Please Wait
16080
Terkadang digambarkan bahwa antara ayat “litundzira qauman ma undzira abaahum” (Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang nenek moyang mereka belum pernah diberi peringatan) dan “in min ummatin illa khala fiha nadzir” (Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan) terdapat kontradiksi namun dengan menyimak jawaban dan penjelasan para penafsir (mufassir) yang akan diuraikan pada jawaban detil, akan menjadi terang bahwa tidak terdapat kontradiksi dan pertentangan pada dua ayat ini.
Dalam satu kalimat dapat dikatakan bahwa ayat kedua berkata bahwa selama tidak diutus seorang rasul maka tidak akan ada azab namun yang pertama menyatakan bahwa nenek moyang mereka belum pernah mendapat peringatan dan tidak disebutkan tentang azab bagi mereka.
Pada permulaan surah Yasin, Allah Swt berfirman, “litundzira qauman ma undzira abaahum” (tentu apabila “ma” pada redaksi ayat “ma undzira abaahum” kita maknai sebagai kalimat negasi maka maknanya seperti makna yang menjadi obyek pembahasan kita). Namun pada ayat ini tidak disebutkan tentang azab yang menimpa kelompok ini. Dari satu sisi, pada ayat yang menjadi pertanyaan, “dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” Jelas bahwa tidak terdapat kontradiksi pada dua ayat ini.
Namun pertanyaan dapat dikemukakan dalam bentuk dan perspektif lain sehingga isykalan dan kritikan dapat menjadi relevan:
Apabila “ma” pada ayat 6 surah Yasin adalah kalimat negasi[1] maka maknanya “orang-orang yang belum pernah diberi peringatan” sedangkan dari satu sisi, pada ayat 24 surah al-Fatir (35) Allah Swt berfirman, “Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.” Sekilas, secara lahir terdapat pertentangan di antara dua ayat ini dan untuk memecahkannya kita harus memperhatikan beberapa poin sebagai berikut:
Jalan untuk Menyelesaikan Kontradiksi:
1. Pada redaksi ayat “mâ undzira abâahum” (yang disebutkan pada ayat 6 surah Yasin) terdapat beberapa kemungkinan sebagaimana yang dijelaskan oleh Allamah Thabarsi:
A. Apabila “mâ” pada ayat tersebut adalah “mâ” penegasian (nafi) maka artinya adalah “nenek moyang mereka yang belum pernah diberi peringatan” karena mereka hidup pada masa fatrat (interval) antara Nabi Isa dan Nabi Muhammad Saw. Mirip dengan firman Allah Swt, “Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang nenek moyang mereka belum pernah diberi peringatan,” dan “sebelum engkau tidak ada seorang pun pemberi peringatan (nabi) yang kami utus kepada mereka.” Dengan demikian redaksi ayat “mâ undzira abâahum” disebut sebagai ajektif mahallan manshub.
B. Mâ pada “mâ undzira abâahum” adalah derivat (mashdar); artinya, “berilah peringatan kaum sebagaimana peringatan yang diberikan kepada nenek moyang mereka.”
C. Mâ pada “mâ undzira abâahum” adalah maushul (kata sambung), manshub dan objek kedua; artinya, “berilah peringatan kepada kaum dari azab yang disampaikan kepada nenek moyang mereka.” [2]
Sesuai dengan kemungkinan kedua dan ketiga, tidak terdapat kontradiksi diantara dua ayat di atas; makna ini, disokong oleh ayat-ayat al-Qur’an lainnya seperti ayat 165 surah al-Nisa (4)[3] dan ayat 24 surah al-Fathir (35).[4]
Pada kedua ayat ini dan ayat-ayat serupa, ‘mengirim orang yang memberikan peringatan’ dianggap sebagai sesuatu yang mesti dilakukan. Dari satu sisi, terdapat beberapa riwayat yang menyokong hal ini. Diriwayatkan dari Imam Shadiq As yang bersabda, “Maksud ayat ini, berilah peringatan sebagaimana nenek moyang mereka telah diberi peringatan”[5] Oleh karena itu, dengan bersandar pada susunan-susunan ayat dan bantuan ayat-ayat dan riwayat-riwayat maka kontradiksi ini dapat diselesaikan.
2. Terdapat kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan tiadanya peringatan pada nenek moyang mereka pada surah Yasin, bukan umat terdahulu; melainkan yang dimaksud adalah manusia-manusia, yang karena beberapa alasan, peringatan para nabi tidak sampai kepada mereka.
Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Bahwa dalam budaya al-Qur’an, “Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.” Namun boleh jadi orang-orang tidak mendengar peringatan para nabi karena beberapa halangan tertentu. Apabila orang-orang ini tidak menerima peringatan bukan karena kelemahan dan kelalaian mereka sendiri maka mereka akan dimaafkan di sisi Allah Swt.
Allamah Thabathabai terkait ayat 98 surah an-Nisa (4) berkata, “Ayat yang menjadi obyek bahasan menerangkan makna ini; bahwa jahil terhadap pengetahuan-pengetahuan agama apabila bersumber dari kelemahan dan kelalaian manusia itu sendiri—dan manusia tidak ada sangkut-pautnya dengan kebodohannya dalam kelemahan dan kelalaian tersebut—maka ia akan dimaafkan di sisi Allah Swt. Allah Swt memandang, jahil terhadap agama dan segala larangan terhadap penegakan syiar-syiar agama sebagai kezaliman; sebuah kezaliman yang tidak mendapatkan ampunan-Nya. Allah Swt mengecualikan orang-orang mustadh’afin dari aturan universal ini, dan alasannya adalah karena kelemahan (pelemahan) diterima. Kemudian memperkenalkan sebuah penjelasan universal yang mencakup mereka dan mencakup orang-orang selain mereka (seseorang yang tidak mampu menghilangkan kekurangan yang mereka miliki). Makna ini disamping mencakup orang-orang mustadha’fin yang menjadi obyek bahasan (mereka yang menetap pada satu tempat (lingkungan kafir) dimana mayoritas dan kekuasaan berada di tangan orang-orang kafir, dan karena tiadanya seorang alim yang mengajarkan mereka pengetahuan-pengetahuan agama, atau karena rasa takut terhadap siksaan berat yang bakalan menimpa mereka, sehingga tidak memberikan mereka kesempatan untuk mengamalkan pengetahuan-pengetahuan tersebut). Dan dari sisi lain, mereka juga tidak memiliki kekuatan untuk keluar dari tempat itu dan hijrah ke lingkungan Islam. Atau pikiran mereka pendek atau menderita penyakit atau cacat badan atau miskin atau halangan-halangan lainnya. Demikian juga mencakup orang-orang yang benaknya sama sekali tidak berpikir bahwa apakah agama itu ada atau tidak. Pengetahuan-pengetahuan agama yang bersifat tetap itu ada atau tidak. Mereka juga tidak tahu bahwa apakah pengetahuan-pengetahuan tesebut harus dipelajari dan diamalkan. Meski orang ini tidak memiliki permusuhan terhadap kebenaran—dan apabila kebenaran sampai kepadanya maka ia akan menerimanya, bahkan apabila kebenaran sebuah persoalan menjadi jelas baginya maka ia akan mengikutinya—hanya saja kebenaran belum jelas baginya dan terdapat ragam faktor yang saling berkelindan dan tidak membiarkan orang ini memeluk agama yang benar.[6]
Tentu makna inilah (orang-orang yang belum mendapat peringatan) yang pada ayat tersebut kita maknai sebagai “belum sampainya peringatan kepada mereka.” Sebuah makna yang sejalan dengan prinsip-prinsi al-Qur’an lainnya sebagaimana yang telah dijelaskan. [IQuest]
[1]. Mahmud bin Ibrahim Shafi, al-Jadwal fi I’râb al-Qur’ân, jil. 22, hal. 291.
[2]. Abu Ali Fadhl bin Hasan Thabarsi, Jawâmi’ al-Jâmi’, jil. 3, hal. 131, Muassah Nasyr Islami, Hauzah Ilmiah Qum, 1422 H.
[3]. “(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah pengutusan para rasul itu.”
[4]. “Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.”
[5]. Abdu Ali bin Jam’, al-‘Arusi al-Huwaizi, Nur al-Tsqalain, jil. 4, hal. 375, Muassasah Mathbu’at Ismailiyyan, tanpa tahun.
عن ابی بصیر عن ابی عبدالله (ع) قال مسئلة عن قوله لتنذر قوما ما انذر آبائهم فهم غافلون قال (ع) لتنذر القوم الذین انت فیهم کما انذر آبائهم فهم غافلون.
[6]. Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, jil. 5, hal. 79.