Please Wait
41647
Dalam menjawab bagian pertama dari pertanyaan tersebut kita dapat mengatakan bahwa dalam menjelaskan sebuah hakikat atau hukum serta aturan tertentu, seluruh rincian dan karekteristik yang berhubungan dengannnya tidak dapat diungkapkan semuanya. Prinsip ini sangat dipelihara dalam al-Qur’an; karena jika seluruh rincian sebuah hukum diangkat maka hal itu akan meniscayakan Tuhan akan menurunkan kitab kepada setiap orang dengan memperhatikan karekteristik yang ada pada orang tersebut, seperti karakteristik ruang dan waktu. Oleh karena memperhatikan hal tersebut maka hal tersebut dinafikan. Penjelasan pengetahuan – pengetahuan dan hukum – hukum dalam ayat Tuhan merupakan cerminan realitas hakiki dan rasional. Ayat-ayat al-Qur’an sebenarnya menjelaskan pelbagai pengetahuan dan hukum universal baik secara langsung, atau melalui permisalan, termasuk dalam bentuk cerita. Benar! terkadang dengan dalil tertentu Tuhan menjelaskan sebuah hakkikat atau hukum tertentu dengan menyebutkan obyeknya. Seperti permainan judi di kalangan Arab yang dahulu merupakan kebanggaan tertentu sehingga keburukan dari judi tersembunyi di kalangan mereka. Oleh karena itu Allah Swt menurunkan ayat berkaitan dengan judi dan arak secara khusus. Penjelasan secara terperinci ini tentunya tidak bertentangan dengan konsep universal itu sendiri bahkan pada saat yang sama berusaha mengeluarkan masyarakat dari kebingungan dan kesulitan.
Namun jawaban bagian kedua dari pertanyaan tersebut adalah jelas bahwa sebab mengapa kisah-kisah yang lalu diangkat kembali dikarenakan penelitian- penelitian terhadap peristiwa di masa lampau akan membukakan kita gagasan-gagasan baru, sehingga kita mengetahui pelbagai kesalahan dan kekurangan mereka dan kita bisa mencegahnya agar pengalaman getir tersebut tidak terulang kembali. Oleh karena itu ada beberapa hal yang mungkin kami singgung berkenaan dengan hal tersebut :
1. Menukil pelbagai rincian sejarah dikarenakan persoalan tahaddi (menjelaskan mukjizat dan ilmu Rasulullah saw ).
2. Dengan menukil sejarah para nabi Yahudi dan Kristen serta para pengikut mereka, dapat memahami sisi kesamaan antara Islam dan agama mereka, sehingga mereka condong kepada Islam dan menjauhi penentangan terhadap Islam.
3. Terdapat pelbagai masalah ideologis yang sangat akurat dan tidak terakses. Allah Swt dengan menceriterakan kisah-kisah manusia unggul maka persoalan tersebut menjadi sangat mudah dan dipahami oleh seluruh kalangan, seperti kekuatan mutlak Allah Swt dalam kisah Nabi Ibrahim As dimana beliau bisa diselamatkan dari api.
4. Dalil lainnya mengapa perlu dibeberkan kisah-kisah dahulu adalah agar kita mampu mengambil hikmah dari kaum-kaum terdahulu.
5. Menukil sebuah kisah pada hakikatnya adalah pelajaran itu sendiri secara tidak langsung bahkan sebagai bentuk pengajaran yang paling baik. Al-Qur’an juga mengungkapkan kisah tertentu seperti kisah Nabi Ibrahim As dan sebagainya, dan dalam kisah-kisah tersebut bisa kita temukan bentuk – bentuk argumentasi, hubungan sosial, personal, adab interaksi.
Dalam menjawab bagian akhir dari pertanyaan tersebut kita dapat mengatakan bahwa jika al-Qur’an mengangkat kisah seseorang tidak dengan serta merta menunjukkan keistemewaan orang tersebut. Demikian juga sebaliknya jika al-Qur’an tidak mengangkat kisah individu tertentu hal tersebut tidak serta merta menunjukkan bahwa orang tersebut tidak memiliki keistimewaan. Karena dari satu sisi kita dapat meyaksikan dalam al-Qur’an terdapat nama-nama manusia tercela seperti Fir’aun, Abu Lahab, Sameri dan Setan, dan di sisi lain banyak sekali nabi-nabi yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Sebabnya dapat kita katakan karena tidak adanya kemaslahatan dan tujuan tertentu dalam menjelaskan pengetahuan-pengetahuan Ilahi.
Kami akan menyebutkan dua hal penting yang ditekankan dalam pertanyaan tersebut :
1. Salah satu alasan mengapa kisah Nabi Musa As disebutkan dalam al-Qur’an bahkan berulan-ulang dikarenakan ada banyak kemiripan antara kaum Muslimin dan kaum Bani Israil.
2. Klaim bahwa kehidupan Rasulullah Saw tidak diangkat dalam al-Qur’an sungguh klaim yang sangat berlebihan, karena dengan memperhatikan sebab-sebab pewahyuan (asbab al-nuzul) ayat kita dapat menyimpulkan bahwa sebagian besar dari beberapa ayat al-Qur’an berhubungan dengan kehidupan Rasulullah Saw dalam berbagai sisi termasuk para Ahlulbaitnya dan sahabatnya.
Untuk menjawab persoalan ini kiranya perlu kita memilah pelbagai hal yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, sehingga kita mampu mencapai sebuah jawaban final atas persoalan ini.
Bagian Pertama
Apakah dalilnya bahwa ayat-ayat dalam al-Qur’an bersifat universal dan bersifat global? Mengapa pada sebagian kasus tidak mengikuti kaidah tersebut dan malahan menjelaskan persoalan tersebut dengan sangat rinci ?
Al-Qur’an adalah tali Ilahi yang menjadi dasar kebahagiaan dan keselamatan bagi seluruh manusia.[1] Oleh karena itu niscaya bahwa seluruh hukum memiliki ruang untuk memberikan hidayah bagi manusia.
Sekarang jika diasumsikan bahwa segala hal, rincian dan obyek, ditulis dalam al-Qur’an secara detil dan terperinci, baik yang telah terdahulu maupun yang akan datang, maka perlu kiranya bahwa di setiap saat kehidupan seorang muslim diturunkan sebuah kitab yang sangat kompleks. Tentu saja hal sedemikian merupakan sebuah hal yang mustahil dan tidak masuk akal. Dalam kondisi seperti ini apa yang harus kita lakukan dan jalan mana yang harus dipilih?
Allah Swt menurunkan al-qur’an sebagai resep sempurna yang membebaskan dalam bentuknya yang paling baik sebagai hidayah bagai manusia. Allah Swt menjelaskan hukum-hukum universal dalam al-Qur’an dengan tegas, terkadang dengan pemisalan dan hukum, dan terkadang juga dengan menceritakan kisah-kisah kaum terdahulu. Dengan hukum tersebut masyarakat bisa menentukan jalan yang terbaik dan tertolong dari kecelakaan dan malapetaka.
Inilah yang dijelaskan oleh Imam Shadiq As kepada sahabat-sahabatnya: “Bagi kami adalah menjelaskan prinsip-prinsip umum dan bersifat universal dan bagi kalian mencabangkannya.”[2]
Akan tetapi dalam persoalan ini, terkadang mengembalikan prinsip partikular kepada prinsip universal sangat sulit dan terkadang juga diabaikan. Berkenaan dengan hal ini perlu kiranya kepada penegak hukum menjelaskan sebagian dari rincian hukum tersebut serta mengajarkan bagaimana menentukan obyeknya (mishdaq). Sebagai contoh Allah Swt menjelaskan dalam al-Qur’an-Nya “maka jauhilah berhala-berhala yang najis itu.“[3] Jika kita amati pada masa itu budaya arab menganggap biasa[4] minuman keras dan judi bahkan mereka tidak memperhatikan efek keburukan dari perbuatan tersebut. Setelah berselang beberapa waktu ayat sebelumnya turun maka Allah Swt menjelaskan pada ayat lainnya dengan tegas bahwa: “judi dan minuman keras dan ... termasuk hal-hal yang najis.... “[5]
Oleh karena itu menjelaskan sebagian perkara secara rinci bukan saja tidak merusak prinsip universal itu sendiri bahkan sebagai media yang ideal untuk memahami kondisi-kondisi tertentu dan sebagai perantara untuk menghasilkan metode yang benar dalam memecahkan persoalan-persoalan baru dengan merujuk kepada prinsip-prinsip universal yang disampaikan al-Qur’an. Tentunya hal demikian akan mencegah kita untuk melakukan penyelewengan dan penakwilan yang tidak benar. Oleh karena itu terkadang al-Qur’an berbeda dengan pelbagai macam buku ilmiah, dimana didalam buku ilmiah dalam menjelaskan hakekat sesuatu tidak menyertakan obyek-obyeknya, dalam masalah ilmiah disibukkan dengan hal-hal partikular dan tanpa menjelaskan kaidah-kaidah universalnya.
Bagian Kedua :
Tolong jelaskan sebabnya mengapa Al-qur’an menceriterakan kisah-kisah kaum terdahulu? Sebelumnya telah kami jelaskan bahwa perlu kiranya untuk menyebutkan secara rinci dan mudah disentuh pada beberapa permasalahan tertentu. Sekarang pertanyaannya adalah mengapa rincian tersebut dijelaskan dalam bentuk kisah dan sejarah? Apakah tidak mungkin Allah Swt menjelaskan secara langsung obyek-obyeknya?
Pertama kita harus pahami bahwa al-Qur’an bukan kitab sejarah sehingga harus menjelaskan seluruh titik persoalan yang ada dalam sejarah. Al-Qur’an hanya mengangkat sebagian kisah saja yang berhubungan langsung dengan petunjuk dan hidayah manusia. Oleh karena itu tujuan mengapa kisah-kisah tersebut dijelaskan dalam al-Qur’an dikarenakan tujuan hidayah tersebut.
Kisah-kisah terdahulu akan membuka lebih jelas wawasan dan gagasan kita dan akan menyadarkan manusia dari pelbagai ketimpangan dan kekurangan. Kisah-kisah terdahulu adalah tangga vertikal kita untuk menyempurna. Karena melalui hal tersebut kita mampu menghindari pengalaman getir yang dialami oleh kaum terdahulu. Oleh karena itu dalam al-Qur’an terdapat kisah-kisah yang mengisahkan berbagai corak pemikiran dan perilaku mereka.[6]
Dalam kesempatan ini perlu kiranya menjelaskan beberapa kisah yang dijelaskan dalam al-Qur’an untuk melihat lebih dekat hikmah-hikmah yang terpendam di dalamnya :
1. Alasan mengapa al-Qur’an menukil kisah-kisah partikular dan memandang sebuah persoalan dengan penuh ketelitian dikarenakan persoalan tahaddi (lontaran tantangan), dan juga merupakan salah satu contoh dari mu’jizat al-Qur’an. Dapat kita saksikan sebagian tema-tema yang dijelaskan dalam al-Qur’an tidak dijelaskan sama sekali sama sekali pada kitab-kitab samawi lainnya. Tentunya hal ini menunjukkan dan menjelaskan ilmu Ilahiyah Rasulullah Saw terhadap sejarah nabi-nabi sebelumnya, dan manusia biasa tanpa pengetahuan sebelumnya dan tanpa belajar pasti tidak mampu untuk memahami dan menjelaskan hakikat-hakikat yang tersembunyi.
2. Sebagian agama theisme selain Islam yang ada pada zaman Rasulullah adalah Yahudi dan Kristen. Al-Qur’an menjelaskan kisah-kisah Nabi sebelumnya dalam rangka menyampaikan risalah tabligh Rasulullah Saw dan sebagai usaha untuk menyadarkan mereka. Mereka akan meyakini Rasulullah Saw sebagai Nabi ketika mereka melihat pengetahuan Rasulullah Saw terhadap sejarah nabi-nabi smereka, dan tentunya dengan hal ini akan membuat mereka dekat dengan Islam. Pada akhirnya mereka tidak akan memusuhi Islam bahkan mereka akan mendukung Islam. Hal ini bisa kita saksikan pada hijrah kaum muslimin ke Habsyah.[7]
3. Sebagian besar dari inti kedalaman sebuah akidah tidak mudah dipahami. Selama manusia belum berada dalam level tersebut maka dia tidak akan pernah memahami kedalaman akidah tersebut. Allah Swt menjelaskan secara rinci kisah-kisah nabi sebelumnya agar manusia memahami dengan mudah teori-teori dan akidah-akidah. Seperti kemutlakan Iradah Ilahi[8] dalam kisah Nabi Ibrahim As ketika dibakar oleh raja Namrud dimana api tersebut tidak berefek sama sekali pada Nabi Ibrahim As. Begitu juga kisah Nabi Adam As dijelaskan dengan sangat indah dan terperinci oleh al-Qur’an. Dalam kisah tersebut Nabi As digoda oleh iblis untuk mendekati pohon terlarang dan akhirnya Nabi Adam As turun[9] ke bumi.
4. Selain hal di atas, alasan lain mengapa l-Qur’an menjelaskan kisah- kisah kaum sebelumnya adalah agar manusia bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari kisah tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.“[10] Salah satu pelajaran yang sangat berharga yang bisa kita petik dari perilaku kaum sebelumnya adalah turunnya azab Ilahi dikarenakan kaum tersebut tidak pernah bersyukur. Hal ini telah disinggung dalam al-Qur’an dalam beberapa tempat, contohnya kisah Tsamud dan angin topan yang melanda kaum Nabi Nuh As.
5. Kebanyakan masalah seperti adab atau tata-cara berinteraksi dengan baik, pendidikan, argumentasi dan sebagainya dapat diperoleh dari kisah-kisah ini. Dan hal ini merupakan salah satu metode pengajaran dan tarbiyah yang tidak hilang pengaruhnya dan tidak mudah dilupakan. Dalam metode ini sang murid seolah menggantikan tokoh yang ada dalam cerita tersebut sehingga apa yang diajarkan oleh gurunya dia bisa merasakannya lebih dalam. Oleh karena itu metode ini akan mudah diserap dan menuntutnya untuk mengamalkan apa yang didengarkan. Penjelasan-penjelasan seperti ini dapat kita saksikan lebih jelas pada kisah-kisah umat terdahulu seperti argumen-argumen yang dilontarkan Nabi Ibrahim As kepada matahari dan para penyembah berhala dengan berhala yang paling besarnya, dan juga pesan-pesan Lukman Hakim kepada anak-anaknya dan begitu juga dengan kisah-kisah lainnya. Tentunya masih banyak kisah-kisah dan hikmah-hikmah lainnya yang diangkat dalam al-Qur’an. Oleh karena itu untuk mengenalnya lebih jauh kami sarankan anda untuk merujuk kepada buku – buku tafsir dan kisah – kisah para Nabi as.
Bagian Ketiga
Dari sisi manakah kita dapat melihat mengapa kisah Nabi Musa As lebih ditekankan dari pada kisah Rasulullah Saw?
Al-Qur’an adalah kitab hidayah dan kitab cahaya. Apapun yang dijelaskan dalam al-Qur’an kesemuanya adalah dalam rangkaian menyampaikan hidayah bagi manusia. Oleh karena itu jika dalam al-Qur’an kita temukan penjelasan yang berulang maka tentunya untuk menegaskan persoalan hidayah tersebut. Oleh karena itu jika kita menginginkan pengajaran kita berefek lebih dalam lagi kepada masyarakat maka sebuah persoalan dalam tempat yang berbeda- beda kita jelaskan dalam metode yang berbeda- beda.
Di antara penjelasan ini mungkin bisa dikatakan bahwa sebab mengapa al-Qur’an berungkali menyebutkan kisah kehidupan Nabi Musa As dan Nabi kaum Bani Israil disebabkan oleh naik turunnya kaum ini sangat mirip dengan kaum Muslimin.
Sebagai salah satu contoh kisah tentang perang Badar dalam Islam memiliki kemiripan dengan peristiwa Nabi Thalut As. Berdasarkan bukti-bukti sejarah jumlah bala-tentara keduanya adalah 313 orang, dan keduanya berhadapan dengan orang-orang musyrik dan keduanya pun berhasil memenangkan perang.[11] Al-Qur’an mengangkat kisah Nabi Thalut As sebagai contoh bagi kaum Muslimin bahwa kesabaran yang dimiliki oleh pasukan tersebut walaupun kecil namun dapat mengalahkan yang pasukan besar.
Dalam beberapa riwayat dijelaskan bahwa para maksumin pun pernah menyinggung hal serupa. Salah satunya beliau pernah menyinggung di hadapan pengikutnya: “Kalian semua seperti kaumnya Bani Israil dan apa yang mereka lakukan dalam mengalahkan tentara yang banyak akan kalian lakukan juga“.[12]
Kemudian pembahasan yang berkenaan dengan Rasulullah Saw harus dikatakan bahwa :
Walaupun dalam al-Qur’an tidak menyebutkan nama Rasulullah Saw secara tegas dan berulang, akan tetapi dengan memperhatikan asbab al-nuzul (sebab pewahyuan) ayat, sebagian besar diturunkan kepada Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya serta para sahabatnya. Jumlah ayat ini melebihi jumlah ayat yang menjelaskan Nabi Musa As dan kaum Bani Israil. Pada hakikatnya kisah kehidupan Rasulullah Saw dan penyebaran hidayah melaluinya, harus kita cari pada zaman dan pada kondisi beliau pada saat itu dan juga dalam al-Qur’an.
Hal yang perlu diperhatikan bahwa sebagian besar kisah para nabi tidak dijelaskan dalam al-Qur’an, akan tetapi hal ini bukan dianggap bahwa mereka memiliki kekurangan, karena seluruh nabi adalah manusia sempurna dan manusia unggul. Melalui Iradah Ilahi para nabi tersebut terhindar dari segala aib dan dosa. Di sisi lain al-Qur’an juga mengangkat kisah-kisah orang yang mengakibatkan timbulnya murka Tuhan. Oleh karena itu disebutkan atau tidak disebutkannya dalam Al-Qur’an adalah bukan menjadi dalil akan keagungan dan keunggulan mereka. Al-Qur’an hanya menyinggung kisah-kisah yang di dalamnya sarat dengan maslahat dan tujuan-tujuan tertentu.
Oleh karena itu lantaran persoalan hidayah itu sendiri, terkadang Al-qur’an menjelaskan dan mengisahkan para nabi, terkadang dikisahkan juga yang bukan dari golongan rasul dan nabi akan tetapi mereka diridhai oleh Allah Swt (seperti Dzulkarnain, ‘Imran dan ayahnya Maryam As). Demikian juga terkadang al-Qur’an menjelaskan kisah orang-orang yang menyebabkan datangnya murka dan azab Tuhan seperti Fir’aun dan Setan. Terkadang juga karena pentingnya persoalan hidayah tersebut sehingga al-Qur’an mengulang berkali-kali kisah tersebut seperti kisah Nabi Musa As, seperti kisah masuknya Nabi Adam As ke dalam sorga yang diulang sebanyak tiga kali. Tapi ada juga yang diangkat cuma sekali saja seperti kisah penciptaan Nabi Adam As dan dialognya malaikat dengan Tuhan berkenaan dengan penciptaan manusia.[]
Referensi untuk telaah lebih jauh:
1. Idris bin Hilli, al-Sarâir, Muasesse Nasyr-e Islami, cetakan kedua, 1411 HQ.
2. Hillli, Yahya ibn Sa’id, al-Jâmi’ li al-Syarâe’, Nasyr Muasse-se Sayyidu Syuhada, 1405 HQ.
3. Ja’far Subhani, Farâzha-ye az Târikh Payâmbar-e Islâm, Nasyr-e Masy’ar, 1375 HS.
4. Salim bin Qais Hilali, Asrar Ali Muhammad, Intisyarat-e al-Hadi, cetakan kedua, 1418 HQ.
5. Qadhi ibn Barraj, al-Muhadzab, Intsiyarat-e Jame-e Mudarrisin Hauzeh-ye Ilmiyeh Qom, 1406 HQ.
6. Muhammad Shodiq Najmi wa Hasyim Harisyi, Syenâkht-e Qur’ân, Intisyarat-e Madinatul ‘Ilm, Qom, 1402 HQ.
7. Muhammad Husain Thathabai, Al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, terjemahan
[1]. Qs. Ali ‘Imran (3): 138; Qs. Al-Isra (17) :9
[2] Hilli bin Idris, al-Sarâir, jilid 3, hal 575. Al-hilli, Yahya bin Sa’id, al-Jâmi’ li al-Syarâyi’, hal 4
[3]. (Qs. Al-Haj [22]: 30)
[4]. Muhammad Shodiq Najmi wa Hasyim Harisi, Syenâkht-e Qur’ân, hal 78
[5]. (Qs. Al-Maidah [5]; 90)
[6] Sebagai contoh silahkan Anda lihat ayat-ayat berikut : Yusuf:109, Rum: 9-42, Muhammad:10, Ghafir: 21 & 82.
[7]. Ja’far Subhani, Farâz-hâye az Târikh Payâmbar-e Islâm, hal 128
[8]. Muhammad Husain Thabathaba’i, Tafsir al-Mizan, jilid 1, hal 10
[9]. Qs. Al-Baqarah (2): 35
[10]. Qs. Yusuf (11): 111
[11]. Ja’far Subhani, Op Cit, hal 222.
[12]. Silahkan merujuk ke Salim bin Qais, Hilali, Asrâr Âli Muhammad, hal 242 - 582