Please Wait
15680
- Share
Tolak ukur perhitungan di hari kiamat untuk menentukan apakah sesorang layak memasuki surga atu neraka berdasar pada kaidah-kaidah yang telah dijelaskan oleh Allah Swt dalam ayat-ayat suci-Nya. Tuhan tidak mempedulikan faktor perbedaan kelompok, keturunan, dan bangsa dalam hal ini. Tolak ukur utama adalah amal perbuatan manusia; yakni kenikmatan surga adalah balasan dari iman dan amal saleh, sedangkan neraka adalah balasan atas kekufuran dan dosa.
Sepanjang sejarah banyak yang membahas masalah umat yang bakal selamat di akhirat (firqah najiah). Pembahasan tersebut kurang lebih bertumpu pada sebuah hadis yang diakui bersumber dari nabi, yang dikenal dengan hadis iftirâq. Para penulis buku-buku aliran dan mazhab-mazhab (firaq wa madzhâhib) berusaha mengkategorikan aliran-aliran yang ada sebisa mungkin agar sesuai dengan hadis tersebut. Dalam riwayat itu dijelaskan bahwa akan hanya ada satu kelompok yang selamat dan masuk surga. Akhirnya setiap aliran dan mazhab berusaha untuk menyebut dirinya sebagai kelompok yang benar itu dan layak memasuki surga. Al-Quran dalam menyinggung masalah kebahagiaan sejati akhirat sering kali menjelaskan adanya beberapa kelompok yang tak hanya menganggap diri mereka yang layak masuk surga, namun juga berkeyakinan bahwa selain mereka tidak berhak masuk ke dalam surga.
Begitu juga dalam riwayat-riwayat Ahlusunah dan Syiah banyak sekali ditemukan hadis tentang pahala dan siksa akhirat, dan terkadang setiap salah satu dari mereka memberikan tolak ukur tertentu untuk permasalahan tersebut. Dengan memahami pendahuluan singkat tersebut, kini kiranya kami perlu menjelaskan dua hal berikut:
Pertama: Apakah Tuhan telah menjelaskan toak ukur orang-orang yang berhak masuk surga dan neraka? Atau tidak?
Dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang sebagian kaum yang menyatakan diri merekalah yang paling berhak untuk masuk surga. Mereka mengira bahwa adzab neraka hanya akan mereka rasakan selama beberapa hari saja, lalu akhirnya mereka akan mendapatkan tempat di surga. Dalam menanggapi keyakinan seperti itu, Allah Swt berfirman: "Katakanlah: "Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?" (Qs. al-Baqarah [2]:80)
Setelah itu Allah swt menjelaskan kaidah umum untuk menentukan siapakah yang berhak masuk surga atau neraka. Ya, orang-orang yang melakukan dosa, lalu dampak dosa itu meliputi dirinya, maka orang seperti itu adalah penduduk neraka, dan mereka kekal di sana. Adapun mereka yang beriman dan melakukan amal perbuatan baik, mereka adalah penduduk surga dan untuk selamanya mereka di sana.[1]
Begitu pula sebagian berkeyakinan bahwa hanya Yahudi dan Kristen saja yang akan masuk surga. Lalu Al-Quran menepis pengakuan mereka dan menyatakan bahwa perkataan mereka tidak memiliki bukti, menganggap semua itu hanyalah mimpi dan khayalan mereka saja. Lalu Al-Quran menjelaskan tolak ukur sebenarnya dengan berfirman: "...bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Qs. Al-Baqarah [2]:112)
Ayat suci itu menyatakan bahwa sebab utama masuk surga adalah penyerahan diri kepada perintah Tuhan dan perbuatan baik. Yakni surga tidak akan diberikan kepada orang yang hanya mengaku-aku saja, namun diperlukan iman dan amal saleh. Oleh karena itu, Al-Quran menjadikan amal perbuatan sebagai tolak ukur berhaknya seseorang untuk masuk surga atau neraka. Meski juga ada kelompok ketiga yang berada di antara mereka, yang mana Al-Quran menjelaskan mereka adalah orang-orang yang memiliki harapan terhadap Tuhannya; namun hanya Ia yang tahu entah mereka dimaafkan atau disiksa.[2]
Kedua: Siapakah yang dimaksud orang-orang Syiah yang dijanjikan masuk surga itu?
Di antara riwayat-riwayat Syiah, juga ada hadis-hadis dari nabi dan para imam maksum yang menjelaskan tentang bahwa umat Syiah akan masuk surga. Kata-kata "Syiah" dalam hadis tersebut membuat kita terdorong untuk mengkaji lebih matang siapakah yang dimaksud dengan "Syiah" dalam hadis-hadis itu? Baru setelah itu kita akan membahas masalah-maslaah lain yang berkaitan dengannya.
Makna Leksikal Syiah
Para ahli bahasa menyebutkan banyak makna untuk kata "syiah". Misalnya: kelompok, umat, para penyerta, para pengikut, para sahabat, para penolong, kelompok yang berkumpul pada satu perkara.[3]
Makna Teknikal Syiah
Syiah dalam istilah adalah orang-orang yang meyakini bahwa hak khilafah nabi ada pada keluarga risalah, dan dalam menerima ajaran-ajaran Islam mereka mengikuti Ahlul Bait As, yaitu para Imam Syiah As.[4]
Kata Syiah sepanjang sejarah mengalami berbagai perubahan dalam maknanya. Misalnya terkadang diartikan sebagai kelompok politik, terkadang pecinta, atau juga pengikut aliran pemikiran yang berprilaku mengikuti para Imam Suci As.
Syiah Menurut Para Imam Maksum As
Dari beberapa riwayat yang dinukil dari kalangan Ahlulbait As dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan Syiah adalah orang-orang khusus yang tidak hanya mengaku sebagai pengikut saja. Namun para imam suci menekankan adanya sifat-sifat khas yang dimiliki mereka, seperti mengikuti para imam dalam amal dan perilaku. Oleh karena itu sering kali para Imam menegaskan kepada sebagian orang yang mengaku Syiah untuk berprilaku sebagaimana yang diakuinya. Untuk lebih jelasnya mari kita membaca beberapa riwayat yang akan kami sebutkan.
Ada banyak riwayat dari para Imam Maksum As yang sampai ke tangan kita tentang siapa Syiah sejati yang sebenarnya. Tak hanya itu, bahkan ada celaan terhadap sebagian orang yang berkeyakinan bahwa diri mereka tidak akan masuk neraka karena Syiah, lalu mereka disebut sebagai Syiah paslu.
Seseorang berkata: "Aku berkata kepada Imam Shadiq As: "Sebagian dari pengikutmu melakukan dosa-dosa dan berkata: "Kami memiliki harapan." Lalu Imam As berkata: "Mereka berbohong. Mereka bukanlah kawan kami. Mereka adalah orang-orang yang membawa harapannya kesana kemari, yang mana ketika mereka mengharap sesuatu, mereka mengejarnya, lalu jika mereka takut akan sesuatu, mereka lari."."[5]
Imam Shadiq As pernah berkata: "Bukanlah Syiah (pengikut) kami orang yang mengaku dengan lisannya namun berperilaku bertentangan dengan kami. Syiah adalah orang yang hati dan lidahnya sejalan dengan kami, begitu pula perilaku dan amal perbuatannya mengikuti kami; merekalah Syiah kami."[6]
Para Imam As sering kali menyebutkan kriteria-kriteria Syiah sejati. Misalnya Anda dapat membaca dua riwayat di bawah ini:
Imam Baqir As berkata: "Wahai Jabir, apakah cukup bagi pengkut kami untuk hanya mengaku sebagai Syiah? Demi Tuhan, Syiah kami adalah orang-orang yang bertakwa dan takut akan Tuhannya, menjalankan perintah-perintah-Nya. Mereka (Syiah) tidak dikenal kecuali sebagai orang yang rendah hati, khusyu', banyak mengingat Tuhan, berpuasa, shalat, beramah-tamah dengan tetangga yang miskin, orang yang butuh, para pemilik hutang, anak-anak yatim, serta berkata jujur, sering membaca Al-Quran, menjaga lisannya terhadap sesamanya, dan juga orang yang dipercaya oleh keluarganya."[7]
Imam Ja'far Shadiq As berkata: "Syiah kami adalah orang yang bertakwa, setia, zuhud, ahli ibadah, dan orang yang di malam hari shalat sebanyak lima puluh satu rakaat, dan berpuasa di siang hari, menunaikan zakat hartanya, menjalankan ibadah haji, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan haram."[8]
Jika tidak dijelaskan apa maksud Syiah sejati yang sebenarnya, maka artinya perbuatan buruk diperbolehkan untuk dilakukan oleh sekelompok orang. Di sepanjang sejarah kita pun menyaksikan sebagian kelompok yang mengaku Syiah namun tidak menjalankan perintah-perintah agama, lalu berdalih dengan riwayat-riwayat tersebut seraya menekankan bahwa "agama adalah mengenal Imam"[9], dan mereka pun terus-terusan sembarangan melakukan dosa dan kemunkaran. Akhirnya fenomena tersebut sangat merugikan ke-Syiahan yang sebenarnya yang tak dapat terbayar dengan mudah.
Sebagaimana sebelumnya telah dijelaskan bahwa kadar pahala dan siksa seseorang bergantung pada sikapnya terhadap agama. Fakta ini tidak berbeda antara satu kalangan dengan kalangan lainnya. Kelompok, aliran atau apapun tidak akan mendekatkan diri seseorang kepada Tuhan dan tak dapat dijadikan alat untuk lari dari siksaan neraka. Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa." (Qs. Al-Hujurat [49]:13)
Imam Ridha As berkata kepada saudaranya yang dikenal dengan nama Zaida al-Nar: "Wahai Zaid, apakah perkataan para pedagang pasar "Fatimah telah menjaga dirinya dan Allah mengharamkan api neraka terhadapnya dan juga anak-anaknya." telah membuatmu sombong? Demi Tuhan bahwa hal itu hanya berlaku untuk Hasan dan Husain serta anak yang lahir dari rahimnya. Apakah bisa Imam Musa bin Ja'far As mentaati Tuhan, berpuasa di siang hari, bertahajud di malam hari dan salat malam, lalu engkau dengan seenaknya bermaksiat kemudian di akhiran tanti engkau berada di derajat yang sama dengannya? Atau lebih mulia darinya?!"[10]
Salah satu misi agama adalah mengantarkan manusia baik secara individual maupun kolektif kepada kesempurnaan. Tujuan itu tidak akan mungkin tercapai tanpa ketaatan akan perintah-perintah Tuhan. Atas dasar itu, agama ini tidak mungkin memberikan jalan bagi suatu kelompok untuk berjalan di luar jalur yang telah ditunjukkan lalu menempatkan mereka di tempat yang sama atau lebih tinggi dari selainnya di akhirat nanti. Hal ini bertentangan dengan tujuan penciptaan yang sebenarnya. Jika yang dimaksud denga Syiah adalah apa yang telah dijelaskan oleh para Imam, maka tidak heran jika orang-orang dengan kriteria seperti itu bakal mendapatkan tempat di surga. Adapun orang-orang yang hanya sekedar mengaku sebagai Syiah, jelas mereka tidak akan mendapatkan apa yang dijanjikan kepada Syiah sejati.
Adapun tentang riwayat yang menjelaskan bahwa tingkat pertama neraka jahanam adalah khusus untuk umat Islam yang pendosa, perlu dikatakan bahwa tolak ukur surga dan neraka menurut Al-Quran adalah amal manusia. Hanya sebutan Muslim saja tidak cukup, karena antara Islam dan Iman sangat jauh perbedaannya. Tuhan semesta alam dalam hal ini berfirman kepada orang-orang yang mengaku beriman: "Jangan katakan kami telah beriman, katakan kami telah Muslim." (Qs. Al-Hujurat [49]:14). Ketika seseorang mengucapkan dua syahadat, maka orang itu telah menjadi Muslim; dan hal ini hanya berkaitan dengan kehidupan duniawi dan status sosial saja. Adapun surga dan balasan di dalamnya, adalah untuk orang-orang yang lebih dari sekedar menjadi Muslim saja; yakni sebagaimana yang telah dijelaskan, untuk memasuki surga, seseorang harus menjadi Muslim (menyerahkan diri) dan juga memiliki keimanan di hati, serta melakukan amal saleh dengan raga. Oleh karena itu tolak ukur kelayakan masuk surga atau neraka sangat jelas sekali dalam Al-Quran, dan hanya sekedar mengaku sebagai Syiah, atau Islam, tidak akan menghindarkan seorangpun dari siksa api neraka atau memasukkanya ke surga.
Kesimpulannya, amal perbuatan adalah tolak ukur utama, bukan pengakuan sebagai Muslim, Syiah, atau selainnya. Berdasarkan penjelasan Al-Quran dan riwayat-riwayat, orang Islam dan Syiah yang tidak menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya pasti tidak akan mendapatkan rahmat Tuhan dan layak untuk disiksa di neraka. Adapun apakah adzab di neraka itu kekal abadi ataukah tidak, lain lagi permasalahannya. Selain itu juga ada masalah syafâ'at yang masih perlu dibahas terkait dengan hal itu di kesempatan lainnya.
Untuk kami ingatkan, maksud kami bukan berarti ke-Syiah-an seseorang sama sekali tak ada gunanya. Namun tak dapat diingkari bahwa pemikiran (atau iman) dan amal perbuatan adalah dua sayap bagi manusia untuk terbang menuju kesempurnaan. Untuk mengkaji lebih jauh, seilahkan merujuk: Turkhan, Qasim, Negâresy-e Irfâni, Falsafi wa Kalâmi be Syakhsiyat wa Qiyâm-e Imâm Husain As, hal. 440-447.[iQuest]
Indeks terkait:
Syiah dan Surga, 6340 (website: id6524)
Kriteria-kriteria Syiah, 6690 (website: id6787)
[1]. (Qs. Al-Baqarah [2]:81-82)
[2]. (Qs. Al-Taubah [9]:106)
[3]. Jamaluddin Ibnu Mandzur, Lisân Al-Arab, jil. 8, hal. 188, Dar Shadir, Beirut, Cetakan Pertama, 1410 H.
[4]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Syi'e dar Islam, hal. 25-26, Ketabkhane e Bozorg e Eslami, Tehran, 1354 S.
[5]. Muhammad bin Ya'qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 2, hal. 68, Darul Kutub Islamiah, Tehran, cetakan keempat, 1365 HS.
[6]., Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 65, hal. 164, Muasasah al-Wafa', Beirut, Lebanon, Cetakan Keempat, 1404 H.
[7]. Muhammad bin Ali Shaduq, Al-Âmâli, Terjemahan Kumrei, hal. 626, Islamiah, Tehran, Cetakan Keenam, 1376 HS.
[8]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 65, hal. 164, Muasasah Al-Wafa', Beirut, Lebanon, Cetakan Keempat, 1404 H.
[9]. Man Lâ Yahdhuruhul Faqih, jil. 4, hal. 545, Muasasah Nasyr Islami, Qom, Cetakan Ketiga, 1413 H.
[10]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 43, hal. 230, Muasasah Al-Wafa', Beirut, Lebanon, Cetakan Keempat, 1404 H.