Please Wait
8619
Suhaib bin Sinan aslinya adalah orang Irak dan salah seorang penduduk di pinggiran Dajlah dekat Mousul. Ayah dan pamannya merupakan salah satu petinggi Kisra atas wilayah Ubullah. Pada satu peperangan Romawi dan Iran, Suhaib menjadi tawanan orang-orang Romawi.
Ia diboyong ke Roma dan besar di tempat itu. Karena besar di Roma maka ia disebut sebagai Suhaib Rumi. Oleh karena itu, ia berbicara terbata-bata dalam bahasa Arab dan Eropa. Sebagian orang dari suku Kalb membeli Suhaib dan sebagian besar budak belian dari orang-orang Romawi dan menjualnya kepada Abdullah Jud’an di kota Mekah. Abdullah Jud’an kemudian membebaskannya.[1]
Suhaib dan Amar Yasir memeluk Islam setelah tiga puluhan orang. Pada suatu hari ketika Rasulullah Saw beserta dengan sebagian kaum Muslimin bersembunyi di rumah Arqam, Ammar Yasir menantikan izin masuk di hadapan rumah Arqam. Ketika itu Suhaib pun tiba di tempat itu.
Ammar bin Yasir bertanya kepadanya, “Hendak ke mana kamu?”
“Dan, kamu sendiri hendak ke mana?” Pungkasnya.
“Saya hendak menjumpai Muhammad Saw untuk mendengarkan tuturannya.” Jawab Ammar.
“Saya juga hendak menjumpainya.” Ujar Suhaib.
Demikianlah keduanya masuk ke dalam rumah dan Rasulullah menjelaskan tentang ajaran Islam kepada keduanya, setelah menyelami apa yang dikemukakan Rasulullah Saw, keduanya pun memeluk Islam.[2]
Pasca hijrah Rasulullah Saw ke Madinah, Suhaib juga bermaksud bertolak menuju Madinah. Kaum kafir Quraisy menguntitnya. Suhaib yang merupakan seorang pemberanni dan kuat, mengambil anak panah dan berkata, “Kalian semua mengenalku dalam kemahiran berpanah. Apabila kalian tidak membiarkanku maka seluruh anak panah ini akan aku gunakan, kemudian dengan pedang dan berperang dengan kalian. Di samping itu, aku tidak ada gunanya bagi kalian. Aku akan tunjukkan tempat harta bendaku kepada kalian supaya kalian gunakan dan biarkanlah aku melanjutkan perjalananku. Kaum kafir Quraisy yang membuntuti Suhaib akhirnya menerima transaksi itu dan kembali ke Mekkah. Suhaib pun melanjutkan perjalanannya untuk menjumpai Rasulullah Saw di Quba.[3]
Suhaib ikut serta dalam beberapa peperangan seperti perang Badar, Uhud, Khandaq dan peperangan lainnya.[4]
Suhaib memiliki kecintaan khusus kepada Khalifah Kedua Umar bin Khattab. Dalam sebagian literatur sejarah disebutkan bahwa tatkala Umar bin Khattab dirawat akibat sabetan belati, Suhaib menangis dan mengungkapkan penyesalan. Setelah kematian Umar, Suhaib menshalati jenazahnya.
Kecintaan Suhaib kepada Umar tidak bertepuk sebelah tangan. Umar bin Khattab pun mencintai Suhaib. Dan pada hari-hari ketika Umar dirawat, ia memerintahkan Suhaib untuk menunaikan shalat bersama orang-orang. Atas perintah itu, Suhaib menjadi imam (salat) bagi masyarakat hingga setelah selesainya urusan syura (musyawarah) khilafah.[5]
Bagaimanapun, tidak dijumpai dalam teks-teks riwayat dan sejarah yang menunjukkan bahwa Suhaib menerima imâmah (kepemimpinan) Imam Ali As atau hubungannya dengan Ahlulbait As. Bahkan berdasarkan sebagian riwayat, akibat ulahnya yang tidak senonoh, mendapatkan celaan Ahlulbait As.[6]
Suhaib meninggal dunia pada bulan Syawal 38 Hijriah pada usianya yang ketujuh puluh di Madinah. Ia dikebumikan di pekuburan Baqi.[7] [IQuest]
[1]. Izzuddin Ibnu Atsir, Usd al-Ghâba fî Ma’rifat al-Shahâbah, jil. 2, hal. 418, Beirut, Dar al-Fikr, 1409/1989. Muhammad Ali Alimi Damaghani, Paigambar wa Yârân, jil. 4, hal. 29-30, Intisyarat Bashirati, 1386, Qum, Khiyaban-e Aram.
[2]. Abu Umar Yusuf, Ibnu Abdil Bar, al-Isti’âb fi Ma’rifat al-Ashâb, jil. 2, hal. 728, Riset oleh Ali Muhammad al-Bajawi, Beirut, Dar al-Jail, Cetakan Pertama, 1412/1992.
[3]. Ibid, jil. 2, hal. 732.
[4]. Muhammad bin Sa’ad Ibnu Sa’ad , al-Thabâqât al-Kubrâ, jil. 3, hal. 172, Riset oleh Abdul Qadir Atha, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cetakan Pertama, 1410/1990.
[5]. Ibid, hal. 173.
[6]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 22, hal. 142, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[7]. Al-Thabaqât al-Kubrâ, jil. 3, hal. 173. Menurut salah satu nukilan, Suhaib meninggal dunia pada usia 90 tahun. Al-Isti’âb, jil. 2, hal. 733.