Please Wait
6331
Manusia adalah sebuah entitas yang tanpa kelezatan dan penderitaan. Pada sebagian urusan, manusia mencicipi kelezatan dan sebagian lainnya didera penderitaan. Dalam mengatur urusan-urusan ini, akhlak sangat berperan penting. Dalam pembahasan-pembahasan akhlak, kelezatan dan penderitaan yang benar dan keliru, dapat dikenali dengan baik sehingga manusia mengejar kelezatan yang benar dan menghindar dari kelezatan yang keliru.
Kelezatan dapat diklasifikasikan dalam ragam klasifikasi dan dimensi. Namun dalam sebuah klasifikasi jenis-jenis kelezatan dapat dibagi menjadi empat bagian:
1. Kelezatan empirikal.
2. Kelezatan imaginal.
3. Kelezatan rasional.
4. Kelezatan spiritual.
Unggulnya kelezatan bergantung pada pemikiran dan world view setiap orang. Insan beriman memandang sampainya ia ke maqam keridhaan Tuhan merupakan kelezatan yang paling unggul meski ia masih bermukim di alam materi. Jalan untuk sampai kepada kelezatan terunggul adalah bahwa manusia menjadikan ruhnya menjadi penguasa atas raga dan badannya.
Hakikat kelezatan adalah mencerap sesuatu yang sejalan dan selaras dengan tabiat dan mental manusia; artinya memahami urusan-urusan seperti ini mendatangkan kelezatan, menceriakan dan melapangkan bagi manusia. Sebagai bandingannya adalah mencerap dan merasakan segala sesuatu yang tidak sejalan dan selaras dengan tabiat dan mentalnya. Merasakan penderitaan, menyebabkan terganggunya mental dan menimbulkan kesedihan.
Atas dasar itu, setiap manusia pada sebagian urusan, merasakan kelezatan dan pada sebagiannya lainnya mencicipi penderitaan. Adapun terkait dengan pada urusan apa saja manusia dapat mencicipi kelezatan dan pada perkara apa menimbulkan penderitaan baginya hal itu terkait dengan masalah pembinaan akhlaknya.
Manusia sejatinya merupakan entitas yang senantiasa ingin mencari kelezatan dan melakukan pelbagai aktifitas untuk meraih kelezatan. Atau minimal motivasinya adalah berjalan melangkah untuk melakukan segala sesuatu yang menyimpan kelezatan di dalamnya. Sebagian orang beranggapan bahwa segala kelezatan terbatas pada kelezatan empirik dan hewani (perut dan syahwat). Apabila pelbagai kelezatan empiriknya dibatasi dan mengabaikan begitu saja pelbagai kelezatan haram atau kelezatan yang tidak sesuai dengan derajat kemanusiaannya, maka ia akan melalui hidupnya dengan sukar. Dan beranggapan bahwa orang-orang mukmin sejati dan hamba yang patuh terhadap segala perintah Tuhan tidak merasakan kelezatan apa pun dari segala sesuatu dan kehidupan bagi mereka adalah kehidupan getir padahal tidak demikian adanya. Karena kelezatan-kelezatan tidak terbatas pada pelbagai kelezatan empirik semata, melainkan terdapat kelezatan-kelezatan lainnya yang sangat tinggi daripada kelezatan-kelezatan materi dan hewani.
Kelezatan terdiri dari ragam jenis dan klasifikasi. Namun pada sebuah klasifikasi jenis kelezatan dapat dibagi menjadi empat bagian:
1. Kelezatan empirikal; Jenis kelezatan yang diperoleh melalui anggota badan dan panca indra.
2. Kelezatan imaginal: Jenis kelezatan yang dicapai melalui imaginasi dan daya khayal manusia. Seperti kelezatan dalam tidur. Kelezatan berimaginasi hadir di suatu tempat yang indah. Atau kelezatan dari sebuah memori dan kenangan yang tak terlupakan.
3. Kelezatan rasional: Kelezatan yang diperoleh dalam mencerap realitas-realitas rasional; seperti merasakan kelezatan dan kenikmatan dalam menemukan pelbagai formula matematika atau fisika dan merasakan kelezatan dalam mengetahui urusan-urusan ilmiah.
4. Kelezatan mental dan spiritual: Seperti kelezatan yang dirasakan oleh sebagian hamba dalam urusan-urusan spiritual dan penghambaan. Akan tetapi seorang hamba tidak boleh menjadikan kelezatan sebagai tujuannya dalam urusan-urusan spiritual dan ritual. Karena urusan-urusan ritual harus dilakukan dengan dasar ketulusan dan keikhlasan untuk Tuhan. Namun secara natural, mereka yang merupakan ahli dalam masalah-masalah spiritual dan ritual, kelezatan tetap akan mereka rasakan, yang tidak kurang dari kelezatan material bahkan lebih lezat dan mengasyikkan.
Allamah Ja’fari mengklasifikasikan jenis-jenis kelezatan dan penderitaan menjadi dua bagian pokok. Jenis-jenis kelezatan dan penderitaan tersebut adalah: Kelezatan-kelezatan dan penderitaan-penderitaan jasmani (material) dan kedua kelezatan material secara tidak langsung seperti kelezatan adanya kemahiran terhadap sesuatu, memperoleh cinta, dominasi atas orang lain, kelezatan berdarma wisata, ketenangan pikiran dan kelezatan adanya kebebasan. Pokok-pokok kelezatan mental seperti menunaikan segala taklif dan taqarrub kepada Allah Swt.[1]
Adapun terkait dengan kelezatan paling unggul hal itu sepenuhnya tergantung pada jenis pemikiran dan pandangan dunia setiap orang. Dari sudut pandang seorang insan beriman (mukmin) dan Ilahi kelezatan terunggul adalah tidak lain kecuali sampai kepada maqam keridhaan (ridha) Tuhan. Dengan demikian, segala aktifitas yang mendekatkan dirinya kepada Tuhan maka aktifitas tersebut mengandung kelezatan terunggul.
Insan beriman dalam pikirannya mengerjakan perbuatan baik; kelezatan yang ia rasakan bukan kelezatan empirik dan keuntungan duniawi. Tentu saja perbuatan baik terkadang melezatkan dan menguntungkan. Terkadang getir dan membuntungkan. Apabila kelezatan empirik dan natural itu ditelusuri dengan baik, bagi orang yang merasakan kelezatan dan juga dari sisi keuntungan duniawi, tidak melezatkan dan memberikan keuntungan, namun akal memandangnya sebagai sebuah kebaikan. Lebih tinggi dari itu, terkadang sebagian pekerjaan, tidak hanya tidak melezatkan dan memberikan keuntungan duniawi, melainkan akal juga tergagap-gagap dalam mengidentifikasi kebaikan kelezatan ini. Namun wahyu yang lebih tinggi dari akal dan merupakan guru bagi akal menjadikannya bersemi dan tumbuh berkembang. Wahyu memahamkan kepada akal bahwa pekerjaan tersebut adalah pekerjaan baik dan kemudian akal memahami baiknya perbuatan tersebut dan menerimanya kemudian mengeluarkan perintah kepada anggota badan untuk melakukannya.
Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa kriteria setiap pekerjaan adalah kebaikannya dan bukan kelezatan serta keuntungan lahiriya semata. Dan kebaikan juga harus dijelaskan melalui wahyu, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah [2]:216)
Dari ayat ini, menjadi jelas bahwa jiwa dan fitrah yang menyediakan hakikat kita bukan badan dan keuntungan badani yang tidak lain sekedar alat saja.
Jalan untuk Meraih Kelezatan Lebih Unggul
Ustad Jawadi Amuli dalam hal ini berkata, “Mereka yang akil, zahid, arif, abid, dan hamba Tuhan yang mencicipi dengan baik kepemimpinan (riyâsat), sebelum berbicara tentang masalah-masalah sosial, politik dan lain sebagainya, dalam relung batinnya, ia telah menentukan tugas rais (pemimpin) dan ma’rus (yang dipimpin) dan berkata bahwa ruhlah yang harus memerintah dan badan harus mematuhi titahnya. Kepemimpinan seperti ini sangat melezatkan. Misalnya ruh memberikan titah bahwa Anda harus berpuasa, namun badan yang merasakan penderitaan dan mematuhi titah tersebut. Ruh merasakan kelezatan atas adanya dominasi ini atas badan atau ruh dalam kondisi membela dan berjihad dengan orang asing memerintah pada badan dan badan mentaatinya. Bergerak dan memulai jihad serta menahan gempuran dan serangan dari musuh dan menderita luka. Di sini ruh, bersyukur kepada Allah Swt bahwa aku yang memberikan perintah dan badan mematuhinya. Demikian juga ketika tidak memandang kepada non-mahram atau tidak mendengarkan musik-musik haram atau tidak memakan makanan-makanan haram dan ratusan perintah-perintah agama lainnya. Namun seorang jahil badannya yang menguasai ruhnya dan menjadikannya sebagai amir dan pemimpin serta menududukkannya sebagai pemimpin dan menjadikan ruh Ilahi sebagai tawanan badannya.”[2] [IQuest]