Please Wait
8174
Pijakan teoritis hubungan dengan Imam Zaman Ajf dan kajian ragam jenis hubungan tersebut harus dibahas pada tempatnya tersendiri. Namun demikian terdapat beberapa ulasan pelbagai perjumpaan sebagian ulama di antaranya Muqaddas Ardabili, Sayid Bahrul Ulum, Sayid Ibnu Thawus dan kebanyakan ulama lainnya yang disebutkan dalam kitab-kitab ulama kawakan Syiah. Demikian juga, terdapat banyak orang yang berhasil berjumpa dengan orang-orang yang memiliki hubungan khusus dengan Imam Zaman ini. Mereka meminta pertolongan melalui orang-orang ini.
Dari satu pandangan orang-orang yang memiliki hubungan khusus dengan Imam Zaman adalah autâd, abdâl, rijal al-ghaib dan sebagainya. Autâd berada pada tingkatan tertinggi daripada abdâl dan disebutkan bahwa Isa, Khidr, Ilyas dan Idris As adalah orang-orang yang dekat dengan Imam Zaman Ajf. Runutan abdâl dan urafa (para arif) berlaku setelahnya. Orang-orang ini jenisnya tidak dikenal masyarakat dan terdapat perbedaan pendapat terkait dengan bilangan mereka. Namun demikian sebagian tipologi personal mereka disinggung dalam sebagian riwayat.
Dalam pembahasan kemungkinan hubungan dengan Imam Zaman pada masa ghaibat (okultasi) senantiasa terdapat dua pandangan universal: Sebagian orang memandang mustahil berhubungan dengan Imam Zaman pada masa ghaibat. Dan sebagian lainnya meyakini bahwa mungkin saja seseorang menjalin hubungan dengan Imam Zaman Ajf. Di alam realitas juga hal tersebut telah terjadi dan bahkan tekad seseorang harus diarahkan untuk meraih apa pun jenis hubungan dengan Imam Zaman Ajf yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Namun apa yang dimaksud dengan hubungan antara orang-orang yang mengklaim dan orang-orang yang mengingkari bukan merupakan sebuah persoalan. Apabila kita perhatikan sebagian makna khusus dari hubungan di antaranya hubungan nyata dan bebas masyarakat dengan pribadi Imam Zaman Ajf – karena berseberangan dengan makna ghaibat – yang merupakan suatu hal yang mustahil sesuai dengan konsensus (ijma) seluruh ulama. [1]
Sebagian redaksi lainnya dari yang dipandang mungkin dari hubungan ini adalah hubungan spritual pada masa ghaibat dan tiadanya penyaksian dan perjumpaan.
Pada pelbagai jenis hubungan dengan Imam Zaman Ajf yang disebut sebagai perjumpaan dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Melihat tanpa mengenal Imam Zaman Ajf (yang telah disinggung pada sebagian riwayat).
2. Perjumpaan disertai dengan pengenalan kepada Imam Zaman Ajf secara lahir dan empirik. [2]
3. Perjumpaan dengan Imam Zaman secara hakiki dan kondisi penyaksian (syuhudi) sebagai hasil dari sair dan suluk irfan.
Makna ketiga dari hubungan dengan Imam Zaman lantaran adanya keburaman dalam esensinya telah banyak melahirkan pro dan kontra di kalangan ulama. Kebanyakan perbedaan pendapat terkait hubungan dengan Imam Zaman terfokus pada hubungan dan perjumpaan fisikal lahiriyah dengan Imam Zaman Ajf (makna kedua). Dengan kondisi seperti ini, tuturan-tuturan sebagian ulama terkait dengan hubungan dengan Imam Zaman Ajf adalah berkisar tentang makna irfani dan syuhudi di antaranya dari tuturan Ayatullah Sayid Ali Qadhi dan Ayatullah Anshari Hamadani yang menyokong bahwa hubungan dengan Imam Zaman Ajf itu lebih banyak berkisar tentang hubungan batin [3] dan secara umum pada ucapan-ucapan para arif kurang-lebihnya mengemuka ucapan-ucapan seperti ini.
Muhaddits Nuri [4] dalam kitab “al-Najm al-Tsâqib” yang membahas tentang hubungan sebagian ulama Syiah dengan Imam Zaman dan mungkin kitab ini merupakan kitab komprehensif dan standar dalam masalah ini. Dalam kitab ini terdapat pembahasan-pembahasan teoritis dan fondasi ilmiah persoalan hubungan dengan Imam Zaman Ajf. Demikian juga argumen-argumen sebagian ulama yang menolak adanya kemungkinan perjumpaan dengan Imam Zaman Ajf. Muhaddits Nuri meyakini bahwa terjalinnya hubungan dengan Imam Zaman dan dinukil bahwa banyak ulama yang tidak lagi diragukan kejujurannya, itu sendiri merupakan sebaik-baik dalil atas kemungkinannya perjumpaan ini.
Ulasan perjumpaan sebagian ulama di antaranya Muqaddas Ardabili, Sayid Bahrul Ulum, Sayid Ibnu Thawus, demikian juga banyak orang yang tidak begitu terkenal dijelaskan secara detil memiliki hubungan dengan Imam Zaman Ajf. Begitu pun banyak orang yang telah berhasil berjumpa dengan orang-orang yang memiliki hubungan khusus dengan Imam Zaman Ajf dan meminta pertolongan dari mereka. [5]
Autâd dan Abdâl
Terdapat sebagian riwayat yang dinukil berkenaan dengan orang-orang yang bersama dengan Imam Zaman. Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa sebagian orang memiliki hubungan dekat dengan Imam Zaman Ajf namun orang-orang ini selalu tidak dikenal oleh masyarakat. Telah dinukil dari Imam Baqir As bahwa beliau bersabda, “La budda lishahibi hadza al-amr min ‘uzlatin wa laa budda min quwwatin wa maa bitsalatsina min wahsyatin.” (Pemilik urusan ini [Imam Mahdi Ajf] mau tidak mau harus mengasingkan diri dan ia pada masa pengasingan harus memiliki kekuatan dan kemampuan dan ia akan keluar (dengan adanya tiga puluh orang yang menyertainya) dari kesendirian dan sama sekali tidak memiliki rasa takut.” [6]
Karena itu, satu pandangan kelompok ini yang merupakan orang-orang yang menyertai Imam Zaman Ajf adalah abdâl dimana apabila salah seorang ini meninggal dunia maka akan ada orang lain yang menggantikan posisinya. Pembahasan abdâl dan autâd dalam Irfan adalah sebuah pembahan yang luas dan juga telah disinggung pada sebagian riwayat.
Inti keberadaan abdâl dan kedudukan khususnya pada alam penciptaan demikian juga hubungan mereka dengan Imam Zaman serta masalah kemunculan (zhuhur) adalah sekumpulan riwayat yang dapat disimpulkan namun terkait dengan jumlah bilangan mereka terdapat perbedaan pendapat di kalangan urafa dan ulama.
Dalam sebagian riwayat juga kita tidak dapat memperoleh pandangan definitif. Pada sebagian riwayat lainnya disebutkan empat orang [7] dan pada sebagian lainnya orang-orang yang menyertai Imam Zaman Ajf adalah tiga puluh orang sebagaimana riwayat yang disebutkan di atas yang dinukil dari Imam Baqir As. Pada sebagian riwayat dari Imam Ali As juga dijelaskan abdâl yang bermukim di Syam. [8] Sebagai akhir disebutkan bahwa autâd berada pada tingkatan tertinggi dari abdâl. Dan sesuai dengan satu pandangan autâd itu adalah Isa, Khidir, Ilyas dan Idris As yang merupakan orang terdekat dengan Imam Zaman Ajf dimana silsilah para arif mengemuka setelah mereka.
Sebagian Sifat Abdâl
Dalam sebagian riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw yang menyinggung tipologi dan karakteristik abdâl yang akan kita sebutkan sebagian darinya berikut ini:
1. Abdâl memiliki hati sebagaimana hati Ibrahim [9] (barangkali yang dimaksud dengan permisalan ini dari sisi intensitas, kekuatan, ketabahan dan ketahanan).
2. Abdâl adalah tameng pelindung petaka bagi manusia dan dengan perantara mereka Allah Swt menjauhkan petaka dari manusia. [10]
3. Terkait dengan orang-orang yang menzalimi, mereka berbuat baik dan kebaikan. Terhadap orang yang memperlakukan mereka dengan jahat berlaku itsar dan kerelaan terhadap ketentuan Ilahi dan senantiasa mensucikan diri dan akan marah demi Allah Swt. [11]
4. Ibnu Mas’ud dari Rasulullah Saw menukil demikian: “Ketahuilah bahwa mereka (abdâl) tidak meraup makam ini dengan shalat, berpuasa dan bersedekah. Orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah! Lantas dengan media apa mereka sampai pada makam ini?” Rasulullah Saw bersabda, “Melalui diri mereka, sifat pemaaf dan menghendaki kebaikan untuk kaum Muslimin.” [12] Dan pada riwayat yang lain disebutkan, “Abdâl umatku tidak akan memasuki surga dengan amalan-amalan mereka melainkan dengan perantara rahmat Ilahi, kemurahan, keselamatan hati dan sikap pengasih kepada seluruh kaum Muslimin. [13] [IQuest]
Untuk telaah lebih jauh dalam masalah ini silahkan lihat beberapa jawaban berikut ini:
1. 921 (Site:1231) .
2. 1405 (Site:1425) .
3. 9684 (Site: 9685) .
4. 9919 (Site: 9920) .
[1] . Karena hal itu tidak lagi bermakna Imam Mahdi dalam kondisi ghaibat.
[2] . Beberapa riwayat yang menunjukkan hal ini dan pada lahirnya tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hal ini. Di antaranya adalah riwayat yang dinukil dari Amirul Mukminin Ali As: Sesungguhnya hujjah Tuhan berdiri tegak di muka bumi. Ia bergerak dari suatu tempat ke tempat lain, memasuki rumah-rumah dan mengelilingi belahan bumi dari barat dan ke timur, mendengar suara masyarakat dan menyampaikan salam kepada mereka. Ia melihat dan tidak dilihat.”
[3] . Agha-e Sayid Hasyim Haddad berkata, “Hadhrat Agha-ye Ayatullah Qadhi Kheili dalam tuturan-tuturannya dan pada berdiri dan duduknya pendeknya dalam setiap keadaan, pada setiap pergantian kondisi kepada kondisi lainnya ia senantiasa mengucapkan kalimat “Ya Shahibaz Zaman”. (Wahai Empu Zaman) Suatu hari seseorang bertanya kepadanya, “Apakah Anda sudah pernah bersua dengan Imam Zaman?” Ia berkata, “Butalah setiap mata yang bangun dari subuhnya dan pandangan pertamanya tidak tertuju kepada Imam Zaman As.” Usweh-ye ‘Ârifân (Guftehâ wa Nâ Guftehâ darbâre Marhum Qadhi Ra), hal. 109, Shadiq Hasan Zadeh, Muhammad Thayyar Muraghi. Demikian juga Ayatullah Syaikh Muhammad Jawad Anshari Hamadani Ra dalam menjawab sebuah pertanyaan bahwa apakah perjumpaan dengan Imam Zaman Ajf pada masa ghaibat itu suatu hal yang mungkin? Ia menjawab, “Tatkala Tuhan dapat dilihat, imam yang merupakan makhluk Tuhan bagaimana mungkin tidak dapat dilihat.” Pada kesempatan lain, terkait dengan apakah orang-orang telah berjumpa dengan Imam Zaman Ajf atau tidak? Ia menjawab, “Keyakinanku tidak bertambah.” (Mazdadtu yaqinan). Nukilan dari kitab “Dar Kuwi Bi Nisyan-ha, Sair dar Zendegani-ye Arif billah wa Salik ilaLlah Muhammad Jawad Asnhari Hamadani.
[4] . Allamah Haji Mirza Husain Muhaddits Nuri di antara ulama yang memperoleh gelar “Khatam al-Muhadditsin” (penutup para ahli hadis). Muhaddits Nuri adalah orang yang disebutkan oleh Ayatullah Agung Mirza Buzurgh Syirazi dalam kitab “Badrun Musya’isy Marhum Muhaddits Nuri” sebagai allamah zamannya dan orang yang langka pada masanya. Muhaddits Nuri di antara orang-orang khusus (khawas) digelari Allamah Nuri, Mirza Nuri, Muhaddits Nuri, Haji Nuri.
[5] . Silahkan lihat kitab, al-Najm al-Tsaqib, karya Muhaddits Nuri.
[6] . Muhammad bin Ya’qub, al-Kâfi, jil. 1, hal. 340. Syaikh Thusi, Kitâb al-Ghaibah, hal. 102. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 153, Hadis 6.
[7] . Ibnu Asakir, 1/60.
[8] . Ibnu Asakir, 1/60. Ibnu Atsir, 107. Ibnu Hanbal 112.
« الْأَبْدَالُ یَکُونُونَ بِالشَّامِ وَهُمْ أَرْبَعُونَ رَجُلًا کُلَّمَا مَاتَ رَجُلٌ أَبْدَلَ اللَّهُ مَکَانَهُ رَجُلًا ...»
[9] . Musnad Ahmad, jil. 5, hal. 322.
[10] . Thabarani, al-Mu’jam al-Kabir, jil. 10, hal. 324.
[11] . Hilyât al-Auliyah, jil. 1, hal. 8.
[12] . Thabarani, ibid, jil. 1, hal. 224.
[13] . Inna abdala Ummati lam Yadkhulu al-jannah bil a’mal walakin innama dukhuluha birahmatiLlah, wa sakhawati al-anfus wa salamati al-shudur, wa rahmati li jami’I al-muslimin.