Please Wait
12223
Mengetahui kontradiksi atau tidak kontradiksinya antara percaya diri dan tawakkal bergantung sepenuhnya kepada pemahaman kita terhadap dua redaksi ini. Tentang definisi percaya diri terdapat dua pandangan:
1. Mengenal segala kemampuan, potensi dan bersandar pada kesimpulan-kesimpulan dalam memperoleh segala kehendak, kecendrungan dan identitas asli. Definisi percaya diri semacam ini sama sekali tidak bertentangan dengan budaya tawakkal. Keunggulan redaksi ini, kesesuaiannya dengan dua redaksi kunci dan orisinil agama “pengenalan jiwa” dan “mengenal segala nikmat dan pemanfaatannya.”
2. Percaya diri sedemikian percayanya sehingga ia bersandar sepenuhnya kepada segala yang dimiliki dan yang diketahui. Memandang bahwa segala kehendak dan keinginannya adalah sumber segala kebaikan dan kesuksesan.
Definisi ini tidak hanya sejalan dan selaras dengan pelbagai pengetahuan agama tapi juga merupakan fatamorgana dalam fantasi! Dan percaya diri sedemikian adalah percaya diri yang tercela dan tidak lain kecuali “ego sentris” dan “over self-confident.” Amirul Mukminin As bersabda terkait dengan percaya diri sedemikian, “Barang siapa yang bersandar kepada dirinya maka sesungguhnya ia telah berkhianat kepada dirinya.”
Definisi tawakkal
Tawakkal derivatnya dari klausul “wikâlah” (perwakilan) yang bermakna memiliki wakil dan yang dimaksud dengan tawakkal di sini sejalan dengan makna percaya diri (bagian pertama) adalah seorang manusia di hadapan kesulitan luar biasa, tidak merasa rendah dan lemah, melainkan dengan bersandar kepada kekuasaan nir-batas Allah Swt, ia memandang dirinya jaya dan menang di hadapan kesulitan ini.
Demikian ia berusaha untuk menuntaskan pelbagai persoalan, kepelikan dan ketika tidak memiliki kemampuan ia ber-tawakkal kepada Tuhan. Artinya bersandar kepada-Nya. Dan tidak berdiam diri melainkan sepanjang ia mampu tetap memandang bahwa yang memberi pengaruh secara hakiki adalah Tuhan. Karena dalam pandangan seorang muwahhid (pemuja satu Tuhan), sumber segala kekuatan dan kekuasaan adalah Tuhan dan memisahkan seluruh pengaruh-pengaruh faktor-faktor natural dari kehendak Tuhan adalah termasuk perbuatan syirik! Karena faktor-faktor natural juga segala yang dimilikinya berasal dari-Nya dan segala sesuatunya berjalan berdasarkan kehendaknya. Akan tetapi, definisi kedua terkait percaya diri tidak sejalan dengan makna tawakkal. Karena kita memandang segala faktor dan kekuatan sebagai media mandiri di hadapan kehendak Tuhan. Dan hal ini merupakan instanta dan pahaman yang berseberangan dengan tawakkal kepada Tuhan dan bersandar kepadanya.
Rasulullah Saw bersabda: “Aku bertanya kepada Jibrail As, apa makna tawakkal? Ia menjawab, “Mengetahui bahwa makhluk tidak dapat memberikan kerugian juga manfaat. Dan menutup mata dari apa yang dimiliki manusia; tatkala seorang hamba telah berlaku demikian tidak berbuat selain untuk Tuhan dan tidak melabuhkan harapan kepada selain-Nya. Dan kesemua ini adalah hakikat dan batasan tawakkal.”
Untuk memahami kontradiksi antara “percaya diri” dan “tawakkal” bergantung kepada pemahaman dari dua redaksi ini. Atas alasan ini pertama-tama kita akan membahas apa yang dimaksud dari dua kata ini:
A. Definisi percaya diri
Untuk redaksi percaya diri, terdapat dua makna yang berbeda:
1. Percaya diri artinya mengenal kemampuan, potensi dan bersandar kepada kesimpulan-kesimpulan untuk sampai kepada pelbagai keinginan dan kepada identitas yang sebenarnya.
Percaya diri dalam hal ini bukan saja bertentangan dengan disiplin ilmu agama tetapi juga persis sejalan dengan kehendak Allah dan orang-orang yang menyembah Allah. Dan kita untuk memperoleh sifat-sifat seperti ini memiliki tanggung jawab dan apabila tidak dapat memperoleh tipologi ini alangkah banyaknya yang terlepas dari tangan kita. Sesuatu yang minimal kerugiannya adalah gagalnya seseorang dalam kehidupannya dan tertahan dalam mencapai keridhaan Ilahi. Dengan demikian, pahaman yang tinggi seperti ini kita sebut sebagai “percaya diri yang terpuji.”
Banyak faktor yang membuat makna ini terpuji dan diterima di antaranya:
A. Bahwa saya tahu ihwal diriku? Apa kemampuan yang aku miliki? Di mana titik kekuatan dan kelemahanku? Tipologi-tipologi positif apa yang terdapat pada “diriku”? Apa saja yang menjadi tanggung jawabku? Apa saja yang menjadi kepemilikian dan modal materi dan maknawiku? Dan bagaimana dan dengan agenda apa sehingga saya manfaatkan kekayaanku untuk hidup dan kehidupanku? Dan sebagainya. Seluruhnya merupakan refleksi dari dua redaksi kunci “makrifat nafs” dan “mengenal dan memanfaatkan nikmat-nikmat yang ada.” Kepercayaan ini tidak lain mengantarkan seseorang untuk melihat selain kepada kuiditas unggul manusia dan dimensi-dimensi transendental manusia dimana hal itu dilakukan melalui kanal “mengenal nikmat.”
Bukankah Tuhan menganugerahkan pelbagai nikmat kepada manusia dan memandangnya bertanggung jawab atasnya dan kelak ia akan ditanya perihal nikmat-nikmat itu?
Oleh karena itu, tanggung jawab yang diemban manusia atas nikmat-nikmat ini tidak lain bersandar kepada kepemilikan ini dan mengandalkan dirinya serta memanfaatkan nikmat-nikmat dan merasa “positif” dan “menjadi positif.”
Berangkat dari sini, definisi “memiliki rasa percaya diri” adalah meyakini bahwa saya salah seorang hamba dari hamba-hamba Tuhan yang memberi segala nikmat dan dengan memanfaatkan segala nikmat ini saya termasuk sebagai orang-orang yang bersyukur.
B. Kita menerima makna pertama “percaya diri” ini karena menetapkan kemandirian dan percaya diri, menafikan ketergantungan dan pesimisme dalam diri. Dengan kata lain, percaya diri menerima secara sadar dan memanfaatkan nilai-nilai, modal dan simbol-simbol. Sedemikian sehingga dengan percaya diri manusiawi dan islami berhadapan dengan rendah diri, merasa minder dan teralienasi, ibarat tong kosong nyaring bunyinya yang tidak mengenal kemanusiaan kecuali namanya saja.
Dengan mental percaya kepada diri, pikiran akan terorientasi dan dengan reformasi pemikiran seperti ini seluruh kunci emas kesuksesan berada dalam genggaman tangan. Kalau tidak demikian maka tatkala para penjajah ingin melakukan penetrasi pertama-tama mereka meyakinkan pelbagai bangsa dan budaya bahwa kalian tidak memiliki apa pun! Pikiran kalian ketinggalan dan jauh tertinggal dari kereta modernitas! Terlalu cepat kalian berpikir merdeka! Dengan demikian, manusia dari mental percaya diri terjatuh ke lembah inferioritas dan rasa rendah diri. Dan karena memandang dirinya di bawah zero dan berubah dari “be your self” menjadi alienasi. Dan orang-orang seperti ini akan menjadi pengemis dan peminta-minta yang menjadi cikal-bakal kehancuran sebuah masyarakat, budaya dan agama.
Janganlah engkau menjadi cermin menampilkan keindahan orang
Semenjak hati dan mata tenggelam dalam fantasi orang
Alangkah banyaknya orang yang menderita kekosongan jiwa dan menjadi sampah masyarakat. Orang-orang seperti ini memandang dirinya inferior dan rendah.
Salah seorang psikolog berkata, “Kemuliaan diri memainkan peran penting dalam segala perilaku logis dan patut atau perilaku-perilaku tidak patut, abnormal dan kriminalitas pada diri seseorang. Sebagaimana berdasarkan riset-riset yang dilakukan, kemuliaan diri menjadi penyebab keseimbangan atau kesetimpangan sebagian perilaku manusia.”[1]
Imam Hadi As bersabda, “Barangsiapa yang bersikap inferior, memandang rendah dirinya dan pada batinnya merasa rendah dan hina maka ia tidak akan aman dari keburukannya.”[2]
Oleh karena itu, percaya diri merupakan sesuatu yang terpuji dan menyebabkan munculnya self-confident dan hasil dari self-confident ini adalah semangat dan kemampuan.
Rasulullah Saw bersabda, “Semangat ksatria seseorang dapat menaklukan gunung-gunung.”[3] Ghazali berkata, “Yang dimaksud dengan himmah adalah penguasaan diri dan penuh semangat. Dan semangat orang-orang besar adalah mengenal dan mengasihi dirinya.”[4]
Sekiranya di alam semesta harus ada keunggulan
Jangan-jangan engkau memandang dirimu rendah
Karena engkau memandang dirimu rendah
Maka jangan berharap orang lain memandangmu mulia
Engkau tidak melihat ketinggian lalu engkau telah merasa rendah
Dimana ketiadaan menjadi bahan keberadaan?
C. Tipologi lainnya dari makna percaya diri ini sejalan dan selaras dengan budaya tawakkal.
2. Makna kedua dari percaya diri adalah mengandalkan dirinya sendiri! Sedemikian sehingga ia bersandar kepada kepemilikian dan pengetahuannya dimana kehendak dan keinginannya dipandang sebagai sumber seluruh kebaikan dan kesuksesan. Makna percaya diri ini bukan saja tidak sejalan dengan pengetahuan-pengetahuan agama, namun juga merupakan fatamorgana dalam fantasi! Lebih baik kita menamainya sebagai “percaya diri yang tercela” dan “ego sentris! ysang menjadi sumber segala kekalahan dan merupakan tikaman dari belakang sebagaimana sabda Imam Ali As tentang percaya diri sedemikian, “Man watsaqah binafsihi khanatahu.” (Barangsiapa yang mengandalkan dirinya sesungguhnya ia akan mengkhianatinya.)[5]
Mengapa makna percaya diri ini tercela? Faktor-faktor berikut ini berpengaruh pada tercelanya makna percaya diri ini:
A. Anggapan di atas menjadi penyebab munculnya pribadi palsu dan menghilangkan keseimbangan (ta’âdul). Tatkala ia beranggapan demikian bahwa “Cukup aku berkehendak”, “Yang benar adalah apa yang aku pandang benar.” “Pendapatku yang harus dijalankan.” “Tiada yang dapat menghalangi jalanku.” Dan sebagainya. Pemikiran dan pandangan semacam ini menjadi sebab seseorang “memandang dirinya segala-galanya.” Dan dengan mengakselerasi “berlebihan dalam percaya diri” (over self-confident), membuka jalan untuk egosentris; amat jelas bahwa dengan berlaku seperti ini gelombang dan gemuruh anging beliung dalam ruh dan pikirannya akan menyeretnya kepada “ketimpangan” serta mengoyak tatanan “kepribadiannya yang sejati.”
Bagaimanapun, demarkasi-demarkasi harus diketahui dan untuk faktor-faktor lainnya dan realitas-realitas juga wilayah eksklusif serta keadaan juga dipandang penting. Dengan kepercayaan yang berlebihan kepada dirinya, maka tidak tertinggal lagi peluang untuk mengevaluasi diri secara realistis terhadap pelbagai kemampuannya. Amirul Mukminin Ali As bersabda, “Apabila kalian menghendaki rahmat Tuhan maka kalian harus mengenali dimensi-dimensi kemampuanmu dan batasan ketidakmampuanmu. Kalau tidak, kalian melanggar tapal batas wilayah kalian dan harapan untuk maju serta rahmat Tuhan itu telah kalian injak-injak.”[6]
Oleh karena itu, Islam melarang manusia sedemikian tersedot perhatiannya kepada dirinya dan mengingatkan bahwa apabila ia tidak melupakan kondisi kejiwaan semacam ini maka ia akan terjangkiti penyakit kejiwaan seperti sifat angkuh (ujub) dan cinta diri.”
“Di samping mudharat yang ditimbulkan oleh ujub (yang mengeluarkan dirinya dari perasaan bersalah dan merasa berbahagia dengan perbuatanyna), banyak dosa-dosa besar yang menyertai pohon buruk ini. Tirai ujub dan hijab tipis memuji diri menjadi penghalang untuk melihat keburukan pada dirinya. Penyakit ini merupakan musibah yang mencegah manusia untuk sampai kepada kesempurnaan. Keburukan lainnya yang ditimbulkan oleh ujub, percaya kepada diri dan perbuatan-perbuatannya menjadi sebab manusia dungu merasa tidak membutuhkan Tuhan dan tidak memperhatikan keutamaan Allah Swt.” [7]
B. Meyakini terhadap perbuatan diri sendiri, mengingkari secara praktis tauhid perbuatan Tuhan:
Dalam ilmu Kalam (Teologi) telah ditetapkan bahwa setiap maujud, setiap gerakan dan setiap perbautan di alam semesta ini kembali kepada Allah Swt. Dia adalah Penyebab dan Pemula seluruh sebab-sebab (Musabbab al-Asbab dan ‘Illat al-Ilal). Bahkan perbuatan-perbuatan yang kita lakukan, dalam satu makna, bersumber dari-Nya. Dia memberikan kekuasaan, pilihan dan kebebasan kepada kita. Namun perbuatan Tuhan di sini tidak bermakna menepikan perbuatan manusia. Karena Dia menganugerahkan kekuasaan kepada kita, pada saat yang sama, kita adalah pelaku seluruh perbuatan kita. Kita bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan namun kepelakuan Tuhan tidak tertepikan. Karena segala sesuatu yang kita miliki berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya. Laa Muattsir fi al-wujud illa Allah.[8] (Tiada yang memberi pengaruh pada realitas kecuali Allah). Ketika ia memandang dirinya sebagai poros, dan menetapkan kepelakuannya tanpa tedeng aling-aling, maka sesungguhnya ia berhadap-hadapan dengan kehendak mutlak dan pemerintahan tak-terbatas Tuhan!
B. Definisi Tawakkal
Tawakkal derivatnya dari kata dan klausul “wikâlah” yang bermakna memilih seorang wakil. Dan kita ketahui bahwa, pertama, memilih seorang wakil dan pembela pada setiap perbuatan merupakan keharusan dimana manusia tidak mampu melaksanakan perbuatan tersebut secara pribadi. Dalam hal ini, ia memanfaatkan kekuatan dari orang lain dan dengan bantuannya ia memecahkan masalah yang dihadapi. Kedua, seorang wakil yang baik adalah yang memiliki minimal empat sifat, pengetahuan memadai, amanah, berkuasa, dan menaruh perhatian.[9]
Interpretasi pertama ihwal percaya diri (mengenal diri dan percaya diri yang senantiasa mengerahkan seluruh potensi dan kemampuan yang dimiliki) tidak berseberangan dengan tawakkal. Karena (terlepas dari pelbagai pendekatan 100 persen agama seperti, makrifat nafs, mengenal dan memanfaatkan nikmat-nikmat yang diberikan yang terpendam dalam makna ini), pada dasarnya tawakkal yang sebenarnya sama dengan makna percaya diri ini.
Karena yang dimaksud dengan tawakkal adalah bahwa seorang manusia dalam menghadapi pelbagai musibah dan kesulitan, tidak merasa rendah dan lemah, namun bersandar kepada kekuasaan nir-batas Tuhan dan memandang dirinya sebagai pemenang dan berjaya. Dengan demikian, makna tawakkal adalah menciptakan harapan, memberikan energi, penguat, dan menjadi bertambahnya resistensi dan kegigihan dalam menghadapi pelbagai kesulitan hidup. Berangkat dari sini, bertawakkal kepada Tuhan maknanya tidak lain kecuali bahwa manusia dalam menghadapi pelbagai kesulitan dan peristiwa dalam hidupnya, musuh-musuh dan penentang sengitnya, kepelikan dan kebuntuan, dengan bersandar kepada Tuhan dan tawakkal kepada-Nya, berusaha memecahkan pelbagai persoalan yang dihadapinnya dan tidak sekedar berdiam diri dan berpangku tangan saja.
Oleh karena itu, dimana saja ia memandang bahwa yang memberikan pengaruh secara hakiki adalah Tuhan. Karena dari sudut pandang seorang muwahhid, sumber segala kekuatan, kekuasaan dan energi adalah Allah Swt.
Dan apabila ada seseorang yang beranggapan sedemikian bahwa perhatian kepada alam sebab-akibat dan faktor-faktor natural tidak sejalan dengan semangat tawakkal maka sesungguhnya orang ini keliru besar. Karena memisahkan efek-efek faktor natural dari kehendak Tuhan termasuk jenis syirik! Kalau tidak demikian faktor-faktor natural juga segala yang dimilikinya adalah bersumber darinya. Dan segalanya di bawah titah dan komando-Nya. Namun, apabila kita memandang bahwa faktor-faktor dan segala kemampuan kita merupakan media mandiri di hadapan kehendak Tuhan maka hal ini tidak akan selaras dengan semangat dan budaya tawakkal.”[10]
Inti ucapan ini adalah percaya kepada diri bermakna bersandar kepada segala nikmat dan memanfaatkan segala yang dimiliki serta jauh dari putus asa adalah sejalan dan selaras dengan tawakkal! Bagaimana tidak demikian adanya sementara Nabi Saw sendiri adalah penghulu orang-orang yang bertawakkal dan pada saat yang sama beliau tidak pernah melalaikan kesempatan, strategi, taktik, agenda dan memanfaatkan seluruh media dan wahana lahiriyah untuk mewujudkan tujuannya. Dan mengingatkan orang-orang beriman “Kalian bisa dan kalian lebih unggul.”[11]
Akan tetapi, percaya diri dalam interpretasi kedua bertentangan dengan tawakkal. Titik seberang tawakkal kepada Allah Swt adalah bersandar kepada selain Tuhan. Artinya dalam kehidupannya di dunia ini bergantung kepada makhluk yang lain dan memandang wujudnya bersifat mandiri. Karena tawakkal kepada Tuhan, menyelamatkan manusia dari ketergantungan yang merupakan sumber kehinaaan dan perbudakan. Dan memberikan kebebasan dan kepercayaan diri kepada manusia.
Diriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda: “Aku bertanya kepada pembawa wahyu, Jibril As, apa tawakkal itu? Ia bersabda: “Mengetahui bahwa mahkluk tidak dapat memberikan manfaat dan mudharat! Dan engkau menutup mata dari harta manusia! Tatkala seorang hamba telah bersemi sifat demikian tiada yang ia lihat selain Tuhan dan tidak berharap kepada selain-Nya! Inilah hakikat dan demarkasi tawakkal.”[12][]
Daftar pustaka:
1. Imam Khomeini Ra, Cehel Hadits, Syarah Ahadits 3 (‘ujub), 4 (kibr), 10 (hawa nafsu), 13 (tawakkal), 20 (ikhlas).
2. Muhammad Najati, Qur’ân wa Rawân Syinâsi, terjemahan ‘Abbas ‘Arab, Nasyr Ustan-e Quds Radhawi As, bagian 9 (syakshiat dar Qur’an), hal. 287.
3. Hasan Syarqawi, Gami Farâsui Rawâsyinasi Islâmi, terjemahan Sayid Muhammad Baqir Hujjati, Nasyr Farhangg-e Islami, bab-e Sewwum, Râh wushul beh Salâmat-e Nafsâni wa Behdasyti Rawâni, fashl 1, 4, dan 13 (bab keempat), be khidmat giriftane Rawânsyinasi dar Zaminehâi Gunâguni, hal. 397 – 528.
[1]. Ali Mirzabigi, Naqsy Niyazha Rawani, hal. 33
[2]. Hasan Irfani, Fashl Name Hadits-e Zendegi, wizye I’timad-e Nafs, hal. 7.
[3]. Musnad al-Syahab, jil. 1, hal. 378
[4]. Ghazali, Nashihat al-Muluk
[5]. Ghurar al-Hikam, jil. 5, hal. 161.
[6]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 66, hal 79; ‘Ali ibnu Maitsam Bahrani, Syarh Mia’t Kalimah, hal. 59.
[7]. Imam Khomeini Ra, Syarh Cihil Hadits, hal. 69, hadits-e sewwum.
[8]. Nasir Makarim Syirazi, Payâm-e Qur’ân, jil. 3, hal. 274.
[9]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 10, hal. 205.
[10]. Nasir Makarim Syirazi, Op Cit, hal. 297.
[11]. Ibid, jil. 10, hal. 297.
[12]. Ibid, hal. 298; Bihâr al-Anwâr, jil. 71, hal. 137; Ma’âni al-Akhbâr, hal. 461.