Please Wait
29983
Dalam kamus akidah, orang yang memiliki makam ishmah disebut sebagai "maksum." Maksum adalah orang yang terjauhkan, berkat kemurahan khusus Tuhan, dari segala macam kontaminasi dosa, segala perbuatan buruk dan tercela. Demikian juga terjauhkan dari sekecil pun kesalahan dan kelupaan. Akan tetapi kondisi sedemikian, bukan berasal dari kondisi jabr (determinasi) dan non-ikhtiar, melainkan senantiasa disertai dengan kebebasan, ikhtiar, kemungkinan dan kemampuan dalam mengerjakan dosa dan kesalahan.
Apa yang menjadi penyebab sehingga kebebasan (ikhtiar) yang dimiliki sosok maksum ini tidak berujung pada terjerembabnya ia dalam perbuatan dosa dan kesalahan adalah adanya beberapa faktor pada diri seorang maksum: "Ilmu hakiki terhadap realitas perbuatan baik dan buruk." "Bantuan dan taufik khusus dari Tuhan," dan "Pertolongan dari Ruhul Qudus," sebuah ruh yang kudus dan suci yang senantiasa menyertai sosok maksum dan sebagainya.
Selain para nabi Ilahi dan keempat belas maksum yang telah diperkenalkan dalam Islam tidak ada orang lain yang disebut sebagai maksum; karena tidak terdapat dalil yang menetapkan bahwa ia disertai dan dibantu oleh Ruhul-Qudus.
Akan tetapi dengan memperhatikan poin sangat penting ini bahwa tiadanya kemaksuman pada pribadi-pribadi agung seperti Abul Fadhl Abbas, Hadhrat Abu Thalib ayah Ali bin Abi Thalib As, ibu-ibu kudus dan suci para maksum, Ali Akbar dan sebagainya tidak bermakna bahwa mereka semuanya adalah pendosa. Akan tetapi hal ini menegaskan bahwa kedudukan mereka lebih tinggi di atas "adâlah" (sifat adil) dan lebih rendah di bawah "ishmah" (kemaksuman).
Pada dasarnya Islam menengarai tiga redaksi dalam memberikan penilaian terhadap pribadi-pribadi unggul:
1. 'Adalah (sifat adil): 'Adalah artinya adanya kondisi spiritual yang unggul dalam mengerjakan pelbagai kewajiban dan meninggalkan segala larangan.
Dalam tingkatan ini, semata-mata mengerjakan yang wajib dan meninggalkan yang haram telah memadai bagi seseorang untuk dapat disebut sebagai 'âdil. Dan apabila ia menghindar dari perbuatan dosa besar dan tidak getol mengerjakan perbuatan dosa kecil maka arah dari perbuatannya itu akan berujung pada "adâlah."
2. 'Azhima (keagungan): Posisinya lebih tinggi dari 'adalah dan orang-orang yang memiliki sifat azhima ini memiliki semangat yang cerlang dan tergolong sebagai hamba saleh Allah Swt.
3. 'Ishmah (kemaksuman): Orang-orang yang mencapai makam ini terjauhkan dari sekecil apapun kesalahan, fantasi, delusi untuk melakukan dosa dan kesalahan. Konsekuensi orang yang memiliki makam ini adalah bantuan dari Ruh al-Qudus sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat.
Pada dasarnya Islam menengarai tiga redaksi dalam memberikan penilaian terhadap pribadi-pribadi unggul:
1. 'Adâlah:
Dalam Islam, apabila ada seseorang yang sedemikian menata, membina ruhnya sehingga dapat menahan dirinya dalam berhadapan pelbagai dosa dan kesalahan, pada medan kehidupan senantiasa memilih untuk taat dan berserah diri maka orang sedemikian disebut sebagai "âdil." Orang yang memiliki sifat seperti ini adalah orang yang telah mensucikan dirinya dari noda-noda dosa dan melejitkan dirinya dalam mengenal dan menjaga aturan-aturan Ilahi. Tingkatan ini merupakan tingkatan minimal orang budiman yang dapat diraih dengan kehendak Tuhan dan upaya terus-menerus dari setiap orang yang ingin mencapai tingkatan ini. Jalan untuk sampai pada kondisi semacam ini adalah meninggalkan dosa-dosa besar dan tidak getol dan gemar mengerjakan dosa-dosa kecil. Namun demikian ia tidak mesti harus mengeyahkan pikiran dan khayalan untuk berbuat dosa dalam benaknya.
2. Azhimah:
Seseorang yang sampai pada level azhima (keagungan) maka capaiannya ini lebih tinggi dari keadilan dan berada pada batasan hamba Allah yang shaleh (ibaduLlâhi al-shâlihin) dan menjadi hamba yang benar-benar suci dan unggul. Ia memiliki ruh yang cerlang dan benderang dimana mereka tidak hanya tidak melakukan dosa bahkan mereka menjauhi segala yang dibenci oleh ruh. Sifat agung semacam ini dalam redaksi yang berbeda disebut sebagai: "Wara", "Zuhud" "Kedudukan yang dekat kepada ishmah," "Shâlib al-Iman"[1] dan sebagainya.
Poin yang patut disebutkan di sini adalah bahwa derajat di bawah ishmah dan di atas adalah yang kita sebut sebagai azhima ini memiliki banyak tingkatan dan derajat. Sebagaimana ishmah yang memiliki tingkatan dan derajat.
Manusia semakin dekat kepada Allah Swt maka dia akan semakin banyak mengakses wilayah takwini dan memiliki kemampuan untuk mengatur segala sesuatu di alam semesta. Karena itu para wali Allah tidak berada pada satu barisan dan deretan.
Akan tetapi hal ini tidak bermakna bahwa siapa pun dapat sampai pada makam ini atau memiliki makam ini; karena apa yang menjadi poros dan matra perbandingan pada kondisi semacam ini adalah pemanfaatan "cahaya" dan jauh dari "kegelapan". Karena dua redaksi ini dalam kosa kata al-Qur'an dan Ahlulbait As adalah media refleksi segala kebaikan dan yang baik. Dan menghikayatkan segala keburukan dan yang buruk.
Dengan demikian, penamaan sebagian orang dengan gelar "Abdushaleh" dan "Shahib Nur Ruh" memiliki kelayakan untuk mendapatkan gelar ini dari pemilik Cahaya (Allah Swt) dan cahaya-cahaya murni para nabi dan para imam maksum As.
Sebagai hasilnya: Makam azhima berada di atas makam 'adalah; Karena pada makam 'adalah orang meninggalkan dosa besar dan tidak getol melakukan dosa-dosa kecil sudah memadai. Akan tetapi hamba-hamba Allah yang shaleh memiliki sifat wara' dan zuhud yang tinggi sedemikian sehingga seluruh wujudnya layak menjabat gelar hamba yang shaleh secara mutlak.
Seseorang yang agung dan besar memiliki kecerlangan ruh yang khusus; karena akal sempurna dan ruhnya yang tinggi membuat segala kegelapan menjauh dan hanya berkisar pada poros segala amalan, ibadah dan kebaikan.
Kecerlangan khusus ini adalah hasil dari makrifat yang unggul, iman yang tulus, amal shaleh, fitrah yang suci, dan paling puncaknya adalah perhatian khusus Wali Mutlak (Allah Swt) dan para wali mutlak-Nya (para maksum).
Cahaya ini adalah jelmaan seluruh hakikat manusia. Sebagaiman kegelapan juga gambaran sejati sebagian orang. IbadulLahi Shalihin dengan segala kebaikannya tidak medapatkan layanan bantuan Ruhul-Qudus. Ruhul Qudus adalah sebuah ruh yang suci dan besar yang bukan dari golongan malaikat dan tidak pernah menyertai salah satu nabi sebelumnya kecuali Rasulullah Saw dan dialah yang banyak membantu para imam maksum As.
Inti dari ungkapan ini adalah:
A. Meski sebagian orang memiliki kedudukan dan makam yang tinggi, akan tetapi tingkatan yang mereka miliki sekali-kali mereka tidak sampai pada menara malakuti "ishmah." Makam ishmah (mutlak) hanya dapat dijumpai pada empat belas orang maksum saja. Mengapa dan bagaimana? Kami persilahkan Anda untuk tetap menyimak tulisan ini hingga Anda mendapatkan jawabannya.
B. Pribadi-pribadi agung seperti Abul Fadhl, Hadhrat Maksumah, Hadhrat Zainab, Hadhrat Ruqaiyyah, Hadhrat Abu Thalib, Hadhrat Khadijah, Hadhrat Fatimah binti Asad (bunda Imam Ali), Hadhrat Ali Akbar dan tidak terbilang orang-orang yang seperti mereka bukanlah orang-orang maksum. Akan tetapi semuanya berada pada makam "azhima" yang merupakan makam para wali Allah Swt.
Bukti-bukti Kedudukan Agung Mereka
Ishmah ditetapkan melalui jalan argumen dan klaim seorang maksum. Para wali Allah yang terpilih berada pada makam azhima tidak pernah melontarkan klaim dan mengajukan dalil tentang adanya ruh al-Qudus sehingga derajat ishmat tidak ditemukan pada diri mereka. Akan tetapi terdapat dalil-dalil yang menunjukkan tentang keagungan sebagian dari mereka.
Hadhrat Abu Thalib As
Dalam riwayat disebutkan bahwa seseorang - yang bermaksud mengejek dan mencela ayah Amirul Mukminin Ali As – di tengah masyarakat (lantaran propaganda keji musuh-musuh Baginda Ali membayangkan bahwa Abu Thalib bukanlah seorang Muslim). Orang itu bertanya kepada Imam Ali As: Apakah ayahmu berada dalam siksa Allah di neraka jahannam? Imam Ali menjawab: "Demi Allah yang mengangkat Muhammad Saw sebagai nabi. Ayahku akan memberikan syafaat kepada para pendosa dan Allah Swt juga menerima syafaatnya. Mungkinkah Abu Thalib ayahku berada dalam azab Ilahi di neraka jahannam sementara putranya Ali adalah pembagai neraka dan nikmat surgawi? Demi Allah cahaya ayahku akan memadamkan cahaya sebagian orang di hari kiamat kecuali cahaya lima orang (5 orang Ahlu Aba); karena cahaya ayahku berasal dari cahaya kami dan cahaya kami telah diciptakan dua ribu tahun sebelum penciptaan Adam As."[2]
Hadhrat Khadijah As
Rasulullah Saw melaporkan dari mikrajnya bahwa tatkala beliau kembali dari perjalanan samawi mikraj, beliau berkata kepada Jibril: Apakah engkau ada urusan dan hajat? Jibril berkata: "Aku ingin engkau menyampaikan salam dari Allah dan dariku untuk Khadijah."[3]
Rasulullah Saw dalam menafsirkan ayat "InnaLlah isthafa Adam wa Nuh wa Ali Ibrahima wa Ali Imran 'ala al-Alamin: "Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat." (Qs. Ali Imran [3]:33) (Dan orang-orang pilihan lainnya) Ali, Hasan, Husain, Hamzah, Ja'far, Fatimah dan Khadijah terpilih bagi seluruh sekalian alam."[4] Dan jelas bahwa salam Allah Swt hanya akan turun kepada seseorang yang layak mendapatkan salam dan berserah diri secara totalitas (taslim) kepada-Nya.
Hadhrat Fatimah binti Asad As
Ulama dan muhaddis (ahli hadis) Syaikh Abbas Qummi (penyusun Mafatih al-Jinan) terkait dengan keagungan pribadi puan besar ini berkata: "Kedudukan agung dan besarnya – semoga Tuhannya ridha kepadanya – dapat diketahui tatkala ia melahirkan Amirul Mukminin ke dunia dalam Ka'bah. Dan juga beliau termasuk orang-orang pertama yang menyatakan iman dan termasuk dari orang kesebelas yang mengekspresikan keislamannya secara terbuka. Rasulullah Saw sangat memuliakannya dan senantiasa memujinya dengan penuh keagungan serta memanggil Fatimah binti Asad ini sebagai ibu."
Dalam riwayat disebutkan bahwa tatkala Fatimah binti Asad wafat Rasulullah Saw tampak berlinangan air matanya dan berduka cita. Jasad Fatimah binti Asad dikafankannya dengan pakaian khususnya lalu menyalatkannya, menyampaikan empat puluh takbir, meletakkan jenazahnya dalam kubur dan menyiapkannya untuk melakukan perjalanan akhirat."[5] Rasulullah Saw dalam menuturkan sifat-sifatnya bersabda: "Dia adalah sebaik-baik makhluk Tuhan setelah Abu Thalib, banyak kebaikan dan amal shaleh yang ia lakukan untukku."[6]
3. Ishmah
Dalam kamus akidah orang yang memiliki "ishmah" disebut sebagai maksum. Maksum adalah seseorang yang, berkat kemurahan Tuhan, terjauhkan dari segala noda dosa, perbuatan tercela dan tidak terpuji. Mereka tidak terjauhkan dengan terpaksa (jabr) melainkan pada saat mereka mampu dan memiliki ikhtiar dalam melakukan hal tersebut. Demikian juga mereka terjauhkan dari segala jenis kesalahan dan kekeliruan.
Hadhrat Imam Ja'far Shadiq As terkait dengan hal ini berkata: "Orang yang disebut maksum adalah orang yang oleh Tuhan terjaga dari segala perbuatan dosa dan Allah Swt berfirman: "Wa man ya'tashim billâh faqad hadâ ilâ shirat al-mustaqim."
"Barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus." (Qs. Ali Imran [3]:101)[7]
Poin penting yang harus disebutkan di sini: Ilmu dan ishmah memiliki pertautan yang erat. Sumber utama ishmah adalah ilmu dan makrifat. Tatkala manusia mencerap sesuatu sebagai hakikat dan realitas maka mereka akan mengetahui pengaruh dan akibat-akibatnya. Maka secara otomatis mereka akan bersikukuh untuk meninggalkan atau menjauhi hal tersebut.
Rahasia Dibatasinya Ishmah
Anda bertanya ihwal mengapa para maksum hanya dikhususkan untuk empat belas orang saja dan orang lainnya tidak maksum?
Poin pertama: Jawaban dari pertanyaan ini harus ditelusuri pada peran determinan kehendak, hikmah dan ketentuan Tuhan. Pilihan ini terkait sempurna dengan kehendak dan kebijaksanaan Tuhan. Tentu saja kehendak, kebijaksanaan dan ketentuan ini berpijak di atas sebuah sebab dan hikmah. Apa yang dapat dicapai melalui sekumpulan teks-teks agama adalah bahwa keberadaan dan kehidupan manusia tidak terbatas pada beberapa tahun hidup di dunia. Terkait dengan penciptaan ruh sesungguhnya penciptaan dilakukan sebelum penciptaan jasmani.[8]
Berangkat dari sini, segala pengambilan keputusan dan refleksi dari masa lalu kita dan juga ilmu Tuhan terhadap masa depan seluruh manusia tentang siapa yang sesungguhnya pejalan (musafir) dan siapa yang menjadi perompak! Tuhan juga menyiapkan seluruh media yang dapat menyampaikan manusia kepada pelbagai kemuliaan dan keunggulan; di antara media tersebut adalah ishmah, ilmu, kenabian, imamah dan wahyu. Untuk mendapatkan penjelasan lebih jeluk, silahkan Anda simak secara seksama penggalan doa Nudbah berikut ini:
"Ya Allah bagi-Mu segenap pujian atas ketentuan terhadap para wali-Mu. Yang terpilih sebagai pengayom agama-Mu. Yang telah Engkau berikan karunia yang banyak dari sisi-Mu. Karunia yang tidak akan hilang maupun berkurang tentunya setelah Engkau syaratkan pada mereka untuk tidak tergoda oleh kehidupan dunia yang hina. Kegemerlapan dan kemewahan dunia pun menjadi syaratnya. Engkau Mengetahui bahwa mereka akan menepati janji tersebut, karena itulah Engkau terima dan dekatkan mereka di sisi-Mu. Kau puji dan agungkan mereka. Kau turunkan malaikat-malaikat-Mu untuk mengiringi mereka. Kau muliakan mereka dengan wahyumu. Kau bekali mereka dengan ilmu-Mu. Dan Kau jadikan mereka perantara-MU dan penghubung Keridhaan-Mu. Dari mereka, ada yang Kau tempatkan di sorga…"
Dengan merenungi paragraph doa mulia ini kita jumpai bahwa seluruh manusia di alam sebelumnya menyaksikan panggung ujian dimana berdasarkan hal tersebut, manusia memuji kedudukannya dan keagungannya dan hubungannya dengan Tuhan tidak ia gadaikan kepada dunia. Akan tetapi dalam hal ini sebagian kecil yang diterima. Mereka mengindahkan syarat dan memperhatikan ujian tersebut. Dan lantartan Allah sendiri mengetahui bahwa hanya merekalah yang setia dan loyal terhadap ikrar mereka maka sebaik-baik nikmat diberikan kepada mereka di antaranya, "taqarrub, mampu berdzikir, pemuja, turunnya para malaikat kepada mereka, menerima wahyu dan pengetahuan khusus, media bagi orang yang memasuki surga, jalan untuk sampai kepada Tuhan dan lain sebagianya. Demikianlah sebagian dari manusia menjadi imam dan sebagian menjadi nabi, sebagian mencapai makam ishmah dan setiap makam masing-masing terdapat tingkatan yang sesuai dengan orang yang menduduki makam tersebut. Akan tetapi harus diketahui bahwa tingkatan dan martabat Nabi Saw dan keluarganya lebih tinggi dan unggul. Mengapa dan bagaimana?
Kami mengajak Anda untuk merenungi sabda Imam Ali bin Musa al-Ridha As: "Allah Swt menolong kami dengan ruh suci dan kudus dan ruh itu adalah malaikat yang tidak pernah menyertai orang-orang sebelum kami kecuali Rasulullah Saw. Ruh ini senantiasa bersama satu per satu dari kami para imam dan dialah yang menolong dan membantu para imam. Dia adalah penyangga dari cahaya dan terletak di antara kami dan Allah Swt."[9]
Poin kedua: Apa yang telah ditakdirkan Tuhan, kurang-lebihnya bergantung kepada kebutuhan asasi manusia. Sebagaimana adanya dua telinga, satu lisan, dua tangan yang menyiratkan ketercukupan manusia dengan nikmat anggota badan ini. adanya empat belas maksum dalam Islam merupakan penjelas dan penegas bahwa umat dan seluruh makhluk hanya membutuhkan empat belas orang maksum. Lantaran seluruh makhluk tercukupkan dengan empat belas ini, sebab-sebab dan faktor-faktor yang menyebabkan adanya ishmah juga tidak diberikan kepada yang lain. Dan di antara faktor yang memunculkan ishmah adalah adanya "Ruhul Qudus" yang telah disinggung sebelumnya.
Ruhul Qudus
Kini kami mengajak Anda untuk menyimak penjelasan tentang Ruhul Qudus ini:
Syiah meyakini bahwa Allah Swt menolong para hamba-Nya yang terpilih dengan ruhul qudus sehingga dengan perantara Ruhul Qudus ini mereka terjaga dari kesalahan dan kelalaian. Imam Shadiq As bersabda: "Sesungguhnya Rasulullah Saw mendapatkan pertolongan dan bantuan Ilahi dengan perantara Ruhul Qudus dan dengan kehadirannya sekali-kali Rasulullah Saw tidak pernah melakukan kesalahan dan kelalaian dalam mengatur urusan manusia."[10]
Di samping itu, dalam riwayat yang dinukil dari para maksum disebutkan bahwa ishmah para imam tidak hanya terkhusus pada masa imamahnya, melainkan sebelum menjabat imamah juga mereka telah memiliki ishmah ilahi. Imam Muhammad Baqir As bersabda: "Wahai Jabir! (Para imam dan nabi) mengenal segala sesuatu semenjak di bawah arsy hingga di bawah tanah dengan perantara Ruhul Qudus dan dengan perantaranyalah mereka mengetahui segalanya."[11]
Dan juga dalam hadis yang lain, Imam Muhammad Baqir As bersabda: "Ruhul Qudus senantiasa berada di samping imam dan imam dengan perantaranya melihat segala apa yang ada di Barat dan Timur, di laut dan darat. Seseorang bertanya: "Semoga aku menjadi tebusanmu." Apakah seorang imam dapat mengambil sesuatu di suatu tempat misalnya di Baghdad? Imam bersabda: "Iya! Dan bahkan ia dapat menguasai (mengatur) segala yang berada di bawah arsy Ilahi."[12]
Hadis ini menunjukkan kekuatan luar biasa dan kekuasaan Imam di alam semesta yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Dan dari sini menjadi jelas bahwa terdapat hubungan antara ilmu dan kekuasaan."[13] []
[1]. Iman yang kokoh.
[2]. Bihâr al-Anwâr, jil. 35, hal. 110.
[3]. Bihâr al-Anwâr, jil. 16, hal. 7.
[4]. Ibid, jil. 37, hal. 63.
[5]. Safinat al-Bihar, jil. 7, hal. 122.
[6]. Bihâr al-Anwâr, jil. 35, hal. 79.
[7]. Ma'âni al-Akhbâr, hal. 132.
[8]. Silahkan lihat, Qasim Turkhan, Khelqat-e Arwah qabla Ajsâm.
[9]. Bihâr al-Anwâr, jil. 25, hal. 48.
[10]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 266.
[11] Al-Kâfi, jil. 1, hal. 272.
[12]. Bihâr al-Anwâr, jil. 25, hal. 58.
[13]. Muhammad Biyabani, Ma'rifat-e Imâm, hal. 73.