Please Wait
10730
- Share
Syiah Imamiyah dengan memanfaatkan ayat-ayat al-Quran dan bimbingan para Imam Maksum As meyakini bahwa seseorang yang melakukan perjalanan apabila memiliki akses air maka ia harus berwudhu dan apabila ia tidak memiliki akses air maka ia harus bertayamum.
Di kalangan Sunni juga sebagian seperti Syiah meyakini bahwa seseorang yang melakukan perjalanan apabila tidak memiliki akses air maka ia harus bertayamum; namun sebagian lainnya seperti Rasyid Ridha berpendapat bahwa semata-mata melakukan perjalanan telah mencukupi bagi seorang musafir untuk bertayamum. Terlepas apakah ia memiliki akses untuk memperoleh air atau tidak.
Allah Swt berfirman dalam al-Quran, “Dan jika kamu sakit, berada dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyetubuhi perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan menggunakan tanah yang baik (bersih); usaplah muka dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Qs. Al-Maidah [5]:6)
Allamah Thabathabai dalam tafsir ayat tayamum berkata, “Hal-hal yang dihitung oleh ayat ini dengan ragu (yaitu beberapa kondisi), tidak saling berseberangan dan posisi berseberangan ini bukanlah posisi berseberangan yang bersifat hakiki; karena sakit, dalam perjalanan tidak berseberangan dengan buang air yang menyebabkan hadats sehingga wudhu atau mandi menjadi wajib bagi manusia, melainkan kondisi-kondisi ini disebutkan adalah dengan maksud supaya manusia yang sakit atau dalam perjalanan yang tidak dapat mencuci badannya dengan air atau tidak menemukan air, dan orang-orang ini apabila terkena hadats kecil atau hadats besar, maka mereka harus berwudhu atau mandi atau bertayamum. Karena itu dua cabang lainnya yaitu masalah buang air dan menggauli perempuan, tidak berhadap-hadapan dengan dua cabang pertama, melainkan dua cabang pertama masing-masing terbagi menjadi dua cabang. Artinya orang yang mengadakan perjalanan dan orang sakit memiliki dua kondisi, terkena hadats kecil atau terkena hadats besar.”
Oleh itu, makna ayat di atas adalah, “Apabila Anda sakit sementara Anda dalam kondisi junub atau tidak dalam keadaan wudhu dan air berbahaya bagi Anda, atau dalam perjalanan Anda membuang hajat atau bersetubuh dengan wanita-wanita dan Anda tidak menemukan air maka bertayamumlah di atas tanah yang bersih.” Riwayat-riwayat Syiah dan sebagian riwayat Sunni juga (yang akan kami singgung pada jawaban detil) menyokong pendapat kami.”
Mengingat bahwa topik pertanyaan merupakan salah satu topik fikih yaitu masalah tayamum ketika sedang berada dalam perjalanan, maka pertama-tama kita akan mengemukakan beberapa pendapat orang-orang yang meyakini boleh bertayamum begitu mengadakan perjalanan kemudian selepas itu kita membahas inti persoalan yang ditanyakan.
Al-Quran menyatakan, “Dan jika kamu sakit, sedang musafir, kembali dari tempat buang air, atau kamu telah mencampuri perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci); (caranya) sapulah muka dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (Qs. Al-Nisa [4]:43)
Menjelaskan Duduk Persoalan
Seseorang yang mengadakan perjalanan (musafir) apabila menemukan dan memiliki akses air apakah ia harus berwudhu atau ia dapat memilih antara wudhu atau tayamum?
Syiah Imamiyah dengan bersandar pada ayat-ayat al-Quran dan bimbingan para Imam Maksum As meyakini bahwa seseorang yang tengah dalam perjalanan apabila menemukan dan memiliki akses air maka ia harus berwudhu dan apabila ia tidak menemukan air maka ia harus bertayamum.
Di kalangan Sunni juga sebagian ulama berpendapat sama dengan Syiah; orang yang mengadakan perjalanan harus bertayamum ketika tidak menemukan air;[1] namun sebagian ulama Sunni lainya seperti Muhammad Rasyid Ridha berpendapat bahwa semata-mata melakukan perjalanan telah mencukup bagi seorang musafir untuk bertayamum. Terlepas apakah ia memiliki akses untuk memperoleh air atau tidak.
Karena berbeda cara pandang dan metode penyimpulan dari ayat tayamum telah memunculkan perbedaan pendapat dalam masalah ini. Untuk menjelaskan persoalan ini dan untuk dapat sampai pada kesimpulan yang diinginkan maka kiranya kita perlu menjelaskan ayat tayamum yang dimaksud kemudian mengurai dan menafsirkan ayat tersebut.
Allah Swt dalam al-Quran befirman, “Dan jika kamu sakit, berada dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyetubuhi perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan menggunakan tanah yang baik (bersih); usaplah muka dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Qs. Al-Maidah [5]:6)
Beberapa Poin Penting
Terdapat beberapa poin pada ayat ini yang akan dirunut sebagaimana berikut:
- Hukum; yaitu kewajiban tayamum
- Syarat; yaitu tidak ditemukannya air
- Sebab-sebab hukum yang antara lain adalah: Sakit, melakukan perjalanan, membuang air, berhubungan badan dengan wanita
- Beberapa deskripsi yang meyebabkan hukum; yaitu buang air dan berhubungan badan dengan wanita
Dengan pembagian ini membuang hajat dan berhubungan badan dengan wanita, di samping termasuk sebagai sebab-sebab mandiri hukum dan juga merupakan dua deskripsi sebab-sebab pertama;[2] artinya orang sakit yang mengalami hadats kecil (buang hajat) atau hadats besar (berhubungan badan dengan wanita) dan musafir yang mengalami hadats kecil (buang hajat) dan hadats besar (berhubungan badan dengan wanita)[3] kalau tidak apabila kita ingin memperhadap-hadapkan empat hal ini maka maknanya adalah bahwa masing-masing dari empat hal ini secara mandiri (tanpa sifat) menjadi sebab adanya kewajiban dan tentu saja hal ini tidak benar; karena suatu hal yang pasti sepanjang tidak terjadi sebuah hadas bagi orang sakit dan musafir, dengan (tetap dalam kondisi) thahârah (suci) maka tayamum tidak wajib baginya; misalnya seseorang yang mengadakan perjalanan (namun tetap dalam kondisi) thahârah dan ingin mengerjakan salat di sini tiada seorang pun yang berpendapat tentang kewajiban tayamum bagi musafir ini.
Allamah Thabathabai dalam tafsir ayat tayamum ini berkata, “Hal-hal yang dihitung oleh ayat ini dengan ragu (yaitu beberapa kondisi), tidak saling berseberangan dan posisi berseberangan ini bukanlah posisi berseberangan yang bersifat hakiki; karena sakit, dalam perjalanan tidak berseberangan dengan buang air yang menyebabkan hadats sehingga wudhu atau mandi menjadi wajib bagi manusia, melainkan kondisi-kondisi ini disebutkan adalah dengan maksud supaya manusia yang sakit atau dalam perjalanan yang tidak dapat mencuci badannya dengan air atau tidak menemukan air, dan orang-orang ini apabila terkena hadats kecil atau hadats besar, maka mereka harus berwudhu atau mandi atau bertayamum. Karena itu, dua cabang lainnya yaitu masalah buang air dan menggauli perempuan, tidak berhadap-hadapan dengan dua cabang pertama, melainkan dua cabang pertama masing-masing terbagi menjadi dua cabang. Artinya orang yang mengadakan perjalanan dan orang sakit memiliki dua kondisi, terkena hadats kecil atau terkena hadats besar.” [4]
Sehubungan dengan syarat “falam tajidu ma’an” (Dan Anda tidak menemukan air) terdapat empat kemungkinan yang berdasarkan argumen al-sabr wa al-taqsim (menghimpun dan memerinci) tiga kemungkinan keluar dari pembahasan dan hanya tersisa satu kemungkinan:
Terdapat empat kemungkinan atas tidak ditemukannya air dengan bersandar pada fa’ tafri’ pada kalimat falam tajdi ma’an sebagai berikut:
1. Tidak menyangkut seorang pun dari orang sakit dan musafir
2. Hanya menyangkut orang sakit
3. Menyangkut keduanya
4. Hanya menyangkut musafir
Kemungkinan pertama tidak benar; karena terdapat fa’ tafri’ (lalu pengurai, yaitu kata penghubung sebagai pengurai), mengingat kalimat ini bukanlah kalimat mandiri maka ia merupakan cabang sesuatu. Demikian juga kata ganti wâw (وا) pada kalimat “falam tajidu” (فَلَمْ تَجِدُوا) merupakan kata ganti subyek dan tentu saja subyeknya telah disebutkan sebelumnya sehingga dapat menjadi sumber kata ganti ini dan tanpa sumber kata ganti (marja’ dhamir) maka dhamir yang mengikut setelahnya akan sia-sia dan tertolak.
Adapun kemungkinan kedua juga disebabkan oleh kaidah tarjih belâ murajjih (memilih sesuatu tanpa adanya alasan kuat dan rasional) merupakan tindakan tercela; karena berdasarkan prinsip “al-aqrab yamna’ al-ab’ad” (yang dekat menghalangi yang jauh) apabila kata ganti kembali kepada salah satu sumber maka ia harus kembali kepada yang pertama (musafir) yang lebih dekat bukan yang kedua (sakit) yang lebih jauh. Sebagian orang ingin berkata bahwa kata syarat terkait pada keduanya (sakit dan musafir).[5]
Oleh itu, makna ayat di atas adalah, “Apabila Anda sakit sementara Anda dalam kondisi junub atau tidak dalam keadaan wudhu dan air berbahaya bagi Anda, atau dalam perjalanan (musafir) Anda membuang hajat atau bersetubuh dengan wanita dan Anda tidak menemukan air, maka bertayamumlah di atas tanah yang bersih.”[6]
Hanya saja, tidak terdapat perbedaan dari sisi konklusi pembahasan, apakah kemungkinan ketiga yang benar (kata syarat [falam tajidu ma’an] terkait dengan keduanya [sakit dan musafir]) atau kemungkinan keempat (kata syarat [falam tajidu ma’an] hanya terkait dengan musafir) pendapat kami “tayamum (kewajiban tayamum apabila tidak ditemukan air) adalah kondisi masyruth (bersyarat) bagi musafir akan dapat ditetapkan.
Riwayat-riwayat Sunni
Untuk menjadikan pembahasan ini menjadi lebih terang kami akan jelaskan dua riwayat Sunni sebagai berikut:
Abdurrazaq dari Mujahid terkait dengan ayat “wain kuntum marâdhin” berkata, “Seorang sakit yang mengalami junub apabila takut menggunakan air maka ia harus bertayamum; (kondisinya) seperti seorang musafir yang tidak menemukan air.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair dan Mujahid yang berkata, “Seorang sakit yang mengalami junub dan takut menggunakan air adalah seperti seorang musafir yang tidak menemukan air dan melakukan tayamum.”[7]
Bagaimanapun dua riwayat ini juga menegaskan bahwa tayamum bagi musafir bukanlah bersifat mutlak dan tanpa qaid, melainkan bersyarat pada tidak ditemukannya air. Fakhrurazi dalam hal ini berkata, “Seorang sakit dapat melakukan tayamum meski ia memiliki dan menemukan air; karena Allah Swt berfirman, “Wa in kuntum marâdhin wa ‘ala safarin.” Fakhrurazi berkata, “Tayamum dilakukan apabila tidak ditemukan air; karena tiadanya air itu sendiri adalah kondisi yang membolehkan tayamum tanpa harus sakit dan tiadanya air berkaitan dengan perjalanan (safar) bukan kondisi sakit.[8]
Kalau kita ingin mengkritisi perkataan ini maka kesalahan yang dilakukan Fakhrurazi adalah ia menjadikan tidak ditemukannya air sebagai ketiadaan hakiki. Namun apabila kondisinya ‘adam wujdan sya’ni yaitu orang sakit dikarenakan bahaya tatkala ia tidak mampu mengenakan air pada badannya maka posisinya laksana orang yang tidak menemukan air.[9] Kondisi seperti ini juga dihukumi sebagai kondisi tidak ditemukannya air dan tidak akan bermasalah.
Riwayat Syiah
Imam Shadiq As dalam masalah tayamum bersabda, “Apabila kalian tidak menemukan air untuk berwudhu dan ingin bertayamum maka akhirkanlah tayamum kalian, apabila hingga akhir waktu kalian tidak menemukan air kalian tidak akan kehilangan tanah (untuk) tayamum.”[10]
Kulaini Ra berkata, “Perawi bertanya kepada Imam As, “Seseorang tengah dalam perjalanan dan membawa air bersamanya. Namun ia lupa (bahwa ia membawa air). Ia kemudian melakukan tayamum dan mengerjakan salat. Sebelum lewat waktu salat, ia ingat (bahwa kewajibannya adalah berwudhu) apa yang ia harus dilakukan?” Imam As bersabda, “(Ia) harus berwudhu dan mengerjakan salat.”[11]
Dari ayat dan riwayat tentang tayamum dapat disimpulkan bahwa tayamum berkaitan dengan beberapa kondisi ketika air tidak ditemukan. Namun apabila air ditemukan maka tidak dibenarkan melakukan tayamum. Dan apabila ragu pada keabsahan tayamum dalam perjalanan (dengan adanya air) apabila ia mengerjakan salat dengan tayamum maka bari’ al-dzimmah-nya (keinginannya untuk menggugurkan kewajiban) tetap bermasalah; karena yang menjadi prinsip adalah pada wudhu (bukan tayamum) karena tayamum adalah pengganti wudhu dan dikerjakan dalam kondisi darurat. Sesuai kaidah fikih yang terkenal ketika yakin seseorang terombang-ambing (baca: ragu) terhadap sesuatu maka ia harus melepaskan dirinya dari kondisi bimbang tersebut (yaitu dengan berwudhu dalam contoh kasus).[12] [iQuest]
[1]. Jalaluddin Suyuthi, al-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur, jil. 2, hal. 166, Kitabkhane Ayatullah Mar’asyi Najafi, Qum, 1404 H; Abu Abdillah Fakhruddin Muhammad bin Umar, Fakhrurazi, Mafâtih al-Ghaib, jil. 11, hal. 309, Dar Ihyat al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Ketiga, 1420 H.
[2]. Allamah Thabarsi, penulis tafsir Majma’ al-Bayân dalam hal ini berkata, “Sebagian berkata, “aw” bermakna “waw” misalnya “Wa arsalnahu ila miati alfi aw yaziduna.” (Qs. Al-Shaffat [37]:147) artinya “Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang dan lebih.” Karena membuang hajat bukan berasal dari jenis penyakit atau safar sehingga athaf (tautannya) dapat dibenarkan atasnya mengingat sakit dan safar menjadi sebab tayamum menjadi mubah dan membuang hajat menjadi sebab tayamum. Fadhl bin Hasan, Thabarsi, Majma’ al-Bayân fi Tafsir al-Qurân, jil. 5, hal. 162, Intisyarat Farahani, Cetakan Pertama, 1360 S.
[3]. Dua hal ini disebabkan oleh karena berasal dari bab sebagai contoh dan dominasi (taghlib); karena tentu saja hadas kecil dan hadas besar lebih tinggi dari dua masalah ini.
[4]. Muhammad Husain Thabathabai, Terjemahan Persia al-Mizan, jil. 5, hal. 366, Daftar Intisyarat Islami, Jamiah Mudarrisin, Hauzah Ilmiah Qum, Qum, Cetakan Kelima.
[5]. Muhammad Husain Thabathabai, Terjemahan Persia al-Mizân, jil. 5, hal. 367, “Karena itu masalah tidak ditemukannya air merupakan kata kiasan bahwa manusia tidak dapat menggunakan air merupakan sebuah kondisi atau karena tiadanya air atau air berbahaya baginya, atau tidak ada waktu untuk mandi dan wudhu, dan apabila kesemua hal ini disebutkan dengan tidak ditemukannya air” adalah karena pada umumnya manusia tidak dapat wudhu dan mandi tatkala tidak ditemukan air. Dan kemestian ucapan ini bahwa tidak ditemukannya air merupakan qaid untuk empat kondisi di atas bahkan untuk orang sakit.”
[6]. Quthbuddin Sa’id bin Abdullah bin Husain Rawandi, Fiqh al-Qur’ân fi Syarh Âyât al-Ahkâm, jil. 1, hal. 35, Kitabkhane Ayatullah Mar’asyi Najafi, Qum, Cetakan Kedua, 1405 H.
[7]. Jalaluddin Suyuthi, al-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur, jil. 2, hal. 166.
[8]. Abu Abdillah Fakhruddin Muhammad bin Umar, Fakhrurazi, Mafâtih al-Ghaib, jil. 11, hal. 309.
[9]. Quthbuddin Sa’id bin Abdullah bin Husain Rawandi, Fiqh al-Qur’ân fi Syarh Âyât al-Ahkâm, jil. 1, hal. 75. Orang sakit terkadang dikarenakan lemah dan tidak mampu tidak dapat menyentuh air dan terkadang menemukan air namun disebabkan oleh sakit atau luka dan lain sebagainya tidak dapat menggunakan air. Dalam dua kondisi ia harus bertayamum.
[10]. Kulaini, al-Kâfi, jil. 3, hal. 63, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[11]. Ibid, hal. 65.
[12]. Muhammad Baqir bin Muhamamd Akmal Wahid Bahbahani, al-Fawâid al-Hairiyah, hal. 79; Majma’ al-Fikr al-Islâmiyah, Qum, Cetakan Pertama, 1415 H. Kaidah fikih ini menyebutkan isytighâl yaqin yaqtadhi firâgh ‘an al-yaqin.