Please Wait
11724
Ahlulbait merupakan sebuah terminologi Qur'ani, hadis dan teologis yang bermakna keluarga Nabi Saw. Terminologi ini dalam makna ini hanya sekali disebutkan dalam al-Qur'an pada ayat Tathir yaitu ayat 33 surah al-Ahzab. "Innamâ yuridullâh liyudzhiba 'ankum al-rijsa Ahlalbait wa Yutahhirakum Tathira." Sesungguhnya Allah Swt hendak mensucikan kalian wahai Ahlulbait dari segala kekotoran dan nista sesuci-sucinya."
Akar bahasa "Ahl" bermakna kekerabatan dan kedekatan[1] dan "bait" di samping bermakna tempat hunian dan juga bermakna tempat menginap.[2] Akar Ahlulbait secara leksikal bermakna kerabat seseorang yang memiliki tali kekeluargaan dan kekerabatan dengannya.[3]
Akan tetapi secara mutlak dalam makna yang lebih luas Ahlulbait termasuk seluruh orang-orang yang memiliki hubungan nasab, agama, rumah, kota dan hubungan kewargaan.[4]
Akan tetapi para terminolog, dari kalangan teolog, ahli hadis, penafsir al-Qur'an menyatakn bahwa terminologi Ahlulbait yang disebutkan dalam al-Qur'an digunakan dengan sebuah pahaman khusus; karena mereka meyakini bahwa dalam hal ini terdapat banyak riwayat yang bersumber dari Nabi Saw dan para Imam Syiah, karena itu redaksi teknis al-Qur'an ini memiliki penafsiran khusus.
Terkait dengan penafsiran khusus ini bahwa siapa saja yang termasuk Ahlulbait terdapat perbedaan pendapat di kalangan penafsir (mufassir), ahli hadis (muhaddits) dan teolog (mutakallim):
1. Sebagian penafsir Ahlusunnah meyakini bahwa terdapat indikasi setelah dan sebelum ayat yang melibatkan para istri Nabi Saw. Para istri Nabi Saw termasuk yang disebut sebagai Ahlulbait dalam ayat ini. Mereka dalam menyokong pandangannya bersandar pada sebuah riwayat dinukil oleh Ikrimah, Maqatil, Ibnu Jabir dan Ibnu Saib dari Ibnu Abbas. Para penafsir Ahlusunnah menulis: Ikrimah berteriak di pasar bahwa Ahlulbait Nabi Saw hanyalah para istri beliau dan aku siap ber-mubahala (memohon kutukan dari Allah Swt) dengan siapa saja yang mengingkari hal ini.[5]
2. Sebagian penafsir Ahlusunnah dan seluruh penafsir Syiah mengkritisi pandangan ini dan berkata: Apabila yang dimaksud dengan Ahlulbait dalam ayat tersebut maka pantas kiranya seperti redaksi-redaksi sebelum dan sesudah ayat yang dialamatkan kepada mereka dinyatakan dalam bentuk muannats (feminim). Dalam ayat ini Allah Swt berfirman: "Innama yuridullah liyudzhiba 'ankum al-rijsa Ahlalbait wa Yutahhirakum Tathira." Sesungguhnya Allah Swt hendak mensucikan kalian wahai Ahlulbait dari segala kekotoran dan nista sesuci-sucinya." Sementara kenyataannya tidak demikian. Penyampaian dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk plural maskulin (jam'e mudzakkar, ankum wa yutahhirakum) dan hal ini menandaskan bahwa ucapan para penafsir ini tidak benar adanya.
Akan tetapi penyandaran mereka terhadap riwayat juga diragukan. Di antara yang meragukan riwayat ini adalah Abu Hayyan Garnati – salah seorang ulama Ahlusunnah - menulis bahwa penyandaran riwayat ini kepada Ibnu Abbas adalah tidak benar. Ibnu Katsir berkata bahwa apabila yang dimaksud dalam riwayat ini, adalah sebab-sebab pewahyuan (asbab al-nuzul) ayat tathir, adalah para istri nabi maka ucapan ini benar adanya. Akan tetapi apabila yang dimaksud adalah bahwa yang dimaksud dan obyek ayat tathir adalah para istri nabi dan bukan yang lain maka ucapan ini tidak benar. Karena banyak riwayat yang menolak anggapan ini.[6]
3. Akan tetapi sebagaimana yang telah disinggung bahwa ucapan Ibnu Katsir "sebab-sebab diturunkannya ayat ini adalah berkenaan dengan para istri nabi" juga tidak benar karena berseberangan dengan konteks ayat dan kedua berlawanan dengan riwayat-riwayat yang diakuinya sendiri.
4. Kelompok lain dari kalangan mufassir Ahlusunnah yang meyakini bahwa yang dimaksud dengan Ahlulbait dalam ayat ini adalah para istri Nabi Saw dan juga Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.[7] Perlu diketahui bahwa orang-orang yang menyokong pandangan ini tidak memiliki satu pun riwayat yang mereka jadikan sandaran.
Sebagian mufassir berkata: Secara lahir ayat ini bersifat umum dan termasuk seluruh keluarga Nabi Saw. Baik itu para istri, anak-anak ,kerabat dan bahkan para budak Nabi Saw. Tsa'labi berkata: Seluruh Bani Hasyim atau orang-orang beriman dari Bani Hasyim juga termasuk di dalamnya.[8] Pandangan ini juga tidak bersandar pada satu pun riwayat.
Sekelompok mufassir menengarai bahwa boleh jadi Ahlulbait adalah orang-orang yang haram menerima sedekah. Pandangan ini bersandar pada sebuah hadis yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam ketika salah seorang bertanya kepadanya: Siapakah Ahlulbait Nabi Saw? Apakah para istri Nabi Saw juga termasuk sebagai Ahlulbait? Zaid berkata: "Para istri nabi termasuk Ahlulbait. Akan tetapi Ahlulbait Nabi Saw adalah yang haram menerima sedekah; artinya Ali 'Ali (keluarga Ali), Ali Ja'far (keluarga Ja'far) dan Ali 'Abbas (keluarga Abbas).[9] Menurut Abu al-Futuh al-Razi bahwa pandangan ini adalah ucapan yang jarang dan tidak memiliki dasar. [10]
5. Seluruh mufassir Syiah dan mayoritas mufassir Ahlusunnah – dengan bersandar pada bukti-bukti dan indikasi-indikasi, riwayat yang banyak yang dinukil dari Nabi Saw, Hadhrat Ali, Imam Hasan, Imam Husain, Imam Sajjad dan imam-imam yang lainnya dan juga dari Ummu Salamah, Aisyah, Abu Sa'id Khudri, Ibnu Abbas dan sahabat lainnya – meyakini dengan sungguh-sunguh bahwa ayat tathir adalah diturunkan untuk Ashab Kisa – Nabi Muhammad Saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan yang dimaksud dengan Ahlulbait adalah kelima orang ini. Satu-satunya pertanyaan yang tersisa dalam benak adalah bagaimana mungkin di sela-sela pembahasan tugas-tugas para istri Nabi namun Ahlulbait tidak termasuk para istri nabi.
Dalam menjawab pertanyaan ini terdapat beberapa jawaban: Di antaranya yang dikatakan oleh Thabarsi: Hal ini bukan hanya satu-satunya persoalan. Dalam al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang berada di samping ayat-ayat yang berbicara tentang beragam subyek; hal ini dapat kita saksikan pada kebanyakn ayat-ayat al-Qur'an. Demikian juga dalam ucapan fasih Arab dan sastra mereka terdapat banyak contoh dari perkara ini. [11]
Allamah Thathabai Ra menambahkan jawaban yang diberikan oleh Thabarsi. Ia menulis: Tiada satu pun dalil yang menunjukkan bahwa ayat Innama yuridullah liyudzhiba 'ankum al-rijsa Ahlalbait wa Yutahhirakum Tathira." Sesungguhnya Allah Swt hendak mensucikan kalian wahai Ahlulbait dari segala kekotoran dan nista sesuci-sucinya." Diturunkan beserta ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Bahkan dari sebagian riwayat dapat disimpulkan bahwa ayat tathir ini diturunkan secara terpisah, dan sesuai dengan perintah Nabi Saw atau tatkala pengumpulan ayat-ayat al-Qur'an pasca wafatnya Nabi Saw ayat-ayat sebelum dan sesudahnya diletakan di samping ayat tathir. [12]
Dalam Tafsir Nemune disebutkan bahwa jawaban ketiga yang dapat dilihat dari pertanyaan adalah bahwa al-Qur'an ingin berkata kepada para istri Nabi Saw: Kalian berada di tengah sebuah keluarga yang sebagian darinya adalah maksum. Barang siapa yang berada di bawah bayangan dan pohon ishmah dan berada pada kelompok orang-orang maksum, maka sudah selayaknya mereka lebih berhati-hati melebihi yang lain. Dan tidak melupakan bahwa penyandaran mereka terhadap sebuah keluarga yang di dalamnya terdapat lima orang maksum mereka memiliki tanggung jawab besar, dan Allah Swt dan para hamba menuntut lebih banyak darinya. [13]
Adapun riwayat yang dinukil berkenaan dengan sebab-sebab pewahyuan (diturunkannya) ayat tathir sangat banyak dan dibagi menjadi beberapa bagian:
A. Riwayat-riwayat yang dengan tegas yang menyebutkan sebab-sebab pewahyuan ayat dan maksud ayat tathir dan terminologi Ahlulbait untuk lima orang Ali Aba.[14]
B. Riwayat-riwayat yang menyokong hadis Kisa: Riwayat yang disampaikan oleh Abu Said al-Khudri, Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Abul Hamrah, Abu Burzah yang setelah peristiwa Kisah dan turunnya ayat tathir, Nabi Saw selama sebulan, atau 40 hari, 6 sampai 9 bulan, secara berketerusan tatkala shalat Subuh, atau pada shalat-shalat lima waktu pergi ke kediaman Ali dan Fatimah dan berkata: "Assalamu 'Alaikum Ahlalbait wa Rahmatullahi wa Barakatuh, al-shalat yarhamukumuLlah." Kemudian setelah itu beliau membacakan ayat tathir.[15]
Dalam Syarh Ihqaq al-Haq,[16] lebih dari 70 sumber Ahlussunnah yang terkenal dikumpulkan banyak riwayat terkait dengan masalah ini, dan sumber-sumber Syiah dalam masalah ini sangat banyak.[17]
Karena itu, matlab ini dari sisi periwayatannya adalah bersifat definitif bahwa yang dimaksud dengan Ahlulbait pada ayat tathir adalah Nabi Saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain (Salam Allah ke atas mereka semuanya). Adapun terkait dengan masalah mengapa lafaz Ahlulbait pada riwayat-riwayat juga termasuk atas sebagian para imam; artinya juga disebutkan semenjak Imam Ali bin al-Husain hingga Imam Zaman Ajf. Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa:
Falsafah penegasan dan stressing al-Qur'an terkait deklarasi kedudukan menjulang Ahlulbait adalah bahwa masyarakat dalam lintasan gerakan kesempurnaan dan melintasi jalan hidayah dengan mengikuti mereka; karena tujuan pokok al-Qur'an adalah membimbing dan memberikan petunjuk kepada manusia. "Alif lam mim. Dzalika al-kitab laa raiba fiihi hudan lil muttaqin." (Qs. Al-Baqarah [2]:1-2)
Dan mereka yang sedikit akurat mengkaji al-Qur'an dengan jelas ia dapat membenarkan validitas inferensi ini. Lantaran para Imam Syiah adalah pemimpin dan pemandu umat, atas dasar ini titel Ahlulbait dapat dicocokkkan bagi mereka. Dengan demikian, Rasulullah Saw sejatinya merupakan penafsir dan penjelas al-Qur'an. Tatkala ingin menerangkan kedudukan imamah dan kepemimpinan agama pasca kepergiannya, beliau menggunakan redaksi Ahlulbait ini. Misalnya beliau bersabda:
Inni târikun fikum al-tsaqalaîn Kitabâllahi wa 'Itrati Ahlabaitî. Mâa in tamassaktum bihimâ lan tadhillu ba'di Abadan. Fainnamâ lan yaftariqâ hatta yaridda 'alayya al-haudh."[18] Sesungguhnya Aku tinggalkan bagi kalian al-Tsaqalain, al-Qur'an dan Itrahku Ahlulbait. Kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya. Lantaran keduanya tiada akan pernah berpisah hingga berjumpa denganku kelak di telaga Kautsar."
Atau dalam hadis Safinah beliau bersabda: "Innamâ matsalu Ahlubaitî fîkum Kasifinati Nuh. Man Rakibahâ najâ wa Man Takhallafa 'anha Ghariqa."[19] Sesungguhnya perumpamaan Ahlulbaitku bagi kalian adalah laksana bahtera Nuh. Barangsiapa yang menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang menentangnya akan karam." []
Untuk keterangan lebih jauh silahkan Anda lihat beberapa indeks berikut ini:
1. Ahlubait dan Ayat Mawaddah, pertanyaan 160 (Site: 1229)
2. Ahlulbait Nabi Saw, pertanyaan 833 (Site:902)
3. Siapa saja yang dimaksud dengan Ahlubait, pertanyaan 1247
4. Pengkhususan Ahlulbait pada Ashab Kisa, pertanayaan 159 (Site: 1251)
[1]. Qayyumi, Misbâh al-Munîr, hal. 28.
[2]. Ibid, hal. 68.
[3]. Ibid.
[4]. Mufrâdât Râghib Isfahânî, hal. 29.
[5]. Thabari, Jâmi' al-Bayân, jil. 22, hal. 7; Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'ân al-'Azhîm, jil. 6, hal. 365.
[6]. Tafsir ibnu Katsir, jil. 5, hal. 452-453
[7]. Fakhruddin, Tafsir Kabir, jil. 25, hal. 209; Baidhawi, Anwâr al-Tanzil, jil. 4, hal. 163; Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhith, jil. 7, hal. 232.
[8]. Qurtubi, al-Jâmi' li Ahkam al-Qur'ân, jil. 3, hal. 14 & 18; Alusi, Ruh al-Ma'âni, jil. 14, hal. 22..
[9]. Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhith, jil. 7, hal. 231-232.
[10]. Abu al-Futuh al-Razi, Raudhâ al-Jinân wa Ruh al-Jinân, jil. 15, hal. 421..
[11]. Majmâ' al-Bayân, jil. 7, hal. 560.
[12]. Al-Mizân, jil. 16, hal. 312.
[13]. Tafsir Nemune, jil. 17, hal. 295.
[14]. Thabari, jil. 22, hal. 6-7; Qurthubi, jil. 14, hal. 183; Hakim, jil. 2, hal. 416; Bukhari, al-Târikh, jil. 1, hal. 69-70; Tirmidzi, al-Sunan, jil. 5, hal. 633.
[15]. Thabari, jil. 22, hal. 5-6; Bukhari, al-Kani, hal. 25-26; Ahmad bin Hanbal, Musnad, jil. 3, hal. 259; Huskani, Syawâhid al-Tanzil, jil. 2, hal. 11-15; Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, jil. 6, hal. 606-607.
[16]. Mar'asyi, jil. 2, hal. 502-547, jil. 9, hal. 91-92.
[17]. Utamanya yang ditulis dalam tulisan ini kebanyakan diadopsi dari kitab Syenakht Name Ahlulbait karya Ali Rafi' Alamardusyti, hal. 301-308. Untuk keterangan lebih jauh silahkan Anda merujuk ke kitab yang dimaksud.
[18]. Shahih Tirmidzi, jil. 2, hal. 380; Ahmad bin Hanbal, Musnad, jil. 3, hal. 17.
[19]. Hakim, Mustadrak al-Shahihaîn, jil. 2, hal. 432; Firuz Abadi, Fadhâil al-Khamsah, jil. 2, hal. 65.