Please Wait
8546
Bertolak belakang dengan Ahlusunnah, Syiah percaya bahwa dalam seluruh tingkatannya Imam sama dan sejajar dengan Rasulullah Saw, kecuali dalam masalah wahyu. Oleh karena itu imam juga harus seperti rasul yang maksum dan suci dari kesalahan, penyimpangan dan dosa, sebagaimana halnya Rasulullah Saw dan para nabi Allah yang lainnya pun demikian.
Akan tetapi Ahlusunnah menganggap pelanjut rasul merupakan sebuah kedudukan yang dihasilkan dari pemberian kolektif - bukan penentuan Ilahi – yang diberikan oleh masyarakat kepada khalifah, dan khalifah menduduki posisi ini melalui pemilihan. Dengan demikian, menurut keyakinan mereka maqam ismah tidak urgensi bagi seorang khalifah.
Dan di bawah ini adalah argumen-argumen tekstual dan rasional Syiah:
1. Akal sehat menghukumi, kedudukan imam sebagai penjelas, penjaga syariat dan risalah kenabian, harus seratus persen dipercaya oleh masyarakat dan maksum serta suci dari segala kesalahan dan penyimpangan, sehingga mampu membentengi agama dan hukum-hukumnya, karena tujuan dari diutusnya rasul dan para imam adalah pengajaran dan pendidikan dimana hal ini membutuhkan ilmu melimpah yang dikaruniakan oleh Tuhan kepada mereka, dan ilmu Ilahi ini harus sampai kepada masyarakat tanpa ada kekurangan serta terbebas dari penyimpangan dan kesalahan. Selain itu, filosofi penentuan dan pengangkatan Imam meniscayakan bahwa imam harus maksum.
2. Terdapat juga argumen-argumen referensial dari ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang dapat diandalkan dan akurat mengenai kesucian imam ini. Ayat-ayat tathhir, imâmah dan ithâ’at (ketaatan), demikian juga hadis tsaqalain dan manzilat, merupakan sebagian dari argumen-argumen referensial tersebut. Di samping itu, Syiah percaya bahwa imâmah yang tak lain merupakan kelanjutan Rasul Saw merupakan kedudukan intishâbi (ditetapkan) bukan intikhâbi (dipilih), dan pemegang kedudukan ini ditentukan oleh Tuhan. Dengan kata lain, maksum adalah seseorang yang tidak terjebak dalam dosa dan kesalahan, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, dan jelas tidak ada seorang pun yang mampu bertanggungjawab untuk menjelaskan kesucian seseorang seperti ini kecuali Tuhan, dengan demikian penentuan ishmah (keterjagaan dari dosa dan kesalahan) dan kesucian hanya bisa diterima melalui nash dan nukilan Rasul saw.
1. Dalam kamus, secara leksikal, disebutkan bahwa imam berarti pemimpin, dan imam maksudnya adalah seseorang yang memimpin dan orang lain mengikutinya.
Dalam Mufrâdat-nya, Raghib berkata, “Imam adalah orang yang diikuti.”[1]
2. Sementara itu, secara teknis, dalam ilmu Kalam terdapat definisi yang beragam mengenai imâmah ini.
Definisi imâmah dalam perspektif Syiah di antaranya adalah:
Kepemimpinan umum agama yang bertanggungjawab untuk mendorong masyarakat dalam memelihara dan menjaga kepentingan agama dan dunia, dan mengingatkan kepada mereka terhadap segala bahaya berdasarkan kepentingan tersebut.[2]
Namun dari pandangan Ahlusunnah imâmah didefinisikan demikian: Imâmah adalah kepemimpinan dan pengawas umum dan meluas terhadap persoalan-persoalan agama dan dunia masyarakat sebagai pelanjut Rasulullah Saw.[3]
3. Makna dan definisi ismah: ismah secara leksikal bermakna penjagaan dan penghalang, sedangkan dalam istilah ilmu Kalam adalah: sifat inheren dalam (malakah) jiwa yang meniscayakan tiadanya penentangan terhadap kewajiban Ilahi dan malakah jiwa ini akan menjaga seseorang dari melakukan kesalahan.
Ismah merupakan sebuah malakah yang meniscayakan ketiadaan penentangan atas tugas-tugas yang diwajibkan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, meskipun ia memiliki kekuatan untuk menentang.[4]
Syiah meyakini bahwa imâmah tak lain adalah kelanjutan risalah dan kenabian, hanya saja Rasulullah Saw adalah pendiri syariat dan menerima wahyu, sedangkan fungsi seorang imam adalah penjelas, penjaga dan pemelihara syariat tersebut. Oleh karena itu, imam dalam keseluruhan tingkatannya setara dengan Rasulullah Saw, kecuali dalam masalah turunnya wahyu.[5] Semua kondisi yang dibutuhkan serta dianggap perlu bagi Nabi, seperti ilmu dan pengenalan-pengenalan terhadap prinsip-prinsip Islam, cabang-cabang dan seterusnya di antaranya ismah dari dosa dan kesalahan baik dalam keadaan sembunyi- sembunyi maupun terang-terangan, kondisi-kondisi ini juga sama persis dianggap perlu dan urgen bagi imam, dan karena tidak ada cara untuk mengetahui sifat ismah selain melalui nash dan penjelasan Tuhan, maka imâmah sebagaimana nubuwah merupakan sebuah kedudukan penentuan, dan dikatakan bahwa yang menentukan penanggungjawab kedudukan ini adalah Tuhan.
Akan tetapi bertolak belakang dengan Syiah, Ahlusunnah meyakini bahwa kedudukan dan tanggungjawab besar agama dan sosial ini merupakan pemberian kolektif, yang diserahkan oleh masyarakat kepada khalifah, dan khalifah menduduki posisi ini karena terpilih melalui pemilihan. Makna ini bisa ditemukan dengan mencermati definisi yang disajikan oleh kedua kelompok (Syiah dan Ahlusunnah).
Sekarang mari kita perhatikan penggalan dari argumen-argumen kedua kelompok:
a. Dalil rasional urgensi ismah bagi Imam
1. Karena imam adalah penjaga syariat dan penjelas risalah para nabi serta pembimbing manusia, maka imam harus seratus persen dipercaya dan diyakini oleh masyarakat dan tanpa adanya kemaksuman, kepercayaan ini akan menjadi sirna.
2. Jika imam melakukan dosa, maka penghormatan dan popularitasnya akan keluar dari kalbu-kalbu manusia, dengan demikian mereka tidak akan lagi mengikuti dan mentaatinya, sehingga kesimpulannya manfaat penentuan imam akan ternafikan.[6]
3. Jika imam tidak maksum dan melakukan dosa, maka menghukumnya dari sisi amar makruf dan nahi mungkar menjadi wajib, sementara reaksi seperti ini terhadap imam, pertama: akan menjatuhkan tujuan ditentukannya Imam, kedua: bertentangan dengan ayat taat, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah)”[7], karena ayat di atas menyebutkan tentang ketaatan terhadap imam dan penghormatan terhadap kedudukan beliau secara mutlak.[8]
4. Imam sebagaimana halnya Rasulullah Saw adalah penjaga syariat, oleh karena itu harus maksum, karena yang dimaksud dengan menjaga dan memelihara adalah menjaga ilmu dan amal, dan jelas, penjagaan syariat dalam ilmu dan amal hanya bisa diterima dengan keberadaan ismah dan kesucian, karena non-maksum minimal akan terjebak dalam kesalahan, dan jika kita mencukupkan pada penjagaan sebagian syariat saja, berarti sebagian yang lainnya akan terdiskreditkan dari pandangan agama, sedangkan urgensi menghukumi sebaliknya, karena Rasulullah Saw diutus untuk mengajarkan seluruh hukum-hukum.
5. Filosofi keberadaan penentuan Imam sebagaimana yang telah dijelaskan, adalah membimbing masyarakat untuk menghindari kesalahan yang biasanya menyebabkan deviasi intelektual dan praktisi, dan jika imam sendiri melakukan kesalahan serta tidak terbebas dari kesalahan, maka sesuai dengan filosofi urgensi penentuan imam, berarti kebutuhan akan kehadiran seorang imam guna mengingatkan kesalahan dan memberikan hidayah kepadanya, juga merupakan sebuah persoalan yang urgen baginya, dengan demikian imam yang dibutuhkan kehadirannya ini haruslah maksum, dan jika imam yang ini pun tidak maksum, berarti harus terdapat imam lainnya yang maksum, dan demikian seterusnya, walhasil, kebutuhan terhadap kehadiran imam akan berkelanjutan terus tiada henti, dan ini tak lain adalah tasalsul (akhir yang tak berujung), dimana menurut hukum akal adalah absurd dan batil. Jadi harus berhenti pada imam maksum yang ismah-nya telah menjiwa dan memiliki kemampuan untuk memberikan hidayah kepada selainnya tanpa terlihat adanya kesalahan dan penyimpangan dalam dirinya.[9]
b. Argumentasi Refernsial (Naqli)
Dalam al-Quran al-Karim terdapat ayat-ayat mengenai ismah para nabi dan para imam As, dimana di sini kami akan menyinggung sebagian dari ayat-ayat tersebut:
1. Ayat imâmah, "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia menunaikannya (dengan baik). Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata, “Dan dari keturunanku (juga)?” Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.”[10] Ayat ini menjelaskan bahwa janji Tuhan yang tak lain adalah pengangkatan imâmah tidak akan dilakukan pada orang-orang zalim. Ini dari satu sisi, sementara dari sisi lain, setiap dosa, baik dosa kecil maupun besar adalah zalim dan menjadi hal yang tidak diridhai Tuhan, dengan alasan, karena dalam salah satu ayatnya Allah swt berfirman, “Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim.”[11]
2. Menurut ayat ini, dosa, baik kecil maupun besar, semuanya dianggap zalim, karena pada akhirnya merupakan ketidaktaatan dan kelalaian terhadap apa yang diperintahkan Tuhan, oleh karena itu, di sini terdapat dua poin pasti:
a. Setiap dosa, baik kecil maupun besar dikarenakan hal tersebut merupakan penentangan dan ketidaktaatan terhadap aturan-aturan Ilahi, maka dianggap zalim.
b. Janji Tuhan tidak termasuk bagi orang-orang yang zalim.
Jadi kesimpulannya, imâmah merupakan janji dan ditetapkan oleh Tuhan,[12] dan al-Quran al-Karim menyatakan bahwa pilihan dan penetapan Ilahi ini hanya akan diberikan kepada orang-orang yang tidak tercemar oleh kezaliman. Dari sisi lain kita mengetahui bahwa setiap dosa, berarti minimal telah menzalimi diri sendiri, dan dalam perspektif al-Quran, setiap pendosa disebut zalim. Dengan demikian, para Imam As yang telah diangkat menjadi Imam oleh Tuhan, berarti terbebas dan suci dari segala kezaliman dan dosa.[13]
3. Ayat tathhir, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya.”[14]
Implikasi ayat ini terhadap ismah dan kesucian Ahlulbait As terletak pada poin bahwa hubungan kehendak Ilahi dengan pensucian dan pemurnian Ahlulbait dari segala bentuk kotoran batin ialah sama dan setara dengan kesucian mereka dari setiap dosa; karena yang dimaksud dari “rijz” (kotoran) dalam ayat ini adalah segala keburukan pikiran, moral maupun perilaku dimana dosa merupakan manifestasi yang sangat jelas darinya, dan karena kehendak ini berlaku untuk orang-orang tertentu dan tidak untuk semua umat, maka wajarlah jika ayat tathhir ini berbeda dengan kehendak pembersihan yang terdapat pada manusia pada umumnya. Kehendak pembersihan yang terdapat pada umat muslim secara umum merupakan kehendak tasyri’i,[15] yang mungkin saja tidak akan terwujud dalam diri seseorang karena ketidaktaatannya, sementara kehendak yang ini, merupakan kehendak takwini yang tidak akan terpisah dari tujuan dan yang berhak memiliki kehendak tersebut (suci dari dosa dan kesalahan).[16]
4. Ayat ketaatan, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu.”[17]
Ayat ini juga termasuk ayat-ayat yang menunjukkan ismah dan kesucian para imam As, karena ayat ini menjelaskan tentang ketaatan terhadap Rasulullah Saw dan Ulilamri secara mutlak dan tidak mensyaratkan syarat apapun. Ketaatan mutlak terhadap Rasulullah Saw dan Ulilamri akan dianggap benar ketika berada dalam lingkup ketaatan Tuhan demikian juga ketika ketaatan terhadap mereka ini tidak kontradiksi dengan ketaatan kepada-Nya, dan jika tidak demikian perintah terhadap ketaatan mutlak kepada Tuhan dan ketaatan mutlak kepada orang-orang yang terjebak dalam kesalahan dan penyimpangan akan menjadi sebuah hal yang kontradiksi dan berlawanan.[18]
5. Hadis Al-Tsaqalain: di dalam hadis yang merupakan sebagian dari hadis-hadis mutawatir dan diriwayatkan oleh Syiah maupun Ahlusunnah ini dikatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Aku akan meninggalkan kalian dengan meletakkan dua pusaka berharga di antara kalian yaitu Kitabullah dan Ahlulbaitku, keduanya tidak akan berpisah hingga bertemu denganku di telaga Kautsar.”
Berdasarkan hukum hadis ini dimana Rasulullah Saw menempatkan Ahlulbait dan keturunannya sejajar dengan al-Quran dan menegaskan bahwa keduanya tidak akan terpisahkan, hal ini merupakan argumentasi yang jelas atas ismah dan kesucian mereka, karena melakukan dosa sekecil apapun meskipun disebabkan oleh kesalahan dan kekeliruan, hal ini akan berarti sebagai keterpisahan praktisi dari al-Quran. Oleh karena itu, sebagaimana halnya al-Quran yang terjaga dari segala kesalahan dan kekeliruan, para imam As pun harus terbebas dan suci dari segala kesalahan, baik kesalahan pikiran maupun perilaku.
Setelah jelas bahwa imam sebagai khalifah dan pelanjut Rasulullah Saw harus maksum dan suci dari segala dosa dan kesalahan, menjadi jelaslah bahwa tidak ada cara yang tersisa untuk mengetahui sifat ismah dalam diri seseorang yang merupakan penerus Rasulullah Saw ini, selain melalui penjelasan Tuhan, karena hanya Dialah yang Maha Mengetahui terhadap segala yang tersembunyi.
Sekarang, kita akan mencoba memperhatikan kelanjutan nash-nash secara umum yang menjelaskan tentang penentuan obyek (misdâq) imam yang harus maksum.
Nash dan penjelasan Rasulullah Saw mengenai imâmah Imam Ali As ini banyak ditemukan dalam berbagai tempat dan telah diterima oleh kalangan Syiah maupun Ahlusunnah serta terdapat dalam literatur-literatur riwayat kedua kelompok, salah satu yang paling jelas di antara nash-nash ini adalah peristiwa Ghadir Khum, momen dimana sesuai perintah Allah Swt, Rasulullah Saw memperkenalkan Imam As sebagai penerusnya, dalam kesempatan ini beliau bersabda, “Siapa yang menganggapku sebagai pemimpinnya, maka ketahuilah bahwa Ali adalah pemimpinnya.”[19]
Atau, Rasulullah Saw bersabda kepada para sahabatnya, “Menyerahlah kepada Ali dalam urusan pemerintahan dan keagamaan umat muslim.”[20]
Demikian juga pada tempat lain, sembari memegang tangan Ali As dan menunjuknya, beliau bersabda, “Lelaki ini (Ali) adalah khalifah dan penerusku di kalangan kalian sepeninggalku, oleh karena itu dengar dan taatilah dia.”[21]
Sementara, mengenai para imam maksum setelah Imam Ali As juga telah diperkenalkan melalui Rasulullah Saw, dan para imam sebelumnya juga akan memperkenalkan dan menetukan maksum setelahnya; misalnya hadis ihwal Imam Husain As yang dinukil dari Rasulullah bahwa beliau bersabda, “Ini adalah putraku, ia adalah seorang imam, putra imam, saudara imam, ayah dari sembilan orang Imam dimana kesembilannya adalah Qâim. Ia adalah hujjah, putra hujjah, saudara hujjah dan ayah dari sembilan hujjah.”[22]
Untuk ringkasnya, kami mencukupkan diri pada satu riwayat ini saja, dan untuk informasi lebih detil dalam masalah ini , para pembaca yang budiman dapat merujuk pada kitab-kitab berikut: An-Najatu fi al-Qiyâmah, Ibnu Maitsam Bahrani; Muntakhab al-Atsâr, Shafi Gulpaigani; Al-Ghadir, Allamah Amini; dan indeks-indeks pertanyaan yang terdapat pada site ini:
1. Ismah para Nabi dalam Perspektif Al-Quran, Pertanyaan 112 (situs: 998)
2. Ismah Manusia-manusia Biasa, Pertanyaan 104 (situs: 961)
3. Penyebab Keterbatasan Ahli Bait hanya pada Beberapa Orang , Pertanyaan 243 (situs: 1850)
[1] . Raghib Ishfahani, Mufrâdat Alfâz-e Al-Qurân, klausul imâm
[2] . Khawajah Nashir Thusi, Qawâ’id al-‘Aqâid, hal. 108.
[3] . Qusyaji, ‘Alauddin, Syarh Tajrid, hal. 472.
[4] . Mudzaffar, Muhammad Ridha, Dalâil al-Shidq, jil. 2, hal. 4.
[5] . Rasulullah Saw bersabda kepada Imam Ali As, “Kedudukanmu di sampingku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku”, Sireh-ye Ibnu Hisyam, jil. 2, hal. 52.
[6] . Mudzaffar, Muhammad Ridha, Dalâil al-Shidq, jil. 2, hal. 8-10.
[7] . Qs. Al-Nisa (4): 59.
[8] . Mudzaffar, Muhammad Ridha, Dalâil al-Shidq, jil. 2, hal. 8-10.
[9] . Muchtar Mazandarani, Muhammad Husain, Imâmat wa Rahbari, hal 59.
[10] . Qs. Al-Baqarah (2): 124.
[11] . Qs. Al-Baqarah (2): 229.
[12] . Dengan demikian tidak ada sedikitpun hubungannya dengan pilihan masyarakat, elainkan telah dipilih oleh Tuhan Yang Maha Tinggi yang dikaruniakan bagi orang-orang yang berhak dan memiliki kapabilitas untuk memegang kedudukan ini. Tentunya aktualisasi maqam dan kedudukan Imam akan terwujud dengan pilihan dan baiat masyarakat.
[13] . Makna dari ismah para nabi dan imam bukanlah misalnya malaikat Jibril memegang tangan mereka (tentunya jika benar Jibril memegang tangan yang bersangkutan, maka pastilah ia juga tidak akan terjerumus dalam dosa dan kesalahan), melainkan ismah yang dimaksud di sini adalah ismah yang “dilahirkan karena iman”. Jika manusia memiliki iman dan mata hatinya menyaksikan Tuhan sebagaimana ia melihat matahari, maka tidak mungkin ia akan terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Setelah sebelumnya para Maksum As diciptakan dari sulbi yang suci, selanjutnya riyadah, perolehan nuraniyah dan jiwa kemuliaan, telah menyebabkan mereka senantiasa menyaksikan dirinya berada di hadapan Tuhan yang Maha Mengetahui segala sesuatu dan menguasai seluruh persoalan (Imam Khomeini, Nubuwwat az Didgâh-e Imâm Khomeini, Tebyan, hal 124).
[14] . Qs. Al-Ahzab (33): 33.
[15]. Qs. Al-Ahzab: 33 (33); Qs.Al-Maidah(5): 6, dalam kelanjutan ayat wudhu, Allah swt berfirman, “Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
[16] . Subhani, Ja’far, Mansyur ‘Aqâ’id Imâmiyah, hal. 168-169. Perlu diketahui bahwa kehendak takwini hak atas ismah Ahlulbait tidak menegasikan kebebasan mereka, sebagaimana halnya keberadaan ismah pada diri para nabi juga tidak menyebabkan ternegasikannya kebebasan mereka.
[17] . Qs. Al-Nisa (4): 59.
[18] . Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Âmuzesy-e ‘Aqâid (Iman Semesta), hal. 203.