Please Wait
16338
- Share
Pada sebagian literatur Ahlusunnah terdapat beberapa riwayat yang dapat disimpulkan bahwa ziarah kubur bagi para perempuan adalah makruh atau haram, akan tetapi ada juga riwayat lebih kuat yang menunjukkan kebolehan melakukan ziarah seperti ini. Namun karena adanya kelemahan dalam sanad dan kandungan riwayat derajat pertama telah membuat banyak ulama Ahlusunnah menyimpulkan bahwa para perempuan sebagaimana juga para lelaki, dengan ketentuan memperhatikan syarat-syarat dan aturan-aturan agama, maka mereka boleh hadir (dan melakukan ziarah) di pekuburan.
Demikian juga dengan para Syiah, dengan memperhatikan tolok-tolok ukur yang berbeda dalam mengambil dan menganalisa hadis, mereka tidak menemukan dalil pelarangan sepenuhnya tentang kehadiran mereka di pekuburan, kendati harus juga dicermati supaya terhindar dari pelbagai mafsadah yang mungkin terjadi yang bersumber dari kehadiran mereka di tempat seperti ini.
Dalam literatur-literatur riwayat Ahlusunnah, terdapat beberapa hadis yang menampakkan pelarangan ziarah kubur bagi para perempuan.
Kandungan salah satu dari riwayat ini dinukil dari Abdullah bin Amru bin Ash, yang berkata, “Kami berada dalam sebuah perjalanan bersama Rasulullah Saw, namun tiba-tiba beliau melihat seorang perempuan. Tadinya kami menyangka bahwa perempuan itu adalah perempuan asing dan tak dikenal, akan tetapi setelah beliau pergi ke arahnya, kami baru mengetahui bahwa ia adalah Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah Saw. Kepada putrinya, beliau bertanya, “Wahai putriku! Apa gerangan yang terjadi sehingga engkau keluar dari rumahmu?” Fatimah Zahra menjawab, “Seseorang telah meninggal dunia, hatiku tersentuh, dan aku berjalan bersama mereka untuk mengucapkan bela sungkawa.” Rasul kembali bertanya, “Apakah engkau menyertai mereka hingga ke pekuburan?” Sang putri menjawab, “Bagaimana aku bisa pergi ke pekuburan dengan segala cela yang ada dalam perbuatan ini yang aku dengar darimu?” Dengan mendengar jawaban ini, Rasulullah bersabda, “Andai engkau pergi ke sana, maka engkau tidak akan pernah memasuki surga!”[1] atau dalam riwayat lain dari Abu Hurairah disebutkan, “La’anaLlâh zuwwârât al-qubûr.[2] Rasulullah melaknat para perempuan yang senantiasa berada di pekuburan.[3]
Dalam mazhab Syiah, dengan memperhatikan prinsip umum yang melandasi pengenalan pemahaman hadis (Dirâyah) dan perawi-perawinya (Rijâl), riwayat-riwayat di atas tertolak dari kedua pandangan, baik dari sudut pandang ilmu Rijal maupun ilmu Dirayah.
Dalam pandangan Ahlusunnah pun, Tirmidzi, salah seorang dari penyusun shahih Ahlusunnah, dalam kelanjutan hadis kedua ini memberikan penjelasan bahwa sebagian dari ulama meyakini bahwa Rasulullah setelah itu menyatakan kebolehan ziarah kubur bagi para perempuan dan izin beliau ini mencakup laki-laki maupun perempuan.[4]
Hadis pertama pun, dari pandangan banyak fukaha dan ulama Ahlusunnah, dianggap sebagai hadis yang lemah.[5]
Riwayat-riwayat lain yang terdapat dalam kitab-kitab Ahlusunnah berkaitan dengan pelarangan para perempuan dari ziarah kubur, dari aspek sanad, tidak ada yang lebih baik dari dua riwayat ini.
Sehubungan dengan masalah ini, kami akan menyampaikan sepenggal dari pembahasan yang telah disampaikan dengan menukil ucapan Syukani, salah seorang ulama Zaidi yang cenderung kepada Ahlusunnah. Ia selain menganalisa hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab Ahlusunnah, dalam kaitannya dengan ziarah kubur perempuan, mengatakan: Mayoritas ulama memberikan fatwa pada kebolehan ziarah kubur ini, ketika yakin tidak akan menimbulkan fitnah dan masalah-masalah yang lain, sebagaimana sebuah riwayat dari Shahih Muslim yang dinukil dari Aisyah dimana ia bertanya kepada Rasulullah Saw mengenai doa apa yang harus dibaca saat menziarahi kubur, dan Rasulullah mengajarkan doa tersebut kepadanya (sementara beliau sama sekali tidak menyinggung tentang terlarangnya menziarahi kubur),[6] dan dalam kasus lain diriwayatkan dari Shahih Bukhâri, Rasulullah Saw bersabda dan memberikan nasihat kepada seorang perempuan yang tengah duduk dan menangis di samping kubur untuk bersabar dan bertakwa, tanpa mengutarakan masalah pelarangan ziarah itu sendiri.[7]
Selain itu, Hakim Naisyaburi meriwayatkan bahwa Fatimah Zahra, setiap pekan senantiasa menziarahi kubur pamannya Hamzah, dan beliau melakukan shalat, menangis dan berdoa di sana ...[8]
Kemudian pernyataan dari Qurthubi, seorang mufassir terkenal Ahlusunnah mengutip dengan kandungan demikian bahwa dengan memperhatikan riwayat-riwayat ini dan dengan alasan bahwa ziarah kubur merupakan peringatan terhadap kematian, demikian juga dalam masalah ini tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki, sehingga ketika tidak ada hambatan-hambatan yang merusak, maka nampaknya bahwa ziarah kubur ini tidak terlarang bagi para perempuan. Syukani menganggap pandangan ini sepenuhnya merupakan pandangan yang paling argumentatif dan ia menerimanya.[9]
Dengan merujuk pada kitab-kitab para ulama Ahlusunnah juga bisa disaksikan bahwa banyak dari mereka yang juga cenderung terhadap pendapat yang terdapat dalam kitab Syukani ini.[10]
Tentunya, sebagai lawan dari pendapat tersebut, terdapat sekelompok dari Ahlusunnah termasuk Wahabi yang memiliki pandangan dan pendapat lain mengenai pelarangan ziarah kubur bagi para perempuan yang muncul dari keyakinan mereka terhadap hadis-hadis, yang telah disebutkan contohnya pada jawaban pertama dimana jika diperhatikan, terdapat kelemahan sanad dan konteks di dalamnya, dan bertentangan dengan riwayat-riwayat yang lebih kuat.
Terakhir, penting untuk memperhatikan bahwa berdasarkan riwayat-riwayat Syiah, kehadiran para perempuan dalam acara pemakaman jenazah, penguburan, menjenguk orang yang sakit, dan sebagainya, jika dengan dalih untuk melaksanakan kewajiban insaniah terhadap masyarakat sosial, maka hal ini bukan saja tidak bermasalah, bahkan sangat ditekankan oleh para Maksum As. Karena itu, kami mengajak Anda untuk memperhatikan riwayat berikut ini:
Abdullah Kahili menukil bahwa ia bertanya kepada Imam Kadhim As, “Istriku bersama istri salah seorang sahabat senantiasa ikut serta dalam acara-acara duka, dan aku senantiasa melarang mereka berdua dari perbuatan ini, hingga suatu hari istriku berkata, “Jika perbuatan ini adalah perbuatan yang haram dan melanggar syariat, maka katakan dengan tegas kepadaku supaya aku tidak lagi ikut dalam acara-acara seperti ini. Namun jika tidak haram, lalu kenapa engkau menghalangi kami dalam mengikuti acara-acara duka seperti ini? Jika kami tidak pergi ke majelis-majelis orang lain, mereka juga tidak akan pernah datang pada majelis-majelis yang kita adakan!” Saat mendengar perkataan ini, dalam menjawabnya Imam As bersabda bahwa pertanyaanmu berkaitan dengan kewajiban sosial. (Waspadalah bahwa) ayahku (Imam Shadiq As) telah mengirim ibuku bersama Ummu Farwah (salah satu dari istri beliau) untuk pergi ke sini dan ke situ untuk melaksanaan kewajiban sosialnya terhadap masyarakat Madinah.”[11]
Tentunya, para perempuan juga harus cermat bahwa kehadiran mereka di tempat-tempat dan acara-acara seperti ini harus disertai dengan ketenangan yang sempurna dan menghindarkan diri dari tindakan-tindakan yang tidak seberapa sesuai dengan aktivitas-aktivitas sosial yang sehat.
Dalam kaitannya dengan masalah ini harus diketahui bahwa dalam kitab-kitab riwayat Syiah pun, sebagaimana dalam kumpulan riwayat-riwayat Ahlusunnah, juga terdapat riwayat-riwayat yang melarang para perempuan dari ikut serta dalam acara pemakaman jenazah dan kehadiran mereka di pekuburan,[12] akan tetapi, dengan memperhatikan perbuatan praktis (sirah amali) orang-orang seperti Fatimah Zahra As dan juga berbagai riwayat yang membolehkan hal seperti ini, maka riwayat-riwayat yang menunjukkan pelarangan harus ditujukan pada kasus-kasus dimana di dalamnya, sebagian para perempuan tidak memperhatikan aturan-aturan Islami, atau menganggap pekuburan sebagai tempat tinggalnya.[13]
Berdasarkan hal itu, pandangan umum Syiah dan kebanyakan Ahlusunnah adalah bahwa saat menghadiri acara pemakaman jenazah atau menziarahi kubur, tak seharusnya para perempuan melalaikan masalah rambu-rambu syariat, aturan agama, atau menyebabkannya mengambil jarak yang lebar dari kehidupan alaminya kemudian bertempat tinggal di pekuburan, akan tetapi manfaat-manfaat positif yang terdapat dalam ziarah kubur, juga mencakup bagi para perempuan, dan karena itu, mereka tidak boleh dilarang berziarah ke kuburan. [iQuest]
[1]. Musnad Ahmad bin Hanbal, jil. 2, hal. 168-169, Dar Shadr, Beirut.
[2]. Mengenai mengapa redaksi ‘zuwwârât’ (hiperbola) digunakan sebagai pengganti “zâirât” menunjukkan kehadiran terus menerus di pekuburan-pekuburan, bukan ziarah kubur secara wajar.
[3]. Sunan Tirmidzi, jil. 2, hal. 259, Dar al-Fikr, Beirut, 1403 H.
[4]. Ibid.
[5]. Mahyuddin Al-Nawawi, Al-Majmû’ fî Syarhi al-Mahdzab, jil. 5, hal. 278, Dar al-Fikr, Beirut.
[6]. Riwayat ini terdapat dalam Shahih Muslim hal. 64, jil. 3, Dar al-Fikr, Beirut.
[7]. Riwayat ini terdapat dalam Shahih Bukhâri hal. 73, jil. 2, Dar al-Fikr, Beirut.
[8]. Riwayat ini terdapat dalam Mustadrak Hakim Naisyaburi, hal. 377, jil. 1, Dar al-Alma’rifah, Beirut, 1406 H.
[9]. Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syukani, Nail al-Authâr min Ahâdîts Sayyid Al-Akhyâr, jil. 4, hal. 165-166, Dar al-Jalil, Beirut.
[10]. Al-Qadhi Abi Al-Fadhl Ayadh al-Yahshabi, Asy-Syifâ bita’rîf Huqûq al-Musthafâ, jil. 2, hal. 84, Dar al-Fikr, Beirut; Demikian juga Muhammad Nashiruddin al-Albani, Ahkâm al-Janâiz, hal. 186-187. Al-Maktab al-Islami, Beirut.
[11]. Muhammad bin Ya’kub Kulaini, al-Kâfî, jil. 3, hal. 217, Hadis 5, Dar al-Kutub al- Islamiyyah, Teheran, 1365 S.
[12]. Hurr Amili, Wasâil Asy-Syîah, jil. 3, hal. 239-240, Hadis 3512, 3513, 3514, Muasasah Alu al-Bait, Qum, 1409 H.
[13]. Ibid, jil. 20, hal. 210, hadis 25452.