Please Wait
15376
Kendati kekuasaan seluruh hamba berada di bawah kekuasaan Tuhan dan tidak seorang pun yang dapat melakukan sebuah perbuatan tanpa seizin-Nya, namun lantaran Tuhan mendelegasikan kebebasan dan ikhtiar-Nya kepada para hamba-Nya sehingga mereka diuji karena itu kita tidak dapat menyandarkan perbuatan buruk manusia kepada Tuhan.
Pada dasarnya, menyandarkan adanya perbuatan ikhtiari manusia terhadap Tuhan tidak bertentangan dengan penyandarannya kepada manusia itu sendiri, karena penyandaran-penyandaran ini berada pada tataran vertikal dan bukan horizontal sehingga harus saling berhadap-hadapan satu dengan yang lain. Menarik untuk diketahui bahwa seluruh manusia secara normal hanya pada situasi-situasi tatkala ia mengerjakan perbuatan buruk telah terjerembab dalam aliran Determinisme dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Tuhan. Akan tetapi tatkala ia mengerjakan perbuatan baik maka ia memandangnya sebagai kehormatan baginya, sebagai contoh, para penguasa dan panglima. Mereka sangat jarang memandang pembangunan negeri dan pemerataan pembangunan sebagai bersumber dari paksaan (jabr) Tuhan. Giliran membunuh masyarakat tak-berdosa kemudian mereka klaim dan justifikasi hal itu sebagai manifestasi paham Determinisme.
Akar pertanyaan Anda kembali kepada masalah kebebasan (ikhtiar) dan Determinisme (jabariyyah). Pertama-tama kami menyarankan sebelum menelaah jawaban ini terlebih dahulu ada baiknya Anda menelaah pertanyaan-pertanyaan No. 576, 1217, 1237, 1570 dan 2085 pada site ini sehingga Anda dapat mengenal dengan baik persoalan ini meski secara global.
Secara ringkas kami mengajak Anda untuk membahas dan menganalisa pertanyaan Anda dengan berpijak pada ayat dan riwayat[1] yang bertalian dengan hal ini:
Apakah hingga kini Anda pernah bertanya kepada diri Anda sendiri bahwa sekiranya demikian adanya seluruh perbuatan dan amalan dilakukan dengan terpaksa dan tanpa ikhtiar dari diri kita sendiri, lantas mengapa Allah Swt, yang dalam keyakinan kami Mahaadil dan tidak berlaku aniaya, memaksa kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan tercela yang Dia larang sendiri dan menjadikan kita laksana alat di tangan-Nya untuk melakukan pelbagai perbuatan yang dilarangnya?
Dengan mengkaji ayat-ayat dalam al-Qur’an, kita jumpai bagaimana orang-orang musyrik yang senantiasa mencari dalih dan alasan atas kemusyrikan mereka memanfaatkan celah ini dan menjelaskan bahwa “lau sya’a Allah maa asyrakna wala abauna.” (Qs. Al-An’am [8]:148)[2] artinya pada satu tingkatan mereka ingin menandaskan bahwa mereka menjadi musyrik itu lantaran berada di bawah pengaruh ajaran Determinisme (baca: karena Allah). Akan tetapi, sebagai kebalikannya, Allah Swt dalam banyak ayat menjelaskan bahwa apabila manusia tidak merdeka dan terpaksa maka Allah Swt akan memaksakan mereka untuk menjadi orang-orang beriman bukan menjadi orang musyrik. Di antara ayat-ayat tersebut, “walau syâ’aLlâh lajama’ahum ‘ala al-hudâ.”[3]
Coba Anda perhatikan: Pada kedua ayat digunakan redaksi “lausyâ’aLlâh” artinya apabila Tuhan menghendaki. Namun orang-orang musyrik menjadikan kehendak Allah ini sebagai dalih bagi mereka untuk tetap sebagai musyrik. Sekiranya Tuhan memaksa mereka untuk menjadi musyrik atau mukmin maka sesungguhnya Allah Swt menciptakan manusia semua beriman bukan musyrik.
Pada dasarnya, menyandarkan adanya perbuatan yang didasari dengan ikhtiar manusia sebagai perbuatan Tuhan tidak bertentangan dengan penyandarannya kepada manusia itu sendiri, karena penyandaran-penyandaran ini berada pada tataran vertikal dan bukan horizontal sehingga harus saling berhadap-hadapan satu dengan yang lain. Dengan kata lain, penyandaran perbuatan terhadap pelaku, dalam hal ini, pada level vertical, manusia pada satu tataran dan penyandaran keberadaannya pada Tuhan pada tataran lainnya yang lebih tinggi dimana pada tataran tersebut, eksistensi manusia itu sendiri dan keberadaan materi yang menjadi media terlaksananya pekerjaan tersebut seluruhnya bersandar kepadanya.
Karena itu, pengaruh kehendak manusia sebagai “bagian akhir dari sebab lengkap” (illat tâm) dalam perbuatannya tidak berseberangan dengan (penyandaran) adanya seluruh bagian sebab lengkap kepada Tuhan. Tuhanlah yang mewujudkan semesta, menciptakan manusia dan seluruh dimensi wujudnya, meletakkan manusia dalam wilayah kekuasaannya dan senantiasa memberikan wujud kepadanya, menciptakan segala sesuatunya baru untuk mereka dan tidak satu pun eksisten apapun dan bagaimanapun kondisinya yang tidak membutuhkan Tuhan. Dengan demikian, segala perbuatan yang didasari dengan ikhtiar manusia senantiasa membutuhkan Tuhan dan sekali-kali tidak akan keluar dari domain kehendak-Nya. Seluruh sifat dan tipologi, batasan dan identitasnya bergantung pada takdir dan ketentuan Ilahi. Bukan memilih salah satunya, antara harus menyandarkan sebuah perbuatan pada kehendak manusia atau menyandarkannya pada kehendak Tuhan. Tidak demikian. Karena dua kehendak ini tidak berada pada posisi berhadap-hadapan dan keduanya bukan tidak dapat berhimpun (mâni’atu al-jam) dan pengaruh keduanya dalam terealisirnya seluruh perbuatan tidak terlaksana dalam bentuk ‘ala al-badal (yang menggantikan) melainkan kehendak manusia seperti inti keberadaannya sepenuhnya bergantung kepada kehendak Ilahi.
Kehendak Tuhan merupakan suatu hal yang niscaya dalam terealisirnya seluruh perbuatan manusia.[4] Hal ini senada dengan pesan Ilahi pada ayat 29 surah al-Takwir (81) “Wama tasya’una illla an yasyaaLlÂh Rabb al-‘Âlamin.” (Dan kamu tidak dapat berhendak kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam) Beberapa dalil di atas merupakan sebagian dalil yang dikemukakan oleh penganut aliran Determinisme beserta sanggahan atas pandangan mereka ihwal perbuatan-perbuatan manusia.[5]
Dengan kata lain penyandaran setiap perbuatan kepada Tuhan terkait dengan perbuatan-perbuatan manusia budiman dan durjana berada pada satu takaran dan timbangan; artinya sebagaimana perbuatan-perbuatan baik manusia-manusia budiman kita sandarkan kepada Tuhan lantaran Dia merupakan Causa prima (Sebab segala sebab) demikian juga seluruh perbuatan buruk manusia-manusia durjana juga kita sandarkan kepada Tuhan dan intervensi kehendak Tuhan tidak bermakna pemaksaan dan penafian ikhtiar melainkan identik dengan ikhtiar karena hal ini tidak bersandar pada iman juga tidak pada syirik melainkan terkait dengan kebebasan dan kemandirian manusia sehingga dengan kebebasannya dalam memilih sendiri jalannya.
Yang menarik bahwa secara natural manusia hanya tatkala ia melakukan perbuatan-perbuatan tidak senonoh telah berlaku deterministik dan menyandarkannya kepada Tuhan. Akan tetapi apabila ia melakukan perbuatan yang sarat nilai ia menghitungnya sebagai prestasi dan kebanggaannya. Sebagai contoh para penguasa dan panglima, jarang sekali menyandarkan perbuatan-perbuatan pembangunan negeri dan pemerataan pembangunan sebagai bersumber dari paksaan Tuhan. Lain halnya taktla mereka membunuh rakyat tak-berdosa mereka justifikasi perbuatan itu merupakan manifestasi ajaran Determinisme dan menyandarkan perbuatan keji tersebut kepada Tuhan.
Para penguasa tiran dan juga para pendosa lainnya untuk menjustifikasi perbuatan-perbuatan tiran aniaya dan tindakan melanggar syariat mereka senantiasa bersandar pada akidah semacam ini bahwa kita hanyalah media bagi Tuhan dan tidak memiliki ikhtiar bagi diri kita sendiri. Melalui jalan ini mereka berada pada tataran menampakkan diri mereka sebagai suci di hadapan pelbagai perbuatan dosa dan kesalahan mereka dan memandang Tuhan yang bertanggung jawab atas perbuatan tersebut.
Pada tragedi Karbala terlontar sebuah dialog antara Imam Husain As dan Ibnu Ziyad, penguasa tiran Kufah. Mengingat erat kaitannya dengan pembunuhan manusia, dengan sedikit teliti, Anda dapat menemukan jawaban dari pertanyaan Anda:
Pasca kesyahidan Imam Husain As dan para sahabatnya serta tertawannya Ahlulbait As. Antek-antek Yazi menyangkan bahwa seluruh pria lasykar Imam Husain As telah syahid, akan tetapi Ibnu Ziyad setelah menyaksikan Imam Sajjad As di antara para tawanan bertanya dengan perasaan heran: “Siapa gerangan orang ini?” Orang-orang berkata, “Ia adalah Ali bin Husain.” Ibnu Ziyad menimpali, “Bukankah Tuhan telah membunuh Ali bin Husain?” Imam Sajjad berkata, “Aku punya saudara lainnya yang juga namanya adalah Ali bin Husain dan orang-oranglah yang telah membunuhnya.” Ibnu Ziyad berkata, “Tuhanlah yang telah membunuhnya.” Imam Sajjad kembali menjawab, “Iya, benar. “Tuhan” mengembalikan ruh seluruh orang tatkala kematian datang kepadanya! Ibnu Ziyad menjadi murka mendengarkan jawaban ini dan berteriak lantang, “Engkau masih punya nyali menjawab seperti itu di hadapanku? Enyahlah dari sini dan penggallah kepalanya.” Tandasnya memerintah. Pada akhirnya dengan campur tangan Hadhrat Zainab perintah ini tidak terlaksana.”[6]
Harap diperhatikan, Ibnu Ziyad bersikeras memandang bahwa pembunuhan Ali Akbar As dan para syuhada Karbala lainnya itu sebagai konsekuensi dari Determinisme dan menyandarkannya kepada Tuhan. Akan tetapi Imam Sajjad As dengan cerdik menyandarkan perbuatan tersebut kepada manusia dan tatkala Ibnu Ziyad bersikeras unuk menyandarkan pembunuhan tersebut kepada Tuhan, Imam Sajjad, tanpa menyokong ucapan Ibnu Ziyad, membacakan ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah Swt pada masa kematian manusia mengembalikan ruh manusia kepadanya.[7]
Imam dengan tindakan seperti ini tanpa menyokong keyakinan deterministik Ibnu Ziyad ini dan ia serta para lasykarnya bertanggung jawab atas kesyahidan para syahid, juga menjelaskan bagaimana penyandaran pembunuhan kepada Tuhan dengan demikian meski orang-orang dengan beragam alasan dimana pada kebanyakan urusan manusia memiliki peran secara langsung, terlepas jiwanya namun pada puncaknya seluruh ruh akan kembali kepada Tuhan. Sesungguhnya kita berasal dari Allah Swt dan kepada-Nya kita akan kembali.[8]
Dalam argumen lainnya, suatu hari Imam Shadiq As bersabda kepada salah seorang yang meyakini aliran Determinisme: Apakah Anda menemukan seseorang yang lebih baik daripada Tuhan yang menerima pembelaan sejati manusia terhadap dirinya? Orang itu menjawab: “Tidak.” Imam bersabda: “Anda sendiri terkait dengan orang yang tidak melakukan sebuah perbuatan dan mengklaim bawa ia tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perbuatan tersebut dan Anda benar-benar tahu bahwa ia tidak memiliki kekuatan untuk itu. Apakah Anda menerima alasannya? Orang itu berkata, “Aku menerima alasannya.” Imam bersabda, “Apabila Tuhan mengetahui bahwa para hamba-Nya tidak memiliki kekuatan untuk melakukan sebuah pekerjaan melainkan terpaksa untuk melakukan hal tersebut dan para hambanya juga secara lugas atau dengan bahasa tubuh berkata bahwa kami tidak memiliki kekuatan untuk menaati-Mu, Engkaulah yang memaksa kami untuk melakukan hal tersebut! Apakah alasan mereka itu tidak benar dan tidak dapat diterima? Orang itu berkata, “Demi Allah! Alasan mereka benar dan harus diterima! Imam bersabda: “Kalau demikian adanya, Allah Swt harus menerima seluruh alasan orang dan tidak seorang pun yang dapat Dia hukum dan tindak. Dan hal ini berseberangan dengan seluruh ajaran agama samawi (Apabila Tuhan menindak dan menghukum mereka) . Setelah mendengar argumentasi dan penalaran ini, orang itu menyatakan meninggalkan ajaran Determinisme yang menyimpang tersebut.[9]
Atas dasar itu, tersisa dua pilihan, apakah kita harus menolak Tuhan dan keadilan-Nya atau kita harus meninjau ulang keyakinan kita terkait dengan deterministiknya manusia dalam melakukan perbuatan-perbuatan tercela. Pada dasarnya, apa artinya Tuhan mengutus para nabi dan melalui mereka manusia tercegah melakukan perbuatan buruk seperti membunuh orang dan memberikan azab abadi kepada orang-orang yang melakukan perbuatan keji membunuh orang bahkan para nabi mereka sendiri tanpa ada alasan yang jelas dan benar.[10] Pada sisi lainnya, menjadikan manusia tanpa ikhtiar sebagai medianya untuk membunuh orang lain?
Harus diketahui bahwa Tuhan menganugerahkan ikhtiar dan kebebasan kepada manusia. Dan pada kebanyakan perkara amal usaha manusia berdasarkan mekanisme kausalitas dan hukum sebab-akibat.[11] Meski Tuhan terkadang bertindak tidak berasaskan mekanisme kausalitas ini. Hal itu dilakukan untuk menunjukkan kekuasaan Tuhan yang memerintahkan kepada api untuk menjadi dingin bagi Nabi Ibrahim.[12] Atau menitahkan kepada gunung di langit untuk mengelilingi Bani Israel[13] atau Nabi Isa yang lahir tanpa ayah, Nabi Adam dan Hawa tanpa ibu dan ayah dan seterusnya.[14] Artinya kekuasaan Tuhan berlaku sedemikian bahwa kendati Tuhan memberikan ikhtiar kepada manusia sehingga ia melakukan amalan baik dan buruk, namun ikhtiar ini tidak membuat kekuasaan Tuhan tidak lagi berlaku dan manusia memiliki kekuasaan tanpa batas dalam mengerjakan seluruh perbuatan yang ia ingin lakukan. sebagaimana yang kita saksikan orang seperti Namrud bermaksud membunuh Ibrahim dengan melemparkannya ke dalam kobaran api, namun dengan mendinginkan api, Tuhan mencegah sifat esensial api yang membakar. Akan tetapi pada kasus Imam Husain, Tuhan membiarkan antek-antek mengantarkan Imam Husain mereguk cawan syahadah.
Bagaimanapun manusia dalam perbuatan-perbuatannya tidak memiliki kebebasan mutlak juga tidak terpaksa mutlak. Dengan kata lain, manusia memiliki kebebasan, ikhtiar dan kehendak. Akan tetapi kebebasan ini tidak kemudian berujung pada masalah “tafwidh” (pendelagasian). Melainkan keberadaannya bersumber dari Tuhan dan pemberdayaan energi tersebut di tangan manusia.
Pandangan Syiah, terkait dengan seluruh perbuatan manusia yang dilakukan manusia di samping merupakan perbuatan manusia juga merupakan perbuatan Tuhan. Artinya kepelakuan Tuhan merupakan kepelakuan embrional dan kepelakuan manusia adalah kepelakuan direksional (langsung). Pandangan ini dalam terminologi teologi disebut sebagai “al-amr baina al-amrain.” (perkara di antara dua perkara, in between)
Pandangan ini disimpulkan dari beberapa ayat al-Qur’an dan ajaran-ajaran Imam Maksum. Syiah Imamiyah adalah penyokong pendapat in between ini.
Penafsir besar al-Qur’an, Allamah Thabathabai berkata dalam hal ini: “Tidak diragukan lagi bahwa manusia terkait dengan perbuatan yang dilakukannya memiliki ikhtiar takwini. Namun ikhtiar ini tidak bersifat mutlak. Karena ikhtiarnya merupakan bagian dari silsilah dan runutan mekanisme sebab-akibat. Sebab-sebab dan akibat-akibat dunia luaran juga memiliki peran dalam realisasi setiap perbuatan bebas dan ikhtiar manusia. Sebagai contoh apabila manusia menguyah sesuap makanan yang merupakan salah satu perbuatan bebasnya, di samping kebebasannya memiliki peran juga adanya makanan di dunia luaran, juga lezatnya makanan dan seabrek sebab-sebab dan akibat-akibat yang seluruhnya terdapat pada silsilah perbuatan memakan ini. Artinya semuanya memiliki peran dalam perbuatan memakan manusia ini dan sebab-sebab tersebut harus tersedia.
Kemudian lahirnya perbuatan bebas dan ikhtiar manusia bergantung pada tersedianya sebab-sebab yang berada di luar ikhtiar manusia dan pada saat yang sama berperan dalam perbuatan ikhtiarnya. Tuhan sendiri berada pada puncak silsilah sebab-sebab tersebut. Dan seluruhnya bahkan ikhtiar manusia berujung dan bermuara pada Zat Suci-Nya. Lantaran Dialah yang menciptakan manusia bebas dan memiliki ikhtiar. Dia menciptakan manusia juga menciptakan kebebasan dan ikhtiar baginya.[15]
Allamah Thabathabai sebagai kelanjutan pembahasan mengimbuhkan, “Dari sisi lain, manusia memandang dirinya merdeka secara natural. Ia melakukan atau meninggalkan sebuah perbuatan itu berdasarkan kebebasan tasyri’i yang dimilikinya. Artinya sebagai kebalikan ikhtiar takwini tersebut, secara hukum ia memandang dirinya bebas dan merdeka. Karena itu, apabila manusia mengerjakan perbuatan baik maka ia layak mendapatkan pujian lantaran hal itu dikerjakan berdasarkan ikhtiar dan pilihannya. Apabila ia meninggalkan perbuatan baik maka ia memandang dirinya layak untuk dicela dan tidak laik mendapatkan maaf lantaran terpaksa dan tiada yang mengetahui bahwa ia terpaksa atau terlarang melakukan sebuah perbuatan. Karena manusia lainnya seperti dirinya dan tidak memiliki tambahan atas makna kemanusiaan. Sepanjang pemilik dan penguasa ikhtiarnya dan demikianlah makna manusia secara natural bebas dan memiliki ikhtiar. Karena itu, manusia pada hakikatnya bebas dan secara natural memiliki ikhtiar (mukhtâr). Lain halnya dengan ikhtiarnya sendiri menjadikan orang lain sebagai pemilik dan karena kepemilikan ini ia kehilangan kebebasannya. Karena itu, manusia dalam kaitannya dengan manusia lainnya bebas dan merdeka dalam perbuatan-perbuatanya. Akan tetapi di hadapan Tuhan, mengingat Tuhan adalah Pemiliki esensi dan perbuatan-perbuatan manusia dan kepemilikiannya juga bersifat mutlak, kepemilikan takwini juga kepemilikian tasyri’i. Karena itu, terkait dengan apa yang diperintahkan dan dilarang Tuhan secara tasyri’i dan demikian juga dengan kehendak takwini Tuhan, manusia tidak memiliki kebebasan dan ikhtiar. Kesemua hal ini merupakan sebuah perkara yang dijelaskan oleh ayat al-Qur’an seperti, “Dan tidaklah patut laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) perempuan yang mukmin memiliki pilihan (yang lain) tentang urusan mereka apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan.” (Qs. Al-Ahzab [33]:36)[16]
Semoga dengan membeberkan penjelasan di atas dengan menjelaskan penjabaran firman Tuhan dan sabda para Imam Maksum As, kami telah menghilangkan keraguan dan syubha dalam benak Anda. Untuk memperoleh kemantapan hati yang lebih, Anda dapat menelaah beberapa masalah dalam literatur-literatur riwayat, tafsir, teologi dan lain sebagainya yang terdapat dalam bidang ini dan memohon kepada Allah Swt untuk menjauhkan was-was setan dari diri Anda. [IQuest]
[1]. Terdapat beberapa ayat dan riwayat yang dibahas dalam masalah ini dan argumentasi yang membantah determinisme sedemikian banyak sehingga kami tidak akan menjelaskan semua hal tersebut. Di sini kami hanya akan menyinggung beberapa dari argumentasi tersebut.
[2]. “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan nenek moyang kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang suatu apa pun.” (Qs. Al-Ana’m [8]:148)
[3]. “Kalau Allah menghendaki, tentu saja Dia dapat menjadikan mereka semua berada di atas jalan petunjuk (dengan paksa. Tapi, petunjuk paksaan tidak akan berguna).” (Qs. Al-An’am [8]:35)
[4]. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Âmuzesy Aqâ’id, edisi tiga jilid, hal. 155.
[5]. Diadaptasi dari Pertanyaan 528 (Site: 576)
[6]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 45, hal. 117, Muasssah al-Wafa, Beirut 1404 H.
[7]. “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu ia tidur; lalu Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” (Qs. Al-Zumar [39]:42)
[8]. “(Yaitu), orang-orang yang apabila tertimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya).” (Qs. Al-Baqarah [2]:156)
[9]. Bihâr al-Anwâr, jil. 5, hal. 58.
[10]. “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. Al-Nisa [4]:93); “Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Demikian itu (terjadi) karena mereka berbuat durhaka dan selalu melampaui batas.”(Qs. Al-Baqarah [2]:61); “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih.” (Qs. Ali Imran [3]:21 & 112); “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah, tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia menerima siksa yang sangat pedih.” (Qs. Furqan [25]:68)
[11]. Kulaini, Al-Kâfi, jil 1, hal. 183, Riwayat 7.
[12]. “Kami berfirman, “Hai api, menjadi dingin dan keselamatanlah bagi Ibrahim.” (Qs. Al-Anbiya [21]:69)
[13]. “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kamu dan angkat (gunung) Thursina di atas (kepala)mu (seraya Kami berfirman), “Peganglah teguh-teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya (serta amalkanlah) agar kamu bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah [2]:63)
[14]. “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, “Jadilah” (seorang manusia) , maka jadilah dia.” (Qs. Ali Imran [3]:59)
[15]. Muhammad Husain Thabathabai, Al-Mizân (terjemahan Persia), jil. 16, hal. 97
[16]. Muhammad Husain Thabathabai, Al-Mizân (terjemahan Persia), jil. 16, hal. 97-98. Diadaptasi dari Pertanyaan 223 (Site: 3051), Indeks: Manusia dan Masalah Determinisme dan Kebebasan.