Please Wait
11048
Saya mo tanya ihwal tawaf nisa.
Mengapa orang harus melakukan tawaf nisa. Atas dasar apa kalau orang tidak menunaikan tawaf nisa... ia tidak lagi mahram dengan istri/suaminya hingga ia melakukan tawaf tersebut. Kalau lupa bagaimana?
TErima kasih
Berdasarkan pandangan fikih Syiah Imamiyah, thawaf nisa' itu merupakan salah satu kewajiban dalam ibadah haji (haji qirân, ifrad dan tamattu')[1] dan umrah mufradah. Dan hanyalah dalam umrah tamattu' tidak diwajibkan melakukan thawaf nisa’. Sesuai dengan nukilan beberapa riwayat menybutkan bahwa barang siapa yang tidak melakukan thawaf nisa, maka haji yang dikerjakan tidak akan dinilai sah dan kewajiban tersebut tidak akan gugur dari tanggungannya. Apabila seseorang tidak menunaikan thawaf nisa maka diwajibkan baginya untuk menyempurnakannya sehingga ibadah hajinya menjadi sah. Di samping itu, selama thawaf nisa belum dikerjakan, suami tidak dihalalkan melakukan hubungan badan dengan istrinya (baru atau lama) demikian juga sebaliknya.
Imam Ja'far ash-Shadiq As sehubungan dengan masalah ini bersabda: "Jika sekiranya Allah Swt tidak melimpahkan anugerah kepada manusia, dan thawaf nisa' juga tidak diwajibkan, maka istri menjadi tidak halal bagi setiap lelaki (suami) yang kembali dari menunaikan ibadah haji."[2]
Fatwa seluruh marja' taklid Syiah Imamiyah sehubungan dengan masalah ini dan khususnya fatwa Imam Khomeini Ra adalah sebagai berikut: "Apabila seseorang tidak melakukan thawaf nisa' secara benar atau ia lupa melakukannya, maka apabila kembali ke negaranya dan mengingatnya di tengah perjalanan, apabila memungkinkan, maka ia harus kembali lagi (ke Mekkah) untuk melakukan thawaf nisa'. Tetapi jika hal itu tidak memungkinkan baginya, maka ia harus menjadikan seseorang sebagai penggantinya (na'ib) untuk melakukan hal itu sehingga istrinya menjadi halal untuknya.[3]
Perlu kami ingatkan bahwa thawaf nisa' itu bukanlah merupakan salah satu rukun haji yang jika tidak dikerjakan, maka semua ibadah hajinya menjadi rusak dan hilang. Akan tetapi thawaf nisa' itu merupakan bagian dari kewajiban haji yang bukan rukun dan seseorang yang tidak melakukannya (karena alasan tertentu) ia dapat melakukannya dan menambalnya setelah rampung ibadah hajinya sekalipun terbentang jarak masa yang jauh/lama[4]. [IQuest]
[1]. Manâsik Haji (Al-Muhassyâ li al-Imâm Khomeini) hal. 97, Masalah 174. Jâmi'ul Masâil oleh Syaikh Bahjat Ra, jil. 2, hal. 189.
[2] . Al-Kâfi, jil. 4, hal. 514, hadis 3.;
عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِیٍّ الْوَشَّاءِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سِنَانٍ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَمَّارٍ عَنْ أَبِی عَبْدِ اللَّهِ ع قَال:"َ لَوْ لَا مَا مَنَّ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ عَلَى النَّاسِ مِنْ طَوَافِ النِّسَاءِ لَرَجَعَ الرَّجُلُ إِلَى أَهْلِهِ وَ لَیْسَ یَحِلُّ لَهُ أَهْلُه"