Please Wait
38174
Terkadang yang dimaksud atas beberapa redaksi dan kalimat ini adalah satu dan seluruhnya menyinggung satu hakikat yaitu entitas dan realitas manusia; terkadang juga dimaksudkan untuk ragam makna dan masing-masing dari redaksi dan kalimat ini menyoroti masalah tingkatan dan derajat-derajat jiwa manusia.
Terkadang yang dimaksud atas beberapa redaksi dan kalimat ini adalah satu dan seluruhnya menyinggung satu realitas yaitu entitas dan realitas manusia; sebagaimana para filosof berkata substansi dengan lafaz “aku” dan semisalnya menengarai tentang realitas ini dan memiliki ragam nama; misalnya nafs, nafs natiqah, ruh, akal, quwwah aqilah, quwwah mumayyizah, jiwa, nyawa, hati, piala jendela dunia, piala, kakaktua dan nama-nama lainnya.[1]
Penggunaan beberapa redaksi ini dari sudut pandang filosofis adalah benar dan karena nafs identik dengan kesatuan dan integral dengan seluruh fakultas dan tingkatan, ia memiliki kesatuan dan keidentikan; sesuai dengan tuturan Mulla Hadi Sabzewari[2] dan Mulla Shadra, “al-nafs fi wahdatiha kullu al-quwwa.” (Jiwa pada kesatuannya adalah seluruh fakultas).[3]
Terkadang juga dimaksudkan untuk ragam makna dan masing-masing dari redaksi dan kalimat ini menyoroti masalah tingkatan dan derajat-derajat jiwa manusia. Hal ini dapat dijelaskan bahwa para arif meyakini bahwa nafs memiliki tingkatan dan derajat yang masing-masing dari derajat dan tingkatan tersebut memiliki nama khusus yang acapkali disebut sebagai tujuh kota cinta. Dan terkadang para arif menyebutnya sebagai sublimitas (lathaif) dan sebagaimana yang diungkap oleh Syaikh Atthar yang menggubah syair:
Haft Syahr Isyq ra Atthar Gasyt
Atthar telah menjelajahi tujuh kota cinta
Ma hanuz andar kham yek kuceim
(sementara) kita masih bercokol di sebuah lorong
Tujuh tingkatan tersebut adalah :1. Alam natural. 2. Nafs (jiwa). 3. Qalb (hati). 4. Ruh. 5. Rahasia. 6. Tersembunyi (khafa). 7. Paling tersembunyi (akhfa).
Dengan penjelasan ini, para arif menyebut jiwa rasional (nafs nathiqah) manusia lantaran merupakan sumber gerakan dan tempat kediaman maka ia disebut sebagai thaba’; dan karena merupakan sumber bagi pelbagai pencerapan partikular disebut sebagai nafs (jiwa); dan lantaran merupakan sumber bagi pelbagai pencerapan universal detil maka disebut sebagai hati (qalb); dan karena simple (basith) yang menciptakan pelbagai pencerapan universal yang detil maka ia disebut sebagai ruh; dan karena kefanaannya pada akal aktif disebut sebagai rahasia (sirr); dan karena fana pada maqam wahidiyat disebut sebagai khafa (tersembunyi); dan karena fana dalam tingkatan ahadiyat disebut sebaga akhfa (paling tersembunyi).
Para filosof juga berkata bahwa nafs itu terbagi menjadi tujuh tingkatan: 1. Akal hayulani (akal potensial). 2. Akal bilmalakah (tingkatan rasionisasi pelbagai konsep dan afirmasi swa-bukti). 3. Akal bilfi’l (akal aktual). 4. Akal mustafad (akal perolehan). 5. Mahw. 6. Thams. 7. Muhiq.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa dalam pandangan para filosof, karena nafs memiliki kapabilitas memperoleh pelbagai kesempurnaan maka ia disebut sebagai akal potensial (al-aql al-hayulani); dan kapan saja nafs memperoleh silsilah pemahaman primer dan pengetahuan-pengetahuan pendahuluan yang dengannya pemahaman sekunder dan ilmu-ilmu perolehan dapat diraih. Kondisi nafs seperti ini disebut sebagai akal bilmalakah; dan kapan saja nafs memperoleh kemampuan untuk melakukan inferensi pelbagai pemahaman sekunder dan pelbagai pengetahuan perolehan dengan berpikir dan berasumsi maka nafs di sini disebut sebagai akal aktual (akal bilfi’il); dan lantaran kehadiran dan perolehan pelbagai pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh dalam nafs yang diraih melalui akal aktif maka ia disebut sebagai akal mustafad (akal perolehan). Nafs pada maqam tauhid perbuatan disebut mahw. Pada maqam tauhid sifat disebut thams. Dan pada maqam tauhid zati disebut muhiq.[4]
Dalam beberapa riwayat juga disebutkan jenis klasifikasi nafs seperti ini.[5] Sebagaimana redaksi ruh yang digunakan untuk ragam aplikasi dalam kitab-kitab Filsafat dan Irfan.[6] Di sini kita akan menyinggung masalah penggunaan dan aplikasi redaksi ruh sebagaimana berikut:
1. Nafs Nathiqah (jiwa rasional).
2. Jiwa hewani.
3. Akal non-material dan atas dasar itu akal pertama disebut sebagai ruh al-qudus.
4. Maqam yaum al-jam’ insân (tingkatan hari perhimpunan manusia) yang berada di atas maqam hati (yaum al-fashl insân).
5. Tingkatan akal basith (akal simple) yang menjadi kriteria kreativitas pelbagai perincian pemahaman dan sebagai lawan tingkatan akal-akal rinci (‘uqul tafshili) (pemahaman-pemahaman yang terpisah [ma’qulat munfashilah] atau hati.[7]
6. Cahaya yang keluar dari mata sesuai dengan teori matematikawan tentang abshar.
7. Jism latif (jasmani lembut) atau ruh bukhari.[8]
Adapun terkait dengan redaksi pikiran (dzihn) harus dikatakan bahwa terkadang yang dimaksud dengan dzihn di sini adalah akal atau fakultas rasional. Dan terkadang yang dimaksud adalah fakultas imagisional dan terkadang juga yang dimaksud adalah fakultas memorial.[9] Sebagaimana pada redaksi fitrah juga harus diperhatikan bahwa terkadang yang dimaksud dengan fitrah adalah ruh dan hakikat manusia. Dan terkadang yang dimaksud adalah sekumpulan pengenalan dan kecenderungan yang terdapat pada diri seseorang.[10]
Sebagaimana terkadang juga yang dimaksud dengan nyawa adalah ruh bukhari dan yang dimaksud dengan jiwa di sini adalah nafs nathiqah (jiwa rasional) manusia.[11] [IQuest]
[1]. Hasan Hasan Zadeh Amuli, Ma’rifat-e Nafs, Daftar-e Awwal, hal. 84.
[2]. Hakim Sabzewari, Manzhumah, jil. 5, hal. 181 dan 182.
النفس فی وحدتها کلّ القوى و فعلها فی فعله قد انطوى
[3]. Mulla Shadra, Asfar al-Arba’ah, jil. 8, hal. 221.
فصل فی بیان أن النفس کل القوى بمعنى أن المدرک بجمیع الإدراکات المنسوبة إلى القوى الإنسانیة هی النفس الناطقة و هی أیضا المحرکة لجمیع التحریکات الصادرة عن القوى المحرکة الحیوانیة و النباتیة و الطبیعیة و هذا مطلب شریف و علیه براهین کثیرة بعضها من جهة الإدراک و بعضها من جهة التحریک و التی من جهة الإدراک نذکر منها ثلاثة البرهان الأول من ناحیة المعلوم.
[4]. Hasan Hasan Zadeh Amuli, Sarh al-‘Uyûn, hal. 569. Name-ha wa Barname-ha, hal. 121 dan 122.
[5]. Bihâr al-Anwâr, jil. 90, hal. 154.
[الخصال] الذِّکْرُ مَقْسُومٌ عَلَى سَبْعَةِ أَعْضَاءٍ اللِّسَانِ وَ الرُّوحِ وَ النَّفْسِ وَ الْعَقْلِ وَ الْمَعْرِفَةِ وَ السِّرِّ وَ الْقَلْبِ وَ کُلُّ وَاحِدٍ مِنْهَا یَحْتَاجُ إِلَى الِاسْتِقَامَةِ فَاسْتِقَامَةُ اللِّسَانِ صِدْقُ الْإِقْرَارِ وَ اسْتِقَامَةُ الرُّوحِ صِدْقُ الِاسْتِغْفَارِ وَ اسْتِقَامَةُ الْقَلْبِ صِدْقُ الِاعْتِذَارِ وَ اسْتِقَامَةُ الْعَقْلِ صِدْقُ الِاعْتِبَارِ وَ اسْتِقَامَةُ الْمَعْرِفَةِ صِدْقُ الِافْتِخَارِ وَ اسْتِقَامَةُ السِّرِّ السُّرُورُ بِعَالَمِ الْأَسْرَارِ فَذِکْرُ اللِّسَانِ الْحَمْدُ وَ الثَّنَاءُ وَ ذِکْرُ النَّفْسِ الْجَهْدُ وَ الْعَنَاءُ وَ ذِکْرُ الرُّوحِ الْخَوْفُ وَ الرَّجَاءُ وَ ذِکْرُ الْقَلْبِ الصِّدْقُ وَ الصَّفَاءُ وَ ذِکْرُ الْعَقْلِ التَّعْظِیمُ وَ الْحَیَاءُ وَ ذِکْرُ الْمَعْرِفَةِ التَّسْلِیمُ وَ الرِّضَا وَ ذِکْرُ السِّرِّ عَلَى رُؤْیَةِ اللِّقَاءِ.
[6]. Sarh al-‘Uyûn, hal. 266.
[7]. Nampaknya penggunaan keempat dan kelima adalah satu.
[8]. Hasan Hasan Zadeh Amuli, Hizâr wa Yek Nukteh, hal. 81-83.
[9]. Khayal (retentif faculty) adalah fakultas kedua pencerap batin (indra batin) yang menjaga bentuk-bentuk yang mencerap indra bersama (common sense ,al-hiss al-musytarak). Fakultas repositoris (berkedudukan sebagai gudang) adalah khazanah dan arsip indra bersama (common sense). Khayal (retentif faculty) di samping merupakan sebagai khazanah indra, ia juga adalah fakultas mutasharrifah. Terkadang fakultas khayal disebut sebagai mushawwarah dan mutakhayyilah. Memori adalah sebuah fakultas yang menjaga dan memelihara makna-makna partikular. Sejatinya memori adalah khazanah dan arsip fakultas estimatis (estimative faculty, wahimah). Fakultas ini juga acapkali disebut sebagai dzakirah (pengingat) dan mustarji’ah. Lantaran fakultas ini menjaga makna-makna maka ia disebut sebagai hafidzah (memori). Dan terkadang disebut pengingat cepat (dzâkirah). Dan terkadang mengingat dengan adanya jeda disebut sebagai mustarji’ah. Ibnu Sina, al-Nafs min al-Syifâ, hal. 235 dan 239. Isyârat, jil. 2, hal. 341. Mulla Shadra, Asfar al-Arba’ah, jil. 8, hal. 215. Mulla Hadi Sabzewari, Asrar al-Hikam, hal. 308 dan 309. Hasan Hasan Zadeh Amuli, Sarh al-‘Uyûn, hal. 392.
[10]. Mishbah Yazdi, Amuzesy ‘Aqaid, hal. 44, Cetakan Ketujuh, Syerkat-e Cap wa Nasyr-e Bain al-Milal, tanpa tempat, 1381 S.
[11]. Ibnu Sina menyebutkan dalam sebagian tulisan berbahasa Persia dengan redaksi ruh bukhari sebagai nyawa dan nafs nathiqah sebagai jiwa. Mulla Shadra, Asfar al-Arba’ah, jil. 8, hal. 251.