Please Wait
9068
Berdasarkan akidah dan keyakinan prinsip aliran Syiah –yang diambil berdasarkan berbagai ayat dan riwayat nabawi Saw- imâmah dan kepemimpinan ditetapkan oleh Tuhan. Dari sini sehingga jika seseorang telah ditetapkan oleh Tuhan untuk menduduki maqam ini maka kewajiban seorang Muslim adalah mentaati setiap aturan-aturan dan kepemimpinannya di atas rasa penghambaannya kepada-Nya, karena Tuhan Yang Maha Bijaksana dalam salah satu firman-Nya berfirman,"Allah lebih mengetahui dari segala sesuatu di mana Dia akan menempatkan tugas kerasulan."[i]
Penetapan Tuhan dalam menentukan seseorang untuk menempati kedudukan keimâmahan ini bisa diperlihatkan dalam berbagai cara seperti di bawah ini:
1. Melalui riwayat-riwayat nabawi.
2. Pengenalan dan penjelasan tentang beliau melalui para Imam As, terutama Imam sebelumnya.
3. Keberadaan syarat-syarat lain dari keimâmahan seperti ilmu ladunni, kea'lamiatan pada masanya, ishmah dan kesucian, keselamatan dan keseimbangan jasmani, ruhani dan psikologis, mukjizat-mukjizat yang dimilikinya dan persoalan-persoalan luar biasa yang dilakukannya.
Para Syiah yang terdapat pada masa para Imam Kecil, yaitu Imam Jawad As yang mencapai maqam kepemimpinan pada usia 6 tahun, Imam Hadi As pada usia 9 tahun, dan Imam Mahdi Ajf pada usia 5 tahun tidak melalaikan tentang masalah ini, setelah melakukan berbagai penelitian mereka menjadi yakin secara sempurna terhadap kepemimpinan beliau dan sepakat dengan wilayah dan keimâmahan beliau. Generasi-generasi selanjutnya pun meyakini sanad-sanad sejarah, penelitian-penelitian dan nash-nash ma'tsurah ini. Sementara dari sisi lain, maqam Imâmah dan penegasan-penegasan gaib Ilahi dari beliau dan dilakukannya berbagai persoalan-persoalan yang luar biasa telah membuat keberadaan beliau tidak bisa diperbandingkan dengan manusia biasa. Selain itu untuk seorang Muslim yang meyakini al-Quran, penganugerahan maqam Ilahi dikarenakan kebijaksanaan, ilmu dan inayah Tuhan kepada seorang kanak-kanak tidak seharusnya membuat keheranan bagi siapapun, karena kenabian Nabi Isa As sendiri, demikian juga kenabian Nabi Yahya dan Nabi Sulaiman As pun terbukti terjadi pada masa kanak-kanak mereka. Dasi sisnilah sehingga ayat-ayat al-Quran yang menunjukkan hal ini berulang kali disinggung oleh para Imam Ahlulbait.
Imâmah dari perspektif Syiah merupakan pelaksana wilayah Waliyullah atas seluruh manusia.[1] Dengan ibarat lain, imâmah dan kepemimpinnan merupakan penetapan Ilahi untuk memanajemen dan mengatur agama serta dunia manusia dan membimbing mereka kepada puncak kebahagiaan dan insaniyah. Dari sinilah sehingga Imam tidak bisa dipilih oleh manusia, karena ilmu ladunni dan kesucian batin merupakan sebuah persoalan yang tersembunyi yang hanya bisa diketahui oleh Tuhan dan ini merupakan dua keniscayaan terpenting dari kewaliyullahan seseorang.
Manusia bertauhid yang menerima wilayah Tuhan akan mentaati segala perintah dan larangan Tuhannya dari segala sisi. Dengan demikian dalam hal penerimaan wilayah, yaitu wilayah yang telah ditentukan oleh-Nya, merekapun harus menerima dan meyakininya secara mutlak. Mereka harus mentaati keberwilayahan para imam ini dan menghindarkan diri dari melakukan perbandingan antara mereka dengan manusia-manusia lainnya maupun memberikan alasan-alasan yang tidak berdasar. Pengenalan seseorang yang ditunjuk oleh Tuhan sebagai imam dan wali bisa dijelaskan dari beberapa cara:
1. Dengan meneliti sirah, cara dan metode beliau.
2. Merujuk pada keistimewaan-keistimewaan dan tanda-tanda yang telah diberikan oleh auliya-auliya sebelumnya mengenai wali-wali setelahnya.
3. Permintaan mukjizat dan uraian-uraian atas keberadaan syarat-syarat Imâmah, dimana informasi mengenai hal ini bisa ditemukan dengan merujuk pada sejarah, sedangkan melalui perujukan pada literatur-literatur riwayat akan bisa mengantarkan kita hingga ke riwayat-riwayat yang berasal dari Rasulullah saw, kemudian dengan merujuk pada riwayat-riwayat yang berasal dari setiap Imam, akan kita ketahui bahwa Imam Ahlulbait setelahnya akan mengenalnya. Para Imam Ahlulbait pada masa kehidupannya dan bahkan setelah kesyahidan mereka pada setiap masanya memiliki kemuliaan-kemuliaan dan mukjizat. Kemunculan persoalan-persoalan luar biasa ini bagi orang-orang yang bertawassul kepada mereka sangatlah banyak sehingga tidak bisa diungkapkan satu persatu dan hal ini bisa menjadi sebuah pengalaman bagi para pencari hakikat.
Kesimpulannya adalah bahwa dalam penetapan maqam imâmah, tidak ada syarat usia tertentu, baligh ruhani, ilmu dan pemikiran yang diperlukan untuk masalah ini bisa muncul dalam bentuk pemberian Tuhan yang dikaruniakan kepada beliau-beliau sejak dilahirkan, dan hal ini sendiri merupakan salah satu dari keluarbiasaan yang bisa membuktikan ke-imâmah-an beliau, bukannya menjadi penghambat bagi ke-imâmah-an beliau.
Jelas dengan pandangan lahiriah dan sektarian, penerimaan
para pembesar, ulama, orang-orangtua, para pemuda, dan sebagainya terhadap keberwilayahan dan kepemimpinan seseorang yang berada dalam usia yang belia merupakan hal yang ringan, dan penerimaan wilayah ini bagi penduduk awam tidak akan berada dalam satu jajaran dan tidak akan semudah penerimaan para auliya lainnya yang yang telah melewati berbagai putaran dari sisi usia.
Mereka yang hidup sezaman dengan para Imam Kecil seperti Imam Jawad As yang sampai pada maqam wilayah dan imâmahnya pada usia 9 tahun, Imam Hadi As pada usia 8 tahun, dan Imam Mahdi Ajf pada usia 5 tahun tidak terlepas pula dari persoalan-persoalan dan pertanyaan-pertanyaan mengenai hal ini. Hal inilah yang menyebabkan sehingga mereka meminta penjelasan tentang keraguannya tentang persoalan yang satu ini. Sebagai contohnya kami akan menyandarkan pada hadis berikut:
Dari Hasan bin Jahim telah diriwayatkan bahwa ia berkata, "Suatu hari ketika aku berada di hadapan Imam Ridha As, putranya Jawad yang masih kanak-kanak pun berada di sisi beliau. Setelah melakukan pembicaraan yang panjang lebar, Imam Ridha bersabda kepadaku,Wahai Hasan! Jika aku mengatakan kepadamu bahwa anak ini akan menjadi Imammu kelak, apa yang akan engkau katakan? Aku berkata, Aku menjadi tebusanmu wahai Putra Rasulullah, apapun yang Anda katakan akupun akan mengatakan hal yang sama. Imam As bersabda, Engkau benar. Setelah itu Imam Ridha As membuka bahu putranya dan menunjukkan sebuah rumus yang tampak seperti dua buah jari, sambil bersabda, Tanda yang persis seperti ini di tempat yang sama seperti ini terdapat pula di tubuh Imam Musa bin Ja'far As."
Demikian juga dari Mahmudi diriwayatkan bahwa dia berkata, "Aku tengah berada di Thus bersama Imam Ridha As, salah satu sahabat beliau berkata, Jika ada sesuatu yang terjadi dengan Anda, siapakah Imam selanjutnya yang ditunjuk oleh Tuhan? Imam Ridha As sejenak memperhatikannya lalu bersabda, Tentang persoalan Imâmah dan kepemimpinan setelahku harus merujuk kepada putraku Jawad. Dia berkata, Bukankan usianya (Imam Jawad As) masih sangat kecil? Imam Ridha As menjawab, Tuhan telah mengangkat Nabi Isa bin Maryam As untuk maqam kenabiannya padahal usia beliau lebih kecil dari usia Imam Muhammad Taqi As."[2]
Bahkan dikarenakan rasa penasaran yang dimiliki oleh sebagian pengikut Imam Ridha As, meskipun mereka telah mendapatkan nash-nash ini mereka masih juga mencari informasi dan mencoba mengenali sendiri Imam setelah beliau, dari sinilah sehingga sebagian dari mereka menjadi pengikut Abdullah bin Musa saudara lelaki Imam Ridha As, akan tetapi sebagiannya lagi karena tidak bersedia begitu saja menerima seseorang sebagai Imam tanpa adanya alasan dan dalil-dalil Imâmah, sekelompok dari mereka mendatangi Abdullah dan menyampaikan beberapa pertanyaan, dan ketika mereka melihat bahwa ia tidak memiliki kemampuan dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut, mereka meninggalkannya."[3] Hal ini terjadi karena yang menjadi persoalan signifikan di sini adalah adanya bentuk Ilahi yang niscaya harus terdapat dalam ilmu dan pengetahuan para Imam. Oleh karena itulah mereka memperhatikan prinsip ini untuk seluruh Imam yang ada dan memperhadapkan mereka dengan berbagai pertanyaan dan hanya ketika dirasakan bahwa mereka ini mampu memberikan jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaan-pertanyaan (dengan keberadaan nash atas keimâmahan mereka) yang mereka ajukanlah kemudian akan diterima sebagai Imam Maksum dari kalangan para Syiah."[4]
Para Imam yang berada dalam usia kanak-kanak pun tidak terkecuali dari persoalan ini, mereka tetap berada dalam pantauan para pembesar Syiah hingga diperoleh keyakinan akan kemampuan ilmu dan dalam melakukan karamah-karamah serta mukjizat-mukjizatnya.
Dari sisi yang lain, para musuh yang senantiasa menunggu kesempatan yang tepat untuk menyingkirkan Para Imam Ahlulbait As dan berkeinginan untuk membubarkan para pengikutnya dari sekitar mereka, akan membentuk kelompok-kelompok ilmiah dan mengangkat kebeliaan usia beliau ini sebagai alasan untuk menyingkirkannya secara total dari lingkup masyarakat. Namun apapun yang mereka lakukan justru akan semakin menenggelamkan mereka, sementara kea'laman beliau semakin terbukti atas seluruh ulama pada zamannya.[5]
Selain bahasan di atas, merupakan sebuah hal yang tidak tersembunyi lagi bagi mereka yang mengenal al-Quran dan kisah-kisah para Nabi bahwa beberapa Anbiya telah sampai pada maqam risalah, kenabian bahkan keimâmahannya pada usia yang masih sangat kecil, hal ini seperti yang terjadi pada Nabi Isa As[6], Nabi Yahya As[7] dan … sementara nabi-nabi lainnya baru mencapai maqam tersebut pada usia senjanya yang empatpuluh tahun atau lebih dari itu.
Jadi persolan ini harus dikembalikan pada Kebijaksanaan dan Ilmu Ilahi dan untuk menentukannya harus dengan merujuk pada konteks-konteks, dalil-dalil dan bukti-bukti. Sebagaimana hal ini difirmankan oleh Tuhan dalam surah Ali Imran ayat 26 yang berfirman, "Katakanlah, “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu-lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." Demikian juga bisa dilihat dari keraguan Bani Israil serta jawaban yang diberikan kepada mereka yang diungkapkan demikian, "Mereka menjawab, "Bagaimana mungkin Thâlût memerintah kami, sedangkan kami lebih berhak untuk mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedangkan ia tidak diberi kekayaan yang melimpah? "Nabi mereka berkata, "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya keluasan ilmu dan tubuh yang perkasa. Dan Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. "Dan Nabi mereka berkata kepada mereka, "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja adalah kembalinya Tabut (perjanjian) kepadamu, di dalamnya terdapat ketentraman dari Tuhan-mu dan sisa peninggalan keluarga Musa dan Harun; Tabut itu dipikul oleh malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda (yang jelas) bagimu, jika kamu orang yang beriman."[8]
Berdasarkan hal ini, kepemimpinan Imam Zaman Ajf pada usia kanak-kanak merupakan sebuah persoalan yang wajar dan logis.
Literatur untuk mendapatkan telaah lebih jauh:
1. Fadhl, Jawad, Maksumin Cohordah Goneh.
2. Pisywoi, Mahdi, Sireye Pisywoyon, hal. 531-555.
3. Najafi, Muhammad Jawad, Sitoregon-e Derakhson, jil 11, hal. 22-25, dan jil. 14, hal. 67-69.
4. Jam'i az Newisandegon, Ma'arif-e Islami, jil. 2, Ma'ari (nahad Rahbari dar Donesygoh-ho) hal. 122-123.
5. Qumi,Syekh Abbas, Muntahi al-Amal, hal. 943-955.
6. Ja'fariyon, Rasul, Hayat Siyasi wa Fikri Imomon Syiah As, Anshariyon, cetakan1381,
7. Amuli, Ja'far Murtadha, Terjemahan Husaiani, Sayyid Muhammad, Zendegi-ye Siyasi Imam Jawad As, hal. 68-109.
[1] . Silahkan lihat: indeks: Makna Wilayah, pertanyaan ke 128.
[2] . Najafi, Muhammad Jawad, Sitoregone Derakhsyon, jil. 11, Sargozasyt-e Hadzrat Imam Muhammad Taqi As, hal. 24-25.
[3] . Ja'fariyon, Rasul, Hayat Fikri wa Siyasi Imomon Syiah As, hal. 473.
[4] . Ibid, hal. 474.
[5] . Rujuklah, Syeikh Abbas Qumi, Muntahi al-Amal, hal. 943-955, demikian juga Amuli, Ja'far Murtadha, terjemahan Husaiani, Sayyid Muhammad, Zendegoni-ye Siyasi Imam Jawad As, hal. 68-109.
[6] . "Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya." Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata, “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam buaian?” Isa berkata, “Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi." (Qs. Maryam: 27-30)
[7] . "Hai Yahya, ambillah al-Kitab itu dengan kuat dan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) selagi ia masih kanak-kanak." (Qs. Maryam: 12)
[8] . Qs. Al-Baqarah: 247-248.