Please Wait
10619
Shalat Dhuha dalam pandangan Syiah adalah sebuah bid’ah kecuali pada hari Jum’at yang mendapat pengecualian dalam hal ini. Sebagian Ahlusunnah memandang shalat Dhuha sebagai bid’ah, namun salat-salat yang dikerjakan dalam seminggu sesuai dengan susunan dan urutan nama hari bukanlah bid’ah bahkan tergolong sebagai perbuatan mustahab. Karena Sayid Ibnu Thawus menukil salat-salat mustahab yang dikerjakan dalam seminggu sesuai dengan urutan nama hari bukan sebagai salat Dhuha namun sebagai salat-salat harian dalam seminggu dimana apabila kita meyakini bahwa waktu ini (terbitnya fajar hingga tergelincirnya matahari) dengan sendirinya merupakan sebuah salat mustahab. Namun apabila salat dengan status lainnya, seperti “qadha nâfilah”, “tahiyyat al-masjid” dan “hari-hari dalam seminggu” yang dikerjakan pada waktu-waktu seperti ini bukanlah perbuatan bid’ah.
Sebelum memberikan jawaban kiranya kita perlu mengurai makna terminologis bid’ah:
Bid’ah adalah menyandarkan sesuatu kepada agama sesuatu yang pada hakikatnya bukan bagian dari agama dan syariat dan tidak ada satu pun yang sesuai dan selaras dengan aturan-aturan dan instruksi-instruksi agama Islam.[1]
A. Shalat Dhuha adalah Bid’ah
Shalat Dhuha dalam pandangan Syiah adalah sebuah perbuatan bid’ah[2] dan sebagian Ahlusunnah juga memandangnya sebagai bid’ah yang akan kita sebutkan beberapa contoh dari riwayat yang terdapat dalam literatur-literatur Ahlusunnah sebagaimana berikut ini:
1. Muwarraq Ijli berkata, “Saya bertanya kepada Abdullah bin Umar, “Apakah engkau mengerjakan salat Dhuha? Abdullah bin Umar menjawab, “Tidak!” Saya bertanya lagi, “Apakah ayahmu mengerjakannya?” Jawabnya, “Tidak!” Apakah Abu Bakar mengerjakan salat ini? Tanyaku lagi. Abdullah bin Umar menjawab, “Tidak!” Aku bertanya lagi, “Apakah Rasulullah Saw mengerjakannya?” Abdullah bin Umar menjawab, “Saya kira tidak.”[3]
2. [4]Abdullah bin Umar berkata bahwa salat Dhuha adalah perbuatan bid’ah.
3. Aba Sa’id bin Nafi’ berkata, “Abu Basyir Anshari, salah seorang sahabat Rasulullah Saw tatkala matahari terbit, aku tengah mengerjakan shalat Dhuha. Ia mendampratku dan melarangku untuk mengerjakan salat tersebut. Kemudian ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Jangan engkau mengerjakan salat Dhuha hingga tergelincirnya matahari.”[5]
B. Mengerjakan Salat-salat Harian dalam Seminggu
Dalam pandangan Syiah, hadis-hadis yang diriwayatkan dari para Imam Maksum As adalah sebuah dalil syariat dan memiliki hujjah. Atas dasar itu, salat-salat harian dalam seminggu yang dikerjakan tidak dalam status sebagai salat Dhuha bukanlah bid’ah bahkan sebuah amalan mustahab yang dianjurkan syariat. Sayid Ibnu Thawus menukil riwayat ini dari Imam Hasan Askari yang menukilnya dari para datuknya.[6]
Dalam riwayat ini disebutkan, “Qala: “Faqultu lil Hasan bin Ali As fi ayyi waqtin ushalli hadzihi al-shalawat?” Faqala, “Ma baina thulu’ al-Syams ila Zawaliha.” Periwayat bertanya kapan saya harus mengerjakan salat-salat ini (harian dalam seminggu)? Imam menjawab, “Semenjak terbitnya matahari hingga tergelincirnya.”
Boleh jadi apa yang dapat dimanfaatkan dari riwayat ini adalah bahwa salat-salat ini adalah salat Dhuha yang termasuk sebagai perbuatan bid’ah! Namun harus dikatakan bahwa apa yang menjadi bid’ah adalah sebuah perbuatan yang tanpa dalil syariat untuk masa-masa ini (semenjak terbitnya matahari hingga tergelincirnya) kita mencermati tipologi khusus dan apabila tidak demikian inti mengerjakan salat pada masa seperti ini dengan status lain tentu tidak bermasalah. Sebagai contoh, salat tahiyyat al-masjid,”[7] “qadha salat-salat nafilah”[8] dan juga “qadha salat-salat wajib” dapat dikerjakan kapan saja dan “nafilah-nafilah hari Jum’at juga harus dikerjakan waktu-waktu sekarang ini dimana “salat Dhuha” termasuk bid’ah di dalamnya.
Di antara beberapa riwayat yang menunjukkan kebolehan mengerjakan salat-salat seperti ini pada hari Jum’ah adalah sebagai berikut:
1. Sulaiman bin Khalid berkata, “Saya bertanya kepada Imam Shadiq ihwal pengerjaan salat nafilah pada hari Jum’at?” Imam Shadiq As menjawab, “Enam raka’at sebelum tergelincirnya matahari dan dua rakat pada masa tergelincirnya matahari.”[9]
2. Rasulullah Saw melarang orang mengerjakan salat nafilah pada masa terbitnya dan tenggelamnya matahari kecuali pada hari Jum’at.[10]
3. Imam Shadiq As bersabda, “Salat nafilah pada tengah harian pertama tidak dikerjakan selain pada hari Jum’at.”[11]
Karena itu, salat Dhuha disebut bid’ah apabila dikerjakan tanpa status khusus (sebagai shalat Dhuha) pada setiap hari pada masa-masa ini (semenjak terbitnya hingga tergelincirnya matahari) namun apabila dikerjakan dengan status yang lain (seperti tahiyyat al-masjid, qadha salat-salat nafilah dan juga qadha salat-salat wajib) dan terdapat dalil syariat yang menyokong pelaksanaannya yang dikerjakan pada masa seperti ini tentu bukanlah bid’ah. [IQuest]
[1]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Bid’ah dan Kriterianya, Pertanyaan 1878 (Site: 2002).
[2]. Muhammad Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 3, hal. 453, Periset dan Korektor: Ali Akbar Ghaffari, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Keempat, 1407 H. Muhammad bin Ali bin Babawaih Shaduq Qummi, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 2, hal. 137, Daftar Intisyarat-e Islami, Qum, Cetakan Kedua, 1413 H.
[3]. Taqiyuddin Maqrizi, Imtâ’ al-Asmâ’ bimâ Linnabi min al-Ahwâl wa al-Amwâl wa al-Hifdah wa al-Mitâ’, jil. 13, hal. 18, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1420 H; Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Asad al-Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal, jil. 8, hal. 377, Periset: Syu’aib al-Arnuuth, Adil Mursyid et al, Muassasah al-Risalah, Cetakan Pertama 1421 H.
[4]. Imtâ’ al-Asmâ’ bimâ Linnabi min al-Ahwâl wa al-Amwâl wa al-Hifdah wa al-Mitâ’, jil. 13, hal. 18.
[5]. Musnad Ahmad bin Hanbal, jil. 36, hal. 213.
[6]. Sayid Ibnu Thawus, Jamâl al-Usbû’, hal. 40-43, Intisyarat-e Radhi, Qum.
[7]. Syaikh Shaduq, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 2, hal. 175, Dar al-Kutub al-
slamiyah, Teheran, 1413 H.
[8]. Muhammad bin Hasan Thusi, Tahdzib al-Ahkâm, jil. 2, hal. 175, Hadis 154, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 H.
[9]. Ibid, jil. 3, hal. 11, Hadis 37.
[10]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 80, hal. 153, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[11]. Tahdzib al-Ahkâm, ji. 3, hal. 13, Hadis 44.