Please Wait
11938
Ayat yang menjadi poin pertanyaan adalah ayat ke 29 surah at-Takwir[i], dan ayat yang mirip dengan ayat di atas terdapat pula pada sebagian dari ayat ke 30 surah Ad-Dahr (Al-Insan)[ii]. Jika kita perhatikan, ayat-ayat sebelum kedua ayat ini berbicara mengenai al-Quran dan ayat-ayat Tuhan, yang diungkapkan dengan kata tadzkirah dan dzikr yang bermakna peringatan. Kalimat yang terdapat pada ayat ke 29 surah ad-Dahr ini juga diulang kembali pada surah al-Muzammil dengan redaksi yang sama persis.
Setelah membahas tentang peringatan ayat-ayat Ilahi yang terdapat pada surah ke 29 surah ad-Dahr dan bahwa barang siapa "berkehendak" niscaya ia akan mengambil jalan untuk menuju kepada Tuhannya, demikian juga setelah ayat-ayat ke 27 dan 28 surah at-Takwir yang berbicara tentang adanya peringatan al-Quran dan kalam Ilahi bagi para penghuni alam dan orang-orang dari kaum mukminin yang "menghendaki" jalan yang lurus, selanjutnya Tuhan berfirman, "Dan selama Allah (Tuhan semesta alam) tidak menghendaki, maka kalian pun tidak akan mampu berkehendak".
Karena mungkin saja dengan ungkapan, "Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus" yang terdapat dalam surah at-Takwir ayat 29, atau apa yang diungkapkan dalam surah ad-Dahr, "Sesungguhnya (ayat-ayat) ini merupakan suatu peringatan. Maka barang siapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya), niscaya dia akan mengambil jalan untuk menuju kepada Tuhan-nya" demikian juga pada surah al-Muzammil ayat ke 19, yang berfirman, "Sesungguhnya ini adalah suatu peringatan. Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia akan menempuh jalan (yang dapat menyampaikan dirinya) kepada Tuhan-nya", akan muncul persangkaan berikut bahwa karena dalam "kehendak untuk bertahan" dan "istiqamah dalam ketaatan dan penghambaan" terdapat bentuk kemandirian dalam kewenangan manusia, dengan alasan inilah sehingga dalam istiqamah dan kehendak mereka untuk menempuh jalan ke arah Tuhan ini, Tuhan membutuhkan mereka. Untuk menyingkirkan persangkaan ini, maka kehendak dan keinginan mereka digantungkan pada kehendak Allah, Tuhan semesta alam, sekalipun kehendak ini berada di jalan penghambaan dan sair suluk (pelancongan spiritual) ke arah-Nya. Dan pengecualian setelah penafian, selain menjelaskan bahwa pengaruh kehendak dan keinginan Ilahi terjadi dengan perantara dan terwujud melalui keinginan hamba, juga memahamkan bahwa manusia (hamba) dalam berkehendak melakukan sesuatu yang mereka inginkan, tidaklah mandiri, melainkan kehendaknya berada dalam kehendak Tuhan. Meskipun "aktivitas kebebasan manusia" ini bergantung pada "kehendak dan pilihan"nya sendiri.
Dengan demikian, kesimpulannya adalah: pertama, kehendak dan pelaksanaan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, bukan merupakan kehendak Tuhan secara langsung, dan kedua, kehendak manusia tanpa adanya kehendak dan izin (yang bersifat takwiniyah) dari Tuhan, tidak akan memberikan pengaruh apapun, karena prinsip keberadaan adalah manusia berasal dari-Nya, dengan demikian mau tidak mau kehendaknya pun berasal dari Tuhan semesta alam. Bukan hanya dalam menempuh jalan menuju ke arah Tuhan, istiqamah di jalan yang benar, dan ... manusia tidak memiliki kemandirian sendiri, melainkan dalam seluruh cabang keberadaannya, ia senantiasa membutuhkan kehadiran-Nya, sebagaimana firman-Nya, "Segala sesuatu berasal dari sisi-Nya", dan "Tidak ada suatu pemberian pun kecuali pemberian-Nya".
Dengan perkataan lain, kehendak dan keinginan Ilahi terbagi dalam dua kelompok yaitu kehendak dzati (yang bersifat esensial dan alami) dan kehendak aktual. Kehendak aktual terbagi lagi ke dalam dua bentuk, kadangkala merupakan kehendak yang takwiniyah, dan kadangkala merupakan kehendak tasyri'iyah. Sementara itu dalam tingkatan kehendak dzati, sebagaimana seluruh sifat-sifat dzati lain yang dimiliki-Nya, tidak ada seorangpun dan sesuatupun yang mampu menjangkaunya dan tidak terdapat interaksi sedikitpun dengan eksistensi-eksistensi eksternal. Sedangkan dalam tingkatan kehendak aktual takwiniyah yang tidak lain adalah penciptaan alam luar dan terwujudnya obyek kehendak (dan ilmu) Ilahi, tidak ada satupun eksistensi yang memiliki wujud sendiri sehingga mampu mandiri dan berkehendak. Hanya pada tingkatan kehendak aktual tasyri'iyah (diutusnya rasul dan diturunkannya kitab Ilahi)-lah para manusia akan menjadi bebas, mandiri dan mendapatkan izin berdasar kehendak aktual, dan izin yang bersifat takwiniyah; dan mereka bebas dalam memilih jalan kebenaran atau kebatilan, dimana dalam bentuk pertama, maka mereka akan di arahkan ke surga, sementara memilih bentuk kedua akan berarti menggiring mereka ke neraka.
Dengan demikian, dalam kecenderungan terhadap keburukan dan melaksanakan perbuatan tak layak, tidak terdapat harmonisasi antara kehendak aktual takwiniyah dan kehendak aktual tasyri'iyah, dan berdasarkan syari'iat, Tuhan tidak rela dengan pelaksanaan hal-hal tersebut, meskipun secara takwiniyah, izin dan kehendak Ilahi tetap bersamanya, dan tanpanya sama sekali tidak terdapat kemampuan pada siapapun untuk melakukan perbuatan yang manapun, sekalipun dalam kecenderungan dan kehendak.
Penting untuk perhatikan bahwa sebagian dari kehendak manusia (kehendak seorang mukmin) bersandar pada kehendak Tuhan, yakni kerelaan hamba berpijak pada kerelaan Tuhan. Setelah memahami realitas ini, kemudian mulai membahas tentang rincian dan penjelasan makna ridha, bagian-bagian, dan tingkatan-tingkatannya. Akan tetapi, apa yang sesuai dengan konteks ayat-ayat dan pengertian yang nampak dari ayat yang dipertanyakan itu adalah pembahasan sebagaimana yang telah dijelaskan.
Jawaban yang sesuai dengan pertanyaan ini, akan menjadi lebih mudah dan bisa menemukan metode yang lebih baik dengan melakukan analisa dan pencermatan secara komprehensif pada ayat-ayat sebelumnya, demikian juga dengan adanya kemiripan yang terdapat pada surah-surah lain seperti ayat ke 29 dan 30 surah Ad-Dahr dan ayat ke 19 surah Al-Muzammil.
Berikut kami akan menganalisa ketiga kelompok ayat tersebut:
1. Ayat yang dipertanyakan adalah ayat ke 29 surah at-Takwir yang merupakan surat Makiyah. Pada dua ayat sebelumnya Tuhan berfirman, "Al-Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus." Kemudian pada ayat ke 29 berfirman, "Dan kamu tidak dapat berhendak kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam."[1]
Ringkasan dari ayat-ayat ini adalah bahwa tidak ada sesuatu yang lain di dalam al-Quran al-Karim yang merupakan kalam Ilahi dan pasti benar, "Dan bukan kalam setan yang terkutuk" (Qs. At-Takwir: 25) kecuali peringatan dan nasehat bagi para penghuni alam, tentu saja nasehat dan peringatan ini adalah bagi setiap mereka yang berkehendak untuk menempuh jalan yang benar.
Di sini mungkin saja manusia akan menganggap dengan ayat berikut, "Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus" dimana kehendak bertahan, istiqomah, berada di jalan lurus, memilih jalan menuju Tuhan, dan berbalut ketaatan dan penghambaan telah diletakkan dalam pilihan bebas manusia dalam bentuk yang mandiri, dimana jika mereka berkehendak maka mereka akan memilih berada di jalan yang benar dan jika tidak menghendaki maka ......; dengan demikian, ketika Tuhan menghendaki ke-ajeg-an dari mereka, Dia membutuhkan mereka! Untuk menyingkirkan anggapan seperti ini Dia berfirman bahwa kehendak dan keinginan mereka ini bergantung kepada kehendak Yang Kuasa. Mereka tidak akan menginginkan istiqamah (tidak akan mampu, tidak ada izin, dan tidak memiliki kodrat untuk berkehendak), kecuali apabila Tuhan berkehendak supaya mereka menghendaki istiqamah![2]
Dengan kata lain, perbuatan-perbuatan ikhtiari manusia –bahkan kehendak manusia itu sendiri- akan berada dalam kehendak yang dimaksud dan sesuai dengan kehendak-Nya yang akan terjadi dengan perantara, dan karena kehendak-Nya dan dzat Suci Tuhan menghendaki supaya manusia melakukan perbuatan-perbuatan ikhtiari-nya sendiri yang bergantung atas kehendak dan ikhtiar manusia dengan kehendaknya sendiri. Tentunya dalam ayat ini-ayat ini yang menjadi obyek pembicaraan adalah kaum mukminin yang memiliki tujuan untuk melangkahkan kaki di jalan Ilahi dan sampai pada keselamatan dan kebahagiaan, bahkan pesan al-Quran al-Karim ini tidak dikhususkan saja kepada mereka, bahkan meliputi seluruh manusia.
Ayat-ayat lain yang dalam beberapa dimensi memiliki kemiripan dengan ayat yang kita bahas (yaitu ayat ke 29 surah at-Takwir) adalah sebagian dari ayat ke 30 surah Ad-Dahr (dan ayat-ayat sebelumnya). Pada ayat ke 29 dan 30 surah Ad-Dahr ini Tuhan berfirman, "Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan. Maka barang siapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya), niscaya dia mengambil jalan untuk menuju kepada Tuhan-nya. Dan kamu tidak mampu untuk berkehendak kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."[3]
Bagian dari ayat-ayat akhir surah Ad-Dahr (al-Insan) ini memiliki konteks yang mirip dengan konteks Makiyah dengan menerima pendapat bahwa awal surah ini adalah Madani dan sebagian dari bagian terakhirnya (sebanyak sembilan ayat) merupakan ayat-ayat Makiyah.[4]
2. Penjelasan ayat "Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan ..." akan kami bahas pada bagian ketiga. Akan tetapi konsep dan pengertian serta yang dimaksud dengan ayat "Dan tidaklah kamu akan mampu untuk berkehendak kecuali bila dikehendaki Allah." adalah mirip dengan ayat ke 19 surah at-Takwir. Ketika dikatakan bahwa pada awalnya Tuhan menyebutkan ayat dalam bentuk manfi (negatif, dan tidaklah…) kemudian melengkapi kalam dengan menggunakan pengecualian (kecuali bila…) dari satu sisi hal ini merupakan penjelas bahwa wujud dan keterwujudan kehendak manusia (hamba) bergantung atas kehendak Tuhan. Dari sinilah sehingga kehendak Dzat Suci dari cara keterwujudan kehendak hamba akan memberikan pengaruh dalam perbuatannya namun tidak akan terwujud secara langsung dan tanpa perantara, sehingga keraguan ini muncul bahwa kehendak manusia tidak memiliki pengaruh dalam perbuatan-perbuatannya dan apapun yang dilakukannya tidak berada dalam ikhtiarnya. Dari sini, jika manusia melakukan perbuatan yang buruk dan tercela atau memiliki kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang buruk, maka hal tersebu tterjadi karena kehendak langsung Tuhan. Dengan demikian terhadap hubungan yang diperbolehkan antara kehendak melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela dengan Tuhan.
Dari sisi lain, memahamkan bahwa manusia tidak memiliki kemandirian dalam kehendaknya melakukan segala sesuatu yang diinginkan, melainkan kehendaknya bergantung pada kehendak Tuhan dan perbuatan ikhtiari hamba terhubungpada ikhtiarnya sendiri, meskipun kehendak dan ikhtiar ini tidak terhubung pada kehendak dan ikhtiar lain.
Kesimpulannya keinginan dan kehendak hamba bergantung pada kehendak dan keinginan Tuhan dan tanpa adanya izin Tuhan (yang bersifat takwiniyah) maka kehendak ini tidak akan memberikan pengaruh sedikitpun, hal ini karen prinsip keberadaan manusia adalah dari-Nya, dengan demikian mau ataupun tidak mau, kehendaknya pun berasal dari Dzat yang telah memberikan keberadaan itu.
3. Pada ayat ke 19 surah al-Muzammil, Tuhan berfirman, "Sesungguhnya ini adalah suatu peringatan. Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan (yang dapat menyampaikan dirinya) kepada Tuhan-nya." Dan kalimat yang sama persis terdapat pula pada ayat ke 29 surah Ad-Dahr. Kata ganti petunjuk hadzihi (ini adalah) mungkin menunjuk pada ayat sebelumnya yang berada dalam posisi memberikan peringatan yang juga memiliki kesesuaian khas dengan ke-makiyah-an surah ini yang diturunkan pada awal pengangkatan kenabian Rasulullah Saw, atau sebagaimana ayat pada surah Ad-Dahr yang menunjukkan pada ayat-ayat yang berhubungan dengan terjaga dan tahajjud di malam hari, sebagaimana hal ini dalam surah ad-Dahr melaksanakan shalat malam diperkenalkan sebagai cara khusus untuk membimbing hamba ke arah Tuhannya. Bagaimanapun, baik pada surah ad-Dahr ataupun surah al-Muzammil yang berbicara tentang ke-tadzkirah-an (sebagai peringatan) ayat-ayat (atau tahajjud dan shalat malam) adalah untuk orang-orang yang mencari jalan untuk mendekat kepada Tuhan. Dan baik pada surah at-Takwir dimana al-Quran dan kalamullah dianggap sebagai peringatan untuk orang-orang dari kalangan mukminin yang ingin berjalan lurus dan melangkahkan kaki di atas kebenaran, dari satu sisi pesan Ilahi ini benar-benar jelas dan nampak bahwa jalan untuk menuju kedekatan dan bertentangga dengan Tuhan dan berada dalam lintasan kebenaran puntidak akab mungkin diterimaselain dari jalan al-Quran dan terhidayahinya dengan hidayah dan kehendak Tuhan, dari satu sisi merupakan penjelas poin bahwa meskipun tujuan-tujuan dan kehendak-kehendak Ilahi serta kerahiman pun ada dengan perhatian dan kehendak-Nya dan jika saja tidak ada kemuliaan, kebaikan, dan keagungan-Nya maka tidak ada sesuatupun dan tidak ada seorangpun yang memiliki keberadaan ataupun cahaya, karena, "Tuhan adalah cahaya langit-langit dan bumi"[5] dan "yang menerima" dan "penerimaan" keduanya berasal dari-Nya. Dari sinilah sehingga para filosof mengatakan, "Yang menerima itu adalah dari rahmat (feidh)-Nya yang paling suci (al-aqdas)."[6]
Dari pendekatan ketiga kelompok ayat-ayat ini secara berdampingan dan juga berbagai ayat-ayat lainnya yang terdapat dalam al-Quran al Karim, kita bisa menggunakan "tauhid perbuatan" dan ketika kehendak dan keinginan manusia pada seluruh ketaatannya mengikuti dan bergantung pada kehendak Tuhan, dan ilmu Tuhan melingkupi ilmunya, maka perbuatan dan pengaruh manusia akan merupakan pengaruh dan perbuatan Tuhan dan tidak saja lemparannya adalah lemparan Tuhan sebagaimana firman-Nya, "dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar"[7] melainkan selain perbuatan-perbuatan lainnya tidak dianggap berasal dari dirinya, "Semuanya (berasal) dari sisi Allah."[8] Dan "Tidak ada pemberian kecuali pemberian-Nya"[9] melupakan diri dan keberadaannya dan keluar dari keakuannya dan menjadi manifestasi dari asma dan sifat Tuhan.
Tentunya pernyataan ini bukanlah bermakna keterpaksaan, bagian dari keterpaksaan, atau kekurangan[10] melainkan merupakan mafhum yang tak berangkap dan hakikidan kehendak serta keinginan hamba meskipun merupakan keinginan dan kehendaknya, akan tetapi juga merupakan kehendak Tuhan.
Bahasan sebelumnya bisa pula dijelaskan dengan cara berikut: kehendak dan keinginan Tuhan terbagi menjadi dua yaitu kehendak dzati dan kehendak aktual. Kehendak dzati adalah kehendak yang terwujud pada tingkatan Dzat Tuhan yang menyatu dengan seluruh sifat-sifat lain yang dimiliki oleh Tuhan. Kehendak dzati ini tak lain adalah ilmu Tuhan, dan makna yang terdapat dalam kehendak manusia tidak benar dalam kaitannya dengan kehendak Tuhan. Pada kehendak dzati sama sekali tidak terdapat interaksi, hubungan dan ketersambungan dengan eksistensi-eksistensi eksternal maupun sistem kekuasaan atas realitas obyek.[11]
Kehendak aktual merupakan kehendak Tuhan pada maqam perbuatan dan dalam kaitannya dengan eksistensi-eksistensi alam luar dimana tak lain merupakan manifestasi dan tajalinya Tuhan di alam luar.
Kehendak aktual (takwiniyah) kadangkala muncul dalam bentuk tasyri'iyah dan pengutusan serta turunnya kitab-kitab untuk membimbing manusia secara umum dan untuk menusia-manusia mukmin akan terwujud dalam bentuk yang khas. Kehendak tasyri'iyah dan hukum-hukum, perintah-perintah dan larangan-larangan ini merupakan shirat dan jalan tasyr'iyah Tuhan.[12]
Dan kadangkala dalam bentuk kehendak takwiniyah yang tak lain adalah penciptaan alam dan sistem qadha dan qadar takwiniyah Tuhan dan terwujudnya ilmu Tuhan secara eksternal dan luaran. Dan berdasarkan sistem penciptaan yang paling sempurna dan hikmah Ilahi, seluruh eksistensi akan hadir di alam dengan izin takwiniyah-Nya dan makhluk ini akan dibimbing dari alam kegelapan dan ketiadaan ke alam cahaya dan keberadaan (yang berdasarkan hakikat wujudnya dan ciri khasnya serta karakteristik-karakteristik wujudnya seperti kehendak dan lain sebagainya).
Dari sini bisa dikatakan, dalam kehendak dzati Tuhan tidak terdapat kehendak lain yang bertentangan dengan kehendak Ilahi tersebut, dan dalam kehendak aktual takwiniyah-Nya tidak pula terdapat eksistensi lain yang bersumber dari sisi-Nya yang mampu mandiri secara mutlak dan bertolak belakang dengan kehendak Ilahi, atau tanpa kehendak dan izin takwiniyah-Nya suatu maujud akan terwujud.
Berdasarkan pada kehendak aktual dan izin takwiniyah itulah sehingga manusia tercipta secara bebas dan berkehendak dan juga bebas dalam memilih jalan: yang benar, yang berkembang, dan membawa kepada kebahagiaan, ataukah jalan yang batil dan sesat yang akan mengantarkannya pada kesengsaraan abadi. Dalam salah satu ayat-Nya Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan (yang lurus) kepadanya; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir."[13] , pada ayat yang lain berfirman,"Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan."[14] Demikian juga pada ayat yang lain berfirman,"Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat."[15]
Berdasarkan kehendak, izin, ikhtiar, dan kehendak takwiniyah Ilahi-lah sehingga makhluk Tuhan bebas untuk menentukan langkahnya, yaitu menempatkan dirinya untuk menjalani perintah-perintah Ilahi, taat secara mutlak kepada-Nya, mendapatkan kebahagiaan, dan surga abadi melalui kehendak dan iradah tasyri'iyah (baca: agama dan syariat), dan inilah hasil dari keharmonisan antara iradah takwiniyah dan tasyri'iyah. Ataukah menolak dan tidak mentaatinya yang hal ini akan berujung pada kesengsaraan dan neraka jahannam.
Dengan kata lain, meskipun dalam iradah takwiniyah terdapat kebebasan untuk melakukan perbuatan yang baik ataupun yang buruk, akan tetapi kehendak dan iradah tasyri'iyah Tuhan terletak pada pelaksanaan perbuatan yang baik, dan tidak menerima perbuatan tercela dan buruk dari hamba-Nya.
Dalam menjawab pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan hadis Imam Shadiq As yang bersabda, "Sesungguhnya tidak ada keterpaksaan mutlak demikian juga kebebasan mutlak, melainkan yang ada adalah perkara di antara dua perkara," Imam Ridha As bersabda, "... maksudnya adalah terdapatnya jalan untuk menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh Tuhan dan meninggalkan apa yang dilarang oleh-Nya." Perawi hadis berkata, "Aku bertanya kepada Imam Ridha As: apakah dalam perkara ini terdapat kehendak dan iradah Tuhan?" Imam Ridha As bersabda, "Sesungguhnya dalam ketaatan, terdapat iradah dan kehendak Ilahi, terdapat perintah terhadapnya, terdapat keridhaan untuknya dan terdapat pertolongan atasnya. Sementara itu dalam dosa dan kemaksiatan, terdapat pelarangan atasnya, terdapat kerendahan untuknya dan terdapat kesengsaraan atasnya ..."[16]
Kesimpulannya, kecenderungan manusia untuk melakukan perbuatan yang buruk dan tercela tidak mungkin terjadi tanpa adanya kehendak dan izin takwiniyah Ilahi, tanpa izin-Nya tidak ada satupun persoalan eksternal yang akan mampu terwujud –hal ini juga meliputi pemikiran, kehendak manusia, dan sebagainya- dan kehendak takwiniyah Ilahi tersebut tidak lain adalah kebebasan dan ikhtiar hamba dalam berkehendak, bertujuan, dan dalam melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik maupun yang buruk. Dan hal ini tidak berkontradiksi dengan tujuan Ilahi, bahkan merupakan satu-satunya jalan untuk sampai pada kesempurnaan, kebahagiaan, kedekatan dan pertemuan dengan-Nya; atau ketercelaan, keburukan, dan terjauhkannya dari Tuhan. Surga dan neraka ditentukan berdasarkan kewajiban, dan landasan kewajiban manusia terletak di atas kebebasan dan ikhtiarnya. Dan Tuhan telah menyediakan cara-cara yang bersifat internal (dalam bentuk akal dan fitrah) maupun yang eksternal (dengan mengutus para rasul, menurunkan kitab-kitab dan bimbingan para Imam Maksum Ahlulbait As) yang memungkinkan bagi manusia untuk memasuki kenikmatan ataupun kesengsaraan, dan akan senantiasa terdapat dua hal yang terpisah, surga dan neraka, kebahagiaan dan kesengsaraan, malaikat dan setan, dan sebagainya.
Tafsir dari ayat-ayat yang menjadi poin pembahasan kita ini juga telah dinukilkan dalam banyak riwayat dari keturunan para Imam Ahlulbait As, dimana kami menghindarkan diri dari membahasnya karena keterbatasan ruang, dan untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap hendaklah merujuk pada tafsir-tafsir dan kitab-kitab hadis.[17]
Penting untuk dikemukakan bahwa pembahasan mengenai masalah kehendak Ilahi, kehendak manusia, dan keterkaitannya dengan jabr dan ikhtiar, persoalan di antara dua persoalan (amr bainal amrain), kemakhlukan perbuatan hamba, kehendak Ilahi dan bagian-bagiannya, perbedaan antara keinginan dan kehendak, dan sebagainya membutuhkan ruang yang lebih luas dan hal ini pun telah terdapat secara mencukupi pada ayat-ayat, riwayat, tafsir-tafsir dan kitab-kitab kalam, filsafah, irfan dan kalimat-kalimat para pembesar, cendekiawan Islam dan maarif Ilahi.
Pada akhir pembahasan penting kiranya untuk menyebutkan poin penting bahwa sebagian keinginan dan kehendak ditafsirkan dan dideskripsikan dengan ridha (kerelaan),kemudian dibahas dalam kaitannya dengan pemahamannya, kepentingannya, bentuk, klasifikasi dan tingkatannya. Dengan makna berikut bahwa salah satu dari hasil mencintai Yang Haq adalah ridha, dan ridha merupakan salah satu maqam tertinggi para muqarrabin (orang-orang yang mendekati-Nya).[18] Sebuah keridhaan tidak akan menuntut sesuatu kecuali keridhaan dari Yang Haq, dan kehendak serta iradahnya akan mengalami kefanaan dalam kehendak dan iradah Yang Haq.[19]
Dalam keadaan ini, keinginan Tuhan merupakan keinginannya dan siapapun yang telah sampai ke maqam kerelaan maka dia telah sampai pada sekumpulan tingkatan penghambaan, sebagaimana disabdakan, "Ridha adalah suatu nama yang padanya berkumpul makna-makna penghambaan." [20]
Tentang ridha dan kerelaan ini, Lahiji pada Syarh Gulsyân-e Râz, menuliskan, hakikat ridha adalah keluar dari kerelaannya sendiri dan menuju pada kerelaan Yang Dicintainya, ridha dengan segala sesuatu yang telah dikehendaki oleh Tuhan atasnya, tidak akan terjerumus dalam pertentangan dengan kehendak Ilahi dengan segala prestise yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk berkehendak, sebagaimana firmannya, "Dan kamu tidak dapat berhendak kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam". Dan yang dimaksud dengan rela kepada hakikat adalah seseorang yang tidak keberatan dengan takdir-takdir Ilahi.[21]
Dengan menerima penafsiran an pendapat ini, seorang hamba hakiki dan pesuluk yang mencintai dan pecinta kebenaran sama sekali tidak akan memiliki kecenderungan dan kehendak berkaitan dengan sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat keridhaan Tuhan, dan ridha serta kehendak Tuhan yang baik, indah, dan suci murni sama sekali tidak berkaitan dengan keburukan dan ketercelaan.
Namun apa yang bisa dipahami dari kata al-Quran, "kehendak", pada ayat-ayat yang kita bahas berbeda dengan makna dan pengertian ridha, meskipun dalam fenomena dan persoalan yang lain kesejajaran hal ini bisa saja terjadi.
Terdapat kemungkinan untuk menjabarkan dan menganalisa pembahasan mengenai jabr, ikhtiar dan kehendak Ilahi serta ridha ini dari berbagai pandangan, apabila Anda berminat dan memberitahukan, maka tentu hal tersebut bisa dilaksanakan.[]
[1] . Fuladwand, Muhammad Mahdi, Tarjemeh-e Quran Karim, hal. 586.
[2] . Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir Al-Mizân, jil. 20, hal. 220-221.
[3] . Muhammad Mahdi, Tarjemeh-e Quran Karim, hal. 580.
[4] . Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir Al-Mizân, jil. 20, hal. 120, 131, dan140.
[5] . Ibid, hal. 69.
[6] . Asytiyani, Mirza Mahdi, Ta'liqe-ye bar Syarh-e Manzhumah, hikmat, hal. 27.
[7] . Qs. Al-Anfal (8): 17.
[8] . Qs. An-Nisa (4) : 78.
[9] . Doa Jausyan Kabir, pasal ke 55.
[10] . Silahkan lihat beberapa indeks berikut ini: Manusia dan Ikhtiar, pertanyaan 51; Kehendak Ilahi dan Kehendak Manusia, pertanyaan 95; Perkara di antara Dua Perkara, pertanyaan 58.
[11] . Dalam kaitannya dengan kehendak dzati Tuhan ini, terdapat berbagai pernyataan dan sebagian dari para hukama memungkiri kehendak Tuhan. Silahkan lihat Nihâyatul Hikmah, hal. 296-306 dan hal. 307; Asfar, jil. 6, hal. 307-368, 379-413; jil. 2, hal. 135-136; jil. 6, hal. 384-385, dan ...
[12] . Silahkan lihat, MT Misbah Yazdi, Âmuzesye Aqâ'id, hal. 87-90, 166-164, dan hal. 184; Ibid, Âmuzesye Falsafah, hal. 421-428; Ibid, Ma'arif Quran, hal. 1-3, 133-146, dan hal. 190-202.
[13] . Qs. Al-Insan (76): 3.
[14] . Qs. Al-Balad (90): 10.
[15] . Qs. Al-Baqarah (2) : 256.
[16] . Athardi, Syeikh Azizullah, Musnad Al-Imam Al-Ridhâ As, jil. 1, hal. 37.
[17] . Shaduq, Tauhid, bab55, bab Al-Masyiah al-Iradah; Bihârul Anwâr, jil. 4, hal. 134-152; al-Mizân, jil. 20, hal. 143, 144; Kâfi, jil. 1, hal. 65-70.
[18] . Abdurrazaq Kasyani, Syarh Manâzil As-Sâirin, hal. 209.
[19] . Imam Khomeini, Ruhullah, Syarh-e Cihil Hadis, hal. 217.
[20] . Misbah Asy-Syariah, bab 86, hal. 182.
[21] . Lahiji, Abdurrazaq, Syarh-e Gulsyân-e Râz, hal. 325.