Please Wait
22051
Allah Swt dalam al-Qur’an memperkenalkan bumi sebagai tempat kediaman untuk hidup manusia yang siap dan sedia untuk dihuni dan didiami.
Namun kalimat-kalimat dan redaksi-redaksi seperti madda atau berbentuk datar yang digunakan al-Qur’an sehubungan dengan bumi adalah bermakna hamparan dan menjuntainya bumi (sebagai kebalikannya tidak terhampar, pasang dan surut) bukan sebagai kebalikan bentuk bulat. Karena itu, dalam al-Qur’an tidak terdapat satu pun ayat yang secara lugas dan tegas menunjukkan atas bentuk datar bumi (sebagai kebalikan dari bentuk bulat bumi). Karena “madda” bermakna hamparan kediaman dan ketenangan yang kebalikannya adalah non-hamparan. Lawan kata madda bukanlah bentuk bulat. Mihâd juga adalah untuk menjelaskan sisi kemudahan yang diberikan Tuhan di muka bumi sehingga manusia merasakan rehat dan kemudahan di dalamnya.
Dengan demikian, ayat-ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa al-Qur’an menolak bentuk bulat bumi. Bahkan terdapat banyak ayat dalam al-Qur’an yang senada dan seirama dengan bentuk bulat bumi. Di samping itu, terdapat juga ayat-ayat yang membenarkan bentuk bulat bumi yang juga menandaskan salah satu kemukjizatan ilmiah al-Qur’an, keagungan dan Ilahianya (divine) al-Qur’an.
Untuk menjelaskan masalah terkait dengan apakah ayat-ayat yang dijadikan sandaran oleh penanya bertentangan dengan bentuk bulat bumi atau tidak, kiranya kita perlu merujuk pada penafsiran ayat-ayat al-Qur’an:
A. Ayat pertama, “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung, serta Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.” (Qs. Al-Hijr [15]:19) “madd al-ardh” bermakna penghamparan panjang dan lebarnya. Dan sekiranya Tuhan tidak menghamparkan bumi dan bumi dijejali dengan deretan gunung-gunung maka bumi tidak pantas untuk dihuni, tidak dapat dijadikan tempat untuk bercocok tanam dan makhluk hidup tidak akan mendapatkan kesempurnaan hidup di dalamnnya.[1]
Yang dimaksud dengan madda dan menghampar tidak bermaksud bahwa bumi tidak berbentuk bulat melainkan maksudnya adalah hamparan bumi tidak diciptakan menonjol secara utuh dan berbentuk rata. Apabila bumi diciptakan menonjol dan berbentuk rata (tidak bulat) maka manusia tidak dapat hidup dengan baik di muka bumi, mengadakan perkebunan dan pertanian. Pendeknya bumi tidak akan menjadi tempat yang menyenangkan bagi manusia sebagaimana irama ayat-ayat setelahnya berada pada tataran menghitung pelbagai karunia yang menyenangkan bagi manusia yang juga merupakan penegas masalah ini.
B. Ayat kedua: “Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan (sehingga kamu dapat tinggal di atasnya dengan tenang).” (Qs. Al-Naba [78]:6) Redaksi “mihâd” pada ayat ini bermakna tempat yang siap pakai, menghampar dan teratur. Derivatnya dari kata “ma-h-d” yang bermakna sebuah tempat untuk istirahat anak kecil (buaiaan atau tempat tidur).[2] Karena itu, buaian yang disiapkan untuk anak kecil disebut sebagai mahd.[3] Dengan demikian, mahd dan mihad adalah sebuah tempat yang seperti buaian yang siap untuk membina dan membangun sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Qur’an, “(Tuhan) tang telah menjadikan bumi bagimu sebagai tempat kehidupan yang tenang” (Qs. Thaha [20]:53) Dan makna ini seperti makna ayat, “Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu” (Qs. Al-Baqarah [2]:22)3) [4]
Berdasarkan hal itu dapat dikatakan bahwa ayat ini berada pada tataran menjelaskan sebuah persoalan bahwa bumi yang diciptakan sebagai sebuah karunia Ilahi merupakan tempat tenang bagi makhluk hidup khususnya manusia sebagaimana mahd (buaian) yang mendatangkan ketenangan bagi yang menempatinya.
Dari satu sisi, terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang menurut pendapat para pakar sesuai dan selaras dengan bentuk bulat bumi. Ayat-ayat ini mengemuka sebagai salah satu mukjizat ilmiah al-Qur’an yang akan kita bahas sebagian darinya sebagaimana berikut ini:
1. Ayat pertama: “Dia menutupkan (tirai kegelapan) malam kepada siang; malam mengikuti siang dengan cepat.” (Qs. Al-A’raf [7]:54) Ayat ini memahamkan kepada kita bahwa malam mengikuti siang. Artinya seluruh tempat yang tadinya siang akan menjadi malam. Dan apabila bumi tidak berbentuk bulat maka tidak benar kita berkata bahwa malam menjadi siang dan senantiasa mengikut siang. Karena berujung pada dataran bumi maka siang kembali dan mengikuti malam. Dengan kata lain, pada setiap hari, suatu hari malam mengikuti siang dan hari lainnya siang mengikut malam. Karena itu, al-Qur’an yang secara mutlak menyatakan, “Malam mengikuti siang” tidak akan benar kecuali dengan konsep bulat bumi.[5]
2. Ayat kedua, “Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam.” (Qs. Al-Zumar [39]:5)
Dalam penafsiran ayat ini disebutkan, “Apabila seorang manusia berdiri di luar planet bumi dan menyaksikan gerakan rotasi bumi yang mengelilingi dirinya dan munculnya malam dan siang atas perputarannya secara sistemik dari satu pita hitam malam menuju hari yang benderang. Dan dari satu sisi pita putih menuju pekatnya malam dan pita putih siang senantiasa berputar atasnya. Dengan memperhatikan bahwa redaksi kata “yukawwiru” derivatnya dari klausul takwir yang bermakna menggulung, poin subtil yang terpendam dalam ayat al-Qur’an ini akan menjadi terang bahwa bumi berbentuk bulat dan berotasi mengelingi dirinya. Dan berdasarkan perputaran dan rotasi ini, pita hitam malam dan pita putih siang berputar mengelingi dirinya. Terkadang berputar dan menggulung dari satu sisi pita putih ke atas pita hitam dan dari satu sisi pita hitam ke atas pita putih.”[6]
3. Ayat ketiga, “Aku bersumpah dengan Tuhan yang mengatur tempat terbit dan terbenamnya matahari, bulan, dan bintang, sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa” (Qs. Al-Ma’arij [70]:40) Sayid Hibatuddin Syahristani dalam menafsirkan ayat ini menyebutkan, “Ayat ini menunjukkan banyaknya tempat terbit dan terbenamnya matahari, dan bulatnya bentuk bumi yang meniscayakan pada setiap titik bumi bagi yang lain adalah waktu terbenamnya matahari. Karena itu banyaknya tempat terbit dan terbenamnya lebih tepat dengan bulatnya bentuk bumi.”[7] Artinya bahwa apabila bumi berbentuk datar maka yang ada hanyalah satu tempat terbit dan terbenam. Namun apabila berbentuk bulat maka hal itu memerlukan beberapa tempat terbit dan terbenam yan dalam kondisi demikian dengan rotasinya tempat terbit dan terbenam setiap tempat akan berbeda-beda.[8]
4. Ayat keempat, “Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan? (Qs. Al-Ghasiyah [88]:20) Sebagian penulis kiwari dengan memperhatikan ayat ini juga ayat-ayat 137 surah al-A’raf,[9] ayat 5 surah al-Shaffat[10] (37) dan ayat 40 surah al-Ma’arij[11] sebagai dalil bentuk bulat bumi dalam pandangan al-Qur’an. Mereka memandang hal ini sebagai salah satu mukjizat ilmiah al-Qur’an dan menulis, “Bentuk datar bumi tidak akan menghalangi bentuk bulatnya karena setiap sebuah bulatan juga memiliki dataran. Dengan demikian, dalam ilmu Geometri, bulatan dipandang sebagai salah satu bagian bentuk datar. Mereka menjelaskan bahwa bentuk datar yang memiliki makna kebalikan dari bulat merupakan salah satu terminologi Geometri baru dan yang dimaksud dengan “sutihat” pada ayat adalah hamparan (dihamparkan).[12]
Kesimpulannya adalah bahwa al-Qur’an tidak hanya memandang bumi berbentuk datar (musattah, sebagai kebalikan bentuk bulat) bahkan terdapat banyak ayat yang cocok dan selaras dengan konsep bahwa bumi itu bulat. [IQuest]
[1]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 12, hal. 138 dan 139, Daftar-e Intisyarat-e Islami Jami’ah Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qum, Qum, Cetakan Kelima, 1417 H. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 11, hal. 52 dan 53, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S.
[2]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 26, hal. 16 dan 17.
[3]. “Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata, “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam buaian?” (Qs. Maryam [19]:29)
[4]. Khusruw Husaini, Sayid Ghulam Ridha, Tarjameh wa Tahqiq Mufaradât Alfâz Qur’ân, hal. 261, Intisyarat-e Murtadhawi, Teheran, Cetakan Ketiga, 1375 S. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 12, hal. 161 dan 162.
[5]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamadani, Terjemahan Persia Tafsir al-Mizân, jil. 10, hal. 222, Daftar-e Intisyarat-e Islami Jami’ah Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qum, Qum, Cetakan Kelima, 1374 H.
[6]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 19, hal. 376
[7]. Muhammad Ridhai Isfahani, Pazyuhesy dar I’jâz-e ‘Ilmi Qur’ân, hal. 188 dan 189, Intisyarat-e Kitab Mubin, Cetakan Ketiga, 1381 S.
[8]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 19, hal. 13 dan 14.
[9]. “Dan Kami wariskan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bagian timur dan bagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya.”
[10]. “Tuhan langit dan bumi dan apa yang berada di antara keduanya dan Tuhan tempat-tempat matahari terbit. “
[11]. “Aku bersumpah dengan Tuhan yang mengatur tempat terbit dan terbenamnya matahari, bulan, dan bintang, sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa.”
[12]. Najaf Gudarsi, Mathâlib Syigift Angiz-e Qur’ân, hal. 28 – 30. Ahmad Amin, Kitâb Râh-e Takâmul, jil. 7, hal. 145. Mâhnâme Maktab-e al-Islâm, Tahun Ke-12, No. 11. Yadullah Niyazmand, I’jâz-e Qur’ân az Nazhar-e ‘Ulûm-e Imruzi, hal. 189, sesuai nukilan dari Pazyuhesy dar I’jâz-e ‘Ilmi Qur’ân, Ridhai, hal. 190.