Please Wait
15287
Sesuai dengan kaidah “Lâ syak likatsir al-syak”, katsir al-syak (seseorang yang memiliki keraguan berlebihan) tidak boleh mengindahkan keraguannya. Sesuai dengan pandangan mayoritas fukaha, kaidah ini, tidak terkhusus pada shalat, melainkan juga mencakup pendahuluan-pendahuluan shalat seperti wudhu, mandi, dan tayammum, demikian juga mencakup ibadah-ibadah rangkapan seperti haji, transaksi-transaksi dan masalah ideologis.
Mereka menyodorkan dalil-dalil untuk menjelaskan pandangannya; seperti bahwa kaidah “Lâ syak likatsir al-syak”, merupakan sebuah sebab yang memiliki hukum general. Dengan syarat bahwa orang itu memiliki keraguan yang berlebihan dan keraguannya bersumber dari was-was; sedemikian sehingga secara urf orang-orang berkata bahwa ia memiliki keraguan yang berlebihan.
Sesuai dengan kaidah “Lâ syak likatsir al-syak”, katsir al-syak (seseorang yang memiliki keraguan berlebihan) tidak boleh mengindahkan keraguannya. Namun apakah kaidah ini juga – di samping ibadah-ibadah – juga mencakup hal-hal lainnya seperti muamalah-muamalah, hak manusia, dan masalah-masalah ideologis?
Dalam menjawab pertanyaan ini terdapat beberapa teori sebagaimana berikut ini:
Pertama, Pandangan Mayoritas Fukaha
Sesuai dengan pandangan mayoritas fukaha, kaidah ini tidak terkhusus pada shalat, melainkan juga mencakup pendahuluan-pendahuluan shalat seperti wudhu, mandi, dan tayammum, demikian juga mencakup ibadah-ibadah rangkapan seperti haji, transaksi-transaksi (muamalah) dan masalah ideologis.
Mereka menyodorkan dalil-dalil untuk menjelaskan pandangannya; seperti bahwa kaidah “Lâ syak likatsir al-syak”, merupakan sebuah sebab yang memiliki hukum general.[1] Dengan syarat bahwa orang itu memiliki keraguan yang berlebihan dan keraguannya bersumber dari was-was; sedemikian sehingga secara urf orang-orang berkata bahwa ia memiliki keraguan yang berlebihan. Karena itu mereka berkata:
- Keraguan (syak) yang bersumber dari was-was tidak boleh diindahkan.[2]
- Seseorang yang pergi bertamu, yang banyak meragukan kehalalan makanan yang ingin dimakan, ia tidak boleh mengindahkan keraguannya dan harus memandang makanan itu sebagai makanan halal.[3]
- Sehubungan dengan hak manusia (haqqunnas), seseorang yang banyak mengidap penyakit was-was tidak boleh mengindahkan keraguannya dan harus memandang amalan tersebut telah sempurna dan absah.[4]
- Tugas seseorang yang banyak meragukan seluruh amalan-amalan ritual (ibadi) dan non-ritual adalah apabila ia memenuhi syarat-syarat katsir al-syak (memiliki keraguan berlebihan) maka ia harus mengabaikan dan tidak boleh mengindahkan keraguan-keraguannya.[5]
- Orang-orang yang beriman kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw namun memiliki banyak was-was terkait dengan imannya dan kemudian menelaah dan melakukan penelitian atasnya. Jenis was-was seperti ini adalah suci dan tidak berbahaya;[6] artinya ia tidak termasuk sebagai orang kafir dan najis.
Kedua: Pandangan Sebagian Fukaha
Namun sebagian fukaha memandang bahwa kaidah ini hanya terkhusus untuk shalat dan tidak dapat diterapkan pada selain shalat. Mereka berkata bahwa sehubungan dengan hal-hal lain maka kaidah yang harus diterapkan adalah kaidah yang terkhusus untuk masalah tersebut.[7]
Dalam hal ini kami akan menjelaskan beberapa hal sehubungan dengan ragu dan sangsi sebagai berikut:
Pertama: Was-was, ragu, sangsi dan adanya goncangan adalah lonceng mara bahaya dan bisikan-bisikan setan sebagaimana ketenangan, yakin dan stabil bersumber dari emanasi-emanasi rahmani dan malakuti. Untuk mengeluarkan para hamba Allah Swt dari jalan lurus dan jalan benar, setan memanfaatkan berbagai cara dan tipu-daya yang berbeda-beda. Mengingat setan adalah ahli dalam bidang tipu dan telikung, metode menyesatkan orang-orang berdasarkan kesiapan-kesiapan orang-orang tersebut dan setan akan masuk melalui jalan tersebut. Jalan terbaik untuk memerangi was-was ini adalah tidak mengindahkan was-was dan bisikan setan ini. Tatkala setan membisikkan nasihat-nasihat jahat dan batil, maka ia harus membuat pikirannya sibuk terhadap hal-hal yang lain.
Kedua: Manusia adalah sebuah entitas yang memiliki akal dan pikiran. Melalui akal dan pikiran manusia harus dapat mengenal jalan benar dan tetap berjalan di atas rel kebenaran. Jelas bahwa untuk tetap berjalan di atas jalan ini memerlukan usaha praktis dan teoritis yang tertata dan metodis sehingga ia dapat membangun dunianya sendiri dengan penuh makna sehingga dengan demikian ia dapat memasuki hayatun thayyibah. Dalam tataran ini, seberapa pun usaha yang dilakukan tetap saja kurang dan usaha ini merupakan harga yang harus dibayar setiap orang untuk meraih makrifat dan pengetahuan.
Atas dasar itu, manusia harus selangkah demi selangkah mengukuhkan fondasi-fondasi keyakinannya sehingga media pikiran dan struktur pemikirannya senantiasa terjaga dari goncangan bahkan getaran dan tidak terluka. Poin pertama gerakan, pikiran, pendalaman, telaah dan penyimpulan yang benar adalah berkisar tentang keberadaan alam dan keberadaan manusia. Di jalan ini, pelbagai keraguan dan kesangsian akan menghadang langkah manusia dan hal ini merupakan sesuatu yang natural dan semata-mata merupakan satu bagian lompatan pikiran. Kondisi seperti ini tidak selamanya merugikan dan menyesatkan, melainkan terkadang menjadi sebuah jembatan menuju keyakinan dan jalan menanjak untuk mendaki tingkatan yang lebih tinggi. Namun hal ini dapat diraih tatkala manusia melalui tingkatan ini dengan cepat dan tidak berhenti di situ; karena berhenti di jalan tersebut dapat berujung pada kerugian yang sangat fatal.[8]
Akhir kata kami akan menyebutkan jawaban dari para Marja Agung Taklid sekaitan dengan pertanyaan di atas sebagai berikut:[9]
Ayatullah Agung Khamenei:
Seseorang yang banyak ragu tergolong sebagai katsir al-syak (memiliki keraguan berlebihan) dan dalam shalat apabila seseorang tiga kali mengalami keraguan atau mengalami keraguan pada tiga shalat secara berkesinambungan (misalnya shalat Subuh, Zhuhur dan Ashar) adalah katsir al-syak dan apabila ia banyak ragu dikarenakan marah atau takut atau risau, maka ia tidak boleh mengindahkan keraguannya dan katsir al-syak sepanjang ia tidak yakin ia telah kembali pada kondisi normal sebagaimana kebanyakan orang maka ia harus mengabaikan keraguannya.
Ayatullah Agung Makarim Syirazi:
Sesuai dengan fatwa kami, katsir al-syak adalah seseorang yang banyak memiliki keraguan dan ia tidak boleh mengindahkan keraguannya ini, terlepas dari apakah terkait dengan jumlah rakaat atau pada bagian-bagian shalat atau syarat-syarat shalat.
Katsir al-syak adalah seseorang yang dikatakan banyak ragu (berlebihan) dan apabila seseorang tiga kali rag dalam shalat atau pada tiga shalat secara berturut-turut maka ia adalah katsir al-syak.
Ayatullah Agung Shafi Gulpaigani:
Secara umum katsir al-syak dalam aktivitas-aktivitas shalat baik pada dzikir atau pada rakaat, baik aktivitas-aktivitas seperti rukuk dan sujud, ia tidak boleh mengindahkan keraguannya.
Ayatullah Agung Siistani:
Iya.
Ayatullah Hadawi Tehrani:
Seseorang yang termasuk sebagai katsir al-syak hanya dalam urusan katsir al-syak ia tidak boleh memperhatikan keraguannya. Adapun dalam urusan lain dimana mizan keraguannya berada pada batas kewajaran maka ia harus beramal sesuai dengan pakem keraguan yang ada (dan telah dijelaskan dalam kitab-kitab fikih). [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh silakan lihat beberapa indeks terkait berikut ini:
- Haqqunnas, 16871 (Site: 16609)
- Haqqunnas dan Meminta Maaf, 7952 (Site: 8054)
- Hukum Ihtiyath terkait dengan Keraguan, 3078 (Site: 3324)
[1]. Silahkan lihat, Sayid Hasan Musawi Bujnurdi, al-Qawâid al-Fiqhiyah, Riset dan Koreksi oleh Muhammad Hasan Dirayat dan Mahdi Mehrizi, jil. 2, hal. 353-356, Nasyr al-Hadi, Qum, Cetakan Pertama, 1419 H. Sayid Taqi Thabathabai Qummi, al-Anwâr al-Bahiyyah fi al-Qawâid al-Fiqhiyah, hal. 190-191, Intisyarat-e Mahallati, Qum, Cetakan Pertama, 1423 H. Jawad Tabrizi, Istiftâ’ât Jadid, jil. 2, hal. 71, Masalah 325, Qum, Cetakan Pertama, Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun.
[2]. Sayid Ruhullah Imam Khomeini, Istiftâ’ât, jil. 1, hal. 169, Masalah 157, Daftar Intisyarat-e Islami, Qum, Cetakan Kelima, 1422 H.
[3]. Ibid, hal. 110, Masalah 295.
[4]. Jawad Tabrizi, Istiftâ’ât Jadid, jil. 2, hal. 71, Masalah 325
[5]. Muhammad Taqi Bahjat, Istiftâ’ât, jil. 2, hal. 215, Pertanyaan 2302, Nasyr Daftar Ayatullah Bahjat, Qum, Cetakan Pertama, 1428 H.
[6]. Nasir Makarim Syirazi, Risâlah Taudhih al-Masâil, hal. 36, Masalah 114, Intisyarat-e Madrasah Imam Ali bin Abi Thalib As, Qum, Cetakan Kelimapuluh Dua, 1429 H.
[7]. Silahkan lihat, al-Qawâid al-Fiqhiyyah, jil. 2, hal. 355 dan 356.
[9]. Pertanyaan meminta fatwa dilakukan oleh redaksi Site Islam Quest.