Please Wait
8778
Hijab dan pakaian wanita adalah salah satu aturan yang harus dipatuhi dalam Islam. Pada agama-agama Ilahi lainnya juga terdapat aturan yang sama. Dalam al-Qur’an dan banyak riwayat menjelaskan tentang batasan-batasan hijab bahwa wanita hanya dapat menunjukkan wajah dan dua telapak tangannya di hadapan pria non-mahram. Karena itu, disyariatkan dan diaturnya hijab tidak ada kaitannya dengan pemerintahan-pemerintahan dan negara-negara Islam atau non-Islam. Hijab dalam wilayah eksklusif kehidupan pribadi orang merupakan sebuah urusan personal dan privat. Tidak ada seorang pun yang dapat melakukan intervensi. Namun ketika ia berubah menjadi urusan sosial dan bertaut dengan hak-hak orang lain maka pemerintah dan penguasa dapat mewajibkan masyarakatnya untuk menjalankan kewajiban hijab dengan bersandar pada masalah nahi mungkar, menjaga akhlak dan tatanan nilai masyarakat. Di samping itu, pemerintah dan penguasa menetapkan hukuman-hukuman bagi orang yang melanggarnya, karena tidak mengenakan hijab bermakna telah melakukan perbuatan haram dan sesuai dengan kaidah yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan haram maka ia dapat ditindak.
Karena itu, apa yang menjadi tugas setiap pemerintahan dan negara-negara Islam adalah menjalankan aturan-aturan Islam dan patut disayangkan kebanyakan pemerintahan-pemerintahan Islam tidak terlalu memperhatikan masalah ini.
Hijab dan pakaian wanita adalah salah satu aturan yang harus dipatuhi dalam Islam. Pada agama-agama Ilahi lainnya juga terdapat aturan yang sama. Dalam al-Qur’an dan banyak riwayat menjelaskan tentang batasan-batasan hijab bahwa wanita hanya dapat menunjukkan wajah dan dua telapak tangannya di hadapan pria non-mahram.
Allah Swt dalam surah al-Nur dalam hal ini berfirman, “Katakanlah kepada kaum wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (supaya dada dan leher mereka tertutupi), dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara perempuan mereka, wanita-wanita seagama mereka, budak-budak yang mereka miliki, laki-laki kurang akal yang ikut bersama mereka dan tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan pada saat berjalan, janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Qs. Al-Nur [24]:31) Pada ayat ini ditegaskan kewajiban bagi wanita untuk menutup seluruh perhiasan, kepala dan di hadapan non-mahram.
Banyak orang meyakini bahwa wajah dan tangan dari siku hingga ke bawah (telapak tangan) tidak termasuk yang harus ditutupi. Pada ayat tersebut juga terdapat beberapa indikasi atas pengecualian ini. Di antaranya,
A. Pengecualian perhiasaan lahiriyah yang terdapat pada ayat di atas, apakah ia bermakna tempat perhiasaan atau perhisaan itu sendiri merupakan dalil terang yang menegaskan tidak perlunya menutup wajah dan dua telapak tangan.
B. Pemahaman perintah ayat di atas terkait dengan menutupkan kain kudung hingga atas dada yang bermakna menutup seluruh kepala, leher dan dada dan tidak berbicara tentang menutup wajah. Pemahaman ini merupakan indikasi atas klaim bahwa wajah tidak perlu ditutupi.[1] Bukti-bukti sejarah juga menunjukkan bahwa mengenakan burkah atau cadar (menutup seluruh wajah) tidak memasyarakat pada masa awal-awal kemunculan Islam.[2]
C. Para Imam Maksum As juga dalam banyak riwayat, dalam menjelaskan dan menafsirkan ayat ini, menjelaskan ukuran dan batasan yang diperlukan dalam berhijab dan berpakaian. Fudhail Yasar (salah seorang sahabat Imam Shadiq As) berkata bahwa bertanya kepada Imam Shadiq: “Apakah al-dzira’in (dari siku hingga pergelangan tangan) wanita termasuk perhiasan yang tidak dibolehkan Tuhan untuk ditampakkan kepada selain suami? Imam Shadiq As bersabda, “Iya dan di antara khimâr (jilbab atau kerudung) serta di antara al-shiwarain adalah termasuk perhiasan.”[3]
Demikian juga Mus’idah bin Zurarah yang menukil dari Imam Shadiq As bahwa tatkala Imam Shadiq As ditanya ihwal perhiasan yang dapat diperlihatkan oleh wanita, beliau menjawab, “Wajah dan dua telapak tangan.”[4]
Namun demikian kita harus memperhatikan dua poin berikut ini:
1. Dari sudut pandang Islam, tampaknya wajah wanita tidak bermasalah ketika disertai dengan perhiasan atau disertai dengan perhiasan yang sangat minim yang tidak termasuk sebagai perhiasaan dalam pandangan urf dan tidak menimbulkan hal-hal negatif yang merusak.[5]
2. Terkait dengan hal-hal yang dijelaskan bahwa tidak ada keharusan menutup wajah dan dua telapak tangan, hal itu tidak berarti bahwa hal itu tidak bermasalah jika seorang pria memandang ke dua sisi tersebut. Lantaran tiada keniscayaan di antara keduanya. Apa yang dikemukakan di sini adalah masalah pertama.[6]
Pensyariatan dan penetapan aturan hijab wanita serta batasan-batasannya merupakan tanggung jawab Syâr’e Muqaddas Islam (Allah Swt dan Rasulullah Saw). Apa yang menjadi tugas pemerintahan dan negara-negara Islam adalah melaksanakan secara seksama aturan-aturan Islam dalam setiap bidang dan khususnya pada masalah hijab dan pakaian wanita (lantaran pengaruhnya pada keselamatan moral masyarakat dan penguatan fondasi keluarga).
Hijab sepanjang terkait dengan kehidupan eksklusif pribadi seseorang merupakan sebuah urusan personal dan privat. Sedemikian sehingga tidak ada seorang pun yang dapat intervensi di dalamnya. Namun tatkala bergeser menjadi urusan sosial dan bertaut dengan hak-hak orang lain, maka pemerintah dan penguasa dapat mewajibkan hijab kepada masyarakat dengan bersandar pada asas kontrol sosial, nahi mungkar, menjaga etika dan spiritualitas masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah dan penguasa boleh menetapkan hukuman bagi siapa saja yang melanggarnya.[7] Tidak mengenakan hijab tergolong sebagai perbuatan haram dan sesuai dengan kaidah setiap orang yang melakukan perbuatan haram dapat ditindak secara hukum.[8] Pelaksanaan tindakan hukum yang dikenakan kepada pelaku perbuatan haram berada di bawah pengawasan penguasa. Yang dimaksud penguasa di sini dari sudut pandang yuridis adalah hakim syar’i yang dapat menetapkan hukuman-hukuman (had) untuk mencegah tersebarnya perbuatan haram dan secara khusus mengantisipasi kondisi tanpa hijab.[9]
Amat disayangkan kebanyakan pemerintahan Islam cenderung apatis dan mengabaikan hal ini. Konsekuensi logis dari sikap seperti ini adalah tersebarnya kerusakan moral dan semakin meningkatnya angka talak dan seterusnya yang kita saksikan di tengah masyarakat muslim. Anda pasti pernah mendengar kisah pilu Andalusia (Spanyol), tindakan propaganda dan gairah para kolonial dalam menyebarkan etika seksual Barat (free seks) di tengah kaum Muslimin!
Apakah sekiranya kaum wanita dan ABG-ABG cantik dieksploitasi pada masyarakat yang didiami oleh pemuda-pemuda suci namun pada saat yang sama penuh gejolak dan syahwat, kecantikan serta penampakan diri secara sensual di hadapan mereka tidak dapat mengobok-ngobok hati mereka kemudian ketika dicegah perbuatan seperti ini termasuk campur tangan dalam urusan pribadi setiap orang? Tentu saja tidak. Tetap diperlukan campur tangan penguasa Islam yang committed sebagai penyeru kepada kebaikan (amar makruf) dan penjaga keselamatan moral dan nilai-nilai agama masyarakat. Dan terkait dengan pelaksanaannya di lapangan tetap harus jauh dari sikap ekstrem, ifrath dan tafrith.
Tapi syukurlah semenjak dulu di Iran dan kebanyakan di negeri-negeri Islam kaum Muslimah sendirilah yang menjadi pembela sejati masalah hijab – tentu saja dengan ragam tingkatannya – sebagaimana yang Anda lihat dan baca dalam sejarah, kaum Muslimah Iran mengadakan perlawanan sebagai bentuk protes terhadap kebijakan membuka hijab (kasyf al-hijab) Ridha Khan dan putranya.
Dewasa ini setiap harinya kita menyaksikan aksi menawan kaum Muslimah yang mengadakan perlawanan dan perjuangan untuk hijab bahkan di negeri-negeri non-Muslim yang mengklaim kebebasan yang mencoba mencegah hadirnya kaum wanita berhijab di pelbagai universitas dan majelis-majelis ilmiah dengan dalih yang dibuat-buat. []
[1]. Penjelasan: Terkait dengan sebab-sebab pewahyuan ayat ini disebutkan bahwa orang-orang Arab pada masa tersebut mengenakan mukenah dan kerudung. Mereka mengenakan kerudung dan mukenah dari kening (dililit) hingga pundak sedemikian sehingga mukenah menutupi belakang telinga mereka berikut kepala dan belakang leher mereka. Akan tetapi bagian bawah tenggorokan dan sedikit bagian atas dada dekat kerah tampak terbuka. Islam menetapkan kondisi ini dan menitahkan bagian mukenah itu diturunkan atau belakang kepala dimajukan dan diturunkan (untuk menutupi) pada bagian kerah dan dada. Alhasil, yang hanya nampak terlihat bagian wajah saja dan anggota badan yang lain tertutup.
[2]. Tafsir Nemune, jil. 14, hal-hal. 450 & 451.
[3]. Ushûl Kâfi, jil. 5, hal. 521, Bâb Yahillu al-nazhar ilaih min al-mar’a.
«عَنِ الْفُضَیْلِ بْنِ یَسَارٍ قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع عَنِ الذِّرَاعَیْنِ مِنَ الْمَرْأَةِ أَ هُمَا مِنَ الزِّینَةِ الَّتِی قَالَ اللَّهُ تَبَارَکَ وَ تَعَالَى وَ لا یُبْدِینَ زِینَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ قَالَ: نَعَمْ وَ مَا دُونَ الْخِمَارِ مِنَ الزِّینَةِ وَ مَا دُونَ السِّوَارَیْنِ »،
[4]. Wasâil al-Syiah, jil. 20, Hadis No. 25429, hal. 203. Bâb Yahillu al-nazhar ilaih min al-mar’a beghairi al-taladzudz.
«عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ فِی قُرْبِ الْإِسْنَادِ عَنْ هَارُونَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ مَسْعَدَةَ بْنِ زِیَادٍ قَالَ: سَمِعْتُ جَعْفَراً وَ سُئِلَ عَمَّا تُظْهِرُ الْمَرْأَةُ مِنْ زِینَتِهَا قَالَ: الْوَجْهَ وَ الْکَفَّیْن»،
[5]. Istiftâ’at Imâm Khomeini Ra, jil. 3, hal. 33 dan 34. Taudhi al-Masâil (Al-Muhassyâ li al-Imâm al-Khomeini), jil. 2, hal. 929. Indeks: Wanita dan Penampakan Perhiasan, Jawaban atas Pertanyaan 598 (Site: 651). (Ulasan jeluk pembahasan ini diketengahkan dalam pembahasan yuridis dan riwayat, dalam pembahasan-pembahasan nikah dalam Fikih).
[6]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Mas’ale-ye Hijâb, Ustad Syahid Muthahhari Ra, hal-hal. 164-235. Disarikan dari Jawaban atas Pertanyaan 495 (Site: 536, Indeks: Batasan Hijab Wanita).
[7]. Qasim Tarkhan, Paigah-ye Hauzah, Pertanyaan No. 2-5988.
[8]. Al-‘Anâwin al-Fiqhiyah, jil. 2, hal. 627, Kaidah [4] Kull ma lam yarud fihi had min al-syar’i fi al-ma’asi fafihi al-ta'zir.
[9]. Qasim Tarkhan, Pâigah-ye Hauzah, Pertanyaan No. 2-5988.