Please Wait
26285
Takut (khauf) dan harapan (raja’) serta yang terkait dengan kecintaan (mahabbah) terhadap Allah Swt bukanlah sesuatu yang perlu diherankan. Lantaran perkara ini memenuhi seluruh ruang dalam hidup kita. Sedemikian jelasnya sehingga membuat kita terkadang lalai memperhatikannya.
Harus dicamkan bahwa bahkan tatkala kita melangkah dan berjalan hal itu merupakan hasil dari takut, harapan dan cinta. Karena sepanjang tiada harapan maka kita tidak akan melangkah. Dan apabila kita tidak melangkah maka kita tidak akan sampai pada tujuan. Sepanjang kita tidak takut dalam melangkah maka kita tidak akan berhati-hati. Karena tidak berhati-hati kecelakaan setiap saat akan datang menimpa kita. Lantaran mengalami kecelakaan maka kita tidak akan sampai tujuan. Perkara ini banyak nampak jelas tatkala kita memanfaatkan media transportasi, media listrik atau api dan sebagainya. Hal itu disebabkan kita ingin memanfaatkannya. Namun apabila tidak disertai dengan takut dan kehati-hatian dalam memanfaatkannya, maka hal itu akan menjadi sebab kehancuran dan kebinasaan kita sendiri. Karena itu, berhimpunnya takut dan harapan, pada sebuah esensi, dan boleh jadi terkait dengan sesuatu atau seseorang merupakan suatu hal yang lumrah dan tidak perlu diherankan.
Adapun terkait dengan Allah Swt harus dikatakan bahwa di samping kita harus takut kepada Allah Swt pada saat yang sama kita juga harus berharap dan cinta kepada-Nya. Lantaran kasih, cinta dan harapan kepada-Nya merupakan hasil kesewarnaan dari satu sisi dan gerakan, usaha, percepatan dalam meraup faktor-faktor keridhaan-Nya dan pada puncaknya sampainya seseorang pada pelbagai emanasi, kemurahan, anugerah duniawi dan ukhrawi dari-Nya pada sisi lainnya. Takut kepada-Nya akan melahirkan sikap dan sifat khudhu’, khusyu’ dan ketaatan serta meninggalkan pelbagai maksiat dan faktor-faktor lainnya yang dapat menyebabkan kemurkaan, kemarahan dan azab-Nya.
Adanya kebersamaan takut dan harapan di dunia bagi orang-orang pada tingkatan menengah akan menyebabkan ketenangan yang kosong dari segala jenis ketakutan dan kesedihan di akhirat. Dunia yang merupakan tempat untuk beramal dan beraktivitas dan amalan serta aktivitasnya memerlukan penjagaan dan pengawalan dari bahaya sehingga dapat disemai di akhirat kelak. Sementara di sana tidak diperlukan lagi pengawalan dan penjagaan karena bukan tempat beramal dan beraktivitas.
Takut semata-mata akan menghasilkan putus asa, hampa harapan dan stres. Harapan dan cinta semata-mata akan menyebabkan terkecohnya nafsu, munculnya kelancangan untuk berbuat maksiat. Tentu saja keduanya bukan sebuah yang ideal dan tertolak.
Takut, harapan dan cinta merupakan perkara-perkara hati nurani dan tidak memerlukan definisi. Di hadapan pelbagai perkara manusia boleh jadi dihinggapi rasa takut dan gentar. Misalnya pertama merasa gentar dan takut atas jiwa, harta, tanah dan sebagainya. Kedua, memahami keagungan dan kehebatan sesuatu. Ketiga, jahil terhadap pelbagai akibat sebuah perbuatan dan konsekuensi sebuah urusan. Dan seterusnya. Kendati boleh jadi disertai keduanya terkait dalam sebagian perkara.
Perasaan cinta dan suka juga dihasilkan oleh beberapa perkara:
Pertama, adanya ketertarikan dan keindahan pada yang dicinta, kecenderungan dan kecintaan kepadanya. Kecondongan terhadap pelbagai keindahan dan penyair cinta ini sebagai ikutan dari warna dan akibatnya dipandang sebagai rasa malu, namun perkara ini tidak berlaku secara universal melainkan apabila pelbagai keindahan ini adalah keindahan yang bersifat transient dan fana maka perkara ini mungkin ada benarnya. Namun apabila keindahan dan kesempurnaan ini, pelbagai nilai moral terlepas apakah ia keindahan dan kesempurnaan eksistensial dan riil maka cinta ini bukan akibat dari warna dan akibatnya adalah rasa malu melainkan dari adanya kesewarnaan.
Kedua, perasaan ketergantungan dan kebutuhan terhadap sang kekasih dan penantian terhadap sang kekasih untuk sampai pada jalan yang dimaksud. Kecintaan ini ia menghendaki sang kekasih untuk sang kekasih bukan untuk dirinya sendiri.
Ketiga, kecintaan akan dipetik sebagai buah dari rasa syukur terhadap yang memberikan anugerah. Kecintaan karena kerinduan kepada sang kekasih yang telah memberikan begitu banyak anugerah dan tanpa adanya tuntutan imbalan.
Keempat sang kekasih (mahbub) menuntut kecintaan sang pecinta dan ketertarikan sang pecinta kepada sang dicinta untuk merebut hatinya dan berada di bawah kepak sayapnya. Boleh jadi terkait dengan seorang kekasih, terdapat banyak faktor yang saling menyertai.
Apabila kita cermati pada seluruh aksi dan reaksi kita seluruhnya merupakan cermin dari campuran dari takut, cinta dan harapan. Kendati boleh jadi pada beberapa perkara yang satu lebih dominan atas yang lain. Dan kesetimbangan senantiasa tidak terwujud. Akan tetapi, kebersamaan takut dan harapan (serta cinta) merupakan perkara yang tidak dapat dihindari. Iya, perkara ini merupakan perkara yang sangat jelas sedemikian sehingga membuat kita lalai memperhatikannya. Keduanya berpengaruh banyak dalam perbuatan-perbuatan kita. Ketiganya merupakan faktor penggerak sehingga kita melakukan pelbagai aktivitas keseharian dan bahkan pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya. Takut menjadi penyebab kita berhati-hati dan membuat kita mencermati pelbagai konsekuensi dan akibat dari sebuah perbuatan. Apabila yang terdapat pada diri manusia semata-mata harapan dan cinta sementara sikap hati-hati disingkirkan, maka manusia segera akan jatuh dalam kubangan. Sementara, apabila yang ada hanyalah takut maka manusia sama sekali tidak akan beraktivitas. Kita tidak akan makan dan minum lantaran boleh jadi setetes masuk ke dalam tenggorokan kita atau sesuap nasi yang akan mencelakakan kita.
Karena itu ungkapan heran dan takjub terkait dengan kebersamaan takut dan harapan serta cinta kepada Tuhan sebenarnya yang justru harus diherankan. Karena hal itu menunjukkan ketidaktahuan kita terhadap diri dan pelbagai kondisi kita.
Penjelasan:
Takut (khauf), harapan (rajâ’) dan cinta (mahabbah) berbeda pada kebanyakan orang berdasarkan pada teraju pengenalan dan makrifat mereka kepada Tuhan, terhadap sifat jamaliyah dan sifat jalaliyah-Nya serta pengetahuan agama lainnya dari satu sisi dan performa di masa lalu dari ketiganya dari sisi lainnya. Kemantapan hati atau tiadanya kemantapan hati terhadap masa depannya dari sisi yang lain masing-masing berbeda satu dengan yang lain. Mereka yang tersedot kehebatan, keagungan dan kebesaran Tuhan atau pada masa yang lalu terjerembab dalam kubangan maksiat dan tidak memenuhi hak-hak Tuhan maka takutnya lebih mendominasi ketimbang cinta dan harapannya. Demikian juga sebaliknya. Mereka yang tenggelam dalam keindahan dan rahmat Tuhan menikmati pelbagai pelbagai perhatian dan kemurahan Tuhan dan pada masa lalunya memilih bersikap hati-hati dan menunaikan adab-adab di hadapan Tuhan dan apabila tergelincir maka ia menemukan gerbang taubah dan pengampunan Tuhan terbuka lebar dan melalukan taubah sesungguhnya (nasuha). Cinta dan harapan lebih dominan ketimbang takutnya.
Sementara yang lainnya berbuat pada posisi tengah-tengah, ia tidak begitu yakin dengan pelbagai perbuatan yang dulu dilakukannya dan pada akhirnya tidak terlepasnya ia dari amarah dan murka Tuhan namun pada saat yang sama ia berharap pada ampunan, kemurahan dan kemuliaan Tuhan, antara takut, harapan dan cintanya terjalin keseimbangan. Namun yang lebih penting bahwa pada kebanyakan perkara, takut dan kecintaan bertitik-tolak dari kecintaan terhadap diri dan insting untuk meraup manfaat dan mengeliminasi kerugian. Artinya galibnya orang-orang lantaran takut terhadap azab Tuhan di akhirat dan terjauhkan dari pelbagai emanasi Tuhan dan pelbagai nikmat serta kenikmatan surga, bidadari dan istana menambatkan cinta dan harapan kepada Tuhan. Namun mereka yang dahaga terhadap kesempurnaan dan keindahan Tuhan serta karam dalam keagungan dan kemuliaan Tuhan sangatlah sedikit atau hanya dapat dijumpai pada kalangan para nabi dan washi (para Imam).
Dalam hikmah perennialnya, Imam Ali As mengilustrasikan tiga kelompok manusia ini dalam sebuah sabdanya, “Sekelompok orang beribadah kepada Tuhan dengan harapan ampunan (dan anugerah). Ibadah seperti ini adalah ibadahnya para peniaga. Sekelompok orang beribadah kepada Tuhan karena takut dan ibadah seperti ini adalah ibadahnya para budak. Sekelompok orang beribadah kepada Tuhan karena rasa syukur dan inilah ibadahnya orang-orang merdeka.”[1]
Atas dasar itu, sebagian ulama berkata, “Salah satu fondasi terpenting pengajaran (taklim) dan pendidikan (tarbiyat) dalam Islam adalah cinta (mahabbah). Al-Qur’an yang merupakan pengajar dan pendidik moral menandaskan bahwa sentral pelbagai keutamaan moral adalah kecintaan (mahabbah). Imam Shadiq As bersabda, “Allah Swt menggembleng dan mendidik para nabi dengan kecintaan Ilahi.”[2]
Masalah menakut-nakuti (takhwif) dan tasbyir (menggembirakan) banyak disebutkan dalam al-Qur’an dan riwayat-riwayat Ahlulbait As. Akan tetapi terkait dengan orang-orang lemah (pada tingkatan pemula) dan terkait dengan orang-orang medium (mukaddimah dan pertengahan) supaya manusia pada awal-awal perjalanan bergerak dengan tanbih (peringatan) dan tasywiq (motivasi) dan secara perlahan melaju ke depan dengan tahbib (pencintaan).[3]
Karena itu, tidak perlu terlalu kaget adanya kebersamaan antara takut dan cinta dalam kaitannya kepada Tuhan. Bahkan kebersamaan takut dan cinta ini harus ada untuk penggemblengan, kemajuan dan kesempurnaan manusia. Karena dengan takut manusia akan menghindar tidak melakukan maksiat dan pelbagai perbuatan yang mengundang murka dan azab Tuhan. Ia akan lebih intens untuk khudhu, khusyu dan taat kepada Allah Swt. Ia akan penuh cinta menunaikan segala kewajiban dan nawafil (hal-hal yang dianjurkan) serta berlomba untuk mengerjakan segala yang mendatangkan kemurahan, rahmat dan anugerah Ilahi. Dengan kata lain, hasil takut dan harapan kepada-Nya adalah berlomba kepada segala kebaikan dan mengerjakan segala keutamaan dan menghindar dari segala keburukan dan maksiat. Meninggalkan segala kejelekan dan inilah kesempurnaan ideal yang telah dianugerahkan Sang Pencipta kepadanya yaitu meraih warna (shibghah) Ilahi dan sampai pada makam khalifah Ilahi serta meraup segala nikmat ukhrawi dan terlepas dari segala kerisauan dan kesedihan, sebagaimana hal ini berulang-ulang disebutkan dalam al-Qur’an, Benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan mereka; tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah [2]:63); Dan sekiranya ahli kitab beriman dan bertakwa, tentulah Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami masukkan mereka ke dalam surga yang penuh kenikmatan. (QS. Al-Maidah [5]:65)[4]
Kalau tidak demikian hanya takut yang dimiliki tentu akan menyebabkan stres, putus asa dan matinya hati, meninggalkan taubat dan tenggelam dalam pelbagai dosa dan maksiat. Pada akhirnya larut dalam pelbagai musibah duniawi dan ukhrawi. Semata-mata kecintaan juga tidak memadai karena hanya akan membuat manusia lancang dan berlaku maksiat, berharap untuk bertaubat pada akhir-akhir usianya, tamak tidak pada tempatnya kepada rahmat, kemuliaan dan kemurahan Tuhan. Sementara tatkala manusia tidak melakukan pelbagai sebab-sebab yang dapat mengundang rahmat dan ra’fat (kelembutan) Tuhan maka ia tidak dapat menutup rahmat dan kemurahan Tuhan satu sisi saja! Dan terkait dengan perkara ini Imam Husain As bertutur lirih dalam doa Arafah, “Sungguh buta yang tidak melihat Engkau sebagai pengawas dan kehilangan modal mereka yang tidak menyisakan saham kecintaan (kepada-Mu)” Karena itu hasil dari takut dan kecintaan ini akan dipetik kelak di akhirat. Di sana adalah tempat azab dan musibah bagi orang-orang yang tidak memelihara nikmat ini atau putus asa dan karam dalam maksiat. Atau terkecoh dan tidak mengumpulkan bekal untuk kehidupan akhirat atau tempat nikmat dan kenyamanan tanpa adanya kerisauan dan ketakutan dengan menjaga keseimbangan antara takut dan harapan, ia meninggalkan pelbagai perbuatan maksiat dan juga berlomba-lomba dalam mengumpulkan bekal untuk kehidupan akhirat.[IQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat beberapa buku akhlak, pembahasan “khauf wa rajâ” atau “mahabbah” dan “wilâyah.” Misalnya:
1. Marâhil-e Akhlâq dar Qur’ân, Ayatullah Jawadi Amuli, hal. 279-340.
2. Syarh-e Cihil Hadits, Imam Khomeini Qs, hal. 221, 233, 481 dan 484.
3. Akhlâq dar Qur’ân, Muhammad Taqi Misbah Yazdi, pembahasan Khauf dan Raja.