Please Wait
10148
Imam Ali As menyerupakan Rasulullah Saw sebagai tabib dan dokter yang senantiasa berkelana mencari orang-orang yang memerlukan perawatan mental dan spiritual. Imam Ali menjelaskan bahwa risalah Nabi Saw adalah untuk mengobati ruh dan jiwa manusia. Katanya, “Thabib Dawwârun Bithibbihi” beliau adalah dokter spesialis penyakit kebodohan dan tabib akhlak keji dan tercela. Dawwârun bithibbihi (Nabi Saw dengan ilmu tabibnya senantiasa berkelana dan berkeliling) merupakan ungkapan kiasan bahwa beliau menyiapkan dirinya untuk mengobati orang-orang bodoh dan tersesat. Nabi Saw memandang dirinya telah diangkat dan ditugaskan untuk keperluan ini.
Masalah yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa Rasulullah Saw berbeda dengan kebiasaan para dokter dan tabib yang berhubungan dengan badan fisikal masyarakat. Para dokter umumnya duduk menantikan para pasien yang datang memeriksakan kesehatan mereka pada klinik-kliniknya, namun Rasulullah yang datang kepada mereka. Dengan kata lain, Rasulullah Saw memiliki risalah inklusif yang bertujuan untuk menyembuhkan penyakit ruh dan jiwa masyarakat. Risalah ini menuntut supaya beliau mendatangi masyarakat dan menyembuhkan mereka.
Untuk menjelaskan makna “Thabibun Dawwârun” pertama-tama kalimat-kalimat yang disampaikan oleh Imam Ali As yang menyinggung salah satu sifat dan karakter Nabi Saw kita telusuri kemudian membahas masalah yang menjadi obyek bahasan. Imam Ali As dalam salah satu khutbah Nahj al-Balagha menyatakan bahwa Nabi adalah ibarat tabib yang berkelana yang telah menyiapkan obat-obatannya dan memanaskan peralatannya. Beliau menggunakannya bilamana timbul keperluan untuk menyembuhkan hati yang buta, telinga yang tuli, dan lidah yang kelu. Beliau menelusuri dengan obatnya tempat-tempat kelalaian dan tempat-tempat kebingungan.”[1]
Imam Ali As dengan menyerupakan Rasulullah Saw sebagai tabib dan dokter yang senantiasa berkelana mencari orang-orang yang memerlukan perawatan mental dan spiritual. Imam Ali menjelaskan bahwa risalah Nabi Saw adalah untuk mengobati ruh dan jiwa manusia. Katanya, “Thabibun Dawwârun Bithibbihi” beliau adalah dokter spesialis penyakit kebodohan dan tabib akhlak keji dan tercela. Dawwârun bithibbihi (Nabi Saw dengan ilmu tabibnya senantiasa berkelana dan berkeliling) merupakan ungkapan kiasan bahwa beliau menyiapkan dirinya untuk mengobati orang-orang bodoh dan tersesat. Nabi Saw memandang dirinya telah diangkat dan ditugaskan untuk keperluan ini. Kata “marâhim” (jamak marham yang bermakna obat) merupakan ungkapan metapora untuk pengetahuan-pengetahuan dan sifat-sifat terpuji dan unggul yang dimiliki oleh Nabi Saw.
Redaksi kata “mawâsim” juga merupakan kiasan bagi hukum-hukuman dan batasan-batasan syariat serta implementasinya yang terkait dengan orang yang tidak mengambil manfaat dari bimbingan dan pengajaran. Karena itu, beliau laksana dokter mahir dan terampil yang memiliki segala macam obat, memanaskan peralatan dan membakar luka-luka bagi seseorang yang tidak berguna obat baginya, sehingga kapan saja diperlukan untuk menyembuhkan hati yang buta, telinga yang tuli, dan lidah yang kelu sehingga mereka siap sedia menerima pelbagai cahaya ilmu dan petunjuk pada jalan kebenaran dan memberikan penglihatan pada mata hati mereka; dan untuk mengobati telinga yang tuli supaya dapat menerima nasihat dan wejangan. Redaksi kata “shamam” (tuli) digunakan dengan kata kiasan bagi seseorang yang tidak mendengarkan bimbingan dan wejangan dan disebut sebagai orang-orang tuli, hal ini karena penyebutan malzum atas lazim; karena tuli meniscayakan tiadanya pemanfaatan bimbingan dan nasihat.
Demikian juga obat bagi lidah yang bisu sehingga dapat terbuka untuk bertutur kata hikmah dan berdzikir kepada Allah Swt. Redaksi “bukm” (bisu) digunakan secara kiasan untuk lisan-lisan yang tidak dapat berkata-kata ideal dan layak. Hal ini menyebabkan ia seperti orang-orang bisu dan tuna wicara. Karena itu, kebutuhan manusia terhadap dokter spiritual adalah lebih tinggi ketimbang kebutuhannya terhadap dokter fisikal dan badan; karena untuk menghilangkan penyakit-penyakit jasmani untuk kelestarian hidup yang terbatas dan material, namun menyembuhkan penyakit-penyakit mental untuk mencerap kehidupan abadi.
Masalah yang perlu dibahas di sini adalah bahwa Rasulullah Saw berbeda dengan kebiasaan para dokter dan tabib yang berhubungan dengan badan fisikal masyarakat dan pada klinik-kliniknya menantikan para pasien yang memeriksakan kesehatan mereka, Rasulullah yang datang kepada mereka. Dengan kata lain, Rasulullah Saw memiliki risalah inklusif yang bertujuan untuk menyembuhkan penyakit ruh dan jiwa masyarakat.[2] Risalah ini menuntut supaya beliau mendatangi masyarakat dan menyembuhkan mereka.
Ibnu Abi al-Hadid (pensyarah Nahj al-Balaghah) berkata tentang tabib dawwar, “Rasulullah Saw adalah seorang dokter yang berkeliling dan berkelana; karena dokter yang berkeliling memiliki pengalaman yang lebih banyak dan yang dimaksud dengan “dawwar” adalah bahwa Rasulullah Saw mendatangi orang sakit; karena orang-orang saleh dan budiman mendatangi orang-orang yang memiliki penyakit hati dan jiwa untuk mengobatinya. Orang-orang berkata dan terkejut melihat Nabi Isa As di rumah salah seorang yang berperangai buruk dan jahat. Mereka bertanya kepadanya, “Wahai Rasulullah! Anda tidak cocok berada di tempat ini? Nabi Isa bersabda, “Tabib yang mendatangi orang sakit.”[3] [iQuest]
[1]. Nahj al-Balâghah, Khutbah 108. Silahkan lihat Ibnu Maitsam Bahrani, Syarh Nahj al-Balâghah, Para Penerjemah: Muhammadi Muqaddam, Qurban Ali, Nawai Yahya Zadeh, Ali Asghar, jil. 3, hal. 74-75, Bunyad Pazyuhesy Islami Astan Quds Radhawi; Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 7, hal. 184, Kitabkhane Ayatullah Mar’asyi Najafi, Qum, Cetakan Pertama, 1337 S.
وَ مِنْهَا طَبِيبٌ دَوَّارٌ بِطِبِّهِ قَدْ أَحْكَمَ مَرَاهِمَهُ وَ أَحْمَى مَوَاسِمَهُ يَضَعُ ذَلِكَ حَيْثُ الْحَاجَةُ إِلَيْهِ مِنْ قُلُوبٍ عُمْيٍ وَ آذَانٍ صُمٍّ وَ أَلْسِنَةٍ بُكْمٍ مُتَتَبِّعٌ بِدَوَائِهِ مَوَاضِعَ الْغَفْلَةِ وَ مَوَاطِنَ الْحَيْرَةِ ..
[2]. Seperti para dokter yang tidak mengenal tapal batas dalam menunaikan tugas medikalnya, tidak membedakan antara orang-orang sebangsa atau dari bangsa lain.
[3]. Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 7, hal. 184.