Please Wait
8694
Menunaikan tugas-tugas yang dianjurkan para Imam Maksum bagi setiap Syiah adalah wajib. Namun bagi mereka yang hidup di kalangan Ahlusunnah maka pelaksanaan tugas-tugas ini lebih mesti hukumnya. Mengingat Anda bermukim di kalangan Ahlusunnah dan melakukan interaksi dengan mereka, maka Anda harus lebih memperhatikan dan melaksanakan banyak hal. Dalam kitab Wasail al-Syiah terdapat sebuah bab (pembahasan) yang menentukan pola hubungan dan interaksi orang-orang Syiah dengan Ahlusunnah. Dari sekempulan riwayat ini dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang paling penting dipenuhi pada tempat-tempat seperti ini adalah sebagai berikut:
1. Menunaikan amanah:
2. Membesuk orang-orang sakit dan turut serta dalam upacara pemakaman mereka.
3. Memenuhi hak-hak yang berada dalam tanggungan kita, seperti hak tetangga.
4. Memiliki akhlak budiman
Ahlulbait dan para Imam Maksum As senantiasa mengajurkan kepada kita untuk menjaga keutamaan akhlak dan ilmu dan sudah seharusnya kita menjalankan anjuran tersebut. Keinginan mereka bahwa kita harus menjadi teladan dalam ilmu, akhlak, dan takwa sehingga kita dapat mengajak dan berdakwah kepada orang-orang dengan perbuatan kita, tidak semata hanya dengan lisan.
Syaikh Kulaini banyak menukil riwayat terkait dengan persoalan ini yang akan kita sebutkan di sini dua contoh sebagai perumpamaan:
1. Usamah berkata bahwa ia mendengar Imam Shadiq As bersabda: “Bertakwalah dan bersikap wara, berkata jujur dan tunaikanlah amanah, berperilaku baiklah terhadap tetangga. Ajaklah manusia kepada agamamu dengan perbuatanmu (perbuatan kalian orang-orang Syiah sedemikian indah sehingga para penentang kalian condong kepada mazhab kalian). Jadilah perhiasan bagi kami bukan celaan. Dan hendaklah kalian memanjangkan ruku dan sujud; karena barang siapa yang memanjangkan ruku dan sujud maka setan akan berteriak di belakangnya, “Celakalah Aku! Orang ini mentaati (perintah Allah) dan aku bermaksiat. Orang ini bersujud sementara aku membangkang (ketika aku diperintahkan untuk bersujud di hadapan Adam).” [1]
2. Dinukil dari Ali bin Abi Zaid dari ayahnya, katanya, Aku berada di sisi Imam Shadiq As ketika Isa bin Abdullah Qumi datang kepada beliau. Beliau mengucapkan selamat datang kepadanya: Dan memberikan tempat di sampingnya dan kemudian bersabda: “Wahai Isa bin Abdullah! Bukan bagian dari kami (Syiah) yang tinggal di suatu kota yang penduduknya 100 ribu atau lebih dan di kota itu ada yang lebih bertakwa darinya; yaitu para penentang mazhab Syiah; karena Syiah yang (harus) lebih unggul dari semuanya (dari sisi ketakwaan).” [2]
Apabila kita sedemikian adanya maka kita telah menampilkan wajah rupawan Islam dan mazhab Ahlulbait kepada pendudukan dunia. Karena itu, kita diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan anjuran dan keinginan para Imam Maksum pada seluruh bidang akhlak, keilmuan, keyakinan, kebudayaan dan sebagainya. [3]
Sebagian hal yang harus ditunaikan seabgai masalah paling pertama dan utama dalam amalan dan perbuatan kita sebagai seorang Syiah adalah sebagah berikut:
1. Menghormati hak-hak rakyat (haqqunnas) dan tidak melanggar hak-hak warga kota
Dalam pandangan Islam, asas dan fondasi kehidupan sosial terletak pada penghormatan manusia pada hak-hak sosial orang lain yang akan disinggung dengan beberapa contoh berikut ini:
Rasulullah Saw bersabda terkait dengan penunaian hak-hak tetangga: "Barang siapa yang mengganggu tetangganya maka Allah Swt akan mengharamkan bau surga baginya." [4] Atau pada sabdanya yang lain, "Bukan dari golongan kami orang yang melanggar hak-hak tetangganya." [5]
2. Memiliki rasa tanggung jawab dan penuh dedikasi
Tipologi utama masyarakat Islam terpenuhinya tanggung jawab umum dan akuntabilitas sosial. Tanggung jawab umum ini bermula dari institusi keluarga melebar pada tetangga, kota dan seterusnya. Sesuai dengan ajaran Islam, seorang warga kota pada komunitas Islam harus merasa bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada masyarakat, baik masalah-masalah kebudayaan, perekonomian, politik dan bahkan bencana-bencana alam. Ia harus berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan masalah ini atau paling tidak meminimalisir persoalan yang dihadapi masyarakat.
Di bawah ini kami akan menyampaikan beberapa cermin rasa tanggung jawab ini secara ringkas sebagai berikut:
A. Menolong dan membantu orang lain
Al-Qur'an memandang menolong dan membantu orang lain adalah tugas dan tanggung jawab setiap Muslim. Al-Qur'an menandaskan, " J ika mereka meminta pertolongan kepadamu untuk membela agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan ." (Qs. Al-Anfal [8]:72); " Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara ." (Qs. Al-Hujurat [49]:10)
Kaum Muslimin pada komunitas Islam memiliki tanggung jawab terhadap nasib, masa depan dan persoalan yang dihadapi masing-masing anggota komunitasnya. Apabila ia ingin bersikap acuh-tak-acuh terhadap persoalan kaum Muslimin dan menolak tanggung jawab ini, sesuai dengan riwayat, maka sesungguhnya ia telah keluar dari barisan kaum Muslimin. "Barang siapa yang menjumpai pagi dan tidak menaruh perhatian kepada urusan kaum Muslimin maka sesungguhnya ia bukan Muslim." [6] Amirul Mukmin Ali bin Abi Thalib As, memandang setiap warga kota masyarakat Islam, baik dari kalangan ulama, orang kaya dan sebagainya bertanggung jawab terhadap urusan masyarakat tersebut. Imam Ali As bersabda: "Allah tidak mewajibkan orang bodoh belajar sebelum Dia mewajibkan orang terpelajar mengajar." [7] Atau pada kesempatan lain beliau bersabda, "Allah telah menentukan rezeki orang miskin dalam kekayaan orang kaya. Akibatnya, bilamana seorang miskin tetap lapar adalah itu karena beberapa orang kaya telah menolak (bagiannya). Allah akan menanyainya tentang hal itu. [8] Karena itu, menolong dan membantu tetangga adalah hal yang sangat penting dalam pandangan Islam. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As bersabda: "Rasulullah Saw sedemikian mewasiatkan tentang tetangga sehingga kami menyangka bahwa tetangga mewarisi harta warisan tetangganya." [9]
3. Mengamalkan nilai-nilai luhur Islam dalam pergaulan sosial
Berbudi luhur dan berperilaku mulia terhadap orang lain merupakan faktor terpenting untuk mencapai kesukesan dan kemajuan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan penyebarannya di antara pelbagai strata masyarakat akan sangat membantu penyebaran keadilan di tengah masyarakat.
Kami akan menyebutkan beberapa contoh etika sosial Islam sebagai kelanjutan dari pembahasan ini:
A. Berakhlak budiman, berperilaku mulia dan berawajah ceria
Al-Qur'an menyatakan kepada Nabi Saw, " Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung " (Qs. Al-Qalam [68]:4); " Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. " (Qs. Ali Imran [3]:159)
Karena itu, al-Qur'an memandang budi pekerti yang luhur (khulqin azhim) sebagai faktor kesuksesan Nabi Saw dalam menarik hati masyarakat. Terdapat banyak riwayat dari para pemimpin agama terkait dengan masalah ini yang kami akan sebutkan beberapa di sini sebagai contoh:
Nabi Saw bersabda: "Budi pekerti yang baik dan terpuji merupakan setengah agama." [10]
B. Bersikap rendah hati dan tawadhu
Bersikap rendah hati atau tawadhu dihadapan masyarakat dan menghindar dari sikap angkuh dan egois. Tawadhu ini merupakan salah satu sifat dan kondisi kejiwaan manusia yang terefleksi dalam segala perbuatan dan tindakannya.
Tanpa ragu, sikap rendah hati dan tawadhu di hadapan masyarakat dan warga kota akan mengundang simpati dan kecintaan publik di dunia dan mendatangkan keridhaan Tuhan di akhirat kelak. Persoalan ini merupakan salah satu persoalan penting dimana para wali Allah senantiasa menganjurkan dan mewasiatkan hal ini.
C. Bersikap Lembut dan Toleran
Rifq dan mudâra artinya bersikap lembut dan toleran dengan masyarakat.
Manusia dari dimensi bahwa ia memiliki kehidupan sosial, senantiasa berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia lainnya. Hak-haknya dengan hak-hak orang lain bertaut satu dengan yang lain dalam ragam bentuk. Karena itu, sikap toleran merupakan salah satu masalah yang mendapat perhatian serius dalam Islam.
D. Sabar dan tabah
Hilm (tabah) adalah bersikap tegar dan kokoh dalam menghadapi pelbagai kesulitan hidup. Kehidupan sosial adalah kehidupan dengan ragam manusia. Berinteraksi dengan aneka model mental, dengan ragam selera, dengan pandangan yang berbeda-beda, dengan perilaku dan keinginan yang berlainan. Karena itu, syarat pertama kehidupan sosial adalah bersikap tabah dan sabar. Sifat sabar dan tabah ini merupakan salah satu sifat dan karakteristik seluruh Nabi Ilahi di hadapan pelbagai gangguan para penentang dan kaum musyrikin. [11]
Dengan demikian, menunaikan tugas-tugas yang dianjurkan para Imam Maksum bagi setiap Syiah adalah wajib. Namun bagi mereka yang hidup di kalangan Ahlusunnah maka pelaksanaan tugas-tugas ini lebih mesti hukumnya. Mengingat Anda bermukim di kalangan Ahlusunnah dan melakukan interaksi dengan mereka, maka Anda harus lebih memperhatikan dan melaksanakan banyak hal. Dalam kitab Wasail al-Syiah terdapat sebuah bab (pembahasan) yang menentukan pola hubungan dan interaksi orang-orang Syiah dengan Ahlusunnah. [12]
Dari sekempulan riwayat ini dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang paling penting dipenuhi pada tempat-tempat seperti ini adalah sebagai berikut:
1. Menunaikan amanah:
2. Membesuk orang-orang sakit dan turut serta dalam upacara pemakaman mereka.
3. Memenuhi hak-hak yang berada dalam tanggungan kita, seperti hak tetangga.
4. Memiliki akhlak budiman. [13]
Untuk telaah lebih jauh terkait dengan pola interaksi dengan Ahlusunnah silahkan Anda lihat dua indeks terkait berikut ini:
Tipologi Masyarakat Muslim, Pertanyaan 6762 (Site: 6836)
Pola Interaksi dengan Mazhab-mazhab Non-Syiah, Pertanyaan 8049 (Site:8141)
[1] . Kâfi, jil. 2, hal. 78, Hadis 8.
[2] . Ibid, Hadis 9.
[3] . Diadaptasi dari Pertanyaan 8049 (Site:8141)
[4] . "Man adza Jarahu HarramaLlâh 'alaih raiha al-Jannah." Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 72.
[5] . "Man dhaya' haqqa jarihi falaisa minna." Ibid, jil. 71, hal. 150.
[6] . "Man Asbaha wala yahtam bi umur al-Muslimin, falaisa bimuslim." Kulaini, Ushul Kâfi, jil. 2, hal. 131.
[7] . "Mâ akhadzaLlâh 'ala Ahli al-Jahl an yata'allamu hatta akhadza 'ala Ahli al-'Ilm an-Yu'allimu." Abdulmajid Ma'adikha, Khursyid bi Ghurûb (terjemahan Persia Nahj al-Balâgha), hal. 522, hikmah no. 478.
[8] . "InnaLlâh Subhanahu Faradha fii Amwal al-Aghniyâ Aqwât al-Fuqarâ…", Ibid, hal. 479, hikmah no. 329.
[9] . Al-Kâfi, jil. 7, hal. 51; Bihâr al-Anwâr, jil. 42, hal. 248.
[10] . "Al-Khulq al-Hasan nisf al-din." Muhammad Baqir al-Majlisi, jil. 68, hal. 385.
[11] . Diadaptasi dari Pertanyaan 6122 (Site:6335)
[12] . Muhammad bin Hasan Hurr ‘Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 12, hal. 5, Muassasah Ali al-Bait, Qum, 1409.
[13] . Imam Shadiq As bersabda, “Tatkala kalian berinteraksi dengan Ahlusunnah, kalian memiliki takwa dan wara, berkata jujur dan berlaku amanah serta berperilaku budiman maka mereka akan berkata bahwa orang ini adalah Ja’fari (disandarkan kepada Imam Ja’far Shadiq As). Hal ini tentu saja akan membahagiakanku. Silahkan lihat, Wasâil al-Syiah, jil. 12, hal. 6.