Please Wait
12691
Meski secara lahir hadis khususnya redaksi “kullu malhuwun bih” dapat disimpulkan tentang keharaman segala perbuatan rekreasional, namun dengan meninjau ayat-ayat dalam al-Quran dan riwayat, kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa acara rekreasi dan mencari hiburan dalam pandangan Islam memiliki hukum-hukum yang berbeda-beda. Artinya adalah bahwa hanya jenis rekreasi dan hiburan yang semata-mata dilakukan sekedar untuk menghabiskan waktu dengan sia-sia yang tidak mendapatkan sokongan (baca: haram) dalam Islam dan tidak layak dilakukan oleh seorang beriman.
Seluruh acara rekreasi yang buntutnya menyebabkan seseorang melanggar perintah-perintah Tuhan, meski dengan tujuan baik dan manusiawi, adalah haram dalam pandangan agama.
Terlepas dari dua hal ini, rekreasi-rekreasi sehat yang tujuannya adalah menciptakan keragaman dan variasi dalam hidup, bukan hanya tidak bermasalah namun sesuai dengan sabda para pemimpin agama, kemajuan material dan spiritual manusia, tanpa memanfaatkan rekreasi-rekrasi seperti ini akan mengalami gangguan dan kebuntuan. Atas dasar itu, dengan memperhatikan beberapa syarat; seperti tidak lalai dari mengingat Allah Swt, menjaga kehormatan orang lain, menjaga kesehatan lingkungan dan lain sebagainya maka ia dapat dan bahkan harus melakukan acara rekreasi dalam hidupnya.
Pertama-tama kita harus menelusuri nilai sanad riwayat dalam pertanyaan di atas dan kemudian kita mengkaji masalah yang berkenaan dengan rekreasi dan bersenang-senang:
Berdasarkan literatur-literatur yang berada di tangan kita, buku yang pertama kali menukil hadis ini adalah Tuhaf al-‘Uqul karya Hasan bin Ali bin Syu’bah al-Harrani yang merupakan salah seorang ulama abad keempat Hijriah dan hidup semasa dengan Syaikh Shaduq.
Penyusun kitab ini menegaskan bahwa riwayat-riwayat yang telah dikumpulkan olehnya tidak memiliki sisi jurisprudensial (fikih), melainkan disusun dengan corak moral (akhlak) di dalamnya.[1] Atas dasar itu, beliau menghapus sandaran riwayatnya dan mencukupkan diri dengan menjelaskan teks riwayat saja.
Dengan demikian, riwayat yang ada dalam pertanyaan Anda menurut ilmu hadis adalah riwayat mursal dan dengan adanya kitab standar, kitab tersebut tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya sandaran bagi hukum fikih dan oleh itu riwayat tersebut harus dikaji dengan menyelaraskan dengan ayat-ayat al-Quran dan riwayat-riwayat lainnya.
Kami berharap Anda tetap bersama kami hingga akhir pembahasan sehingga kita dapat mengambil kesimpulan dengan merujuk pada litetarur-literatur Islam yang ada:
Dalam sebuah pandangan yang sangat luas, dapat dikatakan bahwa apabila kita mengingat anugerah-anugerah akhirat dan keabadiannya, seluruh urusan yang berurusan dengan kehidupan dunia, baik yang halal atau yang haram, tidak lain kecuali permainan dan senda gurau belaka. Terdapat banyak ayat al-Quran yang menyuguhkan makna luas ini dan memperkenalkan dunia dan segala apa yang ada di dalamnya sebagai permainan (la’ib) dan senda gurau (lahw).”[2]
Sebagai bandingannya, dalam sebuah pandangan yang lebih terbatas, terkadang “lahw” hanya disebut sebagai hiburan-hiburan biasa yang menghalangi manusia dari mengingat Tuhan.”[3]
Para pakar linguistik memasukkan beragam makna atas kata “lahw” dalam buku-buku mereka.[4]
Dari sisi lain, apa yang kita sebut dalam bahasa Persia sebagai “tafrih” meski derivatnya dari bahasa Arab, “fa-ra-h” yang bermakna bersenang-senang, namun dalam teks-teks Islam untuk menunjukkan makna ini, biasanya digunakan kata-kata lainnya seperti tanazzuh, tafarruj atau lahw dan orang-orang yang biasa menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang dikenal sebagai “fârihin.”
Allah Swt meski pada sebagian ayat al-Quran menyatakan bahwa “fârihin” atau “Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, “Janganlah kamu terlalu bersuka ria; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu bersuka ria.” (Qs. Al-Qashshas [28]:76) atau salah satu dalil hukuman para penghuni neraka “Azab yang demikian itu disebabkan karena kamu bersuka ria di muka bumi dengan tidak benar dan karena kamu selalu bersuka ria (dalam kemaksiatan).” (Qs. Al-Ghafir [40]:75) namun dari sisi lain, dengan memanfaatkan akar kata, “fa-ri-ha” memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk bergembira karena karunia dan rahmat Tuhan, “Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (Qs. Yunus [10]:58)
Dalam mendeskripsikan para syahid juga, al-Quran menjelaskan bahwa mereka dengan memanfaatkan karunia-karunia yang berada di tangan mereka sibuk dengan gembira..”Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Ali Imran [3]:170)
Apa yang telah disampaikan dan juga hal-hal yang serupa menunjukkan bahwa lafaz-lafaz yang ada kurang lebihnya adalah sinonim; seperti lahw, laib, lagw, tafrih, rekreasi dan lain sebagainya, juga memiliki obyek-obyek yang beragam dan juga seseorang dapat dengan motivasi yang beragam, melakukan hal-hal tersebut yang tentu saja tidak dapat menjelaskan jawaban universal dalam kaitannya dengan masalah tersebut, bahkan pada setiap hal, memiliki hukum yang berbeda-beda menurut pandangan Islam yang akan kita bahas secara berurutan sebagai berikut:
- Bersenang-senang dan mencari hiburan dengan hal-hal yang telah dilarang dalam Islam; rekreasi-rekreasi seperti mengkonsumsi alkohol atau NARKOBA, bermain judi, mendengarkan musik-musik yang melalaikan dan lain sebagainya apa pun motivasinya tidak dibenarkan dalam Islam. Dalam hal ini sekali-kali tujuan tidak akan menghalalkan segala cara. Sebagai contoh, kita tidak dapat menyelanggarakan konser tanpa menjaga rambu-rambu Islam dan tujuan penjualan tiketnya adalah untuk membantu orang-orang yang tidak mampu, membebaskan para tawanan dan lain sebagainya. Dalam hal ini, tujuan yang suci tidak dapat menjadi justifikasi untuk hiburan-hiburan yang haram. Dalam al-Quran, menjauhi perbuatan-perbuatan seperti ini dipandang sebagai salah satu ciri-ciri orang beriman.[5]
- Seluruh manusia untuk melanjutkan kehidupan dan memiliki mental yang kuat, menginginkan adanya keragaman dan acara untuk bersenang-senang. Model hidup yang monokrom dan tidak variatif akan mengakibatkan munculnya seabrek problematika dalam kelanjutan kehidupan normal bahkan kehidupan spiritual manusia. Dengan ini semua, apakah Islam menentang segala jenis rekreasi dan hiburan? Penelitian dalam literatur-literatur Islam akan mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa apabila hiburan dan rekreasi pada tataran tertentu yang tidak membuat manusia lalai dari mengingat Allah Swt dan jauh dari tujuan utama kehidupan demikian juga tidak membuat manusia melakukan perbuatan haram akibat dari hiburan-hiburan ini. Tentu saja hal ini tidak halangan dalam hal ini bahkan apa yang dapat disimpulkan dari al-Quran dan riwayat, rekreasi dan hiburan seperti ini mendapat sokongan dari al-Quran dan perannya tidak dapat diingkari dalam kelanjutan hidup normal manusia.
Berikut ini adalah bukti-bukti sehubungan dengan masalah ini:
- Meski kata “la’ib” pada kebanyakan hal disebut sebagai sesuatu yang buruk[6] namun tatkala anak-anak Yakub mengusulkan kepada ayah mereka untuk mengirim Yusuf pergi bermain dan rekreasi bersama mereka,[7] mereka tidak menerima jawaban bahwa bermain-main (bersenang-senang) tidak pantas dilakukan orang-orang beriman. Sebaliknya, Nabi Yakub hanya mengungkapkan kerisauan tentang adanya kemungkinan bahaya yang akan menimpa Yusuf[8] dan bahkan tatkala saudara-saudara Yusuf kembali, mereka berkata bahwa kami pergi bermain dan kami meninggalkan Yusuf… “Mereka berkata, “Hai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba.” (Qs. Yusuf [12]:17) Yakub tidak mencela mereka karena mereka bemain dan sibuk bersenda gurau…
Dari kumpulan kisah ini dapat disimpulkan bahwa inti rekreasi, bermain dan lain sebagainya bukanlah hal yang tercela sehingga harus dilarang.
- Imam Shadiq As dengan menukil kitab nabi-nabi terdahulu menjelaskan, “Setiap Muslim yang berpengetahuan harus membagi waktu hidupnya menjadi tiga bagian. Waktu untuk mencari nafkah. Waktu untuk menyiapkan bekal dan sangu untuk perjalanan akhirat. Dan waktu untuk bersenang-senang serta melakukan rekreasi yang sehat (jauh dari perbuatan haram). Meluangkan waktu untuk bagian ketiga (rekreasi) ini akan membantu orang beriman untuk dapat melakukan yang terbaik pada dua bagian pertama.[9] Hadis ini tidak hanya menunjukkan kebolehan bahkan dianjurkannya rekreasi yang sehat bagi orang beriman.
- Pada sebagian riwayat, derajatnya lebih tinggi lagi dan termasuk jenis rekreasi dengan memperhatikan ciri-ciri orang tertentu serta sebagai contoh menjelaskan bahwa menyulam kain merupakan hiburan yang baik bagi seorang wanita saleh.[10] Atau pada sebuah hadis lainnya, memelihara dan mendidik kuda-kuda tunggangan demikian juga memanah merupakan jenis hiburan yang pantas dilakukan.[11]
Apa yang dapat kita simpulkan dari riwayat semacam ini adalah lebih baik dalam rekreasi atau hiburan mengerjakan hal-hal yang mendatangkan manfaat selain rekreasi semata, bukan serta-merta membatasi pada hal-hal yang disebutkan dalam riwayat seperti pada dunia sekarang ini dan dengan kemajuan ilmu dan industri serta adanya pabrik-pabrik tenun dan mobil.
- Terlepas dari hiburan dan mainan haram yang secara mutlak dilarang dan selain rekreasi-rekreasi yang memiliki tujuan yang boleh bahkan dianjurkan, apakah dalam hiburan dan rekreasi, bahkan dalam jenis mubahnya, terdapat batasan?
Di sekeliling, kita berhadapan dengan orang-orang yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya untuk perbuatan sia-sia dan menghabiskan waktu dengan bermain, bersenda gurau dan rekreasi, dalam bentuk sebagai satu tipologi moral bagi mereka.
Rekreasi bagi orang-orang seperti ini bukanlah media untuk sampai pada tujuan yang lebih tinggi, melainkan hiburan dan rekreasi itu sendiri sebagai tujuan final. Orang-orang seperti ini memaknai hidup sebagai rekreasi, permainan dan senda gurau. Mereka tidak memikirkan sesuatu yang lebih tinggi dari itu. Mereka bahkan mengganggap agama dan keberagamaan sebagai permainan yang menyediakan hiburan bagi mereka.[12]
Orang-orang yang suka mencari hiburan ini tidak memiliki kondisi ekuilibrium dan seimbang dalam hidupnya dan kapan saja mereka sampai pada apa yang mereka damba-dambakan serta memperoleh karunia-karunia Ilahi maka mereka akan menghabiskannya dengan sia-sia dan apabila mereka berhadapan dengan kesulitan dalam hidup maka mereka akan mengalami depresi dan putus harapan.[13] Apakah Islam yang merupakan agama yang memiliki tujuan dan memandang nilai ril seorang manusia terletak pada kematangan dan perkembangan spiritualnya, dapat menyokong perbuatan seperti ini?
Sebagaimana yang dijelaskan pada bagian kedua, masa tepat rekreasi sehat juga membentuk satu bagian dari kehidupan manusia dan memberikan bantuan untuk merealisasikan tujuan-tujuan material dan spiritual manusia, namun rekreasi dan permainan ini tidak boleh sedemikian memenuhi agenda seluruh usia manusia. Imam Ali As dalam hal ini bersabda, “Jangan habiskan seluruh usian kalian dengan hal-hal yang tidak berguna dan rekreasi yang hasilnya tidak memberikan bekal bagi akhirat.”[14] Pada tempat lain, Imam Ali As bersabda, “Bermain dan berleha-leha akan menghalangi manusia dari hal-hal serius.”[15]
Apabila terkadang kita menyaksikan para pembesar agama kita melarang manusia untuk tidak menghabiskan waktu dengan sia-sia dan sebagai contoh, menjelaskan bahwa “Islam bukanlah ajaran main-main; segala sesuatunya adalah serius. Tidak ada lelucon; tidak ada senda gurau; seluruhnya adalah serius, keseriusan.”[16] Dalilnya bukan karena rekreasi itu haram melainkan anjuran dari para pemimpin agama supaya hiburan-hiburan dan rekreasi-rekreasi juga harus dikemas bertujuan yang dalam hal ini hiburan juga bukan hanya tidak akan haram dan makruh bahkan pekerjaan yang mesti dilakukan dalam kehidupan serius manusia.
Dengan meninjau dari apa yang telah dibahas kita sampai pada kesimpulan bahwa setiap rekreasi dan hiburan tidak haram d an apabila tidak membuat manusia melakukan perbuatan haram lainnya, maka kita dapat melakukan rekreasi untuk memperoleh keragaman dan variasi dalam hidup. Hanya saja kita harus mencamkan beberapa poin berikut:
- Bahkan sewaktu rekreasi dan bermain halal sekalipun manusia tidak boleh lalai dari mengingat Allah Swt.
Allah Swt menganjurkan kepada orang-orang beriman supaya harta dan anak-anak mereka tidak menghalangi mereka dari mengingat Allah Swt.[17] Di tempat lain, Allah Swt berfirman bahwa orang-orang beriman sejati adalah orang-orang yang perniagaan dan jual beli (yang merupakan urusan mubah dan mesti dilakukan untuk kelangsungan hidup) tidak melalaikan mereka dari mengingat Allah Swt.[18] Sesuai sabda Amirul Mukminin Ali As bahwa apa pun yang membuat manusia lalai dari mengingat Allah Swt tidak ada bedanya dengan berjudi.[19]
Dalam al-Quran dijelaskan kisah-kisah orang-orang yang lemah imannya yang dengan mendengar suara-suara yang merupakan tanda permulaan jual-beli dan hiburan, mereka lantas mengabaikan salat Jumat dan meninggalkan Rasulullah Saw sendiri. Orang-orang ini telah mendapat celaan dari Allah Swt.[20] Dalam hal ini harap diperhatikan bahwa jangan sampai terjebak orang-orang yang memiliki kecendrungan untuk bermain sehingga memisahkan mereka dari jalan lurus Allah Swt.[21]
- Permainan-permainan kita jangan sampai membuat seluruh pikiran kita sibuk hingga masa bermain kita berakhir dan secara lahir kita sibuk beribadah dan salat, pikiran kita masih saja berseliweran dalam dunia permainan; karena Allah Swt tidak akan memenuhi keinginan orang-orang yang pikirannya bersebaran.[22]
Imam Khomeini Ra dalam hal ini dan dalam megkritisi perhatian yang lebih terhadap musik mengungkapkan, “Seluruh perhatian, seluruh otak ini akan menjelma menjadi otak musikal. Alih-alih menjadi otak yang serius malah menjadi otak lahwi (bermain). Harus ada seseorang yang memikirkan nasibnya sendiri dan mengambil pikiran ini darinya.[23]
- Permainan yang memiliki tujuan; karena sebuah pekerjaan boleh jadi mengandung niat yang berbeda-beda sehingga hukumnya juga berbeda-beda. Salah seorang Syiah bertanya kepada Imam Shadiq As tentang berburu yang merupakan salah satu bentuk permainan. Imam dalam menjawab bahwa para pemburu terbagi menjadi tiga bagian: Pertama kelompok pemburu yang pergi berburu untuk menyediakan nafkah keluarganya. Pekerjaan kelompok kedua adalah berburu dan melalui jalan ini ia memperoleh nafkah dan kelompok terakhir hanya untuk menghabiskan waktu melakukan pekerjaan ini. Kelompok pertama dan kedua tidak ada masalah. Namun orang beriman tidak akan meluangkan waktunya (berhari-hari dan berminggu-minggu) untuk pergi berburu yang tidak memberikan manfaat apa pun bagi dirinya (dengan sebuah ungkapan termasuk bagian ketiga).[24]
Atas dasar itu, berburu yang tidak lain merusak lingkungan, tidak memiliki kegunaan lain, tidak termasuk sebagai rekreasi yang sehat meski orang yang melakukan hal ini memiliki tujuan yang berbeda-beda, di samping rekreasi juga memperoleh penghasilan.
Atas dasar itu, olahraga merupakan salah satu bentuk rekreasi apabila dengan tujuan untuk menjaga keselamatan badan dan menumbuhkan semangat maka hal tersebut merupakan perbuatan yang patut dilakukan hanya saja tidak pantas bagi orang beriman untuk sekedar menghabiskan waktunya dengan berolah raga! Dalam acara-acara rekreasi lainnya, motivasi dan niat setiap oranglah yang menentukan apakah Islam menyokong acara-acara rekreasi atau tidak.
- Karena setiap orang lebih mengetahui batinnya ketimbang orang lain,[25] maka ia sendirilah yang menjadi sebaik-baik pilihan untuk menentukan tujuan rekreasi, apakah motivasinya adalah supaya terdapat variasi dalam hidup dan persiapan untuk usaha lebih maksimal atau menghabiskan waktu secara sia-sia.
- Tatkala kita bersama orang lain meluangkan waktu untuk rekreasi maka kita harus berhati-hati untuk dapat mengontrol kegembiraan (supaya tidak meluap-luap) dan tetap menjaga kehormatan orang lain; karena terkadang “pertama-tama acara rekreasi dimulai dengan permainan dan akhirnya berujung dengan pertengkaran.”[26]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa riwayat Tuhaf al-‘Uqul juga dalam kondisi seperti ini dan tidak memandang setiap rekreasi sebagai perbuatan haram; karena pada riwayat tersebut terdapat sebuah ungkapan yang menyokong apa yang kami utarakan di atas. Riwayat tersebut menyatakan, “Ma yakun minhu wa fihi al-fasad mahdhan.” Kita tahu bahwa rekreasi yang sehat yang memiliki tujuan positif dan bercorak konstruktif tidak akan melahirkan kerusakan dan bersifat destruktif. [iQuest]
[1]. Hasan bin Sya’ba al-Harrani, Tuhaf al-‘Uqûl, hal. 2-3, Intisyarat-e Jami’ah Mudarrisin, Qum, 1404 H.
[2]. “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, melainkan main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu berpikir?” (Qs. Al-An’am [6]:32); “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main belaka. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Qs. Al-Ankabut [29]:64); “Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.” (Qs. Muhammad [47]:36); “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Qs. Al-Hadid [57]:20)
[3]. “Dan di antara manusia (ada) orang yang membeli perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu bahan olok-olokan.” (Qs. Luqman [31]:6); “Apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan meninggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, “Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan itu, dan Allah sebaik-baik pemberi rezeki.” (Qs. Al-Jumu’ah [62]:11)
[4]. Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 15, hal. 259, Dar Shadir, Beirut, 1414 H.
[5]. “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.” (Qs. Al-Mukminun [23]:3)
[6]. “Tidak datang kepada mereka suatu pemberi peringatan pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main.” (Qs. Al-Anbiya [21]:2); “Maka biarlah mereka tenggelam (dalam kesesatan) dan bermain-main sampai mereka menemui hari yang dijanjikan kepada mereka.” (Qs. Al-Zukhruf [43]:83); “(yaitu) orang-orang yang bermain-main dalam kebatilan.” (Qs. Thur [52]:12)
[7]. “Biarkanlah dia pergi bersama kami besok pagi, agar dia (dapat) bersenang-senang dan bermain-main, dan sesungguhnya kami pasti menjaganya.” (Qs. Yusuf [12]:12)
[8]. “Ya‘qub berkata, “Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang kamu lengah darinya.” (Qs. Yusuf [12]:13)
[9]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 5, hal. 87, Hadis 1, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[10]. Syaikh Shaduq, ‘Ilal al-Syarâi, jil. 2, hal. 583, Hadis 23, Intisyarat Maktabat al-Dawari, Qum, Tanpa Tahun.
[11]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 5, hal. 50, Hadis 13.
[12]. “Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda-gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia.” (Qs. Al-An’am [6]:70); “(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka.” (Qs. Al-A’raf [7]:51)
[13]. “Dan apabila Kami rasakan suatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan rahmat itu.” (Qs. Al-Rum [30]:36)
[14]. Abdulwahid bin Muhammad Amadi, Ghurar al-Hikam, hal. 461, Hadis 10562, Intisyarat Daftar Tablighat Islami, Qum, 1366 S.
[15]. Ibid, Hadis 10550.
[16]. Shahifah Nur, jil. 9, hal. 454.
[17]. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah.” (Qs. Al-Munafiqun [63]:9)
[18]. “Kaum laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan salat, dan menunaikan zakat.” (Qs. Al-Nur [24]:37)
[19]. Syaikh Thusi, al-Âmâli, hal. 336, Hadis 681, Intisyarat Dar al-Tsaqafah, Qum, 1414 H.
[20]. “Apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan meninggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, “Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan itu, dan Allah sebaik-baik pemberi rezeki.” (Qs. Al-Jumu’ah [62]:11)
[21]. “Dan di antara manusia (ada) orang yang membeli perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu bahan olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (Qs. Luqman [31]:6)
[22]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 2, hal. 473, Hadis 2.
[23]. Shahifah Nur, jil. 9, hal. 464.
[24]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 73, hal. 356, Hadis 22, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[25]. “Bahkan manusia itu tahu tentang keberadaan dirinya sendiri.” (Qs. Al-Qiyamah [75]:14)
[26]. Ghurar al-Hikam, hal. 461, Hadis 10554.