Advanced Search
Hits
15645
Tanggal Dimuat: 2009/11/24
Ringkasan Pertanyaan
Mengapa ayat-ayat al-Quran lebih didominasi dengan ayat-ayat maskulin?
Pertanyaan
Mengapa ayat-ayat al-Quran lebih didominasi dengan ayat-ayat maskulin? Mengapa kebanyakan penyampaian-penyampaian al-Quran lebih banyak bercorak maskulin seperti: Âmanû (orang-orang yang beriman), kâfarû (orang-orang yang kafir), Qâla (ia berkata), ya’lamun (mereka mengetahui), alladzî (yang) dan alladzîna (orang-orang yang)?
Jawaban Global

1.     Kita dapat menetapkan khitab-khitab (penyampaian-penyampaian) al-Quran itu maskulin ketika ruh yang mendominasi lafaz-lafaz dan khitab-khitab itu bersandar pada jenis kelamin dan fokus pada pria. Dari berbagai ayat al-Quran dapat dipahami bahwa wacana yang mendominasi al-Quran itu banyak yang terfokus pada manusia (bukan jenis kelamin) seperti pada (Qs. Fathir [35]:15), (al-Nahl [16]: 97), (Ali Imran [3]:5). Dengan dalil ini dapat kita katakan bahwa pandangan dan tujuan al-Quran terhadap jinsiyyah (jenis kelamin) hanyalah untuk memberikan hidayah, baik kepada kaum lelaki maupun kaum wanita (Qs.. al-Baqarah [2]: 128).

2.     Kelebihan khusus bahasa, sastra dan budaya Arab (sebagai bahasa teks al-Quran) adalah:

a)     Ketika dalam suatu tema jumlah mudzakkar (maskulin) lebih banyak, maka lafaz yang digunakan adalah dalam bentuk mudzakkar (maskulin) seperti pada ayat tathhir (Qs. al-Ahzab: 33).

b)    Untuk tujuan menjaga kehormatan dan pakaian wanita sehingga dalam penggunaan lafaz mu’annats (feminim) pun jumlahnya lebih sedikit seperti ayat yang berkaitan dengan masalah perkawinan (Qs. al-Nur [24]: 33).

c)     Berdasarkan kaidah sastra Arab, pada  beberapa tempat, dengan memerhatikan qarinah-qarinah kalâmi (indikasi-indikasi ucapan) atau hâli (keadaan, sikap), dapat disimpulkan bahwa dengan mengetengahkan lafaz mudzakkar, maka wanita pun sudah termasuk di dalam kandungan ungkapan tersebut. Akan tetapi, tidak pernah terjadi sebaliknya. Dengan demikian, maka dengan menghadirkan lafaz wanita (mu’annats), maka kaum lelaki akan dianggap keluar dari objek bahasan. Misalnya bahasan yang terdapat pada ayat 204-206 surah al-Baqarah (2) dan pada ayat 31 surah al-Isra’ (17).

3.     Sebagian dari sastra Arab—sehubungan dengan mudzakkar (maskulin) yang disampaikan oleh al-Quran, misalnya ketika menjelaskan hukum-hukum fiqih, tugas-tugas dan hak-hak laki-laki—terkadang saham aturan-aturan untuk kaum laki-laki dalam bahasan tersebut lebih dominan dibandingkan dengan saham wanita. Hal itu nampak kita saksikan pada pembahasan tentang hukum-hukum jihad, kiat-kiat mencari pasangan hidup (Qs. an-Nisa [4]: 19) Mayoritas para pembesar dan penguasa di dalam ayat-ayat al-Quran adalah kaum laki-laki (seperti para nabi, para pemimpin kekafiran dan lain-lain).

4.     Banyak sekali ayat al-Quran yang penyampaiannya itu ditujukan kepada masyarakat umum dan di sini lafaz-lafaz mudzakkar tidak menekankan pada jenis tertentu. Misalnya juga lafaz mudzakkar yang digunakan sehubungan dengan lafaz “tuhan” atau malaikat. Pada lafaz tersebut tidak memberikan pahaman untuk mudzakkar ataupun mu’annats. Misalnya, pada Surah al-Isra (17): 36, al-Qashash (28): 71, al-A’raf(7): 29, Fushshilat (41): 30, an-Nisa (4): 56 dan at-Thalaq (65): 2.

5.     Mengingat bahwa kaum Adam itu lebih banyak memikul berbagai macam tanggung jawab, karena itu mereka banyak disebutkan di dalam al-Quran. Misalnya seperti khitab yang ditujukan kepada mereka dengan redaksi: “Jagalah dirimu dan keluargamu dari sentuhan api neraka” (Qs. at-Tahrim [66]: 6).

6.     Sebagian ayat ketika mengisahkan berbagai peristiwa yang berkaitan dengan sebagian kaum lelaki, demi menjaga kesesuaian lafaz-lafaznya dengan orang-orang yang merupakan sebab turunnya ayat tersebut, menggunakan lafaz-lafaz mudzakkar. Misalnya kisah yang terdapat pada ayat wilayah yang berkaitan dengan Imam Ali as dan pada semua lafaz yang dituangkan dalam bentuk mudzakkar (Qs. al-Maidah [5]: 55).

7.     Sebagian ayat al-Quran menggunakan kedua-duanya, lafaz-lafaz mudzakkar dan juga mu’annats (Qs. al-Ahzab [33]: 35); (Qs. al-Nisa [34]: 32). Karena mengulang-ulang lafaz-lafaz dan dhamir mu’annats beberapa kali di sebelah lafaz-lafaz mudzakkar, akan membuat susunan kalam itu tidak seimbang dan tidak serasi dan hal itu juga akan menjadikan ayat itu panjang serta akan merusak balaghah dan kefasihannya.

 

‘Ala kulli hal, dalam pemikiran wahyu Ilahi, yang menjadi tolok ukur dan kelebihan adalah “takwa” dan bukan masalah jinsiyyah (jenis kelamin; mudzakkar atau mu’annats).

Jawaban Detil

Pendahuluan

1. Dapat kita ketahui bahwa ungkapan umum al-Quran atau setiap tulisan dan ucapan itu sifatnya “mudzakkar” ketika ruh dan kondisi umum yang menguasai hal itu adalah kehadiran dan penampilan jenis kelamin (jinsiyyat). Demikianlah dapat kita saksikan bahwa si pembicara lebih memerhatikan penampilan kemampuan dan kelebihan laki-laki atau perempuan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan meneliti isi kandungan dan tujuan-tujuan ayat-ayat al-Quran. Al-Quran, ketika menekankan jenis kelamin tertentu, pasti dibalik itu memiliki hikmah dan tujuan. Berikut ini akan kita bahas.

Dengan mengkaji dan memerhatikan ayat-ayat di bawah ini, akan kita temukan bahwa hukum umum yang mendominasi ayat-ayat al-Quran adalah lebih dari sekedar jenis kelamin. Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:

Hai manusia, sesungguhnya kalian fakir di hadapan Allah. Sedang Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.[1] Barangsiapa yang melakukan amal saleh, baik laki- laki maupun perempuan dan dia beriman, maka sesungguhnya Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.[2] Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula )di langit.[3] Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik- baiknya.[4]

2. Pada dasarnya tujuan para nabi, kitab-kitab yang diturunkan dari langit dan al-Quran al-Karim adalah untuk kemajuan dan kesempurnaan manusia. Karena itu, persoalan jenis kelamin tidak dijadikan sebagai pokok pembahasan. Tetapi yang menjadi perhatian manusia adalah malapetaka dan petunjuk.

Dengan ungkapan lain, yang menjadi lawan manusia adalah satu maujud berbahaya yang bernama setan. Setan dengan pakaian kecongkakannya yang ia tunjukkan ketika ia diuji untuk sujud kepada Adam dan membakar hangus ibadah yang ia lakukan selama enam ribu tahun, dengan kemarahan semacam ini apa yang akan ia lakukan kepada kita?! Setan tidak menghendaki jiwa ataupun tanah dari kita. Setan hanyalah ingin menghancurkan keimanan dan kehormatan kita.[5]

Dengan demikian, usaha al-Quran adalah menyadarkan dan memberikan petunjuk, baik kepada laki-laki ataupun perempuan.[6]

Sebab dan hikmah kelelakian (mudzakkar) ungkapan-ungkapan al-Quran:

1. Keistimewaan bahasa, kebudayaan, peradaban dan tradisi bangsa Arab:

Banyak ditemukan ayat-ayat al-Quran yang menguatkan bahwa al-Quran itu bahasa Arab. Karena itu, seluruh karakter ucapannya harus ditafsirkan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan kebudayan Arab. Pada selain itu (jika tidak sesuai dengan kaidah di atas) kita belum bisa memanfaatkan “pemahaman dan cita rasa ‘urf yang sesuai”![7]

Sebagian kelebihan dan keistimewaan bahasa Arab adalah sebagai berikut.

1-1. Apabila dalam satu susunan ayat, bilangan laki-laki lebih banyak dari perempuan, maka penyampaian lafaz-lafaz yang harus digunakan adalah dengan memerhatikan sisi mayoritasnya.

Contoh: Pada ayat tathhir yang menjelaskan tentang kesucian dan kebersihan keluarga Nabi Saw, karena di dalamnya mencakup seorang perempuan, yaitu Sayidah Fathimah al-Zahra As, dan empat orang lelaki, maka jumlah dan kata-kata ganti yang digunakan bersifat mudzakkar. Hal itu untuk menjaga bilangan yang lebih banyak mudzakkar-nya: "Wa Yuthahhirakum." [8]

2-1. Dalam budaya masa lalu dan telah mengakar, merupakan sebuah tradisi—karena ghirah dan demi menjaga kehormatan—mereka tidak mau menjelaskan pekerjaan para wanita mereka walaupun sekedar ucapan. Sehingga dapat kita saksikan bahwa sebagian masyarakat ketika memanggil atau mengucapkan sesuatu kepada istri-istri mereka di hadapan selain keluarga muhrimnya, mereka berbicara dengan menggunakan bentuk kiasan seperti: “Ibunya Hasan”, “Mereka”, “Keluarga” dan lain-lain. Hal semacam ini pun terdapat di dalam ungkapan-ungkapan al-Quran dengan maksud menjaga kehormatan para wanita mereka dan menghindari untuk menyebutkan nama mereka secara langsung. Sebagaimana budaya Arab, maka dzauq (lisan) al-Quran pun sangat memerhatikan metode semacam ini.

Misalnya: Walaupun sebenarnya perkawinan itu merupakan keinginan bersama antara pemuda dan pemudi, namun al-Quran—ketika menasihati orang-orang yang memperoleh kesulitan materi sehingga tidak dapat menikah—menujukan ucapannya kepada para pemuda. Allah Swt berfirman: "Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya."[9]

Padahal banyak ditemukan anak-anak perempuan yang tidak berumah tangga dikarenakan tidak adanya kemampuan (dari sisi finansial), namun al-Quran menggunakan lafaz mudzakkar. Hal itu dilakukan untuk menjaga kehormatan pribadi para pemudi.

3-1. Sifat fanatik yang mendominasi kalangan lelaki (khususnya pada masa itu) terhadap jenis kelaminnya sebegitu kuat dari sejak dulu dan bahkan hingga sekarang, sehingga jika di tengah-tengah perkumpulan antara laki-laki dan perempuan ucapan ditujukan kepada kaum perempuan, maka kaum lelaki menganggap bahwa mereka tidak termasuk dalam ucapan tersebut. Namun ketika ucapan ditujukan kepada golongan pria, maka ucapan itu mencakup golongan wanita pula, dan mereka sendiri mengakui bahwa hal itu mencakup diri mereka! (Hal ini dapat Anda kaji dalam ilmu pengetahuan yang membahas tentang tingkah laku perempuan). Misalnya, ketika ucapan ditujukan pada sebuah masyarakat yang tenggelam pada alam dunia dan materi yang ungkapan-ungkapan mereka menyebabkan orang menjadi heran, maka ucapan-ucapan tersebut ditujukan kepada laki-laki dan bukan kepada perempuan. Padahal keinginan duniawi itu ada pada kedua pribadi. Bahkan bisa jadi sifat materialisme dalam diri para wanita itu lebih dominan. Hal itu disebabkan jika digunakan dengan lafaz-lafaz yang sesuai pada wanita, maka kaum lelaki menganggap diri mereka terjauhkan dari celaan-celaan! Di antaranya firman Allah dalam al-Quran ayat 204-206 surah al-Baqarah. Allah berfirman: “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu,…”

Atau ketika al-Quran ingin mencela perbuatan keji seperti membunuh anak kandungnya sendiri disebabkan takut hidup miskin, hal tersebut ditujukan kepada kaum pria.[10] Tentunya selain hikmah dan sebab budaya, terdapat sebab-sebab lain yang mendominasi peradaban kelaki-lakian al-Quran.

2. Adanya hukum-hukum khusus berkaitan dengan kaum pria menuntut bahwa hanya dengan menggunakan lafaz-lafaz yang sifatnya mudzakkar sehingga sama sekali tidak mencakup wanita. Misalnya perintah-perintah khusus untuk kaum pria dalam tata cara membina keluarga[11] dan hukum-hukum yang berkaitan dengan talak yang dilakukan oleh laki-laki[12] dan hukum-hukum jihad yang khusus untuk kaum pria.[13]

3. Topik dan kepribadian laki-laki banyak dibahas di dalam sebagian besar ayat al-Quran.[14] Tentunya di tempat yang dicantumkan nama peran perempuan tetap digunakan dengan memakai lafaz-lafaz perempuan (mu’annats) seperti peristiwa yang terjadi berkaitan dengan Sayidah Maryam as.[15] Sebagian besar dari ayat-ayat membahas khusus tentang para nabi as dan mereka juga dari kalangan laki-laki, seperti yang tercantum dalam beberapa surah seperti al-Najm (53): 3-4; al-Shaff: 6; al-Isra (17): 101; Saba (34): 10. Begitu juga dengan raja-raja yang kafir dari kalangan lelaki seperti Firaun, Namrud, Ashabul Fil dan lain-lain, atau ayat yang turun berkenaan dengan para tokoh dan pribadi-pribadi yang telah meninggal dan dengan tujuan menjaga keserasian ayat dengan sebab-sebab turunnya ayat, maka itu semua menggunakan lafaz-lafaz mudzakkar. Misalnya seperti ayat wilayah yang turun berkaitan dengan pemberian cincin yang dilakukan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as. Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan salat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada Allah).”[16]

4. Dalam sebagian besar ayat al-Quran walaupun kata ganti dan lafaz-lafaznya “mudzakkar” atau bahkan “muannats”, namun terkadang ucapan itu ditujukan kepada masyarakat dan lafaz itu tidak memiliki jenis kelamin. Hal ini persis seperti kata ganti mudzakkar yang dipakai pada Allah Swt tanpa harus dipahami bahwa Zat Yang Mahasuci adalah mudzakkar seperti contoh:

- Perintah al-Quran adalah bahwa tiada seorang pun yang berhak mengikuti para tokoh atau akidah-akidah tertentu dengan mata dan telinga tertutup dan tanpa ilmu pengetahuan tentangnya baik laki-laki atau pun perempuan! Namun ketika menyampaikannya dengan menggunakan lafaz mudzakkar tanpa ada jenis mudzakkar-nya, Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya…”[17]

- Begitu pula dalam beberapa ayat (manusia) telah diperintahkan untuk menimbang pada tanda-tanda (ciptaan) Allah Swt.[18]

- Dan dalam beberapa ayat (kita) diharuskan mengambil sebuah pondasi prinsip akidah yang benar dan memilih perantara untuk sampai pada Allah Swt.[19]

- Begitu pula dalam beberapa ayat yang menjelaskan tentang siksaan orang-orang ahli neraka tidak melihat pada jenis laki-laki ataupun perempuan.[20]

- Dan akhirnya dalam sebagian besar dari ayat-ayat al-Quran yang menyinggung tentang kematian, perhitungan (hisab) amal perbuatan, para malaikat, kenikmatan-kenikmatan, para penduduk surga, para penduduk neraka dan lain-lain sama sekali tidak dibatasi dengan jenis kelamin. Dengan ungkapan lain bahwa lafaz mudzakkar atau muannats sudah tidak lagi memiliki pemahaman laki ataupun perempuan, tetapi mencakup keduanya. (Sebagaimana yang kita ungkapkan dengan lafaz masyarakat), seperti pada ayat-ayat dalam beberapa surah al-Quran: al-Infithar (82): 19-12; al-An’am (6): 61; as-Sajdah (32): 11; al-Zumar (39): 42; al-Nahl (16): 50; Ali Imran (3): 133; Al-Thalaq (65): 2.

5. Karena kaum lelaki memiliki pertanggungjawaban keluarga, sosial, ekonomi, koordinasi dan lain sebagainya, karena itu ucapan ditujukan kepada mereka; seperti: “Hai orang- orang (kaum lelaki) yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”[21]

Poin yang perlu diperhatikan adalah sebuah pertanyaan: mengapa pada ayat-ayat yang disebutkan di dalamnya para lelaki (kata ganti mudzakkar) dan tidak disebutkan batasan jenis kelamin dan sifatnya umum, disebutkan pula kaum perempuan (kata ganti muannats) di sisi kaum laki-laki (kata ganti mudzakkar)? Berkaitan dengan pertanyaan tersebut akan kami jawab pada poin keenam.

6. Pengulangan nama perempuan di sisi lelaki—pada tempat yang lafaz mudzakkar mencakup keduanya—dapat menyebabkan perpanjangan kata atau ucapan dan dapat merusak kefasihan dan seni bahasa al-Quran.

Penjelasannya adalah bahwa:

Pada sebagian besar ayat al-Quran telah disinggung pula nama-nama perempuan di sisi laki-laki, misalnya seperti ayat: "Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki- laki dan perempuan yang mukmin,…” (Qs. Al-Ahzab [33]:35)

Atau ayat: “Bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita pun ada bahagian dari apa yang mereka usahakan,…” (Qs. Al-Nisa [4]:32)

 

Nah, sekarang jika mesti terjadi dan dibahas pengulangan berkali-kali pada ayat-ayat lain dari sisi ini antara “perempuan-lelaki”, “lelaki-perempuan”, lelaki mukmin-perempuan mukminah demi tujuan keindahan atau pengetahuan kata dan hiasan-hiasan bahasa, maka hal ini sangat merusak kefasihannya dan dengan memperpanjang cara bicara dapat membuka ruang untuk mencela al-Quran.

Di akhir pembahasan ada satu poin yang kami anggap penting untuk diketahui, yaitu jika dibayangkan bahwa pengulangan-pengulangan yang banyak dari nama perempuan akan melazimkan sebuah penghormatan kepada kepribadian mereka dan ketiadaan pengulangan akan menyebabkan penghinaan, maka harus kita beritahu bahwa cara pengambilan sikap al-Quran tentang perempuan adalah merujuk pada ayat-ayat yang menjelaskan kedudukan perempuan dan juga menjelaskan kepentingannya dalam keluarga dan masyarakat dan peran teladan yang mereka miliki. Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:

Surah ar-Rum (30): 21; al-Baqarah (2): 228; Ali Imran (3): 36; al-Tahrim (66): 10-11; al-Hujuraat (39): 13; al-Baqarah (2): 187, dan jangan kita lupakan bahwa tolok ukur keutamaan adalah sifat “takwa” bukan pada kelaki-lakian (mudzakkar) atau keperempuanan (muannats).[]



[1]. Qs. Fathir (35): 15.

[2]. Qs. al-Nahl (16): 97.

[3]. Qs. Ali Imran (3): 5.

[4]. Qs. al-Tin (95): 4.

[5].  Abdullah Jawadi Amuli, Tausiyeh hâ va pursesh hâ, Penerbit Maarif, hal. 22.

[6]. Qs. Al-Baqarah (2): 128.

[7]. Qs. Yusuf (12): 2; Qs. Fushshilat (41): 3; Qs. al-Zumar (39): 28; Qs. as-Syu’ara (42): 193-195.

[8]. Qs. al-Ahzab (33): 33.

[9]. Qs. al-Nur (24): 33.

[10]. Qs. al-Isra (17): 31.

[11]. Qs. al-Nisa (4): 19.

[12]. Qs. al-Nisa (4): 20-21.

[13]. Qs. at-Taubah (9): 122.

[14]. Qs. an-Naml (27): 40.

[15]. Qs. at-Tahrim (66): 10.

[16]. Qs. al-Maidah (5): 55.

[17]. Qs. al-Isra (17): 36.

[18]. Qs. al-Qashash (28): 71; Qs. al-A’raf (7): 29.

[19]. Qs. al-Maidah (5): 35; Qs. Ali Imran (3): 85; Qs. Fushshilat (41): 30.

[20]. Qs. an-Nisa (4): 56.

[21]. Qs. al-Tahrim (66): 6.

Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Klasifikasi Topik

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    261167 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    246285 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    230071 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214943 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    176264 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    171577 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    168066 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    158102 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140903 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    134012 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...