Please Wait
13147
Boleh jadi manusia, dengan sebuah pandangan sederhana terkait dengan taktik ketiga (setelah nasihat dan menjauhi wanita dari tempat tidur) yang dianjurkan dalam al-Quran, berpikir bahwa Islam hendak membukakan peluang bagi kaum pria dan melakukan apa saja kepada wanita dengan memukul, mencambuk dan menendangnya supaya wanita tunduk kepadanya, sementara pada kenyataannya tidak demikian adanya.
Apabila wanita membangkang dan menolak menunaikan tugas-tugas dan tanggung jawabnya demikian juga melanggar aturan-aturan dengan bersikap keras kepala sehingga peringatan tidak lagi berguna, memisahkannya dari tempat tidur tidak lagi bermanfaat atau mengabaikannya tidak lagi berpengaruh pendeknya tidak tersisa lagi perbuatan kecuali dengan mengeraskan tindakan, untuk memaksa mereka menunaikan tugas-tugas dan tanggung jawabnya, artinya tiada jalan lain kecuali dengan menggunakan kekerasan, maka di sini dibolehkan memakai teknik ketiga sehinga mereka terkondisi untuk menunaikan tugas-tugas dan tanggung jawabnya.
Terapat sebuah ayat dalam al-Quran yang akan kami sebutkan maknanya terlebih dahulu sehubungan dengan masalah ini. Allah Swt berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pengayom bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara rahasia dan hak-hak suami ketika suaminya tidak ada, lantaran hak-hak yang telah Allah tetapkan bagi mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka, berpisahlah dengan mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Qs. Al-Nisa [4]:34) Di sini mungkin mengemuka sebuah kritikan dan pertanyaan apakah Islam memandang boleh memukul kaum wanita? Jawaban atas pertanyaan ini tidaklah terlalu sulit dengan memperhatikan makna ayat dan riwayat yang menerangkan ayat ini serta penjelasannya dalam kitab-kitab fikih demikian juga penjelasan yang disampaikan oleh para psikolog moderen.
Tujuan “memukul” bukanlah untuk menampakkan kekuatan dan memukul badan wanita yang lemah dan lembut.
Boleh jadi manusia, dengan sebuah pandangan sederhana terkait dengan taktik ketiga (setelah nasihat dan menjauhi wanita dari tempat tidur) yang dianjurkan dalam al-Quran, berpikir bahwa Islam hendak membukakan peluang bagi kaum pria dan melakukan apa saja kepada wanita dengan memukul, mencambuk dan menendangnya supaya wanita tunduk kepadanya, sementara pada kenyataannya tidak demikian adanya.
Jelas bahwa memukul itu memiliki tingkatan. Semenjak pukulan yang ringan dan tidak menyakitkan (fisik) hingga tingkatan pukulan yang membuat seseorang tidak lagi dapat bergerak, meski tidak mati. Kesemua ini termasuk sebagai memukul. Hanya saja tatkala seseorang karena pukulan, hati dan badannya tidak lagi bekerja secara normal, maka hal ini tidak lagi disebut memukul tapi membunuh!
Poin penting yang harus dikemukakan di sini siapa yang menentukan batasan memukul itu? Apakah pria memiliki hak untuk menentukan sendiri batasan memukul, dan badan lembut wanita yang tidak berdaya yang disebut dalam Islam sebagai kuntum penciptaan dan bunga indah serta semerbak taman keberadaan, sedemikian dicambuk, dipukul, ditendang, ditampar, dipukul pakai kayu sehingga tidak berdaya sama sekali!
Dalam hal apa saja memukul itu dibolehkan? Pukulan yang dimaksud seperti apa? Siapa yang harus menentukan batasannya? Suami atau orang lain?
Keharusan taat istri kepada suami sesuai dengan terma al-Quran (qunut) wanita semata-mata terbatas pada hubungan suami istri dan suami tidak memiliki hak untuk memaksa istrinya untuk menyapu, mencuci, memasak dan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti ini. Pekerjaan-pekerjaan ini dapat diselesaikan oleh suami dan istri dengan saling memahami, gotong royong, dan saling berkorban satu sama lain. Karena itu, istri dalam pekerjaan-pekerjaan seperti ini, tidak memiliki hak untuk menghukum istrinya apatah lagi memukul dan melukainya sehingga harus tunduk di bawah perintah suami.
Suami harus tahu supaya tidak membawa pembantu dan beban ke rumah, ia telah dan tengah membawa seseorang yang dapat diajak berpikir bersama, bekerja sama, saling tolong-menolong untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah. Apa yang diharapkan dari wanita adalah qunut (taat kepada Allah lagi memelihara rahasia) dan hafizh (menjaga hak-hak suami ketika suaminya tidak ada).[1]
Dengan demikian, tiga model taktik dalam batasan nusyuz wanita dan meninggalkan qunut dan tidak ada kaitannya dengan pekerjaan yang biasanya dilakukan dalam rumah tangga seperti kerja sama, saling berpikir dan saling menaruh simpati.[2]
Apabila wanita membangkang dan menolak menunaikan tugas-tugas dan tanggung jawabnya demikian juga melanggar aturan-aturan dengan bersikap keras kepala sehingga peringatan tidak lagi berguna, memisahkannya dari tempat tidur tidak lagi bermanfaat atau mengabaikannya tidak lagi berpengaruh pendeknya tidak tersisa lagi perbuatan kecuali dengan mengeraskan tindakan, untuk memaksa mereka menunaikan tugas-tugas dan tanggung jawabnya, artinya tiada jalan lain kecuali dengan menggunakan kekerasan, maka di sini dibolehkan memakai teknik ketiga sehinga mereka terkondisi untuk menunaikan tugas-tugas dan tanggung jawabnya.
Memukul fisik di sini – sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab fikih – harus lembut dan ringan yang tidak menyebabkan luka dan patah atau membuat memar badan.[3] Bahkan dalam sebagian riwayat dalam tafsir “memukul” Imam As bersabda, “Yang dimaksud memukul adalah memukul dengan kayu miswak.”[4] Benar! Tujuan memberikan hukuman fisik adalah untuk menghidupkan kembali hubungan suami-istri dan menghangatkan lingkungan rumah tangga.
Dari satu sisi, boleh jadi ayat sedang berada pada tataran mengobati sebuah penyakit. Para psikoanalis modern meyakini bahwa sebagian waniti memiliki kondisi yang disebut mashocisme (suka menyiksa diri) yang apabila kondisi ini semakin tinggi intensitasnya maka satu-satunya jalan untuk memperoleh ketenangan adalah dengan memukul badannya secara ringan.[5] Pandangan ini tidak dapat kita sandarkan kepada al-Quran dan sebagian orang tidak sepakat dengan pendapat ini.[6] [iQuest]
[1]. Yang dinyatakan plural pada ayat, qânitât dan hâfizhât.
[2]. Disarikan dari Khânewâdeh dar Qur’ân, Dr Ahmad Behesyti, hal. 111.
[3]. Tafsir Nemune, jil. 3, hal. 415, silahkan lihat, Jawaban No. 1433 (Site: 990), Makna Idhribuhunna.
[4]. Tafsir Nur al-Tsaqalain, jil. 1, hal. 478.
[5]. Tafsir Nemune, jil. 3, hal. 415.
[6]. Khânewadeh dar Qur’ân, hal. 111 dan seterusnya.