Please Wait
21256
Menjelaskan hubungan yang terjalin di antar agama dan kebudayan dapat dilakukan dengan mengenal secara utuh esensi, tujuan dan peran agama dan kebudayaan dalam masyarakat.
Meski sebagian orang mengingkari adanya hubungan antara agama dan kebudayaan namun sejatinya pandangan ini tidak memiliki dasar dan pijakan. Adapun perkara bahwa sebagian unsur dari kebudayaan lantaran tidak sejalan dengan tujuan-tujuan transedental agama samawi yaitu sampainya manusia kepada kesempurnaan, bertolak belakang dengan agama atas alasan ini tidak diterima oleh agama, merupakan perkara yang jelas. Akan tetapi banyak unsur kebudayaan yang sejalan dengan program dan agenda agama. Dan adalah suatu hal yang wajar apabila mendapatkan sokongan agama. Dari sisi yang lain, banyak hal dari kebudayaan yang disuguhkan dalam tataran nilai-nilai yang dimunculkan dari agama.
Agama secara leksikal memiliki makna yang beragam. Seperti pembalasan (baca: ganjaran), ketaatan, penilaian. Dari makna-makna beragam agama, mengikut bukti kamus-kamus dan tafsir ayat-ayat al-Qur'an terkait agama, galibnya agama bermakna ketaatan dan ganjaran, dan terkadang bermakna pinjaman, hitungan dan hukum.[1]
Agama bermakna ketaatan dapat dijumpai pada ayat misalnya "laa ikraha fi al-din" (tiada paksaaan dalam beragama) (Qs. Baqarah [2]:256) Agama bermakna pembalasan dapat disaksikan pada ayat "malik yaum al-din" (penguasa pada hari pembalasan." (Qs. Al-Fatiha [1]:4)
Secara teknikal agama menurut Raghib Isfahani diadopsi dari syariat.[2] Dan sesuai dengan ungkapan Fadhil Miqdad agama adalah thariqat dan syariat; artinya jalan dan aturan.[3] Kontrak-kontrak Ilahi ini menyeru kepada para pemeluknya untuk menjalankan aturan-aturan dan hukum-hukum yang telah disampaikan kepada Rasulullah Saw dan berada di sisinya. Demikianlah makna umum agama yaitu seluruh aturan Ilahi dan samawi yang disampaikan kepada masyarakat melalui para nabi.[4] Dengan kata lain, agama adalah sekumpulan akidah, akhlak dan hukum-hukum.[5]
Adapun makna khusus agama atau agama yang benar dan diterima (di sisi Allah) adalah Islam. "Inna al-Din 'indaLlah al-Islam." Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam." (Qs. Ali Imran [3]:19)
Kebudayaan merupakan salah satu pahaman yang paling menyeluruh dan universal dalam ilmu-ilmu Sosial dimana terdapat ragam definisi yang diberikan tentangnya.
Secara leksikal kebudayaan (culture) bermakna adab, ilmu, pengetahuan dan makrifat.[6]
Dalam terminologi ilmu-ilmu Sosial disebutkan bahwa kebudayaan artinya ilmu dan adab, tradisi dan kebiasaan, hal-hal yang diterima di setiap kaum dan bangsa, baik itu ilmu, kebiasaan, adab dan tradisi – yang diterima dan diamalkan oleh masing-masing anggota komunitas kaum tersebut. Dengan kata lain, kebudayaan adalah sekumpulan ilmu, pengetahuan, seni, pemikiran dan keyakinan, moral, aturan, adab dan kebiasaan.[7]
Terkait pembahasan utama kita di sini tentang apakah terjalin hubungan antara agama dan kebudayaan atau tidak? Apabila terjalin hubungan eksistensial di antara keduanya? Apakah agama dan kebudayaan itu merupakan hal yang satu? Atau agama merupakan bagian dari kebudayaan setiap kaum dan bangsa. Atau agama itu sendiri adalah pencetak kebudayaan, dengan memperhatikan pelbagai definisi yang dibeberkan terkait dengan kebudayaan, masalah ini merupakan masalah yang dibahas tak henti-hentinya dan terdapat perbedaan pendapat di dalamnya.
Sebagian orang berpandangan bahwa di antara redaksi agama dan kebudayaan tidak terjalin hubungan apa pun; karena kebudayaan merupakan warisan komunitas yang memiliki sisi kebangsaan yang diperoleh atas proses menuju kesempurnaan secara natural dan gradual masyarakat. Kondisi-kondisi natural dan demografis mempengaruhi adanya perbedaan dalam kebudayaan. Dengan kata lain, apa yang diciptakan masyarakat dalam pelbagai kondisi natural, geografis dan mungkin historis dan dipersembahkan kepada manusia adalah kebudayaan. Akan tetapi agama bukan warisan masyarakat atau komunitas dan agama-agama bukanlah produk yang dicipta oleh manusia. Mengikut para teolog agama merupakan pranata Ilahi. Dengan asumsi sedemikian dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan antara agama dan kebudayaan, akan tetapi sejalan satu dengan yang lain.[8]
Sebagian pemikir meyakini bahwa menolak hubungan antara pahaman agama dan kebudayaan merupakan suatu hal pelik dilakukan. Apabila dalam agama dibahas masalah akhlak dan akidah maka ruh kebudayaan juga demikian adanya. Jika adab dan kebiasaan merupakan bagian dari kebudayaan maka syariat agama juga bertutur-kata tentang adab dan kebiasaan.[9]
Akan tetapi kebudayaan tidak satu karena perbedaan pelbagai kondisi dan situasi geografis. Sebagian kebudayaan seperti tradisi mengubur hidup-hidup anak-anak putri pada zaman jahiliyah. Pelbagai bid'ah dan khurafat yang merebak di tengah masyarakat dan seiring dengan berlalunya waktu berubah menjadi sebuah kebudayaan bagi masyarakat tersebut. Jelas bahwa kebudayaan semacam ini tidak ada sama sekali sangkut pautnya dengan agama. Sebagian kebudayaan diterima oleh agama dengan menggunakan metode jarh dan ta'dil dan pada kebanyakan perkara agama menjadi peletak dasar berkembangnya sebuah kebudayaan.
Terkait dengan munculnya agama, sejarah agama-agama menunjukan bahwa agama muncul tatkala perangkat-perangkat agama sebelumnya telah mengalami kerusakan dan penyimpangan moral-sosial dalam sebuah masyarakat. Bagaimanapun, tatkala sebuah agama atau maktab (school of thought) muncul biasanya terjadi sebuah revolusi atau perubahan asasi pada nilai-nilai dan sistem yang dianut sebuah masyarakat yang menjadi penyebab goncangnya kebudayaan. Sebagian dari unsur-unsur kebudayaan lama rontok dan unsur-unsur baru yang selaras dengan nilai-nilai baru atau maktab baru diadopsi. Melalui jalan ini, agama atau maktab-maktab mengkonstruksi kebudayaan.
Meski tatkala setiap agama muncul, ia tidak serta merta muncul bersama kebudayaan. Namun setiap agama memunculkan nilai-nilai baru atau mengemukakan nilai-nilai baru. Nilai-nilai ini, pertama, berada dalam format kebudayaan yang menggusur kebudayaan lama yang tidak sejalan dengan nilai-nilai ini, misalnya kemunculan Islam yang menggusur kebudayaan mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan. Kedua, format-format yang kosong dari sisi kandungan dan bertentangan dengan nilai-nilai baru, namun dapat ditiupkan ruh kepadanya yang didasarkan pada nilai-nilai baru dan mengeluarkannya dari kerusakan serta menjadikannya sebagai media bagi kemunculan nilai-nilai ini.
Dalam Islam, haji dapat dijadikan contoh dari format-format ini. Haji pada masa sebelum kedatangan Islam modelnya berisikan kemusyrikan, namun Islam tidak mengeliminir bentuk-bentuknya dan tetap memelihara adab-adab dan kebiasaan haji model lama lalu memberikan kandungan tauhid di dalamnya. Karena itu, kebudayaan lama itu menjadi kuat dan bertahan dalam sistem kebudayaan baru. Atau misalnya lagi, hari raya tahun baru di Iran sebelum dan setelah Islam.
Pada hakikatnya, agama baru tidak serta merta memunculkan kebudayaan baru, tetapi mengemukakan nilai-nilai baru dan masyarakat berdasarkan nilai-nilai ini melahirkan kebudayaan baru. Setelah munculnya kebudayaan baru, berdasarkan agama baru kini agama termasuk bagian dari kebudayaan masyarakat tersebut.[10]
Hal yang patut diperhatikan di sini adalah bahwa masuknya satu agama pada pelbagai kaum dan bangsa menjadi penyebab munculnya pelbagai ragam kebudayaan berdasarkan nilai-nilai maka agama dan kebudayaan akan menjadi satu. Gambaran semacam bukanlah gambaran benar sehingga kita menyangka bahwa agama yang masuk pada daerah mana pun akan melahirkan kebudayaan yang satu. Tidak demikian. Yang benar bahwa agama menjadikan nilai-nilai yang satu itu sebagai ukuran dan kriteria di setiap masyarakat. Namun ragam kebudayaan akan bermunculan lantaran adanya kebudayaan-kebudayaan lama; karena pembentukan format-format kebudayaan ini bergantung sepenuhnya pada situasi geografis dan gaya hidup setiap kaum dan bangsa.[11][]
[1]. Dâirat al-Ma'ârif Tasyayyu', jil. 7, redaksi agama.
[2]. Raghib Isfahani, Mufrâdât Alfâz Qur'ân, hal. 177, redaksi agama
[3]. Fadhil Miqdad, Syarh Bâb Hâdi 'Asyar, hal. 2.
[4]. Dâirat al-Ma'ârif Tasyayyu', jil. 7, redaksi agama.
5]. Abdullah Jawadi Amuli, Fitrat dar Qurân, jil. 12, hal. 145.
[6]. Muhammad Mu'in, Farhang-e Mu'in, jil. 2, redaksi kebudayaan.
[7]. Sayid Mustafa Husaini Dasyti, Ma'ârif wa Ma'arîf, jil. 8, redaksi kebudayaan.
[8]. Ruznâme Salâm, 15/7/1371, hal. 10.
[9]. Ibid.
[10]. Ruznâme Jahân Islâm, 1/2/1373, hal. 10.
[11]. Ibid.