Please Wait
45490
Hubungan senantiasa bersifat mutual dan dua arah. Hubungan kita dengan Tuhan bersumber dari kita yang terkadang putus atau redup; akan tetapi Dia senantiasa bersama kita di mana pun kita berada. Allah Swt berfirman, “Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Hadid [57]:4)
Karena itu, apabila hubungan kita dengan Allah Swt telah meredup maka seharusnya kita mencari kekurangan dan cela yang terdapat pada diri kita.
Disebutkan bahwa jalan untuk mengakrabi dan mencintai sesuatu adalah hubungan intens dan konstan dengannya. Hal ini, dari sudut pandang psikologis, merupakan suatu hal yang telah diterima secara pasti dan tidak dapat diingkari.
Karena itu, kita harus mencari tahu hal-hal yang menjauhkan kita dari Allah Swt. Terkadang perkara ini bertitik tolak dari keangkuhan, dengki dan adanya perasaan tidak membutuhkan, dan dosa-dosa lainnya yang menduduki pikiran dan benak manusia. Artinya sebagian pikiran dan gagasan (jahat) yang mengusik ruh kita dan terkadang juga sebagian dosa-dosa lahir yang dilakukan manusia melalui anggota badan dan panca inderanya. Semua ini telah menjadi hijab dan penghalang hubungan antara kita dan Tuhan. Sebagaimana Anda katakan bahwa boleh jadi kejauhan Anda dari Tuhan bersumber dari pikiran-pikiran seperti ini. Lantaran di balik segala sesuatu yang dilakukan manusia dimotori oleh pikiran dan gagasan. Atau dengan kata lain, ilmu adalah pendahuluan dan mukaddimah bagi perbuatan. Harus dicamkan bahwa kita harus berhati-hati atas segala pikiran dan gagasan yang masuk ke dalam hati kita. Meski perbuatan ini boleh jadi sedikit agak pelik dan sulit namun hasilnya sangat manis dan lezat.
Terkadang pikiran-pikiran yang hinggap dalam benak manusia bersumber dari setan yang harus sesegera mungkin dilenyapkan dari benak kita lantaran akan cepat bereaksi dan mendorong manusia merealisasikan pikiran-pikiran tersebut. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantahmu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Qs. Al-An’am [6]:121) Karena itu kita harus mencegah pikiran-pikiran setan masuk ke dalam pikiran kita. “Faktor terpenting dan terbesar yang menjauhkan manusia dari Allah Swt dan menyebabkan ia menjadi lalai adalah pikiran-pikiran yang tidak diundang ini.”[1] Terkadang pikiran dan gagasan non-Ilahi ini sedemikian berpengaruh pada diri manusia sehingga pada kondisi yang terbaik seperti shalat, kita tidak dapat konsentrasi dan menghadirkan hati kita menghadap kepada-Nya.
Kita harus mencegah berkembang dan tumbuhnya pikiran-pikiran jelek ini. “Pikiran-pikiran terbentuk dari satu silsilah ucapan, segala yang didengar, partisipasi dalam majelis-majelis, membaca sebagian majalah dan seterusnya secara perlahan mengkristal dalam benak manusia. Dan tatkala telah melimpah dan memadat, ia akan mendorong manusia mengerjakan pikiran-pikiran tersebut. Sebagai hasilnya pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan ini menjadi sifat inheren (malakah nafsani) dalam diri kita. Karena itu, akan dengan mudah terlintas dalam benak dan akan terkenang dalam pikiran manusia. Puncaknya, pikiran-pikiran ini akan membuat manusia lalai dari mengingat Allah Swt. Atas dasar itu, manusia yang memiliki pikiran-pikiran material senantiasa memikirkan masalah-masalah yang melezatkan secara material.[2]
Apa yang telah diuraikan di atas adalah semacam analisa atas sebuah fakta keseharian namun kita harus melihat apa yang harus dilakukan dalam hal ini?
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas kita harus mencegah masuknya segala jenis pikiran seperti ini dalam diri kita dan harus berupaya untuk menghilangkannya ketika telah melintas dalam benak kita.
Al-Qur’an menawarkan jalan keluar dan solusi, “Mengawasi diri dan senantiasa mengingat Allah Swt; manusia harus menjaga pelbagai pertemuan, bacaan-bacaan, segala apa yang didengar, makanan dan pakaiannya. Tatkala kita menjaga hal-hal seperti ini maka secara perlahan zikruLlâh akan terukir dalam hatinya dan pikiran-pikiran baik akan terbentuk dalam benaknya. Karena itu, al-Qur’an mengajarkan zikruLlâh (mengingat Allah Swt) sebagai jalan untuk mengenyahkan kelalaian dan sekaligus melapangkan jalan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt.”[3]
Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah sebanyak-banyaknya” (Qs. Al-Ahzab [33]:41) Tatkala mengingat seseorang telah melimpah dalam diri seseorang maka hal itu merupakan pertanda bahwa ia telah jatuh hati dan cinta kepadanya. Dan kecintaan ini akan menjadi sifat inheren dalam dirinya. Sedemikian sehingga manusia dalam pelbagai kondisinya senantiasa dalam kondisi shalat dan mengingat Allah Swt. Alangkah indahnya pujangga arif yang menggubah syair, “Alangkah bahagiannya orang-orang yang senantiasa dalah kondisi shalat.”
Karena itu, dengan mengingat Allah Swt dan mengendalikan lalu-lintas masuknya pikiran-pikiran yang mengusik dan mengabaikannya adalah media untuk mensterilkan lembaran hati kita untuk senantiasa mengenang dan mengingat Allah Swt. Dan sebagai hasilnya, ilustrasi indah Ilahi ini akan tergambar dalam benak dan hati manusia. [IQuest]
Semoga Sukses