Please Wait
14883
Sekaitan dengan ayat ini yang menjelaskan “al-sâbiqun al-awwalûn” atau “orang-orang terdahulu” harus dikatakan bahwa kesimpulan lahir dan pertama yang dapat dipetik dari ayat ini adalah bahwa hanya menyangkut para sahabat yang beriman hingga masa perang Badar atau baiat Ridwan, akan tetapi dengan pandangan lebih cermat dan dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an lainnya, dapat diambil kesimpulan bahwa keunggulan terdahulunya zaman tidak akan menjadi satu-satunya keunggulan dan kriteria bagi orang-orang yang dikenal sebagai “al-sâbiqun al-awwalûn.”
Redaksi lengkap ayat yang ditanyakan adalah sebagai berikut, “
"وَ السَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهاجِرینَ وَ الْأَنْصارِ وَ الَّذینَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسانٍ رَضِیَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَ رَضُوا عَنْهُ وَ أَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْری تَحْتَهَا الْأَنْهارُ خالِدینَ فیها أَبَداً ذلِکَ الْفَوْزُ الْعَظیم."
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Qs. Al-Taubah [9]:100)
Para penafsir (mufassirun) terkait dengan siapakah yang dimaksud dengan “al-sâbiqun al-awwalûn” menyodorkan ragam pandangan:
1. Sebagian dari mereka membatasi terdahulu (al-sâbiqun) dan pertama (al-awwalûn) itu dari sisi zaman. Mereka meyakini bahwa sekelompok kaum Muslimin menerima Islam hingga pada masa tertentu tersangkut dengan ayat ini dan yang lainnya tidak termasuk dari ayat ini.
Sekaitan dengan penafsiran semacam ini dapat dikatakan bahwa, tidak ada masa akurat dan diterima oleh seluruh penafsir sehubungan dengan masa yang menentukan batas demarkasi antara kelompok kaum Muslimin ini dan kelompok lainnya. Karena sekelompok penafsir memandang perang Badar sebagai titik akhir masa (turunnya) ayat ini dan kelompok lainnya menganggap baiat Ridwan yang terjadi pada akhir-akhir usia Rasulullah Saw dan hampir bersamaan dengan perdamaian (sulh) Hudaibiyyah sebagai masa terakhir penentuan kaum Muhajirin dan Anshar sebagai orang-orang terdahulu (al-sâbiqun).[1]
2. Sebagai kebalikannya terdapat penafsiran yang lain, tanpa mengingkari peran zaman ayat ini, yang melebarkan makna ayat tersebut dan juga mengingatkan poin-poin lainnya.
Qurthubi, salah seorang penafsir terkemuka Ahlusunnah, dalam menjelaskan pandangan ini berkata, “Keterdahuluan dapat dikaji dengan tiga kriteria: Terdahulu (al-sâbiqun) dalam pelbagai tipologi sebagai seorang Muslim. Terdahulu (al-sâbiqun) secara waktu dan terdahulu (al-sâbiqun) secara spasial (tempat). Terdahulu (al-sâbiqun) dalam pelbagai tipologi lebih bernilai dan berbobot ketimbang dua kriteria lainnya. Sabda Rasulullah Saw menegaskan keunggulan ini; karena beliau dalam sebuah riwayat sahih bersabda, “Kami kaum Muslimin meski (agama) kami merupakan agama pamungkas Ilahi, namun kami adalah contoh “awwalûn” (orang-orang pertama). Karena mereka mendapat kehormatan dalam menerima kitab-kitab samawi dan kemudian keunggulan ini disematkan kepada kaum Muslimin. Mereka terjerembab dalam ikhtilaf dan penyimpangan, kami tetap dalam jalan hidayah (petunjuk). Rasulullah Saw dengan penjelasan ini mengemukakan poin fundamental atas nilai iman sejati lebih bernilai ketimbang keterdahuluan seseorang secara waktu dalam iman..”[2]
Riwayat yang menjadi obyek penalaran (istidlâl) pandangan ini juga terdapat pada kitab Shahîh Muslim yang merupakan salah satu kitab Ahulusunnah yang paling standar. Dalam Shahîh Muslim ditekankan bahwa meski kaum Muslimin terkemudian dari sisi urutan waktu dibanding dengan agama-agama samawi lainnya, namun kaum Muslimin akan memasuki surga terlebih dahulu sebelum mereka.[3]
Apa yang telah dijelaskan di atas adalah dua pandangan penting para penafsir Ahlusunnah terkait dengan ayat “al-sâbiqun al-awwalûn.” Namun dengan menengok pandangan Syiah dalam hal ini, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa pandangan Syiah lebih cocok dengan pandangan kedua di atas.
Dalam hal ini, kami (Syiah) meyakini bahwa keterdahuluan waktu iman akan memberikan pelbagai keunggulan bagi orang-orang yang mendahului. Karena sesuai dengan penegasan al-Qur’an, orang-orang dalam urusan kebaikan, seperti jihad dan memberi sedekah, lebih terdepan ketimbang yang lain, maka ganjaran mereka tidak akan sama dengan orang lain.[4]
Atas dasar ini, keterdahuluan dari sudut pandang waktu pada masalah iman dan jihad merupakan keunggulan besar yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dan tentu saja orang-orang beriman terdahulu, pada masa itu telah memperoleh keridhaan Tuhan. Namun semua itu tidak bermakna bahwa orang-orang yang pertama beriman memiliki keunggulan khusus dan berdasarkan hal itu seluruh kesalahan dan ketergelinciran setelahnya, seberapa pun berat dan besarnya, harus diabaikan begitu saja dan tidak boleh ada kritikan atasnya; karena pemikiran seperti ini berbanding terbalik dengan ajaran-ajaran al-Qur’an.
Allah Swt pada ayat-ayat lainnya, menunjukkan pelbagai tipologi berat, selain keterdahuluan waktu untuk sampai pada tingkatan “sâbiqun.” Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka. Dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Tuhan mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (suatu apapun). Dan orang-orang yang mengerahkan seluruh daya mereka untuk melaksanakan ketaatan, sedang hati mereka takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. Mereka itulah yang bersegera memperoleh kebaikan-kebaikan dan memperoleh seluruh kebaikan itu terlebih dahulu daripada orang lain.” (Qs. Al-Mukminun [23]:57-61); “Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga).Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam surga kenikmatan. Segolongan besar (mereka) berasal dari orang-orang yang terdahulu. Dan segolongan kecil berasal dari orang-orang yang kemudian.” (Qs. Al-Waqiah [56]:10-14) Sebagai kebalikannya Allah Swt menyebutkan, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al-An’am [8]:82)
Imam Shadiq As suatu hari menyaksikan sekelompok Syiah di masjid Nabawi dan setelah memberikan nasihat-nasihat kepada mereka dalam hal ketakwaan dan berusaha di jalan Allah, bersabda, “Antum al-Sâbiqun al-Awwalûn.” Kalian adalah obyek-obyek orang-orang terdahulu.”[5]
Menurut riwayat ini, dan juga dengan argumen-argumen yang terdapat pada Shahîh Muslim yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw boleh jadi orang-orang yang bahkan tidak hadir pada masa Rasulullah Saw memiliki kriteria-kriteria utama untuk sampai pada derajat “al-sâbiqun al-awwalûn.” Namun sebagai bandingannya, ada juga kemungkinan sebagian kaum Muslimin pada masa-masa awal Islam, lantaran ketergelinciran mereka setelah itu, keluar dari batasan-batasan “al-sâbiqun al-awwalûn” ini.[6] [IQuest]
[1]. Abdurrahman bin Muhammad Ibnu Abi Hatim, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhim, jil. 6, hal. 1868, Maktabat Nizira Musthafa al-Baz, Saudi Arabia, 1419 H.
[2]. Muhammad bin Ahmad, Qurthubi, al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân, jil. 8, hal. 237, Nasir Khusruw, Teheran, 1364 H.
[3]. Shahih Muslim, jil. 3, hal. 7, Dar al-Fikr, Beirut, Tanpa Tahun.
[4]. “Mengapa kamu tidak menginfakkan (sebagian hartamu) di jalan Allah, padahal Allah-lah yang mewarisi langit dan bumi? Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang sebelum tercapai kemenangan (dengan orang yang menginfakkannya setelah kemenangan tercapai). Mereka memiliki derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Tapi Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Hadid [57]:10)