Please Wait
13321
Sejarawan pada umumnya bersepakat bahwa Alkitab sama sekali tidak menyebutkan tentang konsep Tritunggal secara tegas dan lugas. Ensiklopedia Eliade, terkait dengan Tritunggal, menulis, “...masalah ini telah menjadi masalah besar bagi Gereja untuk menemukan sebuah ayat tentang Tritunggal dalam Alkitab.”
Namun demikian sebagian orang Kristen menjelaskan bukti-bukti dari Alkitab yang menurut mereka sebagai penjelas konsep Tritunggal, namun setelah mengkaji dan mencermati paragraf-paragraf yang dimaksud menjadi jelas bahwa bukti-bukti tersebut tidak terlalu lugas dalam mengungkap pesan Tritunggal. Intinya mereka tidak mampu menetapkan konsep Tritunggal bersumber dari Alkitab.
Tiadanya teks suci (nash) ihwal Tritunggal dan terbatas serta globalnya redaksi yang berkaitan dengan ketuhanan Yesus Kristus (Nabi Isa), membuat orang-orang Kristen berupaya meluaskan terminologi putra Allah (Bapa) sehubungan dengan Nabi Isa. Terminologi ini mereka ganti dari makna kiasan menjadi makna hakiki. Namun demikian mereka berselisih paham tentang masalah ketuhanan Yesus Kristus hingga tiga abad lamanya.
Pada awal abad keempat, seorang uskup Kristen terkemuka bernama Arius bangkit melawan keyakinan tentang ketuhanan Yesus Kristus dan berpolemik, kurang lebih dengan 300 uskup yang diundang oleh Konstantinus, kaisar pertama orang Kristen, datang ke kota Nicea Asia Minor (sekarang Iznik, Turki) tahun 325 M. Dari pertemuan itu, Konstantinus membentuk Konsili Nicea. Dalam konsili ini, tercapai kata sepakat yang mendukung ketuhanan Kristus dan menolak pendapat Arius yang dipandang sebagai penghujatan.
Meski berdasarkan keputusan Konsili Nicea yang merumuskan resolusi berupa Kredo Nicea yaitu keyakinan terhadap Tritunggal sebagai prinsip seorang Krisitian, namun senantiasa terdapat orang-orang yang menolak keyakinan terhadap Tritunggal ini.
Tritunggal merupakan salah satu keyakinan fundamental agama Kristen yang menyatakan bahwa Tuhan Yang Esa terangkum dalam tiga oknum; Tuhan Bapa, Tuhan Anak (yang menjelma dalam diri Yesus Kristus) dan Tuhan Ruhul Kudus. Ketiganya memiliki satu esensi dan substansi namun berbeda satu sama lain.
Kitab suci agama Kristen terdiri dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Keduanya menunjukkan tentang keesaan Tuhan dan sama sekali tidak menunjukkan secara tegas tentang Tritunggal. Dalam Perjanjian Lama (Old Testament) disebutkan, “Engkau diberi melihatnya untuk mengetahui, bahwa Tuhanlah Allah, tidak ada yang lain kecuali Dia.” (Ulangan 4:35) Dalam Perjanjian Baru (New Testament) juga disebutkan, “Karena Allah itu esa.” (1 Timotius 2:5)
Orang-orang Kristen masa pertama tidak meyakini konsep Tritunggal dan memandang Yesus Kristus (Nabi Isa As) sebagai Rasulullah dan orang pilihan Tuhan. Ebionit (pengikut Ebionisme) Kristen abad-abad pertama kemunculan agama Kristen memandang Yesus Kristus sebagai seorang manusia biasa yang merupakan putra Maryam.[1]
Demikian juga, sejarawan pada umumnya bersepakat bahwa Alkitab sama sekali tidak menyebutkan tentang konsep Tritunggal secara tegas dan lugas.[2] Ensiklopedia Eliade terkait dengan Tritunggal menulis, “...masalah ini telah menjadi masalah besar bagi Gereja untuk menemukan sebuah ayat tentang Tritunggal dalam Alkitab. Di samping itu, terdapat sebagian ruhani Kristen yang juga menegaskan dan membahas konsep Monoteisme. Santo Yohanes dari Damaskus (John of Damascus) berkata, “Orang-orang yang meyakini Alkitab, tidak akan menyangsikan keesaan Tuhan.”[3] Neo-Ensiklopedia Britannica juga mengungkapkan hal sedemikian, “Tidak redaksi Tritunggal yang disebutkan dan juga tidak ada keyakinan tegas terhadapnya yang disebutkan dalam Perjanjian Baru.”[4]
Patut untuk dicermati bahwa Tuhan yang disebutkan dalam Taurat (Torah) juga adalah Tuhan Esa. Dalam kitab ini sangat menegaskan keesaan Tuhan. Titah kedua (second commandement) dari sepuluh titah (Ten Commandements) disebutkan, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.” (Keluaran 20:3) Demikian juga disebutkan, “Engkau diberi melihatnya untuk mengetahui, bahwa Tuhanlah Allah, tidak ada yang lain kecuali Dia.” (Ulangan 4:35); “Sebab itu ketahuilah pada hari ini dan camkanlah, bahwa Tuhanlah Allah yang di langit di atas dan di bumi di bawah, tidak ada yang lain. (Ulangan 4: 39) “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Ulangan 6:4); “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” (Kejadian 1:1)[5]
Sesuai dengan keyakinan orang-orang Kristen dan para periset agama, Injil-injil Sinoptik (Matius, Markus dan Lukas) ditulis beberapa dasawarsa sebelum Injil Yohanes. Injil Yohanes ditulis kira-kira pada tahun 100 M; hal ini berarti bahwa Injil Yohanes ditulis 30 tahun setelah kematian Paulus yaitu pada masa ketika pemikirannya menguasai iman dan keyakinan masyarakat.
Dengan sebuah perbandingan global, antara kandungan-kandungan tiga Injil yang senada dari satu sisi dan Injil Yohannes dari sisi lain, akan menjadi jelas bahwa Injil-injil Sinoptik ini tidak terlalu menuhankan Kristus (Nabi Isa), namun pada hampir keseluruhan Injil Yohanes terdapat banyak hal yang menyebutkan ketuhanan Kristus. Misalnya disebutkan dalam Injil Yohanes bahwa sebab penentangan orang-orang Yahudi terhadap Kristus karena Kristus menyebut dirinya sebagai Tuhan.[6]
Injil-injil Sinoptik ini (Matius, Markus dan Lukas) menyebutkan ihwal sembahyang, ibadah dan ketundukan Kristus di hadapan Tuhan. Khususnya tatkala belum lagi ditangkap, dalam beberapa kesempatan Kristus menunjukkan ketundukannya di hadapan Tuhan[7] dan kita membaca bahwa akhir sabda Kristus adalah, “Eloi, Eloi (Tuhanku..Tuhanku) mengapa Engkau meninggalkan Aku.”[8]
Namun demikian, sebagian orang Kristen menjelaskan bukti-bukti dari Alkitab yang menurut mereka merupakan penjelas konsep Tritunggal, akan tetapi setelah mengkaji dan mencermati paragraf-paragraf yang dimaksud menjadi jelas bahwa bukti-bukti tersebut tidak terlalu lugas dalam mengungkap pesan Tritunggal. Intinya mereka tidak mampu dan berhasil menetapkan konsep Tritunggal bersumber dari Alkitab.
Untuk menjelaskan masalah ini kami akan menyebutkan secara ringkas sebagian bukti-bukti sebagaimana berikut ini:
1. Sebagian orang Kristen meyakini bahwa akar konsep Tritunggal dapat dirasakan pada Perjanjian Baru dan redaksi pembaptisan di akhir Injil Matius menjelaskan hal ini secara lugas, “Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu.” (Matius 6:9) Demikian juga Yesus Kristus berkata, “Kata Yesus kepadanya: "Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa, tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu." (Yohanes 20:17)[9]
2. Dalam Alkitab pada sebagian hal nama Tuhan disebutkan dalam bentuk jamak atau dengan kata ganti (pronomina) jamak atau dengan lafaz “Elohim” (אֱלהִים) (yang memiliki makna ganda, singular dan plural). Karena itu orang-orang Kristen menyimpulkan dari ayat-ayat ini bahwa Tuhan pastilah lebih dari satu karena disebutkan dengan lafaz dan redaksi jamak. Seperti pada Kitab Kejadian disebutkan, “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” (Kejadian 1:26-27) Atau pada tempat yang terpisah disebutkan, “Berfirmanlah TUHAN Allah: "Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat; maka sekarang jangan sampai ia mengulurkan tangannya dan mengambil pula dari buah pohon kehidupan itu dan memakannya, sehingga ia hidup untuk selama-lamanya." (Kejadian 3:22) Kemudian pada ayat lainnya Kitab Kejadian dinyatakan, “Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing." (Kejadian 11:7) “Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka sahutku: "Ini aku, utuslah aku!" (Yesaya 6:8)
Jawab: Para pakar tata bahasa dan ahli linguistik menyebutkan bahwa jamak dalam ayat-ayat ini adalah jamak demi penghormatan. Sebagaimana kita dalam penggunaan keseharian kita juga menggunakan tata bahasa seperti ini. Bahkan pada sebagian Alkitab juga terdapat seabrek contoh dari penggunaan jamak afirmatif dan jamak penghormatan seperti ini. Salah satu penggunaan kalimat ini dapat kita jumpai pada penggunaan kalimat Ibrani Adonim (אדנים) yang bermakna tuan sebagaimana yang disebutkan pada kitab Kejadian.[10]
Adapun penggunaan Adonim (אדנים) sebagai jamak (plural) hakiki (tuan-tuan) dapat Anda saksikan pada ayat-ayat lainnya dalam Alkitab sebagai contoh, “Serta berkata: "Tuan-tuan, silakanlah singgah ke rumah hambamu ini, bermalamlah di sini dan basuhlah kakimu, maka besok pagi tuan-tuan boleh melanjutkan perjalanannya." Jawab mereka: "Tidak, kami akan bermalam di tanah lapang." (Kejadian 19:2); “Seperti sejuk salju di musim panen, demikianlah pesuruh yang setia bagi orang-orang yang menyuruhnya. Ia menyegarkan hati tuan-tuannya.” (Amsal 25:13); “Ya TUHAN, Allah kami, tuan-tuan lain pernah berkuasa atas kami, tetapi hanya nama-Mu saja kami masyhurkan.” (Yesaya 26:13) Anda saksikan bahwa dalam hal ini, redaksi yang sama digunakan untuk kalimat jamak dan hal ini dengan jelas menunjukkan penggunaan redaksi Elohim (אֱלהִים) bagi Tuhan Esa hakiki adalah penggunaan yang merebak pada waktu itu.
Jawaban lainnya yang dapat dikemukakan di sini: Menggunakan kalimat jamak Elohim (אֱלהִים) disebabkan oleh penjelas kesempurnaan kekuatan Ilahi yaitu kumpulan kekuasaan yang ditunjukkan oleh Tuhan.
3. Satu lagi ayat yang digunakan oleh orang-orang Kristen dalam menetapkan konsep Tritunggal adalah ayat, “Sebab ada tiga yang memberi kesaksian di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu.” (1 Yohanes 5:7)
Jawab: Ayat ini hanya dapat ditemukan pada sebagian naskah Latin dan tidak dijumpai pada naskah-naskah Alkitab yang ditulis dalam bahasa Yunani. Dewasa ini, ayat Tritunggal ini telah dihapus dari teks asli Alkitab bahkan juga tidak ditemukan pada terjemahan Alkitab Latin Gereja Katolik (Vulgata).
Proses Kemunculan dan Perkembangan Konsep Tritunggal
Tiadanya teks suci (nash) ihwal Triutunggal dan terbatas serta globalnya redaksi yang berkaitan dengan ketuhanan Yesus Kristus, membuat orang-orang Kristen berupaya meluaskan terminologi Putra Bapa sehubungan dengan Yesus Kristus. Terminologi ini mereka ganti dari makna kiasan menjadi makna hakiki. Namun mereka berselisih paham tentang masalah ketuhanan Yesus Kristus hingga tiga abad lamanya. Pada awal abad keempat, seorang uskup Kristen terkemuka bernama Arius bangkit melawan keyakinan tentang ketuhanan Yesus Kristus dan berpolemik dengan kurang lebih 300 uskup yang diundang oleh Konstantinus, kaisar pertama orang Kristen, untuk datang ke kota Nicea Asia Minor (sekarang Iznik, Turki) tahun 325 M. Dari pertemuan itu, Konstantinus membentuk Konsili yang kemudian populer dengan nama Konsili Nicea.
Dalam Konsili ini, tercapai kata sepakat dengan suara mayoritas yang mendukung keilahian Kristus dan menolak pendapat Arius yang dipandang sebagai penghujatan.
Dalam resolusi Konsili yang umum dikenal dengan Kredo Nicea, kita membaca tentang Yesus Kristus yang digambarkan sebagai "Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah sejati dari Allah sejati," yang menyatakan keillahian-Nya. Walaupun semua terang bersumber dari alam, esensi dari terang itu dianggap identik, apapun bentuknya.Yesus Kristus dikatakan "diperanakkan, bukan dijadikan," menyatakan keabadianN-ya bersama Allah, dan menegaskannya dengan menyatakan perananNya dalam Penciptaan. Akhirnya, Yesus Kristus dikatakan "berasal dari substansi Sang Bapa,.... Dia turun untuk manusia dan menjelma menjadi manusia demi keselamatan (salvation) manusia... terkutuklah bagi orang-orang yang berkata bahwa suatu hari dia tidak ada atau sebelumnya tidak ada, atau berasal dari ketiadaan kemudian mengada, dan (demikian juga terkutuklah) bagi orang-orang yang menyakui bahwa Dia berasal dari substansi atau genus lain, atau putra Bapa yang tercipta atau dapat berubah dan berganti.”[11]
Meski berdasarkan keputusan Konsili Nicea yang merumuskan resolusi berupa Kredo Nicea yaitu keyakinan terhadap Tritunggal sebagai prinsip seorang Krisitian, namun tetap saja terdapat orang-orang yang senantiasa menolak keyakinan terhadap Tritunggal ini.
Pada tahun 1600, sebuah sekte bernama Unitarianisme muncul dan menolak konsep Tritunggal; karena mereka meyakini bahwa iman terhadap Tritunggal muncul akibat pengaruh keyakinan lemah filosof Yunani dalam merumuskan kredo-kredo mereka.[12]
Pemimpin gerakan Unitarianisme adalah seorang berkebangsaan Spanyol yang bernama Michael Servetus, yang menelaah secara serius dan cermat Alkitab, khususnya Perjanjian Baru. Setelah mengkaji dan mempelajari Alkitab secara serius, ia sampai pada kesimpulan bahwa konsep Tritunggal yang disusun berdasarkan Kredo Nicea bagi orang-orang Kristen secara umum adalah perkara yang telah dikonfirmasi sebelumnya, dalam lembaran Kredo Nicea merupakan rekayasa Gereja Katolik, mengajarkan kekufuran dan ajaran-ajaran palsu. Dalam Alkitab,” tulisnya, “Tritunggal tidak pernah disebutkan.” Michael Servetus pada tahun 1531 menulis buku yang berjudul, “On the Errors of the Trinity’’ karya tulis yang menyebabkan dia menjadi sasaran utama Inkuisisi. Dengan tuduhan kafir dan pagan, ia mendapat hukuman bakar. Meski ia telah tiada, namun komunitas Kristen bermunculan yang menentang konsep Tritunggal yang menuai kecaman hebat dan pengkafiran kaum Protestan dan Katolik. Namun begitu, penganut keyakinan ini (Unitarianism), tetap saja memiliki pengikut hingga pada masa sekarang ini.[13] [iQuest]
[1]. Allister McGrath, Dar Âmadi bar Ilahiyyat Masihi (Christian Theology: An Introduction), Penerjemah Persia, Isa Dibaj, hal. 362, Intisyarat-e Kitab Rausyan.
[2]. Michael D. Coogan, The Illustrated Guide to World Religions, hal. 65, Oxford University Press.
[3]. Abdurrahim Sulaimani Ardestani, Dar Âmadi bar Ilahiyyât-e Tathbiqi Islâm wa Masihi, hal. 120, Cetakan Pertama, Kitab Thaha, Qum, 1382 S, sesuani nukilan dari Yohannes dari Damaskus (John of Damascus), al-Miat al-Maqalat fi al-Iman al-Urtsudzki, hal. 61, Libanon, Mansyurat al-Maktabat al-Bulusi, al-Tsaniyah, 1991 M.
[4]. Encylopedia Britannica Online: Article on Trinity.
[5]. Abdurrahim Sulaimani Ardestani, Yahudiyat, hal. 82, Cetakan Pertama, Ayat ‘Isyq, Qum, 1382 S.
[6]. “Sekali lagi orang-orang Yahudi mengambil batu untuk melempari Yesus. Kata Yesus kepada mereka: "Banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-Ku yang Kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melempari Aku?" Jawab orang-orang Yahudi itu: "Bukan karena suatu pekerjaan baik maka kami mau melempari Engkau, melainkan karena Engkau menghujat Allah dan karena Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diri-Mu dengan Allah." Kata Yesus kepada mereka: "Tidakkah ada tertulis dalam kitab Taurat kamu: Aku telah berfirman: Kamu adalah allah? Jikalau mereka, kepada siapa firman itu disampaikan, disebut allah--sedang Kitab Suci tidak dapat dibatalkan--, masihkah kamu berkata kepada Dia yang dikuduskan oleh Bapa dan yang telah diutus-Nya ke dalam dunia: Engkau menghujat Allah! Karena Aku telah berkata: Aku Anak Allah?Jikalau Aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa-Ku, janganlah percaya kepada-Ku, tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepada-Ku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa." (Yohanes 10:31-38)
[7]. “Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46) “Dan pada jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eloi, Eloi, lama sabakhtani?", yang berarti: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Markus 15:34)
[8]. Husain Taufiqi, Âsyanâi ba Adyân-e Buzurgh, hal. 148, Cetakan Kelima, Intisyarat-e Samt, Teheran, 1381 S.
[9]. Ibid, hal. 149.
[10]. yang menyeru kepada Abraham, “Lalu hamba itu meletakkan tangannya di bawah pangkal paha Abraham, tuannya, dan bersumpah kepadanya tentang hal itu. Kemudian hamba itu mengambil sepuluh ekor dari unta tuannya dan pergi dengan membawa berbagai-bagai barang berharga kepunyaan tuannya; demikianlah ia berangkat menuju Aram-Mesopotamia ke kota Nahor.” (Kejadian 24:9-10); “Lihat, Ribka ada di depanmu, bawalah dia dan pergilah, supaya ia menjadi isteri anak tuanmu, seperti yang difirmankan TUHAN." (Kejadian 24:51) Demikian juga pada Kejadian 39:2,3,7,8, yang dialamatkan kepada Putipar (tuan Yusuf) “Tetapi TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya; maka tinggallah ia di rumah tuannya, orang Mesir itu. Setelah dilihat oleh tuannya, bahwa Yusuf disertai TUHAN dan bahwa TUHAN membuat berhasil segala sesuatu yang dikerjakannya. Selang beberapa waktu isteri tuannya memandang Yusuf dengan berahi, lalu katanya: "Marilah tidur dengan aku." Tetapi Yusuf menolak dan berkata kepada isteri tuannya itu: "Dengan bantuanku tuanku itu tidak lagi mengatur apa yang ada di rumah ini dan ia telah menyerahkan segala miliknya pada kekuasaanku.” Atau pada ayat-ayat Kejadian yang lain yang dialamatkan kepada Yusuf, “Orang itu, yakni yang menjadi tuan atas negeri itu, telah menegor kami dengan membentak dan memperlakukan kami sebagai pengintai negeri itu.” (Kejadian 42:30 & 33) “Bukankah uang yang kami dapati di dalam mulut karung kami telah kami bawa kembali kepadamu dari tanah Kanaan? Masakan kami mencuri emas atau perak dari rumah tuanmu?” (Kejadian 44:8) Demikian juga ayat yang dialamatkan kepada Fir’aun, “Sesudah semuanya itu terjadilah, bahwa juru minuman raja Mesir dan juru rotinya membuat kesalahan terhadap tuannya, raja Mesir itu.” (Kejadian 40: 1) “Tetapi Uria membaringkan diri di depan pintu istana bersama-sama hamba tuannya dan tidak pergi ke rumahnya.” (2 Samuel 11:9); “Lalu berkatalah Natan kepada Batsyeba, ibu Salomo: "Tidakkah engkau mendengar, bahwa Adonia anak Hagit, telah menjadi raja, sedang tuan kita Daud tidak mengetahuinya?” Dan raja berkata kepada mereka: "Bawalah para pegawai tuanmu ini, naikkan anakku Salomo ke atas bagal betina kendaraanku sendiri, dan bawa dia ke Gihon. etapi Yonatan menjawab Adonia: "Tidak! Tuan kita raja Daud telah mengangkat Salomo menjadi raja. juga pegawai-pegawai raja telah datang mengucap selamat kepada tuan kita raja Daud, dengan berkata: Kiranya Allahmu membuat nama Salomo lebih masyhur dari pada namamu dan takhtanya lebih agung dari pada takhtamu. Dan rajapun telah sujud menyembah di atas tempat tidurnya.” (1 Raja-raja 1:11, 33, 43, 47) yang dialamatkan kepada Daud. Dan hal-hal lainya yang dapat disaksikan pada Alkitab yang menggunakan kata ganti jamak (Adonim) untuk satu orang.
[11]. Miller, V.M, Tarikh-e Kelisai Qadim dar Emperatori Rum wa Iran, hal. 244, Penerjemah Persia, Ali Nakhastin, Intisyarat Hayat-e Abadi, Teheran, 1981 M.
[12]. William E Hordern, Râhnema-i Ilahiyyât-e Protestan (Guide to Protestant Theology), hal. 34, Penerjemah Persia, Thatawus Mikailiyyan, Cetakan Pertama, Syerkat-e Intisyarat-e ‘Ilmi wa Farhanggi, teheran 1368.
[13]. John Barness, Tarikh Jâmi’ Adyân (Religious History), hal. 680-681, Penerjemah Persia, Ali Asghar Hikmat, Cetakan Ketigabelas, Syerkat-e Intisyarat-e ‘Ilmi wa Farhanggi, Teheran, 1382.