Please Wait
13001
Seluruh juris (fakih) Syiah menaruh perhatian terhadap masalah ini dan memandang bahwa yang menjadi ukuran warisan dalam hal ini adalah jenis kelamin sekarang (aktual) anak-anak. Karena itu, apabila seseorang anak (yang dilahirkan sebagai putra) dan melakukan operasi ganti kelamin (menjadi putri) sebelum kematian ayahnya, maka ia tidak akan menerima warisan sebagaimana anak laki-laki, melainkan sebagaimana anak-anak perempuan. Dengan kata lain, putra aktual (sebelumnya putri yang telah melakukan operasi ganti kelamin) menerima warisan dua kali lipat dari putri aktual (sebelumnya putra yang telah melakukan operasi ganti kelamin).
Terdapat tiga kemungkinan terkait dengan saham warisan ayah dan ibu yang mengganti jenis kelamin dari anak (yang telah meninggal/mayit). Kemungkinan yang paling kuat adalah hubungan warisan antara orang tua dan anak-anak tidak akan terputus. Bagi dia yang berstatus sebagai ayah yang mengeluarkan sperma adalah dua pertiga, meski kemudian ia mengganti kelamin dan berubah menjadi perempuan. Bagi ibu adalah sepertiga kendati ia mengganti kelamin dan berjenis kelamin laki-laki; karena ukuran warisan ayah dan ibu yang mengganti kelamin adalah berdasarkan masa pengeluaran sperma dan kriteria ini tidak berubah dengan berubahnya jenis kelamin.
Masalah ini akan kita kaji dalam dua kondisi: Pertama, warisan seseorang yang mengganti kelamin dari orang tuanya sendiri. Kedua, warisan orang tua yang mengganti jenis kelamin dari anak-anaknya.
1. Warisan Anak dari Orang Tua Setelah Penggantian Kelamin
Sebagai contoh, apabila seorang anak putra merubah jenis kelamin menjadi putri, apakah saham warisannya seukuran anak putra atau seukuran anak putri? Seluruh juris (fakih) Syiah yang menaruh perhatian terhadap masalah ini berpandangan bahwa ukuran dan kriteria warisan dalam hal ini adalah jenis kelamin aktual anak-anak.[1]
Status putri dan putra adalah sebuah status yang berubah mengikut setiap penggantian jenis kelamin. Hukum-hukum jurisprudensial seperti warisan dan semisalnya atas status-status yang terkhusus untuk laki-laki dan perempuan seperti, putri, putra, saudari, saudara dan sebagainya akan berlaku baginya. Dan dengan adanya penggantian jenis kelamin, mengingat subyeknya telah mengalami perubahan, maka hukum-hukum jurisprudensial juga mengalami perubahan karena hukum-hukum mengikut pada subyek-subyeknya.
Karena itu, apabila seseorang adalah putra dan mengganti jenis kelamin menjadi putri sebelum kematian ayahnya maka ia tidak akan mendapatkan warisan sebagaimana seorang anak putra melainkan akan menerima warisan sebagai seorang anak putri; karena ukuran dan kriteria jenis kelamin tersebut adalah yang aktual dan tepat tatkala pewaris meninggal dunia. Dengan demikian, apabila pewaris meninggal dunia dan meninggalkan putra baru (setelah penggantian kelamin) maka laki-laki aktual (yang sekarang) memperoleh warisan dua kali lipat warisan perempuan.[2]
Hukum Sipil Iran dalam pasal 907 menyatakan, “...apabila banyak anak. Sebagian dari anak tersebut adalah putra dan sebagian lainnya adalah putri maka anak putra akan menerima dua kali lipat warisan anak putri.” Pasal Hukum Sipil ini juga bersifat mutlak. Karena itu, putra aktual (setelah melakukan operasi ganti kelamin; yang tadinya putri) akan menerima dua kali lipat warisan putri aktual (setelah melakukan operasi ganti kelamin; yang tadinya putra).
2. Warisan Orang Tua (Yang Melakukan Operasi Ganti Kelamin) dari Anak-anaknya.
Apabila seorang ayah mengganti kelamin dan berubah menjadi seorang perempuan maka seberapa besar ukuran penerimaan saham warisannya? Apakah berdasarkan jenis kelamin aktual atau jenis kelamin sebelumnya? Demikian juga apabila seorang ibu melakukan operasi ganti kelamin dan berubah menjadi seorang laki-laki maka seberapa besar ukuran ia menerima saham warisan dari anaknya (yang telah meninggal dunia)?
Terdapat tiga kemungkinan[3] dalam masalah ini yang akan kita kaji bersama sebagaimana berikut ini:
2.1 Ayah dan Ibu yang melakukan operasi ganti kelamin tidak menerima warisan dari anaknya (Kemungkinan Pertama).
Kemungkinan pertama, ayah dan ibu yang melakukan operasi ganti kelamin sama sekali tidak menerima sepeser pun warisan dari anaknya dan hubungan warisan di antara mereka terputus secara sempurna.
Dalam menjelaskan kemungkinan ini dapat dikatakan bahwa pasca kematian anak, supaya ayah dan ibu memperoleh warisan dari anaknya, maka status aba (ayah) dan umm (ibu) harus tetap ada ketika anak mereka meninggal dunia sementara sekarang status ini telah mengalami perubahan.
Dengan kata lain, setelah melakukan operasi ganti kelamin, seorang “ayah” (perempuan aktual) tidak termasuk sebagai ayah dan juga tidak termasuk sebagai ibu. Demikian juga setelah operasi ganti kelamin, seorang “ibu” (laki-laki aktual) tidak tergolong sebagai ibu dan juga tidak tergolong sebagai ayah. Karena itu, pada masa kematian anak, tidak terdapat lagi status aba (ayah) atau umm (ibu) sehingga berdasarkan tepatnya status ini mereka dapat memperoleh warisan dari anaknya.[4]
Kemungkinan di atas jauh (dari benar) dan tidak dapat diterima. Tidak seorang pun yang berpegang pada kemungkinan di atas. Kemungkinan pertama ini hanyalah semata-mata kemungkinan yang menjadi obyek kajian. Lantaran bahkan apabila setelah penggantian kelamin kita ragu dalam menentukan tepatnya status ayah dan ibu, maka kita tidak dapat berkata bahwa hubungan warisan akan terputus disebabkan oleh perubahan status jenis kelamin antara ayah-anak dan ibu-anak. Dengan kata lain, penggantian kelamin tidak termasuk sebagai penghalang warisan.
2.2 Ayah yang melakukan operasi ganti kelamin berhak mendapat dua pertiga warisan dan Ibu sepertiganya (Kemungkinan Kedua).
Kemungkinan kedua (yang juga merupakan kemungkinan terkuat) bahwa ayah atau ibu yang melakukan operasi ganti kelamin memperoleh warisan dari anaknya yang telah meninggal dunia.
Imam Khomeini Ra dan para juris lainnya, menerima inti keberadaan warisan. Untuk menetapkan adanya warisan beberapa dalil berikut dapat dijadikan sandaran;
Dalil pertama: Bersandar pada surah an-Nisa ayat 7[5] yang menyinggung saham kedua orang tua dan orang-orang dekat mayit. Dan tidak ada keraguan bahwa laki-laki atau perempuan aktual, yang sebelumnya adalah ibu atau ayah, dari sisi kekerabatan dan kekeluargaan, merupakan orang-orang terdekat kepada mayit (anak yang telah meninggal dunia). Karena itu keduanya memperoleh saham warisan dari apa yang ditinggalkan oleh anaknya (mayit).[6]
Dalil kedua: Bersandar pada surah al-Anfal ayat 75[7] yang menyebutkan kelayakan hubungan kekerabatan terhadap yang lain dalam Kitabulllah. Tidak ada keraguan bahwa laki-laki aktual dan perempuan aktual (ibu dan ayah yang telah melakukan operasi ganti kelamin) adalah di antara orang-orang yang termasuk ulul arham (kerabat) terhadap mayit (anak yang telah meningal dunia). Karena itu, mereka akan memiliki saham warisan dari harta benda dan hak-hak yang berkenaan dengan mayit.[8]
Dalil ketiga: Keberlanjutan kekerabatan mengikut nasab (garis keturunan) setelah melakukan operasi ganti kelamin ayah atau ibu; setelah bergantinya jenis kelamin ayah atau ibu, hubungan antara kedua orang tua (walidain) dan anak-anak (awlad) tidak akan terputus, bahkan anak-anak secara urf dan syariat, adalah termasuk anak-anak ayah dan ibunya. Sesuai dengan tuntutan penetapan nasab, warisan juga bersifat tetap; artinya seolah-olah “nasab” laksana “sebab” dan warisan laksana akibat kecuali dalam hal-hal terdapat halangan seperti pembunuhan, li’an, pengingkaran nasab, kekufuran; dan operasi ganti kelamin atau bergantinya jenis kelamin karenanya, tidak termasuk halangan warisan.
Dengan kata lain, penggantian jenis kelamin ayah dan perubahan statusnya menjadi perempuan, dalam pandangan urf dan syariat dapat dikatakan anak ini lahir dari ayah ini, kecuali ia melakukan operasi ganti kelamin dan berubah status jenis kelaminnya menjadi perempuan sebelum terjadinya pembuahan. Demikian juga, setelah ibu melakukan operasi ganti kelamin, dari sudut pandang urf dan syariat, dapat dikatakan anak ini lahir dari ibu ini, kecuali ia melakukan operasi ganti kelamin dan berubah status kelaminnya menjadi laki-laki sebelum proses pembuahan.
Nampaknya, ukuran dan kriteria warisan ayah atau ibu yang melakukan operasi ganti kelamin adalah berdasarkan masa pembuahan; artinya bagi ayah pada masa pembuahan akan memperoleh dua pertiga, meski setelah itu ia melakukan operasi ganti kelamin dan berubah status menjadi seorang perempuan. Dan juga bagi ibu akan memperoleh sepertiga meski setelah itu ia melakukan operasi ganti kelamin dan berubah status menjadi seorang laki-laki. Dalil atas urusan (penetapan warisan) ini adalah sesuai dengan tuntutan Kitab (al-Qur’an), Sunnah dan Ijma; dan tidak tersisa kriteria satu pun untuk pembagian warisan kecuali dengan kriteria pembagian berdasarkan masa pembuahan.
Adapun kriteria pembagian warisan berdasarkan saat meninggalnya anak adalah bahwa pria aktual (“ibu” setelah ganti kelamin) dua pertiga dan perempuan aktual (“ayah” setelah ganti kelamin) memperoleh sepertiga tidak dapat diterima; karena pijakan ini (dua pertiga dan sepertiga) bagi status ayah dan ibu dan pria aktual tidak termasuk ayah; karena anak tidak berasal dari sperma(nutfah)nya Demikian juga, perempuan aktual, tidak termasuk sebagai ibu, karena anak tidak lahir dari ovumnya. Oleh karena itu, tidak ada satu pijakan pun yang tersisa kecuali berdasarkan masa pembuahan; yaitu bagi ayah pada masa pembuahan sperma akan memperoleh dua pertiga dan bagi ibu pada masa pembuahan ovum akan memperoleh sebanyak sepertiga.
2.3 Ayah berhak mendapat sepertiga dan Ibu yang melakukan operasi ganti kelamin berhak mendapat dua pertiga (Kemungkinan Ketiga).
Berdasarkan kriteria kemungkinan ketiga ini, perempuan aktual (ayah yang melakukan operasi ganti kelamin) memperoleh sepertiga dan laki-laki aktual (tadinya ibu yang melakukan operasi ganti kelamin) memperoleh dua pertiga warisan. Nampaknya laki-laki aktual adalah ayah dan perempuan aktual adalah ibu.
Kemungkinan ketiga ini adalah lemah dan tidak ada satu pun dalil yang menyokongnnya; karena tidak dapat dikatakan: ibu setelah operasi ganti kelamin dikenal sebagai ayah. Demikian juga ayah setelah operasi ganti kelamin tidak dikenal sebagai ibu.
Dengan kata lain, perbedaan ayah dan ibu dalan ukuran warisan adalah karena tertutupnya masa pembuahan.
Karena itu, bagi ayah—yang anaknya lahir dari spermanya—akan memperoleh dua pertiga dan bagi ibu—yang anaknya lahir dari ovumnya—akan mendapatkan sepertiga saham warisan. Meski Imam Khomeini Ra berpandangan: Ihtiyath (mustahab) bagi keduanya melakukan mushâlaha (rekonsiliasi).[9] Namun berdasarkan pandangan sebagian juris Syiah, tidak tersisa ruang untuk melakukan mushâlaha antara ibu dan ayah; karena apabila status ayah dan ibu setelah operasi ganti kelamin benar adanya maka tidak diperlukan mushâlaha. Dan apabila tidak benar adanya, maka diperlukan mushâlaha di antara keduanya dan para ahli waris lainnya.[10]
Catatan: Kriteria warisan kerabat kelas kedua dan ketiga setelah operasi ganti kelamin.
Apabila orang-orang seperti saudara, saudari, paman (dai), bibi (khale), oom (ammu), tante (amme) dan kerabat lainnya serta keluarga yang berada pada tingkatan kedua dan ketiga saham warisan, melakukan operasi ganti kelamin sebelum wafatnya pewaris, maka yang menjadi ukuran saham warisan mereka adalah jenis kelamin aktual.
Hal itu dapat dijelaskan bahwa apabila saudara melakukan operasi ganti kelamin dan berubah status menjadi saudari dan sebaliknya; maka terdapat perubahan status pada status-status paman (dai), bibi (khale), oom (ammu), tante (amme); artinya setiap status akan berubah berdasarkan indikasinya. Pada seluruh status ini yang menjadi kriteria dan ukuran adalah jenis kelamin aktual dan dalam dua bentuk di atas (ahli waris dan pewaris) keduanya ada benarnya. [IQuest]
[1]. Imam Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 559. Sayid Muhammad Shadr, Ma Wara al-Fiqh, jil. 6, hal. 139. Muhammad Mu’min, Kalimat Sadidah fi Masail Jadidah, hal. 117. Sayid Muhsin Kharrazi, Tagyiir al-Jins, Fiqh Ahlulbait As (bahasa Arab), No. 23.
[2]. Sayid Muhsin Kharrazi, Tagyiir al-Jins, Fiqh Ahlulbait As (bahasa Arab), No. 23, hal. 260.
[3]. Silahkan lihat Imam Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 559.
[4]. Silahkan lihat, Ahmad Muthahhari, Mustanad Tahrir al-Wasilah, hal. 203.
[5]. “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (Qs. Al-Nisa [4]:7)
[6]. Silahkan lihat, Ahmad Muthahhari, Mustanad Tahrir al-Wasilah, hal. 203.
[7]. “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu, maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat, sebagian mereka lebih berhak terhadap sesama mereka (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al-Anfal [8]:75)
[8]. Silahkan lihat, Ahmad Muthahhari, Mustanad Tahrir al-Wasilah, hal. 204.
[9]. Silahkan lihat Imam Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 560, Masalah Ke-7.
[10]. Sayid Muhsin Kharrazi, Tagyiir al-Jins, Fiqh Ahlulbait As (bahasa Arab), No. 23, hal. 263.