Please Wait
27011
Perubahan bentuk dan rupa manusia seiring dengan perubahan usia adalah hal-hal yang berkaitan dengan dunia ini. Namun dunia akhirat khususnya surga tidak dapat digambarkan seperti ini. Di surga tidak akan ditemukan manusia dengan model dan rupa beragam seperti sebagian anak kecil, usia menengah dan usia senja. Bahkan sekiranya kita meyakini bahwa dunia akhirat juga terdiri dari materi, namun bagaimanapun tidak akan ada usia dan umur dengan pelbagai ilustrasi yang kini kita miliki seperti menjalani masa kecil dan tua bagi penghuni surga.
Apa yang dapat disimpulkan dari sebagian riwayat adalah bahwa orang-orang beriman akan memasuki surga dalam bentuk manusia-manusia muda dan rupawan, “Para penghuni surga akan memasuki surga bak pemuda yang rupawan dan bergelimang cahaya.”[1] Dengan kata lain, mereka senantiasa dalam bentuk dan kondisi terbaik yang tidak akan dipengaruhi oleh waktu.
Tatkala berbicara tentang para istri suci surgawi, al-Qur’an menyatakan, “Bagi penghuni surga terdapat istri-istri yang hanya memandang suami-suami mereka, semuanya muda dan sebaya dengan suami-suami mereka. “Wa indahum qâshirât al-tharf atrâb.” (Dan di sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan sebaya umurnya. Qs. Shad [35]:52)
Atrâb bermakna sebaya dari sisi usia dan umur. Atrab (usia sebaya) ini merupakan salah satu deskripsi bagi para wanita surgawi bagi suami-suami mereka; karena adanyan persamaan umur dan usia sebaya akan menambah daya tarik bagi kedua pasangan suami-istri atau merupakan sebuah deskripsi bagi para wanita itu sendiri bahwa mereka semuanya sebaya dan muda.[2] Dengan kata lain, penghuni surga tidak akan mengalami perbedaan usia dan tidak akan mengalami ketuaan dan keusangan.[3] Mereka tidak kecil juga tidak tua dan usang. [iQuest]
Pertanyaan ini Tidak Memiliki Jawaban Detil
[1]. Ibnu Syahr Asyub, Manâqib Âli Abi Thâlib, jil. 1, hal. 148, Muassasah Intisyarat Allamah, Qum, 1379 H.
[2]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, hal. 317, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S; Jalaluddin Suyuti, al-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur, jil. 5, hal. 318, Kitabkhane Ayatullah Mar’asyi Najafi, Qum, 1404 H.
[3]. Ahmad bin Muhammad Ibnu ‘Ajibah, al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Qur’an al-Majid, Riset oleh Ahmad Abdullah Qurasyi Raslan, jil. 5, hal. 36, Nasyir Zaki, Hasan Abbas, Kairo, 1419 H; Mulla Muhsin Faidh Kasyani, Tafsir al-Shafi, Riset oleh Husani A’lami, jil. 4, hal. 306, Intisyarat al-Shadr, Cetakan Kedua, Teheran, 1415 H.
Pertanyaan ini Tidak Memiliki Jawaban Detil