i-sy-q adalah cinta intens dan ekstrem. Dengan kata lain ‘i-sy-q adalah sebuah tingkatan tertinggi mahabbah.[8]
Adapun penjelasan universal rasional jalan manusia untuk sampai kepada kecintaan ekstrem (isyq) kepada Tuhan, dengan memperhatikan beberapa poin berikut ini, akan menjadi jelas:
1. Sumber cinta adalah memahami kesempurnaan sosok yang dicintai dan sang Kekasih.[9]
2. Manusia adalah entitas yang senantiasa mencari kesempurnaan dan sosok yang menghendaki kesempurnaan.
3. Zat Suci Tuhan adalah kesempurnaan (kamâl) dan keindahan (jamâl) absolut sumber segala kebaikan dan keindahan.
Karena itu , manusia pada kedalaman dirinya adalah seorang pecinta Tuhan kendati boleh jadi karena pelbagai penyimpangan pemikiran dan perbuatan menjadikan sesuatu yang lain sebagai tuhannya. Atas dasar itu, tujuan pengutusan para nabi Ilahi di antaranya adalah untuk menyingkirkan segala penyimpangan dan menghilangkan segala noda kelalaian dan kebodohan serta menyucikan lembaran hati manusia dari pelbagai noda.
Masalah lainnya, cinta ekstrem yang diilustrasikan agama untuk manusia adalah terpengaruh oleh pandangan khusus agama kepada manusia. Alam keberadaan dan Allah Swt dan hubungan segitiga cinta ekstrem ini adalah kecintaan dua belah pihak.[10] Artinya bahwa di hadapan cinta manusia kepada Tuhan, Dia juga cinta kepada manusia.[11]
Jalan Mengenal Cinta Hakiki
Dari serangkaian ayat dan riwayat serta tuturan para arif sejati kita dapat memperoleh tanda-tanda cinta sejati itu. Mengenal tanda-tanda ini akan memberikan kemampuan kepada manusia untuk menguji cintanya. Dan supaya benar-benar manusia cinta, maka ia harus melakukan proses penyucian jiwa dan menjalankan program sair wa suluk pada jalan-jalan terang syariat yang ditentukan oleh para arif sejati yaitu para Imam Maksum As. Di samping itu, manusia harus berupaya untuk semakin mendekatkan diri kepada tanda-tanda ini sehingga ia dapat menggapai hakikat dan mencicipi rasa cinta sejati.
Pada kesempatan ini, kami akan membeberkan tanda-tanda cinta sejati dalam beberapa bagian universal dan global sebagaimana berikut ini:
Tanda-tanda cinta manusia kepada Tuhan:
1. Ia lebih memilih Tuhan atas segala yang dicintainya; ia mematuhi Tuhan pada batin dan lahirnya. Dan pada setiap urusan senantiasa menaati titah Tuhan.
2. Mencintai para wali dan hamba Tuhan yang taat demi Tuhan; dan bersikap pengasih kepada seluruh manusia.
3. Ia lebih memilih untuk bersua dengan Tuhan untuk keabadiannya.
4. Memandang segala sesuatu rendah di hadapan cinta kepada Tuhan. Berjuang bertungkus lumus dengan harta dan jiwa di jalan Sang Kekasih.
5. Seluruh waktunya dihabiskan untuk berzikir kepada Tuhan.
6. Memperoleh kemudahan dan ketenangan dalam kedekatan kepada-Nya.
7. Ridha dan rela kepada Tuhan.
8. Mencintai firman Tuhan.
9. Gemar bersendirian dan bermunajat kepada Sang Kekasih.
10. Mudah dalam beribadah kepada-Nya.
11. Menjadikan orang-orang kafir dan ahli maksiat sebagai musuh bagi dirinya.[12] [iQuest]
[1]. Nashir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 161.
[2]. Metode ini disebut sebagai metode empirik tidak bermakna tiadanya inferensi dan penalaran rasional sama sekali, melainkan menitikberatkan pada fakta bahwa salah satu pendahuluan-pendahuluan asasinya adalah observasi empirik pelbagai fenomena natural.
[3]. “Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkannya.” (Qs. Al-Thalaq [65]:3)
[4]. Al-Tawakkal min Quwwat al-Yaqin, Syarh Ghurar al-Hikam, jil. 1, hal. 184.
[5]. Syarh Ghurar al-Hikam, jil. 1, hal. 133.
[6]. Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 11, hal. 11.
فی الخبر النبوی أنه ع قال للأعرابی الذی ترک ناقته مهملة فندت فلما قیل له قال توکلت فترکتها فقال ع اعقل و توکل.
[7]. Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 9, hal. 224.
[8]. Muhammad Ghazali, Ihyâ ‘Ulûm al-Din, jil. 4, hal. 275.
[9]. Syarh Isyârat, jil. 3, hal. 360.
[10]. “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Maidah [5]:54); “Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali Imran [3]:31)
[11]. Silahkan lihat Ihyâ ‘Ulûm al-Din, jil. 4, hal. 302 dan 303. Cihil Hadits, hal. 390 dan 391. Risâlah ‘Isyq Bu ‘Ali, hal. 4-6.
[12]. Untuk telaah lebih jeluk silahkan lihat, Muhammad Ridha Kasyifi, Âyiin Mehrwarzi, hal. 85-98. Risâlah ‘Irfân wa Tashawwuf wa Pâsukh-e Dânesyjui, Cetakan Kedua, hal. 219-237.